Tangan ini terasa kaku untuk menandatangani berkas ini. Rasanya baru kemarin kami bercengkrama dan memilki Anita yang lahir kedunia. Namun, aku sama sekali tidak menyangka jika saat ini Ayu sedang menggugat perceraian kami.Rasanya ingin sekali aku tidak menandatangani ini dan memintanya kembali. Namun, jika mengingat ia bersama Pak Erik dan Pak David, rasanya aku sangat muak.Ponsel bergetar tanda pesan masuk. Gegas aku mengambilnya dari saku. Ternyata pesan dari Arman. Sebuah undangan bertuliskan nama Pak Erik.Gegas aku membaca nama mempelai wanitanya. Ya Allah, namanya bukan Ayu. Melainkan Diah. Jadi, selama ini aku salah paham?[Bro, ada undangan dari Pak Erik. Itu nama bukan nama bini Lo, kan?]Jelas bukan nama Ayu. Lalu, masalahnya apa Arman bertanya itu.[Bukan, emang kenapa?]Kukirim lagi pesan untuk Arman.[Hahaha ... jadi, lo sia-sia udah ngamuk, eh di pecat. Ternyata, salah paham. Lo
POV AyuSempat berpikir untuk kembali, tapi sekali lagi mengingat begitu jahatnya tuduhan ibu mertuaku. Lagi, aku memilih untuk tetap menggugat perceraian dengan Mas Damar.Seakan menyesal, tapi kucoba ingat kembali sebuah luka yang membuat Ibuku masuk ke rumah sakit.Sempat luluh dengan ucapannya tadi. Namun, kembali pada niat awal untuk pergi dari sebuah ketidak nyamanan. Kalau harus diteruskan, suatu saat pasti akan ada kejadian yang sama terjadi.Dari pada semua terulang kembali, aku memilih tetap pergi. Biarkan dia tetap menjadi milik ibunya. Anak-anak juga bisa mandiri tanpa dia."Yu, anak-anak di bawa Damar?" Ibu datang dan langsung mengintrogerasi aku."Iya." Aku menjawab datar."Itu, kalau nggak dipulangi bagaimana? Aduh, kok kamu bisa-bisanya kasih mereka ke Damar," oceh ibu cemas."Lah, kan dia bapaknya. Nggak apa-apa, Bu. Nggak mungkin dia mau mengurus ana
Aku kembali berkutik dengan pekerjaan baru setelah kemarin bergulat dengan perasaan tak menentu. Di kantor baru semoga aku mendapatkan hal baru yang membuat aku lupa pada Ayu. Segera kukerjakan pekerjaan yang kemarin belum selesai.Erika berulang kali mengirimi aku pesan untuk makan siang. Baru saja jam menunjukan pukul 09.00 dia sudah kelaparan saja. Gegas aku kembali berkutik dalam pekerjaan.Dering ponsel berbunyi, tetapi aku malas mengangkatnya. Sepertinya penting, tapi itu dari Ibu. Pasti menyangkut uang lagi.Tidak lama Ibu mengirim pesan.[Mar, beras di rumah Ibu habis. Nanti kamu mampir belikan, ya]Sebenarnya malas menjawab, tapi aku juga tidak bisa cuek pada ibu.[Ya, nanti aku ke sana.][Ibu tunggu, ya]Aku kembali mengerjakan pekerjaan. Namun, Bu Irma memanggilku ke ruangan Audit. Gegas aku menemuinya."Kamu mau ke mana, Mar?" tanya Erika saat bertemu aku
Damar terus berpikir dengan keras bagaimana bisa ia berada di hotel dengan Erika. Sementara, Erika sedang menikmati kemenangannya.Pria berdasi hitam itu mengacak-acak rambut frustasi. Dirinya sampai mengabaikan sang ibu dan berada di hotel. Yang diingatnya ia berada di kelab malam dan semua terjadi dengan tiba tiba saja.Janjinya pada Erika membuat ia tak bisa tenang. Belum terpikir jika ia akan menikahi wanita itu. Namun, akibat kejadian semalam ia harus berjanji menikahinya.Wajah suntuk membuat Damar terlihat kusut. Beberapa kali Ibunya menelepon mengingatkan dirinya kalau jangan lupa untuk datang.Sial sekali dirinya, baru kali ini ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Mengutuk perbuatannya pada Erika. Ketuk palu saja belum terjadi, ini malah sudah berjanji akan menikahi wanita itu."Kamu kusut banget," sapa Wawan teman kantor."Iya, nih, Wan. Mau ngopi dulu, deh." Damar beranjak ke luar untuk
Asih sudah ditangani pihak rumah sakit. Saat di rumah, Erika meminta Damar gegas membawanya cepat untuk ditindak. Melihat Asih yang begitu kesakitan, Damar langsung membawanya ke rumah sakit.Mendapat kabar Asih pendarahan, Laras langsung datang ke rumah sakit tempat Asih di rawat. Ia gegas menghampiri sang ibu dan Damar."Asih kenapa?" tanyanya panik."Ibu juga nggak tahu, tiba-tiba saja dia berteriak. Saat kami lihat sudah seperti itu." Sang ibu mencoba menjelaskan.Wajah Laras masam saat melihat Erika bersama Damar."Ngapain dia ada di sini?" Laras menunjuk Erika."Mba, sudah, jangan ribut. Ini rumah sakit, Erika aku yang ajak ke sini," ujar Damar.Anton menenangkan sang istri agar tidak membuat kegaduhan. Pria itu tahu jika Laras begitu membenci Erika."Benar kata Damar. Ini rumah sakit, kamu jangan buat keributan." Sang ibu menambahkan.Laras akhirnya mengalah dan diam. Namu
Ayu masih mengerjakan proyek milik perusahaan David. Beberapa karyawan pria tak henti menatap wajah cantik calon janda Damar itu. Dengan hijab senada dengan blousenya, Ayu nampak mempesona.Sementara, Erika sudah mendengar desas-desus karyawan laki-laki yang membicarakan Ayu. Ia tak mau kalah dengan saingannya itu, walau sudah bercerai dari Damar, dirinya mau terlihat lebih cantik dari Ayu."Sebagus apa sih, perawatan dia. Paling harga murah." Erika berdialog sendiri.Kebetulan Erika mendapat bagian untuk menyelesaikan beberapa berkas bersama Ayu. Saat sedang sibuk, ia malah memasang telinga untuk mendengarkan pembicaraan Ayu dan Irma."Bu Ayu kulitnya mulus sekali, kaya kulit bayi deh." Bu Irma memuji Ayu."Perawatan biasa, kok. Paling ke salon sama ya, cream wajah aja," ujar Ayu."Wah, pasti suaminya baik jadi mau memberikan uang lebih." Lagi, Bu Irma seperti mengintrogerasi Ayu.Ayu melirik k
"Aku sudah bilang, kalau ada apa-apa atau Asih hamil, jangan mencariku."Dengan kesal Laras mematikan telepon dari sang ibu.Anton menghampiri istrinya, ia paham jika Laras sangat terpukul melihat adiknya seperti itu. Namun, kekecewaan dirinya membuat ia tak mau tahu urusan Asih."Sabar, bagaimana pun dia ibumu. Dan Asih adikmu. Kamu nggak boleh begitu, kasihan Asih buruk dukungan dari kamu juga Kakaknya." Dengan lembut Anton mengusap punggung Laras."Mas, tapi ibu sejak dulu nggak bolehin aku mendidik Asih, tinggal sama kita biar kita yang urus karena ibu ngurus bapak yang sakit-sakitan. Katanya biar ibu saja, dimanja terus. Nah, nyatanya, lihat, kan?" Laras terus saja mengomel.Anton juga tidak bisa menyalahkan Laras. Karena kekecewaannya pada sang ibu, membuat ia tidak mau ikut campur masalah Asih. Sudah seperti itu, keluarga yang repot Jika mengandalkan Damar, hanya materi yang dikasih."Tapi kamu kayanya harus
Persidangan perceraian Ayu dan Damar berlangsung cepat. Tidak membutuhkan waktu lama karena Damar tidak hadir dalam persidangan. Begitu juga Ayu, dia tidak datang dalam persidangan keduanya.Ketuk palu pun sudah sah setelah beberapa bulan persidangan. Mereka resmi bercerai, hak asuh menjadi milik Ayu dan Damar wajib menafkahi mereka.Ayu bernapas lega, kini ia menyandang single parent. Ibu kuat yang harus memenuhi kebutuhan kedua anaknya. Ada kesepakatan antara dia dan Damar untuk nafkah anak mereka. Namun, Ayu tidak yakin Damar akan memenuhinya."Sudah lega, Yu?" tanya David saat menghampiri meja kerja Ayu."Lega apanya?" Ayu mengangkat kepala."Sah jadi Janda." Kedua alis David terangkat, seolah-olah menggoda Ayu."Sial, kamu. Senang aku jadi janda?""Hmm ... bagaimana, ya? Hahahah ...."David hanya tertawa melihat Ayu merengut kesal. Menurutnya, Ayu sangat menggemaskan