“M-maaf,” gagap Bapak gelagapan sambil tertunduk lesu. Bapak dan Ibu sekarang kompak menunduk sambil menaruh kedua tangan mereka di depan. Keduanya tak berkutik sama sekali. Jangankan melawan, sekadar mendelik saja, kelihatannya mereka gentar. Mas Rian yang telah berganti pakaian menjadi piyama lengan pendek warna biru milik rumah sakit itu kelihatan pucat sekali. Kulihat, di pelipis kanannya juga ada luka lecet yang berwarna cokelat, mungkin karena dibubuhi betadine. Ekspresi suamiku sangat memelas, seperti minta untuk dimaafkan. “Jadi, aku mau tanya ke kamu, Rian. Tolong jawab jujur. Kalau tidak, anak buahku, Elia, tak akan segan membocorkan kepalamu!” Pak Hanan menuding wajah suamiku dengan telunjuknya. Suamiku makin tersudut. Lelaki itu kian ketakutan dengan kedua mata yang dia pejamkan rapat. Ibu bapaknya kelihatan tidak terima dan sekarang malah saling pandang. “Duit tiga puluh juta itu, sebenarnya buat ap
“P-pak, tolong jangan buat masalah ini makin—” Ocehan Ibu yang disambil dengan cucuran air mata itu pun langsung dibantah oleh Pak Hanan, “Diam Anda!” Aku ikut tersentak mendengar bentakkan bosnya Mas Rian tersebut. Malah aku yang merasa sangat malu dan tak sanggup untuk memperhatikan raut muka Ibu. Masalah ini terasa makin pelik pastinya bagi Mas Rian sekeluarga. “Laki-laki penjudi seperti ini terus Anda bela? Sebagai seorang ibu, otak Anda ditaruh di mana?” Pak Hanan menunjuk-nunjuk pelipisnya dengan muka menyeringai. Kulihat sekilas, Ibu tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia menangis sesegukkan sambil menutupi wajahnya dengan lengan kanan. Ada rasa puas di hatiku melihat orang yang tadi sibuk mencaci maki diriku, kini terpuruk hancur. “Rian, kamu saya pecat!” Pak Hanan menuding muka Mas Rian. Suamiku pun kini ikut menangis. Air matanya sebak membasahi wajah yang pucat pasi serta luka-luka itu. Apakah a
“Rian yang lebih duluan menarik jilbabku. Dia yang hendak menarikku dari atas ojeg. Apa maksudnya melakukan itu, kalau bukan untuk mencelakaiku duluan?!” Aku sampai berkacak pinggang menghadap ke arah Mas Rian. Pria itu tak berdaya sama sekali. Dia hanya bisa menangis sesegukan tanpa bunyi suara sama sekali. “Rian, kita cerai! Aku akan segera mengurus berkas-berkasnya. Jangan kira karena aku miskin begini, aku tidak mampu hidup tanpa kamu!” Puas sekali aku menumpahkan segala kekesalanku kepada pria yang sebentar lagi akan menyandang status duda tersebut. Usia kami memang sangat muda. Aku 22 dan Mas Rian sendiri 24. Namun, aku sungguh rela menjadi janda di umur yang sangat belia ini, demi menjaga kewarasanku. Baru enam bulan menikah saja, Mas Rian sudah menyimpan banyak dusta. Apalagi jika rumah tangga ini dipertahankan sampai enam tahun lamanya? “Jadi, semua sudah jelas di sini. Rian, silakan ambil uang dua puluh j
“Elia, terima kasih untuk bantuanmu. Sisa fee-mu sudah kutransfer.” Pak Hanan memperlihatkan layar ponselnya ke depan wajah Elia. Elia langsung memeluk lelaki berkulit putih yang berdiri di sebelahku itu. Kini, kami bertiga tengah berbincang di halaman parkir, tepatnya di depan sedan BMW putih milik mantan bosku, Pak Hanan. “Aku yang terima kasih, Bos. Kalau ada apa-apa lagi, tolong hubungi aku segera, Bos. Sebenarnya, upah yang Bos kasih terlalu besar untuk pekerjaan sesepele tadi,” sahut Elia seraya menepuk-nepuk pundak Pak Hanan. Aku tak mau ikut campur urusan mereka. Hanya diam mematung saja. Sesekali kucuri pandang ke arah keduanya yang memang sejak tiba di sini, sibuk membicarakan masalah ‘pekerjaan’. Pekerjaan apalagi kalau bukan yang tadi. Jadi, Elia diupah oleh Pak Hanan hanya untuk menakut-nakuti Mas Rian sekeluarga. Sebenarnya, tanpa membawa Elia pun, mereka sudah keder duluan sebab melihat kemurkaan pemilik JNR cabang
Pak Hanan membawaku ke menuju rumah miliknya yang berada di sebuah kawasan pemukiman elit di bilangan kota ini. Satpam yang berjaga di gerbang masuk tampak tersenyum tatkala Pak Hanan menyapanya dari balik kaca mobil. Lelaki berseragam putih-biru dongker yang mengenakan topi bertuliskan ‘security’ itu kelihatan menatapku agak aneh ketika aku ikut mengangguk ramah ke arahnya. Batinku, mungkin penampilanku yang awut-awutan inilah yang jadi penyebab. Jangankan Pak Hanan. Sekuriti penjaga gerbang perumahan saja sampai terkaget-kaget ketika melihat mukaku. Mungkin, di mata orang-orang yang terbiasa menatap wanita-wanita bersih nan cantik ini, wujudku tak ubahnya seperti gombal amoh alias kain perca untuk lap meja dapur yang kotor. Hiks, betapa menyedihkan diriku ternyata. Seperti kata Pak Hanan tadi, pokoknya habis ini aku harus mandi! Setelah melewati portal yang dibukakan oleh sekuriti tadi, mobil sedan Pak Hanan terus melaju di jalan perumahan y
“Bacot! Aku masih istrimu. Rumah ini juga sebenarnya adalah hakku!” pekik Bu Jelita dari dalam kamar. Suara pertengkaran mereka begitu menggema ke seluruh penjuru rumah yang membuat aku sebagai tamu auto merasa keder sendiri.“Hakmu? Hak kepala bapakmu! Kamu menikah denganku hanya bawa celana dalam dan kutangmu saja. Jangankan rumah, menghasilkan uang saj akamu tidak pernah!” Pak Hanan membalas ucapan sang istri dengan kalimat pedas nan tajam.Mendengar hujatan Pak Hanan, seketika kakiku gemetar. Trauma akan pertengkaran yang terjadi di antara aku dan mertuaku tadi pagi tiba-tiba mengantui lagi. Ditambah dengan pekik jerit Pak Hanan dan sang istri, rasanya mentalku langsung down.“Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah kupungut kamu dari dalam got, setelah merasa dirimu berharga seperti intan berlian, kamu malah jadi pengkhianat! Cepat keluar dari rumahku, perempuan jalang!” maki Pak Hanan sambil mendobrak pintu kamarnya.“Astaghfirullah,” gumamku sambil memejamkan mata.Tubuhku teras
“Dia hanya pembantu, kan? Bukan perempuan yang mau kamu gunakan untuk membalas dendam?”Bu Jelita bicara lagi. Sudah babak belur pun, kulihat keangkuhannya masih begitu paripurna. Dari nada bicara dan delikan matanya, jelas dia sedang merendahkanku.Kuhapus cepat air mataku yang membasahi pipi. Rasanya tidak perlu lagi aku mengasihani Bu Jelita. Perempuan kasar dan sombong itu sepertinya memang pantas mendapatkan ‘hadiah’ baku hantam dari suaminya.“Apa urusanmu, Lita? Kamu tidak ada hak lagi untuk menanyakan tentang apa yang akan kuperbuat. Sekarang, tinggalkan rumahku!” hardik Pak Hanan sambil berjalan ke arahnya.Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat jelas bahwa kaki Pak Hanan menendang pelan ke betis mulus milik Bu Jelita yang memang mengenakan mini dress berwarna salem tersebut. Bu Jelita pun langsung menyibak rambut panjangnya yang sudah acak-acakkan dan hampir menutupi wajah cantiknya yang kini biru-biru karena tamparan. Perempuan itu mendongak sambil memperhatikan Pak Hanan pe
Aku putuskan untuk segera mandi agar Pak Hanan tidak terlalu lama menunggu di bawah. Tentu sebagai pembantu baru, aku tak mau mengecewakan beliau. Perlu kuingat bahwa sekarang aku tak punya tempat tinggal untuk bernaung, selain rumah Pak Hanan ini. Saat masuk ke kamar mandinya yang cukup mewah untuk ukuran orang susah sepertiku, aku dibuat takjub kala menemukan pemanas air. Kalau tidak salah namanya water heater. Jadi, di kamar mandi plus toilet ini terdapat shower air panas dan air dingin. Masyaallah, gumamku dalam hati. Ternyata tak seperti yang kuduga sebelumnya. Hidupku tak melulu sengsara, meski kini harus ikut dengan Pak Hanan yang agak tempramental tersebut. Di bilik mandi yang disekat dengan kaca tebal itu aku mandi dengan kucuran air hangat. Kepalaku yang lengket karena belum keramas tiga hari pun langsung terasa segar luar biasa. Aku baru sadar akan kebenaran protes dari Pak Hanan. Wajar kalau majikanku itu bilang ada b