BAB 6
Dikejar Setan
Aku berlari sekuat tenaga dengan napas yang terengah-engah. Tak kupedulikan lagi tatapan heran orang-orang di sekitar lingkungan rumah mertuaku. Jalanan komplek yang cukup ramai pun, nekat kuterabas dengan sandal jepit yang tapaknya telah menipis.
Sekitar lima puluh meter di depan sana, kulihat ada sesosok tukang ojeg berjaket hijau. Pria yang tengah menepi di bahu jalan itu, tampak tengah fokus memperhatikan ponsel di tangan kanannya. Aku berteriak, demi membuat bapak-bapak ojeg online itu menoleh.
“Pak! Bapak! Saya mau naik!” pekikku heboh.
“Mbak, kenapa lari-larian begitu?” Seseorang di sebelah kananku menegur.
Kutoleh, ternyata ibu-ibu yang sering senam pagi Minggu dengan ibu mertuaku. Beliau yang mengendara motor matik dan memelankan laju kendaraannya itu, memperhatikan wajahku bingung. Seingatku, nama beliau adalah Bu Tari.
Aku tak peduli. Kupelengosi muka ibu-ibu yang mengenakan daster hitam dan jilbab kaus lebar berwarna hijau toska tersebut. Tidak perlu kujawab, pikirku.
“Pak! Jangan pergi! Saya mau naik!” Aku berteriak lagi sambil melambaikan tangan kepada tukang ojeg yang entah mengapa, malah hendak melajukan sepeda motornya.
“Mbak ini kan, menantunya Bu Hajat. Kenapa Mbak bawa-bawa tas sambil lari-larian begitu? Apa mau numpang saya, Mbak?” Bu Tari yang bertubuh tinggi gempal itu menawariku.
Akan tetapi, aku enggan menoleh. Jarakku dengan tukang ojeg yang berhelm hijau itu sudah tinggal dua langkah lagi. Segera saja aku membonceng ke belakang si tukang ojeg.
“Neng, saya mau jemput penumpang ini! Udah kelanjur saya terima orderannya!” Bapak ojeg itu panik.
“Pak, tolong, Pak! Cancel aja nggak apa-apa! Saya bayar lebih, kok!” desakku ngos-ngosan.
Lelaki 40 tahunan yang memiliki wajah bulat dan kumis beruban itu mendecakkan lidah. Rautnya bingung. Sementara itu, sosok Bu Tari yang masih di atas sepeda motornya, malah menghentikan laju kendaraan sambil menonton diriku.
“Ibu ngapain stop di sini? Ibu nyari bahan gosip? Iya, saya mantunya Bu Hajat!” pekikku sambil melotot tajam.
Bu Tari tampak terkesiap. Namun, bukannya pergi, dia malah betah tetap di tempatnya. Kurasa, dia sangat penasaran dengan jalan cerita mengapa aku sampai pergi dari rumah sambil membawa tas segede gaban ini.
“Terus, Mbak kenapa bawa-bawa tas besar? Mau kabur, ya?” Bu Tari sangat bawel.
Padahal, kami tidak akrab. Aku tahu namanya juga karena dia pernah sekali menjemput Ibu bersama dua orang temannya yang lain. Selebihnya, kami tidak pernah tegur sapa dan hanya beberapa kali jumpa di jalan saja.
“Iya, saya mau cerai dari anaknya Bu Hajat. Soalnya Bu Hajat, Pak Hajat, dan Rian semuanya matre! Pengeretan dan tukang tindas! Silakan disebarkan berita itu!” cetusku ketus.
Mulut Bu Tari menganga lebar. Mendadak kepalanya menggeleng-geleng. Dia pasti senang sekali setelah mendapatkan sebuah kabar yang spektakuler.
“Pak, ayo buruan!” sergahku sambil menepuk pundak si bapak ojeg.
“Iya, Neng. Ini penumpang barusan nge-cancel orderan. Untung aja dia mau,” gumam bapak ojeg sambil menyalakan kembali mesin mobilnya.
“Coba kalau nggak, bisa kena suspend ini akun,” keluh si bapak lagi.
Tin! Tin! Tin!
Saat sepeda motor bebek milik tukan ojeg yang kutumpangi akan melaju, tiba-tiba terdengar suara klakson dari belakang. Suara itu keras dan membabi buta. Sontak membuat kami menoleh ke sumber keributan.
Sungguh mati, demi Tuhan! Jantungku rasanya mau meletus. Ternyata, di belakang sana, ada Mas Rian dengan sepeda motor matik merahnya tengah mengebut ke arah kami.
“Pak, tancap gas pokoknya!”
Tukang ojeg yang kutumpangi pun langsung tancap gas. Pria itu mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dadaku seketika berdebar-debar sekaligus merasa sesak karena panik.
“Neng, ini mau ke mana?” tanya si bapak ojeg dengan suara yang samar-samar akibat kencangnya angin yang menerpa.
“Belok kanan, Pak! Masuk jalan tikus aja. Pokoknya kita ngejauh dari sini!” perintahku sudah pening tujuh keliling.
Aku menoleh lagi ke belakang saat motor bapak ojeg berhasil belok ke kanan untuk memasuki sebuah gang kecil. Ternyata, Mas Rian berhasil menyusul kami. Motor matiknya melaju dengan begitu kencang, hingga jarak di antara kami hanya terpaut sekitar beberapa meter saja.
“Astaghfirullah!” gumamku sambil memejamkan mata erat-erat.
“Neng belum pakai helm, lho! Aduh, bisa kena tilang kita!” keluh bapak ojeg tiba-tiba.
“Ntar aja, Pak! Ini masalah hidup mati! Pak, tolong cari jalan tikus lagi yang bisa buat tempat sembunyi!” pintaku sambil mencengkeram pundak bapak ojeg kencang-kencang.
“Aduh, mau jalan tikus mana lagi, Neng? Ini udah masuk gang. Jalan terus, tembusnya juga ke jalan besar!”
Pikiranku kalut. Terdengar lagi suara klaksonan dari belakang dan sialnya, tak ada kendaraan lain di belakang kami … kecuali motornya Mas Rian yang kian mendekat. Lelaki itu membuka kaca helmnya dan menatapku tajam.
“Fika, berhenti!” jeritnya sambil terus mengklakson.
“Neng, itu siapa? Ini sebenarnya kenapa?” Bapak ojeg bingung. Dia pasti sangat panik mendapatkan orderan dari klien bermasalah sepertiku.
“Nggak penting, Pak! Pokoknya Bapak tolong lebih kencang lagi!” mohonku sambil memeluk tas besar yang berada di atas pangkuan.
“Fika! Jangan kabur kamu!”
Mas Rian tak menyerah. Dia terus mengejar kami, meskipun laju motor si bapak ojeg sudah sekencang kuda bertenaga Pajero. Sampai di ujung gang, tampak jelas di mataku jalan besar yang cukup ramai lalu lalang kendaraan.
“Pak, ke kiri, terus masuk jalan Haji Ridwan. Nah, di situ kalau nggak salah ada gang kecil. Kita masuk aja ke sana!” perintahku sambil berteriak.
Si bapak ojeg tak menjawab. Dia terus memacu sepeda motornya dan … tiba-tiba saja, motor Mas Rian berhasil mengejar kami. Sekarang, sepeda motor berwarna merah yang masih dicicilnya hingga tujuh bulan ke depan itu sudah berada di samping kami.
“Fika, aku mohon! Ayo, turun dari motor itu!” pintanya menjerit.
Aku panik. Napasku serasa tercekat. Pikiranku sekarang kalut luar biasa.
Tangan kiri Mas Rian pun tiba-tiba menjangkauku saat motor kami keluar dari gang. Aku menjerit histeris ketika tangan itu berhasil menggapai ujung jilbabku. Tanpa pikir panjang, kaki kananku menendang motor Mas Rian sekuat tenaga.
Bruk! Brak!
“Argh!” Pekik jeritku bersahutan dengan suara istighfar yang dilantunkan spontan oleh tukang ojeg yang membawaku.
Aku tak kuasa untuk sekadar menoleh ke belakang. Yang jelas … bunyi gedubrak keras itu membuang orang-orang di sekitar jalan ikut berteriak histeris. Tak hanya itu, suara klakson pun kini ramai menggonggong, seolah-olah saling bersahut-sahutan.
Sekali lagi, jatungku ingin pecah. Kepalaku pening luar biasa. Akankah … aku dipenjara gara-gara ini?
Ya Allah, lindungi hamba. Hamba-Mu yang lemah ini takut. Hamba benar-benar tak berniat jahat, selain ingin lepas dari tipu muslihat Mas Rian dan orangtuanya saja!
BAB 37Kejutan SebenarnyaEND Kupikir, Mas Hanan akan kembali mengajakku untuk ‘bergulat’ ketika tubuhku ditepuknya beberapa kali di bagian pundak. Ternyata … dia hanya membangunkanku. Entah aku harus senang atau tidak, karena jujur saja, aku juga tidak keberatan kalau diajak melakukan ibadah sunnah tersebut hehe. “Sayang, bangun,” ucap Mas Hanan tepat di telingaku. “Hu um,” lirihku sambil mengucek mata. Aku kira, sekarang sudah Subuh. Betapa terkejutnya aku saat kulihat jam weker di atas nakas samping ranjang kami. Baru pukul tiga pagi! Mas Hanan sudah bangkit dari tidurnya. Lelaki yang hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana boxer cokelat khaki itu tampak bangkit dari ranjang. Saat berdiri di sisi tempat tidur, suamiku merenggangkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkan pundaknya ke kanan maupun ke kiri. “Mas, kita bangun sepagi ini mau ngapain?” tanyaku terheran-heran. “Mau pula
BAB 36Kamu Adalah Pakaianku Mas Hanan melepaskan pakaian yang kukenakan di atas ranjang. Tentu saja degupan jantungku makin-makin melesat kencang saja. Napasku terengah, sedangkan mataku spontan mengatup rapat sebab rasa malu yang begitu teramat sangat. Deru napas suamiku terasa mengembus di kulit wajah maupun leher. Di sela embusan napas itu, tiba-tiba terasa kembali sebuah kecupan manis yang tepat mengenai leherku. Kecupan itu kian turun dan malah berakhir di atas dadaku. Aku sontak berteriak. Kaget. Syok berat. “Sayang, jangan berteriak. Aku nggak akan kasar, kok. Kita main lembut, ya?” Mas Hanan membujukku dengan suaranya yang begitu pelan dan lembut. Kuberanikan diri untuk membuka kedua mata kembali. Lelaki itu masih berada di atas tubuhku. Kini kedua tangannya menggenggam kedua jemariku yang dia rentangkan lebar-lebar. Jemari kami saling bertautan. Kedua telapak tanganku kini tenggelam dalam tel
BAB 35Gairah di Malam Pertama Di kamar hotel tipe presidential suite yang Mas Hanan sewa, kami berdua akan melepaskan penat seusai pesta resepsi yang penuh kemewahan plus ingar bingar kebahagiaan tiada taranya. Di kamar dengan luas 200 meter persegi yang dilengkapi fasilitas super komplet nan megah itu, aku kini hanya berduaan saja bersama suamiku. Make up yang sempat menghiasi wajah pun telah dibersihkan di ruangn rias ballroom tadi. Pakaian pesta juga telah berganti menjadi gaun panjang berwarna magenta plus pasmina plisket warna putih terang. Saat pintu kamar hotel telah ditutup rapat oleh Mas Hanan, pria tampan yang sedari tadi terus menggandengku itu tiba-tiba menarik pelan tubuhku ke dalam pelukannya. Persis di depan pintu kamar yang terletak di lantai sembilan ini, suamiku mendekap sangat erat dan melayangkan kecupan di puncak kepala. Jangan tanya betapa gugupnya aku sekarang. Semua bagaikan mimpi! “Istriku sayang, gimana dengan tawara
“Pak Hanan, Fika, selamat ya untuk pernikahan kalian. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.” Pria kurus dengan rambut ikal gantung sebahu itu datang dengan kemeja batik cokelatnya yang kedodoran. Celana jins hitam lusuh yang dia pakai itu tampak usang dan tak patut untuk dikenakan di sebuah pesta pernikahan mewah. Namun, sama sekali aku tak mempermasalahkan hal tersebut, malah timbul perasaan iba di hati tatkala melihatnya hadir dengan muka pucat serta dua mata yang berkantung hitam. Kulihat dengan ekor mataku, tangan kurusnya dengan kuku-kuku panjang tak terawat itu mengulur di hadapan suamiku. Ya, Mas Hanan telah mengucapkan ijab qabul di hadapan Paklek Karim, adik tertua almarhum Ayah yang bertindak sebagai waliku. Mas kawin yang Mas Hanan berikan untukku tak main-main, sesuai janjinya dulu yaitu sebuah rumah ruko dua lantai yang berdiri persis di depan kantor JNR. Dua lembar undangan memang kami layangkan untuk Rian dan
Makan siang kami berakhir. Ucapan penghiburan dari mulut Pak Hanan, kini mulai mengusik kepala. Segenap pikiranku jadi terhantui dan agak terganggu dengan janji manis yang dia lontarkan. Beliau tampak biasa-biasa saja setelah berjanji akan memberikan tanah maupun rumah untukku. Namun, sebaliknya dengan aku. Meskipun mencoba menepis harapan yang mulai mekar di dada, tetapi perasaan penuh asa itu malah tergantung tinggi di hati. Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku tak boleh berharap pada manusia. Takut kecewa, batinku. Anggap saja beliau hanya bercanda atau basa basi belaka. Masalah takut berutang budi dan memimpikan agar beliau menjadi imam halalku pun, cepat kutepis sejauh mungkin. Ya Allah, buat aku selalu sadar diri tentang siapa diriku yang hina ini, meski Pak Hanan tadi sempat mengaku bahwa dia sudah menyukaiku sejak awal aku bekerja di JNR. Lepas makan siang, Katniss lantas mengajakku naik ke lantai dua. Dia bilang katany
Kami hampir saja melewatkan jam makan siang gara-gara insiden di halaman parkir supermarket. Saking larutnya dalam haru yang membiru, baik aku dan Pak Hanan jadi lupa waktu. Untung saja akhirnya beliau mengingatkan agar kami berdua segera pulang karena takutnya Katniss sudah menunggu di rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Hanan, aku tak banyak bicara. Hanya diam saja. Bahkan ketika Pak Hanan menyuruhku untuk mengambil empat buat cokelat di kantung plastik yang berada di dalam tumpukan buah di belakang pun, aku tak mengucapkan banyak kalimat, kecuali ‘terima kasih’. Jujur saja, bukan main malunya diriku sekarag kepada Pak Hanan. Yang pertama, isi hatiku sudah ketahuan oleh beliau. Yang kedua, perasaan tak pantas itu kembali muncul lagi. Mengapa dengan bodohnya aku nekat mengucapkan kata suka pada Pak Hanan, meskipun beliau sudah bilang duluan? Seharusnya aku sembunyikan saja semuanya, bukan? Pasti ke depannya sikap kami berdua bakalan