BAB 4
Selamat Tinggal!
Mas Rian tak terima akan sikapku. Tangan pria yang menyembulkan urat-urat berwarna kehijauan itu pun mencengkeram lenganku erat. Tentu saja langsung kutepis kasar.
“Lepas!” sergahku berang.
“Nggak! Aku nggak mau ngelepas kamu!” bentaknya balik.
Mata suamiku yang kerap menatap sendu, kini berubah garang. Manik hitamnya membeliak besar. Seakan aku ini musuh lamanya.
“Kalau ternyata aku hanya dinikahi karena kalian mengincar harta warisan, itu nggak bakalan kalian dapat, Mas! Jadi, lepaskan aku sekarang dan biarkan aku pulang ke kampung halamanku!”
Aku berteriak nyaring. Tak peduli akan sesakit apa tenggorokanku. Yang penting, beban di dada plong.
Mas Rian mendengus. Mimik wajahnya jelas menerangkan betapa geramnya dia kepadaku. Jangan sampai dia main tangan seperti ibunya tadi, pikirku.
Kalau sampai dia memainkan tangannya ke tubuhku, jangan salahkan aku bila aku melawan. Perlawananku mungkin dia pikir tak seberapa. Namun, percayalah bahwa orang yang selalu diam, akan sangat berbahaya apabila dibangkitkan amarahnya!
“Tolong, Fi, dengarkan aku dulu,” pinta Mas Rian melunak.
Lelaki mengendurkan cengkereman tangannya. Seketika, dia memeluk tubuhku. Dulu, saat di peluk aku pasti akan merasa nyaman dan bahagia.
Namun, sekarang? Jangankan nyaman. Aku malah jijik luar biasa!
“Lepaskan, Mas! Aku sudah tidak sudi kamu peluk begini!” Aku berusaha melepaskan diri dengan cara mendorong tubuh Mas Rian yang tinggi semampai.
Sayangnya, suamiku yang berkulit kuning langsat itu enggan melepaskan dekapannya. Untuk apalagi dia membujukku begini? Setelah ucapan kasar yang dilayangkan kedua orangtuanya kepadaku, dia kira aku bakalan segera luluh?
“Fika, ini semua hanya kesalahpahaman belaka,” terang Mas Rian sambil masih mendekapku.
Aku yang semula berontak, kini diam sejenak dalam pelukan itu. Letih juga jika harus bergerak ke kiri dan ke kana, tetapi Mas Rian bersikukuh menahan gerakku. Sebaiknya, kusimpan saja tenaga ini sebagai bekal perjalanan yang jauh menuju kampung halaman.
“Bukan begitu maksud Ibu dan Bapak. Mereka itu kan, orang yang tidak sekolah tinggi. Tolong kamu maklumi apabila cara berkomunikasi mereka itu agak kasar,” lanjut Mas Rian tak lelahnya.
Omong kosong! Jelas-jelas kalian menudingku sebagai penipu dan mengataiku miskin segala macam. Ternyata, suamiku pandai juga bersilat lidah.
“Sudah, Mas. Simpan saja bujuk rayumu itu. Sudah nggak mempan,” balasku judes.
Mas Rian akhirnya melepaskan pelukan dari tubuhku. Dia menghela napas panjang sambil mendongakkan kepala. Kedua tangannya kini mengusap wajah dengan ekspresi yang lelah.
“Aku juga mau minta maaf karena tadi sempat mengucapkan kata-kata yang membuat kamu tersinggung, Fi.”
Kupikir, Mas Rian akan menyudahi bualannya. Nyatanya tidak. Dia masih saja berceloteh bagaikan burung yang kata-katanya sama sekali tidak penting.
“Maaf? Andai semuanya bisa terselesaikan dengan maaf, lantas apa gunanya negara membentuk kantor polisi, Pengadilan Negri, dan Pengadilan Agama?” sindirku sambil melipat tangan di depan dada.
Kedua mata Mas Rian seolah malu menatapku. Kepalanya kini terlempar ke arah lain. Dia pasti sudah kehabisan cara untuk membodohiku.
“Sekarang begini saja, Mas. Urusan kita sudah selesai. Bagi keluargamu, aku hanya benalu yang numpang di sini,” sergahku seraya menunjuk muka Mas Rian kesal.
“Jadi, akan lebih baik kita berpisah. Kamu melanjutkan hidup bersama ibu dan bapakmu, lalu aku hidup sendiri di kampungku. Orangtuamu pasti sangat senang, karena di rumah ini sudah tidak ada benalu lagi!” Kulanjutkan kalimatku dengan sangat pedas, berharap Mas Rian habis ini menyerah.
Suami yang sempat memacariku empat bulan sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah itu pun tertunduk lemas. Kedua bahunya melorot. Sedang matanya, kini kulihat berkaca-kaca.
“Ibuku memang berharap akan warisanmu, Fika ….”
Aku geleng-geleng kepala. Dasar tidak tahu malu, pikirku. Memangnya, selama ini aku pernah mengharapkan sesuatu dari Mas Rian dan keluarganya?
Jangankan berharap harta warisan seperti yang mereka lakukan padaku. Berharap diberi nafkah sepantasnya saja, tidak! Apa pun yang Mas Rian suguhi, selalu kuterima dengan lapang dada.
Sehari tanpa uang sepeser pun. Makan minum dari apa yang telah ibu mertuaku belanjakan. Itu pun, di rumah ini aku harus pontang panting jadi babu mereka.
Apa aku mengeluh? Tidak! Selagi Mas Rian selalu sayang dan baik kepadaku, aku ikhlas.
Namun, kali ini beda cerita. Keluarga mereka akhirnya membongkar kedoknya sendiri. Mungkin ini sudah rencana Allah untuk membukakan mata hatiku yang selama ini sudah tertutup rapat sekaligus terbuai akan cinta semunya Mas Rian.
“Namun, namanya orangtua, Fi. Kadang kala cara penyampaiannya itu agak lain. Sebenarnya, rasa berharap itu juga semata-mata untuk membahagiakan kita berdua.”
Aku bergidik ngeri sendiri. Kupandangi Mas Rian yang berdiri di belakang pintu kamar sempit kami ini dengan tatapan geli. Apa dia bilang? Kebahagiaan kami berdua?
“Rencana Ibu, kalau memang itu adalah warisan untukmu, mungkin bisa dijual. Setelah dapat uangnya, kita bisa renovasi rumah yang sudah kusam catnya ini. Kan, semuanya juga biar kamu nyaman, Fi,” lanjutnya terus berkilah.
“Terus, kita juga bisa mencicil mobil dengan uang hasil penjualan tanah dan rumah itu. Ya, mobil itu juga buat dipakai kita berdua. Biar aku bisa kerja taksi online atau buka jasa travel ke luar kota,” sambung Mas Rian.
Aku kini mendecakkan lidah. Tak habis pikir dengan isi kepala Mas Rian sekeluarga. Enak saja mereka merancang rencana dengan menjadikan aku sebagai tumbalnya.
“Ya, seharusnya, sebelum nikah kamu sudah jujur buka-bukaan ke aku tentang rumah itu. Aku kan, juga nggak nyangka kalau Ayahmu ternyata nggak punya rumah pribadi. Aku juga syok, Fika, ternyata kamu nggak punya apa-apa selain ijazah SMK-mu itu.”
Wow! Amazing! Keren sekali ucapan suamiku yang ganteng ini.
“Oh, gitu ya, Mas? Aku juga sebenarnya kecewa sama kamu, Mas,” sahutku enteng masih dengan nada yang penuh kemuakkan.
Mas Rian lalu mengangkat kepalanya. Dia sodorkan aku mimik wajah tak berdosanya yang sok polos tersebut. Dasa lelaki ampas tahu busuk, makiku dalam hati.
“K-kecewa kenapa, F-fi …?” gagapnya.
“Aku pikir, kamu dan orangtuamu itu waras. Ternyata otak kalian gesrek, toh? Harusnya, kalian berobat, Mas.”
Suamiku terkesiap. Mulutnya sedikit membuka. Mungkin syok dengan ucapan kasarku yang memang tak biasanya tercetus di lidah sopan ini.
“Sama satu lagi. Kupikir, orangtuamu itu orang beriman. Soalnya ibumu kan, aktif pengajian sana sini,” sambungku lagi.
“Eh, ternyata, ibumu itu cuma perempuan tukang ghibah, tukang hina, dan matre! Bilang ke ibumu ya, kalau dia nggak mau punya mantu dari kalangan biasa-biasa aja, suruh dia ngaca dulu! Sama-sama miskin kok, belagu!”
Aku meludah ke lantai saking sudah muaknya. Heran, kok, bisa aku jumpa orang miskin yang sibuk teriak miskin ke orang lain. Apa kaca di kamarnya sudah pecah?
BAB 5Sakit Jiwa “Tega kamu, Fika.” Suara Mas Rian gemetar. Tanpa dinyana, lelaki 24 tahun itu menitikkan air matanya. Meluncur begitu saja kristal bening itu ke pipinya yang mulus. Aku tersenyum. Bukan karena bahagia melihatnya menangis. Namun, ini adalah sebuah senyum yang sama penuh lukanya. “Jangan playing victim, Mas. Tangisanmu tidak akan mengubah apa pun,” desisku eneg. Mas Rian tak menyahut lagi. Buru-buru dia seka air mata di pipinya. Lelaki berkaus merah itu lalu menepis-nepis sisa nasi yang masih menyangkut di pakaian kerjanya. “Makasih sudah memfitnahku playing victim, Fi. Aku tahu kalau aku yang salah. Sedangkan kamu itu manusia suci yang tidak pernah punya salah, apalagi dosa.” Ucapan aneh yang Mas Rian katakan tadi hanyalah sebuah upaya untuk menekanku. Sarkasme dari bibir manismu itu tidak akan membuatku merasa bersalah. Sedikit pun aku tak berniat untuk memaafkan, terlebi
BAB 6Dikejar Setan Aku berlari sekuat tenaga dengan napas yang terengah-engah. Tak kupedulikan lagi tatapan heran orang-orang di sekitar lingkungan rumah mertuaku. Jalanan komplek yang cukup ramai pun, nekat kuterabas dengan sandal jepit yang tapaknya telah menipis. Sekitar lima puluh meter di depan sana, kulihat ada sesosok tukang ojeg berjaket hijau. Pria yang tengah menepi di bahu jalan itu, tampak tengah fokus memperhatikan ponsel di tangan kanannya. Aku berteriak, demi membuat bapak-bapak ojeg online itu menoleh. “Pak! Bapak! Saya mau naik!” pekikku heboh. “Mbak, kenapa lari-larian begitu?” Seseorang di sebelah kananku menegur.Kutoleh, ternyata ibu-ibu yang sering senam pagi Minggu dengan ibu mertuaku. Beliau yang mengendara motor matik dan memelankan laju kendaraannya itu, memperhatikan wajahku bingung. Seingatku, nama beliau adalah Bu Tari.Aku tak peduli. Kupelengosi muka ibu-ibu yang mengenakan daster hitam dan jilbab
“Neng, itu kenapa? Mas yang tadi jatoh?” Bapak ojeg bertanya denganku. Dari nada suara beliau, terdengar sangat resah dan cemas. Kami setali tiga uang. Sama-sama tak tenang, sebab bunyi gedubrak serta pekik jerit di belakang sana. “Nggak tahu, Pak! Nggak lihat. Pak, ayo buruan kabur aja!” pintaku mendesak bapak ojeg. “I-iya, Neng,” gagap bapak ojeg di tengah desauan angin dan hiruk pikuk jalanan yang mulai macet. Untung saja, tak ada yang mencegat kami. Aku pun tidak mampu untuk menoleh ke belakang. Mataku kini terpejam saking takutnya. “Neng, ini kita ke mana?” “Ke kantor JNR yang di jalan Senopati, Pak! Depan supermarket Hari Ini!” Kantor yang kumaksudkan adalah tempat bekerjanya Mas Rian. Pernah menjadi tempat bekerjaku juga. Pasti kalian bertanya-tanya, mengapa aku malah pergi ke sana. Aku ingin menemui Helena. Dia adalah satu-satunya sahabat karibku di kota ini. Kami be
“P-pak Hanan,” gumamku sambil memperhatikan wajah pria berkaus polo warna putih dengan garis-garis biru di bagian dadanya. Pria tinggi dengan potongan rambut caesar haircut itu menekan tombol kunci remotnya hingga terdengar suara ‘tin-tin’ dari mobil bagusnya. Tatapannya sekilas tajam ke arahku. Dia terus berjalan mendekat, membuatku sangat deg-degan. Pak Hanan adalah owner alias pemilik ekspedisi JNR cabang Senopati. Perusahaan JNR adalah perusahaan jasa di bidang pengiriman barang dari dalam dan luar kota, yang bisa dimiliki orang umum dengan membeli waralaba alias franchise-nya. Selain memiliki perusahaan ekspedisi ini, Pak Hanan juga pemilik minimarket franchise yang lokasinya hanya seratus meter dari sini. Lelaki berkulit putih dengan jambang dan jenggot tipis itu menatapku tanpa berkedip. Dia melirikku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dari ekspresinya, kutebak mantan atasanku itu menganggap aneh terhadap penampilanku.
“Pak, tolong jangan bilang-bilang kalau saya di sini!” mohonku sambil mencengkeram lengan berbulu milik Pak Hanan. Mata Pak Hanan memicing sadis. Pria itu lalu mendelik dan memajukan dagunya ke depan. “Singkirkan tanganmu,” perintahnya cukup ketus. Refleks, aku melepaskan cengkeramanku pada lengannya. Suara dering ponsel milik Pak Hanan masih memekik keras di antara kami. Semakin was-was saja hatiku gara-gara dering nyaring tersebut. Pak Hanan lalu mengangkat telepon dari suamiku. Degupan jantungku langsung keras bertalu. Aku berdoa, semoga Mas Rian tidak apa-apa dan yang terjatuh tadi juga bukan orang lain. “Halo, Rian! Ngapain kamu nelepon saya? Bukannya segera masuk kantor, malah nelepon-nelepon nggak jelas begini!” geram Pak Hanan sampai bola matanya melotot besar. Kugenggam tangan Helena erat-erat. Kami berdua kini saling berpandangan. Sejurus kemudian, keluarlah sosok Dewangga dan Firman dari bilik yang berada
“Pak, tapi saya nggak menikmati uang itu sama sekali!” Tanpa dapat dikontrol lagi, aku menjerit histeris di depan Pak Hanan. Lelaki yang memiliki tubuh dengan rambut-rambut yang cukup lebat itu tampak terkesiap. Helena yang masih standby di samping kananku pun langsung merangkul erat-erat. “Demi Allah, jangankan makan duit tiga puluh juta itu, Pak! Ngeliatnya aja saya nggak pernah!” tegasku dengan suara yang melengking. Dua klien yang sedang duduk di depan meja komputer itu pun lagi-lagi menoleh. Muka mereka terlihat tak nyaman. Aku sudah tidak memikirkan lagi akan tatapan aneh itu, yang penting masalah ini segera kelar. “Maksud saya ke sini adalah minta pertolongan Helena, Pak. Saya cuma mau pulang. Bukan mau mempertanggung jawabkan sebuah kesalahan yang bukan saya pelakunya!” tukasku terengah-engah. Kali ini, teleponku yang menginterupsi percakapan. Deringnya terdengar nyaring dari saku piyama lusuhku. Cepat kusek
Tak ada yang sudi menolongku. Baik Helena, Dewangga, Firman, maupun pelanggan-pelanggan ekspedisi yang berdatangan lainnya. Rasanya sedih bukan main, diriku kini bak sampah yang tak dipedulikan oleh sesiapa pun. Akhirnya aku ikut bersama Pak Hanan. Masuk ke sedan BMW putih mentereng miliknya yang seingatku baru saja di beli sebulan sebelum aku dan Mas Rian menikah. Jangan tanya seperti apa banyaknya air mataku, yang pasti sangat sebak. “Nggak usah nangis kamu! Ngapain kamu nangis segala kaya orang ditinggal mati suami?!” Pak Hanan membentakku ketika dirinya tengah menyalakan mesin mobil. Aku kesal. Bukan main rasanya. Sudah jatuh, tertimpa tangga dan tai ayam lancung pula. Hidupku hari ini seolah tengah dipeluk oleh takdir sial yang enggan pergi meski hanya sejenak. Kuputuskan untuk diam. Percuma sekarang menangis pun, pikirku. Pak Hanan dengan segala ketegaannya, pasti akan membawaku pergi. Entah itu ke rumah sakit
“I-ikut Bapak, deh,” gagapku gugup. Alis Pak Hanan saling bertaut. Bibirnya yang merah dengan bagian bawah tampak ditumbuhi bulu halus itu mengerucut tipis. Dia lalu mengerling ke arah si pelayan yang sudah menyibak gorden penutup etalase. “Nasi putihnya dua. Lauknya bawain komplet aja ke meja, biar kita bisa pilih. Oh, ya, minumnya es teh tiga gelas,” ucap Pak Hanan santai. Pelayan bertubuh sedang dengan potongan rambut belah tengah itu mengangguk patuh. Dia tersenyum ramah sembari mengedarkan pandang ke etalase yang telah dipenuhi ragam lauk. Sejurus kemudian, dua orang rekannya yang lain datang sambil menjinjing nasi panas dalam termos besar berwarna biru. “Silakan ditunggu, Pak, Bu. Makanannya akan segera kami hidangkan,” ucap si pelayan rambut belah tengah itu kepada kami. Pak Hanan pun menepuk pundakku. Aku yang terpana memperhatikan banyaknya lauk yang berususun-susun dalam piring berwarna putih itu pun gelag