Share

Bab 3. Memikirkan Kembali

"Kita pulang bareng. Cancel saja taksi online nya," suruh Mas Dirga sambil berjalan mengikutiku.

"Tidak perlu. Terima kasih," jawabku tegas dan singkat.

Aku berjalan cepat menuju taksi online yang sudah menunggu di depan rumah. "Jalan Pak," kataku pada sopir setelah aku dan Zena duduk di kursi penumpang.

Tidak sekalipun aku menoleh pada Mas Dirga.

Kesabaran ku rasanya sudah tidak bersisa lagi. Sudah selama delapan tahun aku mengalaminya. Jika itu tentang aku yang di hina dan di remehkan aku bisa terima. Namun jika sudah melukai perasaan Zena, aku tidak bisa lagi menahan amarah ku. Tidak sekali dua kali anakku di salahkan. Tidak sekali dua kali anakku mengalami bullyan Verbal di depan Mas Dirga, namun tidak sekalipun Mas Dirga membelanya.

Arzena Ayu Kinara, dia tidak seperti Raya yang sangat pandai bicara. Zena putriku gadis pendiam yang tidak suka berdebat. Dia lebih sering mengalah jika bertengkar dengan temannya. Bagaimana bisa berhadapan dengan Raya yang sangat pandai bicara dan pintar mencari alasan untuk membela diri.

"Ma. Nanti kalau Papa marah bagaimana?" tanya Zena menatapku sendu.

"Kenapa Papa harus marah?" Aku merangkul putri cantikku.

"Karena kita pulang duluan. Tadi tidak pulang juga gak papa, dari pada nanti Mama di marahin Papa lagi," sahutnya sedih.

Aku menghela nafas sepenuh dada. Aku lupa jika putriku sudah hampir 7 tahun. Dia pasti mengerti jika melihat aku dan ayahnya bertengkar.

"Mulai sekarang, Zena kalau gak suka boleh bilang gak suka. Kalau suka boleh bilang suka. Tapi, harus ada alasannya, mengerti?" kataku sambil menatap Zena.

"Mengerti Ma," jawabnya sambil mengangguk.

Aku mencium pipinya gemas, "Kesayangan Mama memang pintar," pujiku sambil tersenyum.

"Gak tinggi juga bisa pintar kan Ma?" tanyanya polos.

Hatiku serasa tercubit mendengar pertanyaan Zena. Ternyata selama ini aku benar-benar tidak bisa melindungi putriku sendiri.

"Tentu. Tentu saja semua orang bisa pintar kalau mau belajar," jawabku memaksa untuk tersenyum. "Zena itu juga tinggi lo! Teman Zena di sekolah ada kan yang lebih pendek dari Zena, itu yang nama Cecil," tambahku mengingatkan.

"Oh iya. Aku lebih tinggi dari Cecil ya Ma," ucapnya dengan wajah kembali sumringah.

"Tapi Om Andika sama Tante Anita, selalu bilang aku kalah besar sama Adik Raya. Badanku kurus," adu nya kembali bermuka masam.

"Lain kali kalau ada yang bilang Zena kurus, jawabnya gini, tumbuh itu keatas bukan kesamping." Aku mencoba untuk mengajaknya bercanda agar dia tidak kepikiran lagi dengan perkataan Andika dan Anita.

"Ok Ma. Nanti aku jawab gitu," jawab Zena mengangguk sambil tersenyum lebar.

Aku ikut tersenyum meskipun hatiku terasa sesak penuh dengan amarah. Aku baru menyadari jika selama ini Zena bukan tak peduli dengan ucapan Anita dan Dika, tapi gadis kecilku memendamnya. Hatiku sakit mengingat semua bulliyan verbal yang mereka lontarkan kepada putriku.

"Maaf Bu," ucap sopir taksi online yang aku sewa.

"Iya Pak," jawabku memandang pak sopir.

"Mohon jangan tersinggung Bu, saya tidak punya niat apa-apa. Saya hanya ingin mengingatkan saja, bahwa bullyan verbal itu bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak. Itu sangat tidak baik bu, jika terus terjadi si anak akan cenderung minder dan tidak percaya diri. Namun ada juga yang berdampak si anak akan ganti membully anak lain untuk melampiaskan amarah yang di pendam nya ketika dia mengalami pembullyan." Pak sopir memberi penjelasan tentang dampak pembullyan.

Mungkin dia mendengarkan pembicaraan kami tadi. "Iya Pak. Terima kasih sudah mengingatkan saya," ucapku sambil tersenyum memandang pada kaca depan mobil.

"Sama-sama Bu," balasnya. "Keponakan saya juga mengalaminya. Di keluarganya dia selalu di bully, di bilang paling jelek, nakal dan susah diatur. Saat dia SMA dia jadi tukang bully, bahkan mengakibatkan temannya meninggal," ceritanya yang membuatku langsung tercengang.

"Yang benar Pak?" tanyaku tidak percaya.

"Benar Bu, saat kejadian itu keponakan saya masih umur 16 tahun. Karena pasal perlindungan anak, keponakan saya tidak di penjara. Dia mendapat konseling dari psikolog anak. Dari beberapa kali konseling di ketahui keponakan saya itu dendam karena sejak kecil selalu mendapatkan bullyan Verbal dari orang sekitar nya." Pak sopir menjelaskan.

Aku merangkul Zena menciumi kepalanya. Mungkin ungkapan, orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti, itu memang benar.

Aku tidak ingin apa yang terjadi pada keponakan Pak sopir terjadi pada Zena. Aku tidak bisa lagi hanya berdiam saja, menunggu Mas Dirga berubah.

Sepertinya selama ini, aku memang sudah salah karena mengambil keputusan untuk bertahan. Aku berharap Mas Dirga berubah lebih memperhatikan perasaan Zena seperti janjinya dulu.

Namun sampai hari ini Mas Dirga tidakpernah berubah, dia sudah di butakan oleh kasih sayangnya kepada orang tua dan saudaranya sampai mengabaikan perasaanku dan putrinya.

Jika sudah seperti ini salahkah aku jika memilih untuk berhenti? Mas Dirga sudah berjanji akan lebih perhatian dan menyayangi Zena namun kenyataan nya aku lagi -lagi dikecewakan dengan janjinya.

Aku bisa terima jika aku yang di abaikan tapi Zena adalah darah dagingnya. Zena bukan hanya anakku dia juga putri kandung dari Dirgantara putra tapi mengapa begitu sulit Zena untuk mendapat perhatian Ayahnya sendiri.

đŸ„€đŸ„€đŸ„€

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Zena sulit untuk dapat perhatian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status