Malam itu, suasana di rumah Alexa terasa berbeda. Sejak insiden kecil di koridor tadi sore, ada jarak yang tidak kasatmata antara dirinya dan Alvaro. Mereka makan malam bersama, tapi obrolan terasa kaku, hanya sebatas komentar singkat tentang makanan dan pekerjaan. Alexa menatap piringnya, memutar garpu tanpa benar-benar makan. Sementara Alvaro lebih banyak diam, sesekali meliriknya. Akhirnya, Alexa meletakkan garpu dengan suara beradu yang cukup nyaring. “Kau marah padaku?” tanyanya lirih. Alvaro mendongak. “Aku tidak marah. Aku hanya… khawatir.” “Khawatir tentang apa?” Alexa menahan napas. “Rendy.” Suara Alvaro datar. “Aku melihat cara dia menatapmu. Dan aku juga melihat kau tidak benar-benar bisa mengabaikannya.” Alexa terhenyak. Dadanya terasa sesak. “Kau salah. Aku tidak ingin dia kembali dalam hidupku.” “Tapi matamu mengatakan hal lain, Lex,” jawab Alvaro pelan. Air mata menggenang di mata Alexa. Ia benci karena kata-kata Alvaro menyinggung luka yang paling rapuh
Pagi itu, Alexa terbangun lebih cepat dari biasanya. Matanya masih sembab karena tangis semalam, tapi ia memaksa dirinya bangkit. Ia tahu, kalau ia terus larut dalam kesedihan, Nadine akan semakin berhasil. Ia berjalan ke dapur, menyiapkan kopi, berusaha menata hati. Ketika Alvaro keluar dari kamar, ia mendapati Alexa sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di depan. “Tidurmu bagaimana?” tanya Alvaro lembut. Alexa tersenyum samar. “Cukup. Aku mencoba tidak memikirkan banyak hal.” Alvaro duduk di hadapannya. Ada ketegangan yang belum sepenuhnya hilang, tapi tatapan matanya menunjukkan ia ingin memperbaiki semuanya. “Lex, aku minta maaf karena membuatmu merasa diragukan. Aku hanya… terlalu hati-hati.” Alexa menunduk, mengusap bibir cangkir. “Aku mengerti, Al. Tapi aku juga ingin kau percaya padaku sepenuhnya. Kalau tidak, kita akan selalu terjebak dalam permainan Nadine.” Alvaro mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Alexa. “Mulai hari ini, kita hadapi dia bersama.
Alvaro membaca pesan yang baru saja masuk di ponselnya. Foto itu jelas: Alexa berdiri di pintu, Rendy di depannya dengan senyum samar. Sekilas tampak seolah mereka berbincang akrab. Rahangnya mengeras. Ia tahu Nadine sedang bermain, tapi rasa tidak nyaman tetap menyelinap. Ia menatap layar cukup lama hingga Alexa menyadarinya. “Kenapa?” tanya Alexa pelan, melihat ekspresi Alvaro yang berubah. Alvaro menoleh, menyembunyikan ponselnya cepat. “Tidak, bukan apa-apa.” Alexa mengernyit. “Al… aku tahu ada sesuatu.” Sejenak Alvaro ragu. Ia tidak ingin menyakiti Alexa dengan memperlihatkan provokasi Nadine, tapi ia juga tidak ingin menyembunyikan apa pun. Ia menarik napas panjang lalu menyerahkan ponsel itu. Alexa membaca pesan singkat Nadine, lalu melihat foto yang terlampir. Jantungnya seolah berhenti sesaat. Wajahnya memucat, lalu ia menggeleng keras. “Ini tidak seperti yang terlihat.” Alvaro menatapnya dalam, mencoba membaca ketulusan di matanya. “Ceritakan padaku.” Alexa menutup ma
Malam itu, Rendy menyetir tanpa tujuan jelas. Jalanan gelap hanya diterangi lampu kota yang berpendar samar di kaca mobilnya. Ucapan Alexa tadi terus menggema di kepalanya: “Aku sudah cukup lama menyesal karena percaya padamu.” Tangannya menggenggam setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah bercampur penyesalan membuat dadanya sesak. Ia tidak pernah menyangka Alexa akan berani berkata seperti itu, apalagi di depan pria lain. Ponselnya bergetar di jok samping. Nama yang tertera membuatnya mengernyit—Nadine. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya menekan tombol hijau. “Apa maumu?” suaranya dingin. Di seberang, suara Nadine terdengar manis tapi menusuk. “Tenang saja, aku menelepon bukan untuk menghinamu. Aku ingin membantumu.” “Aku tidak butuh bantuanmu.” “Oh, kau yakin?” Nadine terkekeh pelan. “Karena dari yang kulihat tadi, kau bahkan tidak bisa menahan istrimu sendiri. Dia memilih berpihak pada Alvaro, bukan padamu. Sakit, bukan?” Rendy menggertakkan gigi. “Kau t
Alexa menatap Rendy yang masih menggenggam ponselnya erat, wajah pria itu penuh amarah. Jemari Alexa bergetar, mencoba merebut kembali, tapi genggaman Rendy terlalu kuat. “Ren, kembalikan ponselku,” ucapnya lirih, suaranya nyaris pecah. “Untuk apa? Supaya kau bisa bicara mesra dengan dia?” tatapan Rendy menyalakan api yang sulit dipadamkan. “Aku suamimu, Lex. Bukan dia.” Air mata Alexa jatuh, tapi bukan lagi karena rasa bersalah. Kali ini karena marah, kecewa, sekaligus lelah. “Kalau kau benar-benar suamiku, kenapa kau memilih Nadine malam itu? Kenapa kau biarkan aku sendirian?!” Rendy terdiam sepersekian detik, tapi sorot matanya tetap keras. “Aku… aku hanya khilaf. Itu tidak berarti apa-apa.” “Khilaf?” Alexa hampir tertawa pahit. “Bersama wanita lain, masuk ke hotel, dan kau menyebut itu khilaf? Jangan hina aku dengan alasan murah itu, Ren.” Ketegangan memuncak. Saat itu, suara bel rumah kembali berbunyi. Rendy menoleh, wajahnya menegang. Alexa buru-buru melangkah ke pint
Setelah malam gala itu, Alexa sulit tidur. Kata-kata Nadine terus terngiang di telinganya, membuat dadanya sesak. Ia berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar yang gelap. Selimut tak lagi memberi hangat, justru terasa menekan seperti beban. Ponselnya tergeletak di meja samping. Jemarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia menekan nomor Alvaro. “Lex?” suara di seberang terdengar berat, jelas Alvaro baru saja terbangun. “Ada apa? Kau baik-baik saja?” Alexa menggigit bibir. “Aku… tidak bisa tidur. Aku merasa dia—Nadine—akan melakukan sesuatu.” Hening sebentar sebelum Alvaro menjawab, suaranya mantap. “Kalau kau merasa tak aman, aku bisa datang sekarang.” Alexa tertegun. “Sekarang? Tapi sudah tengah malam…” “Aku tidak peduli jam berapa. Katakan saja kalau kau ingin aku di sana.” Hati Alexa menghangat mendengar ketegasan itu. Tapi ia juga dilanda rasa bersalah—seolah menyusahkan Alvaro. “Tidak perlu, Al. Aku hanya… butuh mendengar suaramu.” Alvaro terdiam sebentar, lalu b