Minggu, 9 November 2014
03.13 p.m. (pukul 15.13)
LISA
Kelopak matanya seperti dibuka dengan paksa, membuat cahaya lampu langsung menyorot ke bola matanya. Lisa terpejam dan dengan segera nyeri di bola-bola matanya menjalar ke seluruh tempurung kepala, lalu berdenyut di satu titik di pelipisnya. Ia meraba titik itu dan mendapati tumpukan perban di sana. Tubuhnya kuyup oleh keringat seakan telah lama mendekam dalam sauna. Ia tidak kepanasan. Ia justru kedinginan.
“Di mana?” Bisiknya pada diri sendiri.
Lisa menyebar pandangannya. Hal pertama yang ia cari adalah kacamatanya. Ia meraba ke atas meja berlaci di ranjang dan menemukan benda yang dicarinya.
Lisa mengedarkan pandangannya lagi, kali ini dengan penglihatan yang lebih jelas. Ia tahu ruangan ini, tapi entahlah. Ingatannya seperti uap air yang mengepul, terus mendesak tapi tak bisa dipegang wujud pastinya.
“Lisa!!” Seorang per
Sabtu, 8 November 2014 11.47 a.m. (pukul 11.47) LISA Lisa sudah menunggu belasan menit di sebuah perempatan padat kendaraan yang baru pertama kali dikunjunginya. Jangankan tempat itu, menginjak wilayah Kabupaten Bandung pun adalah yang pertama kali. Ia berkali-kali melirik layar ponsel yang sudah nyaris habis dayanya, menunggu balasan pesan dari Bu Zaitun yang seharusnya sudah sampai beberapa jam yang lalu saat ia masih dalam perjalanan. Saat kakinya mulai terasa pegal, Lisa menemukan sosok Bu Zaitun di antara keramaian sedang menempelkan ponsel ke telinga. “Bu!” Teriak Lisa sambil setengah berlari ke arah yang dipanggil. “Astaga!” Kata Bu Zaitun, “Sulit sekali kamu dihubungi!” “Lah? Saya selalu pegang ponsel, tapi tidak ada panggilan yang masuk.” Lisa melirik ponselnya. Dari layar itu, ia akhirnya tahu kalau ia tidak dapat sinyal. “Untun
Minggu 9 November 2014 03.23 p.m. (pukul 15.23) LISA “Hantu?” Lisa bertanya. Pak Karman tidak menjawab. Dia menggeleng. “Pak Dokter,” Bu Zaitun, entah sejak kapan, sudah berdiri di belakang Pak Karman. “Tolong sampaikan seluruh ceritanya.” Pak Karman masih diam. Lisa semakin bingung. “Ada apa ini?” “Nak, orang yang melihat hantu bernama Bram ini bukan cuma kamu,” kata Bu Zaitun.
Sabtu, 8 November, suatu Tahun03.10 p.m. (Pukul 15.10)LISASeperti bagian lain di vila ini, lantai dan dinding koridor itu terbuat dari kayu. Cukup tebal, tapi masih tak cukup untuk menangkal hawa pegunungan. Banyak berkelok. Panjangnya mungkin mencapai hingga puluhan langkah. Lebarnya lebih lebar sedikit dari bentangan kedua lengan orang dewasa. Bagian atas telanjang tanpa langit-langit, langsung menampakkan rangka atap dan susunan genting yang samar-samar saja terlihat. Di kerangka bangunan yang melintang di atas lorong itu bergantung lampu-lampu dengan pijar kekuningan, lengkap dengan piringan logam yang melingkup pangkalnya. Di atas sana, rumah laba-laba bertaut kesana-kemari, coraknya sudah kehitaman dan sesekali bergelayut serupa satin malaikat maut. Di kiri dan kanan lorong tergantung banyak lukisan yang dibingkai dalam persegi panjang berbagai ukuran; mulai dari yang mungil seukuran buku tulis sampai yang besar seukuran setengah daun pintu. Letak lukisan-lukisan itu ada yang
11.47 a.m. (Pukul 11.47)LISALisa sudah menunggu belasan menit di sebuah perempatan padat kendaraan yang baru pertama kali dikunjunginya. Ia berkali-kali memeriksa layar ponselnya. Bagian layar yang paling ia incar ada di sudut kanan, sebuah gambar mungil yang melambangkan kekuatan sinyal. Saat itu, gambarnya hanya memuat satu garis sinyal. Bukan berita baik. Di sebelah gambar mungil itu, ada lagi gambar mungil lain yang membuat Lisa semakin cemas: sebuah gambar baterai dengan satu garis di dasarnya. Lagi-lagi bukan berita baik. Yang ditunggui Lisa sejak keberangkatannya hingga perhentian pertama di perempatan ini adalah pesan balasan dari Bu Zaitun, seorang dosen yang mengutus Lisa untuk berangkat ke Kabupaten Yang Dipancang Gunung-gunung. Lisa tak sering bangun sebelum sebelum pukul 5, tapi pagi tadi, ia terjaga bersamaan dengan kumandang azan dari surau belakang kediamannya. Pagi itu, saat orang-orang muslim berbondong ke surau terdekat, Lisa sudah menggendong tas di punggung da
03.20 p.m. (Pukul 15.20)LISAKeramahannya tak akan berarti apapun bagi Kris. Kini Lisa lebih memilih untuk menikmati dirinya sendiri. Langkahnya jadi diperlambat, sambil disebar pandangannya ke kiri dan ke kanan. Disusuri oleh pandangannya itu hamparan tembok kayu yang penuh dengan lukisan-lukisan yang bergantung berjejer. Lukisan yang bagus, tapi tak cukup unik untuk membuat Lisa mematung dan menggeser-geser bingkai kacamata di pangkal hidungnya—sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia asik mengamati sesuatu yang menurutnya tidak biasa. Ada lukisan pemandangan, tampaknya lingkungan sekitar desa, tapi ada juga pemandangan-pemandangan dengan kincir angin raksasa, padang-padang tulip dan lautan penuh kapal layar yang setahunya tidak ada di negeri ini. Ada lukisan makhluk hidup: beberapa serangga dan hewan-hewan tunggangan semacam kuda poni dan gajah India, tapi makhluk hidup yang paling banyak di gambar adalah manusia, lebih tepatnya perempuan. Bukan paling banyak, tetapi semuanya.
03.23 p.m. (Pukul 15.23)KRISPemuda itu mengayun langkahnya lebih cepat. Ia ingin segera menjauhi tamunya, seorang kurator benda-benda seni dan antik—lebih tepatnya, asisten. Ia tak menyukai kehadiran gadis itu. Kehadiran gadis itu di sini berarti bahwa majikannya benar-benar berniat akan menghapus sebagian besar kenangan di vila ini. Bahkan, mungkin seluruhnya. Kris marah pada gadis itu. Marah pada majikannya. Marah pada dirinya sendiri, yang tak mampu berbuat apa-apa meski ia telah melayani keluarga ini sejak belia. Kris ingin memaki dirinya sendiri, tapi itu sudah ia lakukan setiap hari sejak suatu hari beberapa tahun yang lalu. Memaki dirinya lagi hari ini tak akan memberi perbedaan berarti. Ia ingin menggugat majikannya, tapi ketika ia melihat tatapan sendu majikannya itu, ia lebih ingin untuk memaki diri sendiri lagi. Jadi, ketika siang itu si gadis asisten muncul di muka gerbang Vila Di Pegunungan, ia merasa telah menemukan pelampiasan kekesalannya.Kris memang tak memaki ga
03.51 p.m. (Pukul 15.51)LISAKris menggeser mundur kursi di ujung meja makan berbentuk persegi panjang. Kemudian dua lagi di ujung lain untuk Tuan Bram dan gadis berbalut klederdracht.“Silahkan, “ sahut Tuan Bram.Lisa canggung, sebab gadis berbusana klederdracht itu terus memandanginya. Tuan Bram juga langsung duduk tanpa perkenalan paling sederhana sekalipun. Gadis berbusana klederdracht sudah duduk manis, matanya masih mengawas ke wajah Lisa. Sementara Kris masih tetap bermuka datar dan bersikap dingin, berdiri dengan sebelah tangan menyiku di depan perut. Udara rasanya beku, tapi dinginnya tak begitu menyengat dibandingkan dengan sikap dingin orang-orang dalam ruang makan itu. Hanya Tuan Bram yang sedikit-sedikit tersenyum, tapi lama kelamaan Lisa justru semakin merasa gelisah. “Ini Anne.” Kata Tuan Bram. Akhirnya.“Anak Anda?” Sambung Lisa, sudut bibirnya berkedut. Sungkan. “Sepertinya pernah lihat...”“Jangan ganggu aku!” Potong gadis bernama Anne. Matanya menyalang tajam, s
03.38 p.m. (Pukul 15.38)ANNEAnne duduk mematung, menghadap cermin besar yang menegak di atas meja riasnya. Cermin persegi panjang itu memantulkan parasnya yang ayu tapi dingin. Bayangan yang terbentuk di permukaan cermin itu adalah sepotong wajah bentuk hati dengan dagu runcing; rambutnya kecoklatan, bergelombang hingga punggung atas; bibirnya merah hati, sedikit pucat dan pecah; pipinya kenyal, putih kemerahan; batang hidungnya ramping dengan tulang rawan yang tegas; sepasang matanya besar dengan bulu mata dan alis yang tipis; warna mata itu coklat cerah, tapi sama sekali tanpa binar. Kosong. Tatapan kosong yang sama itu memandangi pantulan dirinya sendiri di permukaan cermin semenjak siang tadi. Tak ada yang tahu pasti apakah ia mengedipkan matanya selama itu. Ia bahkan tak bergerak sama sekali kecuali rambutnya yang sesekali melambai terkena semilir yang masuk lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar dan hanya dihalangi kerai tipis warna putih. Tapi, yang paling aneh adalah gadi