Share

Bab 5 Belajar mandiri

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-29 12:24:50

Pov Serena

Setelah menurunkan Zena di sekolahnya, segera aku menuju ke kafe milik Mas Gibran. Ketika aku sampai di parkiran, Kafe masih baru di buka. Tulisan open baru saja di balikkan okeh karyawan.

"The Gis's Cafe," gumam ku lirih membaca tulisan pada pintu kafe yang terbuat dari kaca itu.

Tanpa sadar aku tersenyum mengingat asal usul dari nama kafe itu. GIS adalah singkatan nama kami bertiga, Gibran, Indira dan Serena. Kami tiga bersaudara. Setelah Ayah dan Bunda berpisah kami memilih untuk ikut Bunda. Waktu itu aku masih kelas satu SMA ketika Ayah berselingkuh lalu menikahi selingkuhannya yang sedang hamil, karena Bunda tidak bersedia di madu, Bunda memutuskan untuk bercerai.

Sejak itu hubungan kami dengan Ayah menjadi renggang. Kami tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang dulu kami yang dulu setelah Ayah membawa pulang selingkuhannya itu. Namun lambat laun kami akhirnya mengikhlaskan semua. Setiap hari raya kami akan berkunjung untuk bersilaturahmi meski tidak sampai satu jam kami berada di sana.

"Serena?" panggil pria tamban dan gagah berjalan dari arah belakangku. "Kamu kok disini?" tanyanya setelah berada di sampingku.

"Aku ingin meminta pekerjaan padaa owner kafe itu," jawabku sambil menunjuk kafe milik Mas Gibran dengan ekspresi memelas.

"Kenapa tiba-tiba ingin bekerja?" tanyanya memicingkan mata curiga, "Apa Dirga mengecewakan mu lagi?"

"Aku ingin mandiri Mas," jawabku sambil tersenyum. "Tidak ingin bergantung pada siapapun lagi. Aku tidak ingin mengorbankan perasaanku. Bukankah aku juga berhak bahagia?" lanjut ku menirukan nasihat Mas Gibran dulu saat aku memilih untuk bertahan.

Mas Gibran mengangguk paham, "Kita bicarakan di dalam." Mas Gibran menggandengku menuju kafe.

Beberapa karyawan menyapa kami, hampir semua karyawan di sini mengenalku sebagai adik bungsu Mas Gibran. Ya karena aku juga sering datang kesini.

"Duduklah," perintahnya setelah kami memasuki ruang kerjanya. "Katakan ada apa?" Mas Gibran memberikan sebotol minuman ion yang diambilnya dari lemari es yang ada di pojok ruang kerjanya.

"Terima kasih," ucapku lalu menunduk bingung harus bercerita apa?

"Katakan ada apa? Mas tidak bisa berbuat apa-apa jika kamu hanya diam," kata Mas Gibran setelah menghela nafas.

"Aku merasa kalah. Semua usaha dan pengorbananku sia-sia Mas," jawabku menatap Mas Gibran sedih.

"Kenapa merasa sia-sia?" Mas Gibran menegakkan tubuhnya menatapku intens.

"Mas Dirga tetap tidak bisa menghargai perasaanku. Dia hanya sibuk dengan hidup dan ambisinya sendiri. Seolah aku dan Zena tidak pernah ada di hidupnya. Dia juga tidak pernah membela aku ketika aku di salahkan oleh orang tuanya. Yang paling menyakitkan dia hanya diam saja ketika Zena di salahkan atau dibanding-bandingkan dengan anak adiknya." Aku menjelaskan alasanku ingin menyerah. "Bahkan beberapa hari yang lalu aku dan Zena pulang lebih dulu dari rumah orang tua Mas Dirga dan sampai hari ini kami tidak saling bicara," lanjut ku bercerita panjang lebar.

"Kamu inginnya seperti apa?" tanya Mas Gibran setelah berpikir sebentar.

"Aku ingin bekerja Mas. Sembari menunggu perubahan Mas Dirga atau keyakinan ku untuk berhenti," jawabku.

Mas Gibran menatapku dalam, "Bagaimana dengan Zena?"

"Aku akan bekerja setelah mengantarnya ke sekolah. Dan menitipkannya di rumah temanku Nurida, setelah pulang sekolah. Aku sudah berbicara dengan Nurida dan dia bersedia menjaga Zena. Aku akan memberikan uang sebagai ucapan terima kasih." Aku menjelaskan rencana yang sudah aku susun sejak kembali dari rumah mertuaku.

"Tapi aku sendiri yang akan mengantar dan menjemput Zena sekolah, karena itu aku meminta pekerjaan pada Mas. Aku butuh perlakuan istimewa," ucapku menatap penuh harap pada Mas Gibran dengan menyatukan kedua telapak tanganku, memohon.

Mas Gibran terkekeh sambil mengacak rambutku gemas, "Tentu saja, belajarlah cara mengelola kafe! Nanti jika sudah bisa menghandle, aku akan membangun satu cabang GIS Cafe untuk kamu," ujar Mas Gibran.

Perkataan Mas Gibran Sontak membuatku menatap tidak percaya, "Ck, berlebihan banget sih Mas? Aku kuliah jurusan bahasa Mas. Aku lebih cocok jadi editor atau penulis di sebuah perusahaan penerbitan dari pada jadi Owner Kafe," Aku menggelengkan kepalaku.

"Kamu bisa jadi penulis online di sela-sela kesibukan kamu sebagai sebuah hobi yang menghasilkan uang. Tapi untuk masa depanmu dan Zena kamu harus belajar menjadi Owner kafe. Mengerti?" Mas Gibran memberi nasihat.

Aku mengangguk patuh, "Mengerti Mas." Semua nasihat Mas Gibran benar adanya. Aku tidak akan membantahnya.

"Bagus. Aku akan menyuruh Lina mengantar kamu berkeliling dan memeriksa semua laporan kafe. Belajarlah dengan cepat!" tutur Mas Gibran lalu menelpon sekertaris sekaligus asistennya.

🥀🥀🥀

Setelah berkeliling kafe, Mbak Lina memberiku setumpuk map, di atas meja kerjaku yang tidak jauh dari meja Mbak Lina. "Di periksa ya calon Bu bos!" canda Mbak Lina setelah meletakkan setumpuk map di depanku.

"Banyak banget Mbak," keluhku pada wanita yang lebih tua 3 tahun dariku itu.

"Ini laporan keuangan, dari mulai keuangan dapur sampai keuangan gaji pegawai. Ini laporan kehadiran karyawan, ini laporan bla bla....." jelas Mbak Lina panjang lebar.

"Ok, ok. Pelan-pelan ya Mbak," sahutku memelas.

"Iya, tapi di periksa semua! supaya benar-benar mengerti." Mbak Lina berpesan sebelum kembali ke mejanya.

Sekitar jam 10 aku pamit ke Mbak Lina untuk menjemput putriku dari sekolahnya. "Mbak kalau Mas Gibran tanya tolong katakan aku jemput Zena!"

"Iya siap!" jawab Mbak Lina.

Aku bergegas berangkat menjemput putriku di sekolahnya. Sekitar 20 menit aku sampai di sekolah Zena. Gadis kecil itu sudah menunggu di depan kelasnya. "Maaf Mama telat," ucapku berlari mendekatinya. "Mama janji besok datang lebih awal."

"Gak papa Ma," jawabnya dengan senyum ceria khas miliknya.

Dadi sekolah aku mengantar Zena ke rumah Nurida. Wanita berhijab itu dengan senyum bahagia menyambut kedatanganku dan Zena.

"Halo cantik," sapa Nurida saat kami datang lalu menggendong Zena dan memangkunya.

Nurida berjanji akan menjaga Zena dengan baik selama aku bekerja. "Zena nanti main sama Kakak Al ya sayang," ucap Nurida pada Zena yang langsung mendapat anggukan dan senyum sumringah dari Zena.

Nurida adalah sahabatku sejak masih sekolah menengah atas. Suaminya meninggal karena kecelakaan kerja. Dia bekerja sebagai penjahit rumahan dan membuka toko kelontong untuk menghidupi dirinya dan putra semata wayangnya Muhammad Alfatih yang sudah berumur 12 tahun.

Zena sudah sering aku ajak main ke rumah Nurida sehingga dia sama sekali tidak menolak saat aku memintanya untuk di rumah Nurida selama aku bekerja.

"Zena yang pinter ya! Mama harus membantu Om Gibran di kafe, nanti jam tiga sore Mama jemput." Aku berpesan pada Zena.

"Siap Mama. Zena janji jadi anak yang pintar sampai Mama jemput Zena," jawab putri kecilku sebelum diajak Al masuk ke dalam rumah.

"Nur, aku nitip ya! Dia tidak biasa keluar rumah, jadi tolong usahakan dia hanya main didalam rumah saja," pesanku pada Nurida, "Dia paling suka menggambar, kasih saja dia buku gambar yang ada di tasnya!" lanjut ku memberi arahan.

"Sejak kemarin kamu sudah mengatakan itu Rena berulang kali," sahut Nurida sambil tersenyum, "Zena sudah hampir 7 tahun, jangan terlalu mengkhawatirkannya,"

"Kamu benar. Kalau begitu aku balik ke kafe dulu. Aku titip Zena ya! Terima kasih untuk semuanya," ucapku sebelum meninggalkan rumah Nurida.

🥀🥀🥀

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Saat Istri Mantan Menghubungiku   Bab 125 Tamat.

    "Sah" pekik sang penghulu yang langsung di sambut riuh para saksi. "Sah," Suara para saksi terdengar kompak disusul. lantunan do'a dari sang penghulu dan segera diaminkan oleh seluruh yang hadir di ruangan itu. "Alhamdulillah,," Suara lirih Rahma penuh syukur. "Iya Alhamdulillah ya Bun. Akhirnya Mas, Gibran menikah juga," sahut Serena sambil mengelus punggung wanita paruh baya itu. Rahma hanya menghela nafas dengan pandangan yang sendu kearah sepasang pengantin yang nampak bahagia dengan senyum sumringah di wajah keduanya. "Bunda, senyum dong. Pengantinnya mau minta do'a restu," ujar Serena saat Gibran dan Nurida mendekati sang Bunda untuk sungkem. Hari ini adalah pernikahan Gibran dan Nurida. Setelah satu tahun meminta berjuang akhirnya hari ini mereka bisa melangsungkan akad nikah dengan restu dari Rahma. Ya, awalnya Rahma menolak memberi restu Gibran menikahi sahabat Serena itu. Rahma menginginkan menantu yang statusnya sama dengan Gibran. Bukan seorang janda dengan satu ana

  • Saat Istri Mantan Menghubungiku   Bab 124 Sebenarnya Siapa Serena itu.

    "Ru rujuk? maksudnya?" tanya Serena menoleh pada Dirga. "Beberapa bulan yang lalu Anita mengajukan gugatan cerai pada Andika." Dirga menjawab pertanyaan Serena lalu mengalihkan pandangannya pada Hendrawan. "Bukannya perceraian mereka sudah di putuskan pengadilan?" "Iya tapi belum mengikrarkan talak. Selama perpisahan mereka Andika belum pernah mengucap talak." penjelasan Hendrawan mendapat anggukan mengerti dari Dirga. Serena hanya diam tanpa berniat berkomentar. Ia masih tidak percaya mendengar berita perceraian adik iparnya itu. Apalagi selama ini Hendra dan Mirna selalu membanggakan rumah tangga putri bungsunya itu sangat harmonis. "Rena, kenapa tamunya tidak di ajak masuk?" Rahma ikut keluar menyambut besannya itu. Dengan senyum ramah ibu Serena mengulurkan tangannya menyalami kedua orang tua menantunya itu. "Ayo silahkan masuk!" ajak Rahma menggiring besannya itu untuk masuk ke sisi lain ruang tamu yang memang di peruntukkan untuk menjamu tamu yang datang. "Maaf duduknya di

  • Saat Istri Mantan Menghubungiku   Bab 123 Acara tasyakuran rumah baru.

    Sudah dari kemarin Dirga dan Serena menempati rumah baru mereka. Tak ketinggalan Rahma dan Gibran juga keluarga kecil Indira ikut menginap sejak semalam. sudan dari selesai sholat shubuh Rahma sibuk mengatur persiapan acara ulang tahun sekaligus tasyakuran rumah baru putri bungsunya. Di bantu dua orang asisten rumah tangga ia sibuk di dapur. Rencananya pada jam 9 pagi akan diadakan pengajian bersama dengan mengundang para tetangga juga saudara dan teman-teman Dirga. Untuk ulang tahun Zena akan diadakan setelah dhuhur. Bukan hanya Rahma, Indira pun begitu. Kakak kedua Serena itu juga sibuk mengatur tempat dan bingkisan untuk para undangan. "Inah, kamu taruh semua bingkisan itu di depan. Di bawah tenda ya!" perintahnya pada seorang asisten rumah tangga yang baru di pekerjakan oleh Dirga sejak dua hari yang lalu. "Periksa juga bingkisan untuk undangan ulang tahun Zena! Jumlahnya kurang atau tidak?" sambungnya lalu berjalan menuju dapur. "Rena, cateringnya datang jam berapa? Acaranya

  • Saat Istri Mantan Menghubungiku   Bab 122 Rahma yang sudah tidak menahan diri lagi.

    "Siapa yang akan mengacaukan? Dirga bisa sesukses ini juga karena kita. Enak sekali keluarga Serena, tidak merasakan susahnya sekarang ikut menikmati hasil kesuksesan Dirga," gerutu Hendrawan. "Minta alamatnya. Minggu depan kita berangkat ke sana," "Apa Ayah Tidak malu bicara seperti itu?" Mirna menatap tajam suaminya. "Sudah lupa apa yang Ayah lakukan pada Dirga?" Pertanyaan Mirna sontak menyulut emosi di dada Hendrawan. Dengan rahang yang mengeras pria paruh baya itu membalas tatapan Mirna tak kalah tajam. Namun kali ini Mirna tidak takut apalagi segan. Ia sudah sangat jengah dengan dengan sikap dan perangai suaminya itu. "Aku pikir beberapa bulan ini kamu sudah berubah, tapi nyatanya aku salah. Kamu tetap egois dan tidak mau mengakui salah." "Apa maksudmu?" sentak Hendrawan emosi. "Apa perlu aku mengulangi perkataan Dirga dua tahun lalu? Apa perlu aku mengulik kesalahan suamiku yang tidak pernah mau kamu akui?" Mirna menarik nafas panjang untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya

  • Saat Istri Mantan Menghubungiku   Bab 121 Kejutan untuk Zena.

    Sekitar pukul setengah tujuh malam, mobil dirga memasuki pelataran rumah besar mertuanya. Serena membuka pintu rumah bersamaan dengan Dirga yang keluar dari mobilnya dengan membawa banyak bawaan di kedua tangannya. "Biar kubantu Mas," ujar Serena segera mendekat dan mengambil satu kotak besar dari tangan kanan Dirga. "Hati-hati itu kue ulang tahun untuk Zena," sahut Dirga sedikit khawatir. "Iya," jawab Serena tersenyum lalu berjalan masuk lebih dulu. "Dimana Zena?" tanya Dirga berjalan dibelakang Serena. "Zena lagi di kamar Bunda bersama Rendy dan Raka." Serena segera meletakkan kuenya di sisi meja makan. "Malam Ga," sapa Indira yang berjalan keluar dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Malam juga Mbak. Mana Mas Abimana?" sahut Dirga bertanya bersikap ramah."Tu," indira menunjuk ke arah ruang tengah. Dua orang pria duduk sambil berbincang. "Halo Ga," Abimana mengangkat tangannya menyapa yang di jawab anggukan oleh Dirga. Merasa sungkan Dirga hendak berjalan untuk

  • Saat Istri Mantan Menghubungiku   Bab 120 Bahagia setelah badai.

    Setelah sholat shubuh Dirga mendatangi ibu mertuanya untuk memberia tahu jika nanti malam dia akan membuat kejutan ulang tahun untuk putrinya. Dirga meminta Rahma untuk memberi tahu Indira dan Gibran untuk ikut datang. Sebenarnya Dirga ingin mengadakan pesta ulang tahun putrinya itu di rumah baru mereka namun dikarenakan rumah baru mereka belum siap untuk ditempati akhirnya Serena menyarankan untuk memberikan kejutan kecil dan nanti setelah rumah mereka sudah siap akan membuat pesta ulang tahun Zena bersamaan dengan tasyakuran rumah baru mereka. Setelah semua anaknya dan menantunya berangkat Rahma segera menelpon putri ke duanya untuk memintanya datang malam ini seperti permintaan menantu sulungnya. "Tentu saja kami akan datang Bun. Tanpa Bunda telfon aku dan anak-anak sudah berniat ke rumah Bunda sepulang sekolah nanti dan Mas Aby akan menyusul sepulang kerja. Kami tidak akan lupa dengan ulang tahun princess Zena," jawab Indira saat Rahma memintanya datang. Mendengar jawaban putr

  • Saat Istri Mantan Menghubungiku   Bab 119 Papa hanya punya Zena.

    "Kamu percaya sama aku kan? Aku bersumpah aku hanya menganggapnya teman. Kami bertemu hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran saja." Kembali ia berusaha menyakinkan istrinya itu. Ia tahu jika kediaman Serena karena masih ada kerguan di hati istrinya itu. "Kenapa dulu kamu tidak ingin berbincang dan bertukar pikiran denganku?" tanya Serena yang membuat Dirga terdiam lalu perlahan menegakkan kembali punggungnya. "Apa karena aku tidak enak diajak bicara?" "Karena aku bodoh. Aku tidak tahu caranya berbicara denganmu sehingga kita selalu berakhir dengan bertengkar," jawab Dirga dengan ekspresi khawatir.Dirga sangat menyesal mengapa harus membahas Meysa. Mungkin seharusnya ia tidak membahas sahabat lamanya itu. Ia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Serena kembali merenggang hanya karena seseorang yang sama sekali tidak penting bagi Dirga. "Hemm," Serena menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Pergilah mandi! Lalu keluar untuk makan malam." Kembali Dirga menghela nafas, mes

  • Saat Istri Mantan Menghubungiku   Bab 118 Mengulik mada lalu.

    Beberapa hari ini Dirga harus pulang terlambat karena harus menyelesaikan persiapan launching produk baru perusahaanya. Jika seminggu kemarin ia sampai rumah pada pukul 10 malam, namun hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sekitar pukul delapan malam Dirga sudah sampai di rumah. Serena segera menyambut Dirga begitu mendengar suara mobil suaminya itu memasuki pelataran rumah. Saat Dirga hendak masuk kamar nampak putrinya sedang belajar di ruang tengah. Zena terlihat sangat serius dengan buku-buku di depannya. Gadis kecil itu duduk di atas karpet dengan meja kecil yang menjadi tumpuannya. Zena sama sekali tidak menyadari kepulangan ayahnya. "Mandi dan ganti baju dulu, setelah itu baru menyapanya," ujar Serena setelah menepuk pundak Dirga yang berdiri di depan pintu kamar sembari memandang putri mereka yang sedang serius belajar. "Besok dia ada lomba matematika. Dia agak minder karena ini di Jakarta makanya ia sangat serius belajar," tambahnya bercerita. Dirga menoleh sambil mengerutkan

  • Saat Istri Mantan Menghubungiku   Bab 117 Dari hati ke hati.

    Serena menggeliat ketika tidurnya merasa terganggu sesuatu yang keras menempel erat di perutnya yang ramping. Satu tangannya meraba pada benda yang terasa keras dan berotot. Seketika matanya terbuka lebar saat ia sadar benda yang melingkar di perutnya adalah sebuah tangan kekar entah milik siapa? Serena mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Astaga.," pekiknya tertahan. Dirga memeluknya dari belakang. "Bikin kaget saja, kamu kenapa tidur di sini?" Serena memukul lengan kekar yang memeluknya itu. Masih dalam keadaan setengah sadar Dirga membuka matanya, "Apa Rena? aku ngantuk besok aja bicaranya," keluh Dirga dengan suara serak dan mata menyipit. "Kamu itu ngapain tidur disini?" tanya Serena. Meski sudah beberapa hari ini Dirga tinggal serumah dengannya tapi Serena belum mengizinkan Dirga untuk tidur satu ranjang dengan dirinya. Jika Dirga tidur dengan Zena maka Serena akan memilih tidur di kamar Bundanya. Serena beranjak bangun dari tidurnya. Dengan posisi duduk ia menatap

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status