Share

Bab 5 Belajar mandiri

Pov Serena

Setelah menurunkan Zena di sekolahnya, segera aku menuju ke kafe milik Mas Gibran. Ketika aku sampai di parkiran, Kafe masih baru di buka. Tulisan open baru saja di balikkan okeh karyawan.

"The Gis's Cafe," gumam ku lirih membaca tulisan pada pintu kafe yang terbuat dari kaca itu.

Tanpa sadar aku tersenyum mengingat asal usul dari nama kafe itu. GIS adalah singkatan nama kami bertiga, Gibran, Indira dan Serena. Kami tiga bersaudara. Setelah Ayah dan Bunda berpisah kami memilih untuk ikut Bunda. Waktu itu aku masih kelas satu SMA ketika Ayah berselingkuh lalu menikahi selingkuhannya yang sedang hamil, karena Bunda tidak bersedia di madu, Bunda memutuskan untuk bercerai.

Sejak itu hubungan kami dengan Ayah menjadi renggang. Kami tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang dulu kami yang dulu setelah Ayah membawa pulang selingkuhannya itu. Namun lambat laun kami akhirnya mengikhlaskan semua. Setiap hari raya kami akan berkunjung untuk bersilaturahmi meski tidak sampai satu jam kami berada di sana.

"Serena?" panggil pria tamban dan gagah berjalan dari arah belakangku. "Kamu kok disini?" tanyanya setelah berada di sampingku.

"Aku ingin meminta pekerjaan padaa owner kafe itu," jawabku sambil menunjuk kafe milik Mas Gibran dengan ekspresi memelas.

"Kenapa tiba-tiba ingin bekerja?" tanyanya memicingkan mata curiga, "Apa Dirga mengecewakan mu lagi?"

"Aku ingin mandiri Mas," jawabku sambil tersenyum. "Tidak ingin bergantung pada siapapun lagi. Aku tidak ingin mengorbankan perasaanku. Bukankah aku juga berhak bahagia?" lanjut ku menirukan nasihat Mas Gibran dulu saat aku memilih untuk bertahan.

Mas Gibran mengangguk paham, "Kita bicarakan di dalam." Mas Gibran menggandengku menuju kafe.

Beberapa karyawan menyapa kami, hampir semua karyawan di sini mengenalku sebagai adik bungsu Mas Gibran. Ya karena aku juga sering datang kesini.

"Duduklah," perintahnya setelah kami memasuki ruang kerjanya. "Katakan ada apa?" Mas Gibran memberikan sebotol minuman ion yang diambilnya dari lemari es yang ada di pojok ruang kerjanya.

"Terima kasih," ucapku lalu menunduk bingung harus bercerita apa?

"Katakan ada apa? Mas tidak bisa berbuat apa-apa jika kamu hanya diam," kata Mas Gibran setelah menghela nafas.

"Aku merasa kalah. Semua usaha dan pengorbananku sia-sia Mas," jawabku menatap Mas Gibran sedih.

"Kenapa merasa sia-sia?" Mas Gibran menegakkan tubuhnya menatapku intens.

"Mas Dirga tetap tidak bisa menghargai perasaanku. Dia hanya sibuk dengan hidup dan ambisinya sendiri. Seolah aku dan Zena tidak pernah ada di hidupnya. Dia juga tidak pernah membela aku ketika aku di salahkan oleh orang tuanya. Yang paling menyakitkan dia hanya diam saja ketika Zena di salahkan atau dibanding-bandingkan dengan anak adiknya." Aku menjelaskan alasanku ingin menyerah. "Bahkan beberapa hari yang lalu aku dan Zena pulang lebih dulu dari rumah orang tua Mas Dirga dan sampai hari ini kami tidak saling bicara," lanjut ku bercerita panjang lebar.

"Kamu inginnya seperti apa?" tanya Mas Gibran setelah berpikir sebentar.

"Aku ingin bekerja Mas. Sembari menunggu perubahan Mas Dirga atau keyakinan ku untuk berhenti," jawabku.

Mas Gibran menatapku dalam, "Bagaimana dengan Zena?"

"Aku akan bekerja setelah mengantarnya ke sekolah. Dan menitipkannya di rumah temanku Nurida, setelah pulang sekolah. Aku sudah berbicara dengan Nurida dan dia bersedia menjaga Zena. Aku akan memberikan uang sebagai ucapan terima kasih." Aku menjelaskan rencana yang sudah aku susun sejak kembali dari rumah mertuaku.

"Tapi aku sendiri yang akan mengantar dan menjemput Zena sekolah, karena itu aku meminta pekerjaan pada Mas. Aku butuh perlakuan istimewa," ucapku menatap penuh harap pada Mas Gibran dengan menyatukan kedua telapak tanganku, memohon.

Mas Gibran terkekeh sambil mengacak rambutku gemas, "Tentu saja, belajarlah cara mengelola kafe! Nanti jika sudah bisa menghandle, aku akan membangun satu cabang GIS Cafe untuk kamu," ujar Mas Gibran.

Perkataan Mas Gibran Sontak membuatku menatap tidak percaya, "Ck, berlebihan banget sih Mas? Aku kuliah jurusan bahasa Mas. Aku lebih cocok jadi editor atau penulis di sebuah perusahaan penerbitan dari pada jadi Owner Kafe," Aku menggelengkan kepalaku.

"Kamu bisa jadi penulis online di sela-sela kesibukan kamu sebagai sebuah hobi yang menghasilkan uang. Tapi untuk masa depanmu dan Zena kamu harus belajar menjadi Owner kafe. Mengerti?" Mas Gibran memberi nasihat.

Aku mengangguk patuh, "Mengerti Mas." Semua nasihat Mas Gibran benar adanya. Aku tidak akan membantahnya.

"Bagus. Aku akan menyuruh Lina mengantar kamu berkeliling dan memeriksa semua laporan kafe. Belajarlah dengan cepat!" tutur Mas Gibran lalu menelpon sekertaris sekaligus asistennya.

🥀🥀🥀

Setelah berkeliling kafe, Mbak Lina memberiku setumpuk map, di atas meja kerjaku yang tidak jauh dari meja Mbak Lina. "Di periksa ya calon Bu bos!" canda Mbak Lina setelah meletakkan setumpuk map di depanku.

"Banyak banget Mbak," keluhku pada wanita yang lebih tua 3 tahun dariku itu.

"Ini laporan keuangan, dari mulai keuangan dapur sampai keuangan gaji pegawai. Ini laporan kehadiran karyawan, ini laporan bla bla....." jelas Mbak Lina panjang lebar.

"Ok, ok. Pelan-pelan ya Mbak," sahutku memelas.

"Iya, tapi di periksa semua! supaya benar-benar mengerti." Mbak Lina berpesan sebelum kembali ke mejanya.

Sekitar jam 10 aku pamit ke Mbak Lina untuk menjemput putriku dari sekolahnya. "Mbak kalau Mas Gibran tanya tolong katakan aku jemput Zena!"

"Iya siap!" jawab Mbak Lina.

Aku bergegas berangkat menjemput putriku di sekolahnya. Sekitar 20 menit aku sampai di sekolah Zena. Gadis kecil itu sudah menunggu di depan kelasnya. "Maaf Mama telat," ucapku berlari mendekatinya. "Mama janji besok datang lebih awal."

"Gak papa Ma," jawabnya dengan senyum ceria khas miliknya.

Dadi sekolah aku mengantar Zena ke rumah Nurida. Wanita berhijab itu dengan senyum bahagia menyambut kedatanganku dan Zena.

"Halo cantik," sapa Nurida saat kami datang lalu menggendong Zena dan memangkunya.

Nurida berjanji akan menjaga Zena dengan baik selama aku bekerja. "Zena nanti main sama Kakak Al ya sayang," ucap Nurida pada Zena yang langsung mendapat anggukan dan senyum sumringah dari Zena.

Nurida adalah sahabatku sejak masih sekolah menengah atas. Suaminya meninggal karena kecelakaan kerja. Dia bekerja sebagai penjahit rumahan dan membuka toko kelontong untuk menghidupi dirinya dan putra semata wayangnya Muhammad Alfatih yang sudah berumur 12 tahun.

Zena sudah sering aku ajak main ke rumah Nurida sehingga dia sama sekali tidak menolak saat aku memintanya untuk di rumah Nurida selama aku bekerja.

"Zena yang pinter ya! Mama harus membantu Om Gibran di kafe, nanti jam tiga sore Mama jemput." Aku berpesan pada Zena.

"Siap Mama. Zena janji jadi anak yang pintar sampai Mama jemput Zena," jawab putri kecilku sebelum diajak Al masuk ke dalam rumah.

"Nur, aku nitip ya! Dia tidak biasa keluar rumah, jadi tolong usahakan dia hanya main didalam rumah saja," pesanku pada Nurida, "Dia paling suka menggambar, kasih saja dia buku gambar yang ada di tasnya!" lanjut ku memberi arahan.

"Sejak kemarin kamu sudah mengatakan itu Rena berulang kali," sahut Nurida sambil tersenyum, "Zena sudah hampir 7 tahun, jangan terlalu mengkhawatirkannya,"

"Kamu benar. Kalau begitu aku balik ke kafe dulu. Aku titip Zena ya! Terima kasih untuk semuanya," ucapku sebelum meninggalkan rumah Nurida.

🥀🥀🥀

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status