Senja sudah mulai menguning, pertanda hari sudah mulai petang. Arum mencoba membuat pisang goreng keju cokelat, dibantu Bibi Fatma, tangan Arum mengaduk pisang dalam pengorengan. Sesaat Levin datang, Arum tengah serius menuangkan adonan ke dalam penggorengan. setelah matang dia angkat dan ditaruh ke sebuah piring. Keadaan Arum sudah membaik, begitu pula dengan tangan kirinya yang kini sudah bisa digunakan walaupun masih agak kaku karena selama ini terbalut perban. "Rum, sibuk." Suara panggilan Levin tidak membuat Arum berhenti mengoles pisang dengan keju juga susu cokelat. "Rum," panggil Levin, lagi."Apa, Pak?" Arum menatap Levin dan tersenyum."Sudah dulu, nanti capek.""Iya, nanti. Tanggung, tinggal satu gorengan lagi." Levin menarik napas dengan kasar, ia tidak mau Arum sakit lagi, Arum dikagetkan oleh sebuah tangan besar di tangannya. "Istirahat dulu," sapa Levin berada di belakangnya. "Sebentar lagi pak? Ini cicipin dulu enak ga? " tanya Arum, sambil berbalik dan kini berh
Senyum mengembang dari Levin ke arah Arum juga sang Bibi, Arum dan sang Bibi hanya saling pandang. Kali ini mereka sudah dibohongi oleh Levin, Levin menyuruh pramusaji membawakan makanan untuk Arum juga Bibi Fatma. Tak seperti yang lain para tamu undangan mengambil sendiri. Ini khusus untuk Arum dan juga Bibi Fatma. Arum dan sang Bibi menikmati hidangan yang mungkin tak asing bagi Bibi Fatma namun, sangat asing dilidah Arum. Dengan pelan ia menikmati setiap sendok yang ia masukkan dalam mulutnya, begitu mengoda lidah. Malam semakin larut tiba saatnya pengumuman penyerahan perusahaan. Arum dan sang Bibi mendampingi Levin di bawah karena Levin yang meminta. "Baiklah kita sambut pemilik perusahan Cahaya groub Bapak Dibyo prambudi.Beliau adalah Presiden Direktur perusahaan."Suara gemuruh tepuk tangan terdengar dari sudut ruangan hotel. "Terima kasih sudah hadir memenuhi undangan kami, akhir-akhir ini Perusahaan kita berkembang pesat sejak tiga tahun terakhir ini. Baru-baru ini aku me
Pria paruh baya itu mengangguk. "Iya dialah Mama kamu Levin."Deg ... seolah Arum begitu terkejut, inikah jawabannya, Levin adalah kakak kandungnya."Apa ... maksud, Papa?" tanya Levin tak percaya."Iya, Nak beliau mama kamu yang kita cari selama ini," jawab pak Dibyo. Levin mendekat mengulurkan tangan yang gemetar, ia langsung memeluk Bibi Fatma dengan sangat erat. "Mama...."Sambut wanita itu tersenyum hangat. "Kau sudah besar, Nak, maafkan mama tidak bisa menjagamu.""Jadi, Arum itu, Ma...." Kalimat Levin terputus. Bibi Fatma menangis, ia tak sanggup untuk bicara jujur. Ia takut jika luka Arum semakin dalam lagi jika mengetahui jati dirinya. "Dia, adik kamu, Levin." Pak Dibyo terlihat tulus dan mengahmpiri Arum lalu memeluknya. "Tidak, Pa...." Elak Levin. "Iya, Lev. Papa tahu jika mama kamu pergi dulu dalam keadaan mengandung.""Apa ... tidak aku mencintainya, Pa!" Teriak Levin. Sungguh, Levin tak bisa berkata-kata lagi. Semua kalimat yang sudah tersusun rapi, lenyap seketika
Cahaya matahari, menerobos masuk melalui celah-celah dinding jendela yang begitu mewah dari atas kamar hotel. Arum sudah terbangun. Ia berjalan ke arah balkon hotel , kakaknya Levin tertidur disova berselimutkan jas yang ia pakai semalam. Ketika Arum memanggil dan menggoyangkan tubuh Levin, ia merubah posisi tidur menghadap tembok dan menarik jas sampai leher."Mas, Levin!" Panggilan itu nyaris pelan, membuat Levin begitu terluka. Membayangkan jika nanti ia selalu dibangunkan Arum. Saat menjadi istrinya, namun sekarang hanya akan menjadi bayangan belaka. "Mas! Mas Levin! Sudah siang!" lirih Arumi seraya menarik jasnya dengan pelan. "Malas, lah, hari minggu juga, Rum." Levin tanpa membuka mata."Jadi, Mas mau disini saja?" "Ya, aku mau tidur seharian, dan aku tak peduli."Arum tahu hatinya sedang terluka, namun seiring berjalannya waktu pasti ia akan mengerti dan luluh. "Ya ampun, Mas ayolah!" ajak Arum gemas kemudian menarik paksa lengan kakaknya. Arum beeusaha membangunkan Lev
Arum membiarkan semilir angin membelai lembut wajahnya. Desirannya sungguh merdu terdengar, ditambah deburan ombak yang memecah pantai. Perpaduan keduanya bak alulan musik yang menentramkan jiwa. Menghadirkan simpang yang begitu syahdu. Senja mulai menguning suasana pantai terlihat begitu indah ketika sunset terlihat dari tepian pantai. melihat laut terbentang luas juga udara yang begitu menyejukkan hati, kebersamaan Arum dan keluarganya adalah momen yang sangat indah, Levin mengabadikan kebersamaan dengan foto bersama. Arum masih duduk memandang sunset, rasa nyaman dan hangat kembali hadir. Arum merasakan kenyamanan yang luar biasa. Ia beranjak berdiri dan berjalan melewati pasir, ia berjalan tanpa alas kaki, Arum menenteng flatshoes dipinggir pantai. Sementara Levin memperhatikan dari jauh dan masih merasakan detak jantung yang naik turun tak beraturan. Perempuan berwajah cantik itu masih diam, menatap jauh lautan yang tak bertepi. Lelehan air mata sesekali meluncur di pipi mulus
"Baiklah kami pergi dulu, Mas. Naura Tante pergi dulu ya."Gadis kecil itu cemberut. "Ya, Tante kok pergi sih," jawab Naura sedih. "Ya nanti kan bisa ketemu lagi."Gadis kecil itu mengulas senyum. Serius Tante, nanti mau ketemu Naura dan Papa lagi," ucap Naura pada Arumi senang. "Iya, pasti itu.""Baillah, Tante." Naura memeluk tubuh wanita yang sangat ia sayangi. "Mas Rum, pergi dulu ya."Elang mengangguk. "Iya, Rum.""Dah Tante cantik."Arum membalas dengan melambaikan tangan. Arum berjalan di samping Levin. Ada rasa cemburu yang begitu mendalam, namun Levin terlihat tenang. "Rum, siapa dia tampan sekali wajahnya juga seperti artis korea?" tanya Levin menggoda adiknya. Arum menghela nafas berat. "Selama ini, Mama kerja di luar negeri, jadi dia yang selalu ada buat Arum, yang menjaga Arum pas lagi sakit, ya kami berdua berjuang hingga saat ini ia sudah menjadi sukses. Dia kakak Arum, mas.""Oh. Terus...."Dada Levin terasa terhimpit, sepertinya kalimat itu serupa belati yang m
Bulan purnama telah menampakkan dirinya dilangit yang gelap, cahaya bulan purnama menerangi bumi. Mereka berdua menatap langit nan jauh di sana sedikit bintang yang memenuhi langit. Sekilas Elang menatap wajah Arumi yang makin hari makin dewasa dan cantik. Ia tersenyum dan kembali menatap langit lagi. "Ada apa ya, itu disana kok rame sekali, Mas?""Entahlah, kita lihat yuk."Arum mengangguk. "Ayo."Mereka berjalan ke arah ramai anak-anak muda. Ternyata kata meteka hari ini akan ada pesta kembang api. Arum tersenyum bahagia, dan memegang erat tangan Elang. Menanti kembang api dinyalakan. Mereka duduk berdampingan sambil melihat berbagai permainan para anak muda. Elang menghirup aroma yang menenangkan dari rambut Arum. Lalu ia menoleh ke samping menatap wajah cantik Arhm di bawah sinar rembulan juga lampu hias. 'Ternyata masih sama, ia sangat cantik' gumamnya dalam hati sembari tersenyum dan kembali melihat lalu lalang para pengunjung. Kini mereka ada di pesta kembang api, saat kemb
"Mas, aku rindu, malam ini menginap disini ya?" tanya Hani bergelayut manja dalam pelukan lelaki bertubuh kekar itu. "Maaf, Hani ... aku capek. Lain kali saja," tolak Damar perlahan, merenggangkan pelukan Hani di tubuhnya. Wajah tampan Damar sedikit ditarik saat Hani berusaha mengecup bibirnya."Terus kapan, Mas ... aku rindu, sudah lama kita tak pernah bertemu." Hani bangkit dari tempat tidur dan menggigit bibir dengan rasa kecewa yang dalam."Jangan, hari ini."Hani megusap rambut yang menutupi kening dan separuh matanya. Lalu ia menguncirnya dengan tali, saat ia sadar ada butiran halus menetes dipipinya. Hani menangis. Betulkah? Serapuh inikah? Dirinya perlahan bangkit dengan langkah gontai menuju cermin. Menatap wajahnya yang kini berurai air mata."Kau anggap apa aku ini mas?" tanya Hani terbata. Damar terdiam. Merasai sesak di dalam dadanya. "Kenapa, Hani. Kenapa sekarang kau banyak menuntut," jawab Damar seasalnya. "Karena aku inginkan dirimu, Mas." Hani terus menangis. "