Share

5. Sakit Jiwa

BAB 5

Sakit Jiwa

             

              “Tega kamu, Fika.”

              Suara Mas Rian gemetar. Tanpa dinyana, lelaki 24 tahun itu menitikkan air matanya. Meluncur begitu saja kristal bening itu ke pipinya yang mulus.

              Aku tersenyum. Bukan karena bahagia melihatnya menangis. Namun, ini adalah sebuah senyum yang sama penuh lukanya.

              “Jangan playing victim, Mas. Tangisanmu tidak akan mengubah apa pun,” desisku eneg.

              Mas Rian tak menyahut lagi. Buru-buru dia seka air mata di pipinya. Lelaki berkaus merah itu lalu menepis-nepis sisa nasi yang masih menyangkut di pakaian kerjanya.

              “Makasih sudah memfitnahku playing victim, Fi. Aku tahu kalau aku yang salah. Sedangkan kamu itu manusia suci yang tidak pernah punya salah, apalagi dosa.”

              Ucapan aneh yang Mas Rian katakan tadi hanyalah sebuah upaya untuk menekanku. Sarkasme dari bibir manismu itu tidak akan membuatku merasa bersalah. Sedikit pun aku tak berniat untuk memaafkan, terlebih kembali mencintaimu.

              Gegas aku membalik badan. Melanjutkan aktifitasku yang sempat terhenti tadi. Mengemasi helai demi helai pakaian untuk dibawa pulang.

              “Fika, aku tidak akan pernah menceraikanmu,” lirih Mas Rian yang saat kutoleh, tengah bersandar lemah ke pintu.

              Aku tak memeludikan kalimatnya itu. Pandangan sekilas yang sempat kuarahkan ke belakang, kini kupalingkan kembali ke arah lemari. Sekarang, hampir semua pakaianku sudah masuk ke dalam tas jinjing hitam yang kuletakkan di lantai.

              “Beres!” seruku sambil menutup pintu lemari plastik warna cokelat tua itu.

              “Kalau kamu pulang kampung, aku akan ikut,” kata Mas Rian lagi.

              Aku mencibirnya. Sambil memasukkan lembar pakaian terakhir ke dalam tas, aku berkata, “Ngapain kamu ikut ke kampungku? Apa nggak malu, maksa ikut sama orang yang sudah muak sama kamu?”

              “Nggak! Ngapain aku malu? Aku sayang sama kamu. Aku nggak mau pisah!”

              Dasar kepala udang, pikirku. Sudah dibilang jutaan kali kalau aku sudah tidak mau lagi dengannya, kenapa Mas Rian tidak mau dengar juga? Cari saja perempuan kaya sesuai mau ibunya!

              “Kamu nggak mau, tapi aku mau! Jadi janda lebih baik ketimbang hidup sama laki-laki kaya kamu, Mas! Pengennya hidup enak dari jatah warisan istri. Apa nggak geli kamu sama hidupmu?”

              Kujinjing tasku sambil memasang muka muak ke arah Mas Rian. Sekarang, saatnya aku pergi dari sini. Selamat tinggal keluarganya Mas Rian yang sangat terhormat!

              Aku pun berjalan menuju arah pintu dan menyambar jilbab kausku yang tersangkut di gantungan. Jilbab warna hitam itu lalu kupakai. Tidak peduli mau warnanya nyambung atau tidak dengan piyama yang kupakai.

              “Fika, tolong jangan pergi, Sayang,” mohon Mas Rian.

              “Pernikahan ini terlalu berharga untuk dipermainkan,” tambahnya lagi.

              Mataku menyipit. Tawaku hampir saja meledak. Apa dia bilang?

              “Kamu seperti penyair, Mas. Sayangnya, omonganmu benar-benar nggak cocok blas sama realita di lapangan!” Kudorong dada Mas Rian dengan telunjukku.

              Aku pun menyuruh pria itu untuk menyingkir dari pintu. Awalnya, Mas Rian bersikukuh untuk mengadang. Namun, karena aku tak mau kalah, akhirnya dia berhasil juga kupinggirkan.

              “Sekarang, kamu bisa leluasa untuk mencari penggantiku, Mas. Ingat, cari istri itu yang kaya raya. Yang bisa ngebantu kamu renovasi rumahmu yang udah reot ini!” hujatku sambil membuka kunci pintu.

              “Oh, ya, sekalian yang ikhlas jadi babu di rumahmu dan sudi ngebeliin kalian mobil. Kira-kira, ada nggak ya, modelan manusia oon yang mau dimanfaatin sama suaminya? Mending kalau suaminya ganteng kaya oppa Korea!” celotehku penuh emosi.

              Pintu berhasil kubuka lebar. Hampir saja aku menjerit ketika pas di depanku, tengah berdiri sosok Ibu yang memandangi penuh murka. Sejak kapan dia berdiri di situ?

              “Kamu mau pergi?” tanya Ibu dengan bibir yang dia tipiskan.

              “Iya. Kenapa?”

              “Tinggalkan barang-barang yang pernah Rian belikan! Jangan bawa barang-barang itu keluar dari sini!” jerit Ibu hingga kupingku terasa berdengung.

              “Bu, apa-apaan, sih? Udahlah!” Mas Rian meringsek maju.

              Pria dengan tinggi 171 sentimeter itu lalu menghalangi tubuhku. Dia lagi-lagi ingin menjadi tameng buatku. Sayangnya, usaha itu tidak akan membuat hati ini luluh.

              “Hei, Rian! Jangan bodoh kamu! Biarkan dia keluar dari sini dan jangan pernah izinkan dia untuk membawa barang yang sudah kamu belikan untuknya!”

              Panas sekali hatiku dibuat ibu mertua. Memangnya, si Rian cungkring itu ngasih aku apa selama ini? Mobil Rolls Royce? Penthouse dua puluh milyar?

              Mataku langsung tertuju ke arah sebuah cincin emas model polosan yang tersemat di jari manis kanan. Kuletakkan sebentar tas jinjingku, lalu aku pun merenggut mas kawin yang Mas Rian berikan itu dari jemariku. Tak sudi lagi aku memakai barang tersebut.

              Cincin yang sudah di dalam genggamanku langsung kulempar ke wajahnya ibu mertuaku. Daripada banyak cing cong, lebih baik akhiri saja semua ini. Sekadar cincin emas dua gram seperti itu, kelak aku juga bisa membelinya!

              “Tuh, Bu! Makan tuh cincin! Nggak sudi juga aku nyimpennya!” teriakku puas saat cincin itu tepat mengenai pipi mertuaku.

              Mata Ibu membelalak besar. Namun, perempuan mata duitan itu langsung kelabakan mencari cincin yang jatuh ke lantai. Tangannya cepat menangkap barang yang hampir menggelinding ke kolong meja panjang ruang tamu.

              Mas Rian langsung menahan tanganku lagi. Dia seolah tak mau melepaskan kepergianku. Dih, drama!

              “Sayang, kenapa kamu lepaskan cincin kawin kita?” tanyanya dengan suara bergetar.

              “Nggak penting! Cincin kaya begitu lebih baik sumbangkan ke fakir miskin atau kaum duafa seperti ibumu. Dia lebih butuh ketimbang aku!” hardikku sambil menepis tangan Mas Rian.

              Segera kusambar tas jinjingku. Aku pun berlari meninggalkan rumah Mas Rian yang memang sudah kusam catnya dan terdapat banyak bocor pada atap sengnya. Padahal, kalau dipikir-pikir, mereka mampu untuk sekadar menyisihkan uang agar bisa merenovasi rumah ini.

              Sayangnya, orangtua Mas Rian kebanyakan gaya. Ibunya yang sudah sebulan penuh ini tidak berjualan, bukannya peras otak untuk cari rejeki, malah sibuk mejeng sana sini. Dulu pas punya uang, bukannya nabung, malah belanja pakaian dan asesoris imitasi alias perhiasan xuping.

              Demi apa? Demi gengsi! Biar dikata sosialita.

              Gaya elit, ekonomi sulit. Pas dengar besannya meninggal dunia, malah sibuk mengharapkan cipratan harta warisan. Anda waras?

              Seraya menjinjing tas, aku pun berlari sekuat tenaga meninggalkan rumah orangtuanya Mas Rian. Saat di halaman, terdengar suara jerit makian ibu mertuaku. Keras sekali, sampai-sampai para tetangga keluar dari rumah masing-masing.

              “Pergi aja kamu jauh-jauh sana! Dasar menantu nggak waras! Nggak pandai bersyukur. Padahal punya suami dan mertua baik, malah kabur kaya orang stres!”

              Astaghfirullah! Fitnahan macam apalagi ini? Mertuaku sengaja berteriak begitu, apa supaya orang-orang berpikirnya aku yang salah?

              Ya Allah, fix ibu mertuaku kelainan jiwa! Ada masalah serius di otaknya. Ingin sekali aku berhenti untuk melempar batu di mukanya.

              “Fika, tunggu aku! Kita pulang sama-sama, Fi!”

              Teriakan itu terdengar di sela-sela langkahku yang terbirit-birit meninggalkan halaman rumah Mas Rian. Dadaku mencelos. Aku harus cepat-cepat pergi, supaya Mas Rian tidak bisa mengejar!

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nunyelis
fika terlalu bar2....semarah apapun janganlah sampe melempar cincin dimuka mertuanya mending genggamkn ketangan suaminya.....
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status