Share

Bab 6 Terserah.

Pov Serena.

Sudah satu bulan aku bekerja di kafe Mas Gibran, selama itu juga aku dan Mas Dirga masih saling diam. Mas Dirga selalu pulang malam namun aku tidak pernah bertanya atau mengirim pesan padanya untuk menanyakan kapan dia akan pulang?

Setiap hari aku berusaha belajar tentang cara menghandle sebuah kafe. Namun sesibuk apapun, aku tidak pernah lupa tugasku sebagai seorang ibu untuk Zena. Setiap kali di rumah aku menghabiskan waktuku untuk Zena. Baru setelah Zena tidur aku mengerjakan tugas yang aku bawa pulang.

sore ini aku sedang bercanda dengan Zena ketika Mas Dirga pulang. Entah apa yang membuatnya pulang lebih awal hari ini jika biasanya dia akan pulang pukul 8 malam berbeda hari ini laki-laki itu sudah terlihat memasuki rumah pada pukul 5 sore dia. Seperti biasa dia pulang membawa tas kerja dan tumpukan Map di tangannya.

Zena langsung turun dari sofa dan berjalan menuju kamarnya tepat ketika Mas Dirga bejalan masuk menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Zena. Mas Dirga sama sekali tidak menyapa atau menegur Zena padahal dengan jelas dia melihat putrinya itu berjalan didepannya.

Tiba-tiba hatiku terasa ngilu melihat sikap cuek Mas Dirga. Sontak aku berdiri, "Gadis kecil yang berjalan di depanmu tadi itu putri kandungmu," ucapku kesal. "Apa tidak sedikitpun kamu merindukannya?" tambahku mencibirnya.

Aku mengerutkan keningku, ketika melihat Mas Dirga tersenyum remeh, "BukanKah ini yang kamu inginkan? Zena tidak dekat denganku dan keluargaku? Karena kamu membenci keluargaku karena itu kamu doktrin Zena supaya ikut membenci keluargaku." Tuduhnya padaku yang seketika meruntuhkan semua rasa cinta yang aku bangun semenjak dulu.

Kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki depanku ini seperti hujaman pisau di jantung dan hatiku. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Bukankah dia sendiri sudah melihat seperti apa perlakuan keluarganya kepadaku dan Zena? Seburuk itukah aku di matanya? Baik jika memang seperti itu yang di pikirkannya.

"Kamu benar, aku ingin Zena tidak dekat denganmu jadi aku tidak perlu repot-repot bertahan 12 tahun lagi" ucapku mengingatkan perjanjian kami.

Mas Dirga menatapku tajam, rahangnya mengeras terlihat sekali dia begitu marah. Namun aku sama sekali tidak takut. Kali ini tidak ada air mata yang keluar dari mataku tidak seperti sebelum-sebelumnya setiap kami bertengkar aku pasti menangis dan mengiba agar dia memahami perasaanku.

Aku membalas tatapannya, "Semoga prasangka kamu menjadi kenyataan," ujar ku lalu berlalu menuju kamar Zena.

Inilah batas kesabaran dan penantianku. Aku tutup pintu kamar Zena, tidak lupa aku mengunci rapat untuk jaga-jaga Mas Dirga memaksa masuk karena emosi. Jujur aku takut jika sampai Mas Dirga emosi. Aku masih ingat pertengkaran terakhir kami, dia seperti akan menelanku hidup-hidup. Ku tarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku ulangi beberapa kali sampai aku merasa tenang.

Pandanganku beralih pada Zena yang sedang duduk di meja belajarnya, fokus pada buku di depannya. "Zena, sedang apa?" tanyaku berjalan mendekatinya. "Apa ada tugas sekolah?" sambung ku begitu sampai di samping Zena.

Zena mendongakkan kepalanya kepadaku, "Lagi mewarnai Ma," jawabnya menunjukkan gambaran seorang anak perempuan bersama ibunya yang belum selesai di warnai.

"Bagus banget, pinter ya Zena," pujiku sambil mengelus rambut panjang milik Zena.

"Besok harus di kumpulkan Zena lupa kalau belum di warnai," tuturnya sembari melanjutkan kegiatannya tadi.

"Kalau begitu Mama tinggal sholat dulu ya," kataku setelah mendengar suara adzan magrib berkumandang.

Aku beranjak setelah mendengar jawaban Zena.

Setelah sholat magrib aku mengajak Zena makan malam sambil melihat televisi. Aku sengaja menyuapi nya supaya lebih cepat selesai karena aku malas jika harus bersitegang dengan Mas Dirga lagi. Setelah selesai makan aku segera mencuci alat makan yang baru selesai aku gunakan.

Aku terkejut ketika hendak kembali ke ruang tengah, nampak Mas Dirga duduk di samping Zena mengajaknya bicara tapi Zena hanya menyahut dengan mengangguk dan menggeleng. Saat Zena melihatku dia langsung berdiri dan berlari ke arahku.

"Ma, gendong," pintanya mengulurkan tangannya padaku.

Aku terkejut melihat sikap Zena, ku alihkan pandanganku pada Mas Dirga. Terlihat dia menatapku tajam. Tanpa sadar aku menghela nafas panjang lalu menggendong Zena dan membawanya masuk ke kamar.

Mas Dirga pasti berpikir jika aku yang menyuruh Zena untuk menjauhinya. Terserah, aku sudah tidak peduli lagi. Apapun nanti hasil akhir dari pernikahan kami, aku akan tetap membawa Zena bersamaku.

🥀🥀🥀

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status