Share

3. Bukan Perempuan Bodoh

BAB 3

Bukan Perempuan Bodoh

              “Kurang ajar kamu, Fika! Dasar perempuan miskin! Nggak tahu diri!” Ibu berteriak nyaring. Wanita yang mengikat rambut hitamnya ke belakang itu mengejar ke arah tempatku berdiri.

              Tangan Ibu sudah terangkat tinggi. Mertuaku yang berkulit kuning langsat dan berwajah mirip dengan Mas Rian itu pun hendak menampar pipiku. Sayang, tangannya ditahan oleh Mas Rian yang tubuhnya telah penuh tumpahan nasi goreng.

              “Bu, cukup! Rian mohon, hentikan pertengkaran ini!” Suamiku berteriak di hadapa ibunya.

              Aku bergeser. Berusaha untuk keluar dari kepungan Mas Rian dan Ibu yang masih sibuk berkelahi. Namun, ruang yang mereka berikan begitu sempit hingga rasanya aku terjepit di antara tubuh keduanya.

              “Istrimu kurang ajar, Yan! Kamu itu lagian bodoh banget jadi laki-laki! Sudah disiram pakai nasi goreng begitu, masih aja kamu belain!” Ibu tampak sangat emosi.

              Tubuh ramping Ibu yang memang selalu dia jaga dengan rutin senam bersama gerombolan ibu-ibu komplek itu pun mencoba meringsek maju. Mas Rian membentengi agar aku tak kena jambakan dari tangan Ibu. Kucoba untuk mundur terus dan akhirnya aku berhasil meninggalkan meja makan.

              Ketika kutoleh ke arah Bapak yang tak bergeser sedikit pun dari pijakannya, mata Bapak begitu merah memandangiku. Mukanya pun sama. Sudah seperti cangkang kepiting yang direbus hidup-hidup.

              “Keluar kamu dari rumahku! Aku nggak butuh menantu sialan sepertimu, Fika!” hujat Bapak sambil menunjuk mukaku.

              “Aku juga tidak butuh mertua kurang ajar seperti kalian berdua. Lihat saja, Rian bakalan jadi duda selama-lamanya karena tidak ada perempuan yang bakalan mau hidup menderita di rumah jelek ini!”

              Sekalian saja kucaci maki Bapak dan Ibu. Mereka tidak pernah memikirkan perasaanku ternyata. Jadi, untuk apalagi aku menghormati keduanya?

              Kakiku gegas berlari menuju kamar yang selama setengah tahun ini kutempati bersama Mas Rian. Kamar itu berada di depan, persis berhadapan dengan ruang tamu. Kamar yang cukup sempit dan tak memiliki dipan, karena dipan seserahan nikahku malah dipakai oleh mertuaku dengan alasan dipan mereka sudah ambruk karena termakan usia.

              Bayangkan saja, betapa sudah mengalahnya aku selama ini. Dinikahi Mas Rian tanpa sebuah pesta seperti pengantin lainnya. Hanya akad nikah di KUA saja dan mahar sebentuk cincin emas.

              Mas Rian sebenarnya menghadiahiku dipan plus kasur pegasnya dan sebuah lemari berbahan PCV dua pintu. Dipannya diambil oleh mertua, sedangkan lemari pakaian itu tak bisa kupakai karena kamar kami yang cukup sempit dan sudah penuh dengan barang-barang milik Mas Rian. Jadi, lemari baru itu malah diberikan kepada adik iparku yang kamarnya berada di lantai dua.

              Padahal, adik iparku yang bernama Viona itu hanya pulang seminggu sekali ke rumah ini. Selebihnya dia mengekost karena jarak kampus yang cukup jauh dari sini. Ya Allah, kalau kupikir-pikir, ternyata aku sudah terlalu bodoh.

              Kukemasi pakaian-pakaianku yang ditata di dalam lemari plastik milik Mas Rian. Kutahan supaya tak setetes pun air mataku keluar. Tak sudi kutangisi keluarga Mas Rian yang begitu kejam di balik sikap diam mereka selama ini.

              Persetan hidupku mau dibawa ke mana. Aku tak peduli. Meski sudah yatim piatu, aku yakin kalau Allah akan memberikanku rejeki setelah keluar dari rumah suamiku.

              Terdengar suara ribut-ribut dari arah dapur sana. Cuek saja diriku. Tak mau ambil pusing lagi.

              Mulai sekarang, Mas Rian bukan urusanku. Terlebih kedua orangtuanya yang pemalas itu. Mentang-mentang anaknya sudah kerja, mereka yang seharusnya tetap bekerja di usia yang produktif, malah bermalas-malasan seperti sultan.

              Dulu, Ibu bekerja sebagai pedagang pakaian keliling. Pelanggannya juga sudah ramai dan sempat buka kios kecil-kecilan di depan rumah. Hanya karena alasan banyak yang sering berutang, dia pun menutup kiosnya dan kini mengandalkan Mas Rian seratus persen untuk makan minum sehari-hari.

              Sedangkan Bapak, beliau itu makelar kendaraan, baik motor maupun mobil. Namun, belakangan rejekinya seret. Bangunnya saja selalu siang, wajar kalau usahanya itu selalu saja gagal dan tidak menghasilkan.

              Orangtua terkutuk, pikirku. Hidup hanya mengandalkan anak. Padahal, anak lelakinya sudah punya istri dan kini wajib untuk dinafkahi.

              Eh, ternyata aku dinikahi hanya untuk diincar warisannya, toh? Apa jangan-jangan, ayahku meninggal dunia secara mendadak itu juga karena ulah mertuaku? Apa mereka mengirimkan guna-guna supaya ayahku lekas mati?

              Astaghfirullah! Pikiranku jadi picik dan kotor. Semua karena kelakuan keluarga Mas Rian yang di luar nalar.

              “Fika, kamu mau kemana?!” Mas Rian tiba-tiba masuk ke kamar. Pria itu membanting pintu dan menguncinya dari dalam.

              Suamiku terengah-engah. Wajah bersihnya kini penuh dengan peluh yang membanjiri. Lelaki tinggi kurus itu lalu menarik tanganku kasar.

              “Aku mau pulang kampung! Hidup di desa lebih terhormat, ketimbang menumpang di rumah orangtuamu!”

              Pria tangan belang sebab pekerjaannya yang wara wiri naik motor itu pun menatapku nyalang. Napasnya makin terengah. Kulihat di tubuhnya, masih tersisa beberapa butir nasi goreng yang belum sempat dia bersihkan.

              “Nggak! Kamu nggak bisa ke mana-mana. Kamu tetap di sini sama aku!”

              Aku? Tetap di sini? Maaf, Mas, aku ini bukan perempuan dungu yang bisa kalian ludahi harga dirinya.

              “Maaf, Mas! Aku bukan perempuan bodoh yang bisa kalian banting, cekik sampai lehernya bergeser, dan bisa kalian hina dina semaunya. Jangankan kalian hantam fisikku, sekadar kalian caci maki saja, aku tidak masalah jika harus menjanda hari ini juga!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status