03.23 p.m. (Pukul 15.23)
KRIS
Pemuda itu mengayun langkahnya lebih cepat. Ia ingin segera menjauhi tamunya, seorang kurator benda-benda seni dan antik—lebih tepatnya, asisten. Ia tak menyukai kehadiran gadis itu. Kehadiran gadis itu di sini berarti bahwa majikannya benar-benar berniat akan menghapus sebagian besar kenangan di vila ini. Bahkan, mungkin seluruhnya.
Kris marah pada gadis itu. Marah pada majikannya. Marah pada dirinya sendiri, yang tak mampu berbuat apa-apa meski ia telah melayani keluarga ini sejak belia.
Kris ingin memaki dirinya sendiri, tapi itu sudah ia lakukan setiap hari sejak suatu hari beberapa tahun yang lalu. Memaki dirinya lagi hari ini tak akan memberi perbedaan berarti. Ia ingin menggugat majikannya, tapi ketika ia melihat tatapan sendu majikannya itu, ia lebih ingin untuk memaki diri sendiri lagi. Jadi, ketika siang itu si gadis asisten muncul di muka gerbang Vila Di Pegunungan, ia merasa telah menemukan pelampiasan kekesalannya.
Kris memang tak memaki gadis itu, tapi bersikap dingin nan tak acuh membuatnya cukup puas. Ia harap sudah membuat gadis itu merasa jengah dan kesal sebesar-besarnya. Ia harap gadis itu tak betah. Tadinya ia bahkan berharap kendaraan apapun yang ditumpangi gadis itu ke Pegunungan oleng di tengah perjalanan, tapi kenyataannya, gadis itu tetap muncul. Masih setengah berharap, pemuda itu membayangkan ini semua hanyalah mimpi, tapi kenyataanya, ia sekarang sedang menyiapkan meja makan untuk menjamu gadis itu. Di atas meja itu, bayangnya, majikannya dan gadis itu nanti akan berunding soal pelelangan, menjual habis segala kenangan yang ada di Vila Di Pegunungan.
Tangannya tetap bekerja meski isi kepalanya berkhayal ke mana-mana. Meja makan sudah tertutup linen warna merah darah yang cantik. Di atas meja, tiga buah piring bersisian dengan sendok, garpu dan pisau makan yang tersusun rapi. Seluruhnya telah ia poles hingga mengilat. Sehelai celemek terlipat rapi di sisi setiap piring. Dua pasang botol garam dan merica berdiri berdampingan, dengan setiap pasang diletakkan agak di pinggir meja. Di tengah-tengah meja, sebuah kandelabra bercabang tiga tegak, memanggul tiga batang lilin dengan sumbu yang masih dingin.
Ia beranjak ke sudut ruang. Dihampirinya sebuah gramofon yang juga sudah ia poles hingga mengilat. Ia pilah beberapa piringan hitam lalu menyisihkan lainnya ke dalam lemari yang bertengger di sebelahnya. Berikutnya, ia berkeliling ruang, memeriksa segala perabotan berada pada tempatnya dan tentu saja tak dihinggapi debu.
Kesalnya masih belum hilang, tapi Kris tak bisa membiarkan vila itu terkena imbas, betapapun besarnya kekesalan itu. Ia melakukan pelayanan ini bukan demi tamunya, majikannya atau bahkan dirinya sendiri. Ia melakukan ini demi semua kenangan yang di vila ini, kenangan-kenangan yang sebentar lagi akan habis dilelang, dicumbui orang-orang asing yang pastinya tak mengetahui betapa berharganya semua benda itu.
Persiapan selesai. Ia meninggalkan ruang makan lewat pintu lain yang langsung terhubung dengan dapur. Ia membuka setengah pintu, hanya untuk mengintip dan menyapa seorang pembantu perempuan yang sedang sibuk mengaduk panci berisi kuah mendidih, lalu bertanya, “Apakah sudah siap?”
“Sebentar lagi,” balas pembantu perempuan itu tanpa menoleh. “Kau boleh panggil mereka.”
Ia berbalik ke ruang makan. Membuka pintu yang lain lagi, yang menembus ke ruang keluarga. Ia menyeberangi ruang, menuju tangga ke lantai dua. Benaknya masih kacau. Hatinya masih penuh kesal. Menjadi-jadi. Dan sebelum ia naik ke lantai dua, diliriknya sekilas tangga yang menuju ke ruang bawah yang berada tepat di bawah tangga ke lantai dua. Ruang bawah itu terhubung pada gudang, sebuah ruangan di Vila Di Pegunungan yang paling banyak menampung kenangan—semua barang di vila ini hampir semuanya bermuara ke situ. Kesalnya bertambah manakala sebuah bayangan melintas di benaknya. Bayangan bahwa gudang itu akan dibongkar oleh orang asing, sementara majikannya memang menginginkan hal itu terjadi dan dirinya sendiri tak bisa berbuat apa-apa.
Kris menarik napas dalam dan menghembusnya dengan panjang, kemudian menapaki anak tangga ke lantai dua. Sampai di koridor atas, ia melewati beberapa kamar, lalu berhenti di sebuah pintu. Diketuknya pintu itu tiga kali, lalu menunggu sesaat. Penghuni kamar itu balas mengetuk dari dalam. Dua kali. Penghuni kamar itu tak lagi banyak bicara dan lebih sering mengurung diri setelah suatu hari beberapa tahun yang lalu—satu alasan lain Kris memaki dirinya lagi dan lagi. Ia berbalik begitu saja, menuju ruang bersantai tempat majikannya dan gadis asisten mungkin sedang berunding soal pelelangan, menjual habis segala kenangan yang ada di Vila Di Pegunungan.
03.51 p.m. (Pukul 15.51)LISAKris menggeser mundur kursi di ujung meja makan berbentuk persegi panjang. Kemudian dua lagi di ujung lain untuk Tuan Bram dan gadis berbalut klederdracht.“Silahkan, “ sahut Tuan Bram.Lisa canggung, sebab gadis berbusana klederdracht itu terus memandanginya. Tuan Bram juga langsung duduk tanpa perkenalan paling sederhana sekalipun. Gadis berbusana klederdracht sudah duduk manis, matanya masih mengawas ke wajah Lisa. Sementara Kris masih tetap bermuka datar dan bersikap dingin, berdiri dengan sebelah tangan menyiku di depan perut. Udara rasanya beku, tapi dinginnya tak begitu menyengat dibandingkan dengan sikap dingin orang-orang dalam ruang makan itu. Hanya Tuan Bram yang sedikit-sedikit tersenyum, tapi lama kelamaan Lisa justru semakin merasa gelisah. “Ini Anne.” Kata Tuan Bram. Akhirnya.“Anak Anda?” Sambung Lisa, sudut bibirnya berkedut. Sungkan. “Sepertinya pernah lihat...”“Jangan ganggu aku!” Potong gadis bernama Anne. Matanya menyalang tajam, s
03.38 p.m. (Pukul 15.38)ANNEAnne duduk mematung, menghadap cermin besar yang menegak di atas meja riasnya. Cermin persegi panjang itu memantulkan parasnya yang ayu tapi dingin. Bayangan yang terbentuk di permukaan cermin itu adalah sepotong wajah bentuk hati dengan dagu runcing; rambutnya kecoklatan, bergelombang hingga punggung atas; bibirnya merah hati, sedikit pucat dan pecah; pipinya kenyal, putih kemerahan; batang hidungnya ramping dengan tulang rawan yang tegas; sepasang matanya besar dengan bulu mata dan alis yang tipis; warna mata itu coklat cerah, tapi sama sekali tanpa binar. Kosong. Tatapan kosong yang sama itu memandangi pantulan dirinya sendiri di permukaan cermin semenjak siang tadi. Tak ada yang tahu pasti apakah ia mengedipkan matanya selama itu. Ia bahkan tak bergerak sama sekali kecuali rambutnya yang sesekali melambai terkena semilir yang masuk lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar dan hanya dihalangi kerai tipis warna putih. Tapi, yang paling aneh adalah gadi
04.11 p.m. (pukul 16.11) LISA “Maaf,” kata Lisa. Terkesan sekenanya, tapi kebanyakan orang juga bakal begitu. Canggung. Tuan Bram masih menyuguhkan senyum. Anne, gadis kekanakan itu, di luar dugaan tak menunjukkan gejala tersinggung sama sekali, kecuali jika berhenti mengadu kakinya sendiri dengan kaki meja masuk dalam hitungan. Sunyi hampir menguasai ruang itu, tapi pintu lain di ruang itu terbuka dengan sedikit kasar, membuat bunyi nyaring yang memecah sunyi. Lisa segera menoleh. Seorang pembantu perempuan memasuki ruangan dengan mendorong meja sajian. Ada tiga mangkuk sup kentang di atas meja dorong itu. Uapnya mengepul. Rambutnya disanggul rapi, ikatannya terjaga oleh sebuah penjepit rambut besar mirip kupu-kupu. Senyumnya tipis, dibentuk oleh bibir bergincu merah. Dagunya agak naik dan dadanya agak mencondong ke depan. Punggungnya terlihat cekung seperti sedang didorong ke depan oleh sesuatu—mungkin karena lilitan korset. Caranya berjalan mantap, suara ketukan sepatunya deng
03.00 p.m. (pukul 15.00) KATEMI Lewat jendela di lantai dua, Katemi melihat Kris membawa masuk seorang tamu perempuan ke dalam Vila Di Pegunungan. Katemi bergegas ke dapur, tentu saja tetap dengan langkahnya yang anggun dan mengetuk lantai dalam suatu irama yang teratur. Meski ia sehari-hari bekerja di dapur, menghadapi jelaga dan berbagai bau-bauan, ia harus tetap tampak terlihat anggun, demikian anggapannya. Satu-satunya hal yang disesalkannya karena mengganggu keanggunan penampilannya adalah selembar celemek yang sudah kusam—lupa ia cuci. Ia harus memakai celemek itu karena tak ada cadangan lain kecuali yang lebih kotor atau sudah rombeng dan ia tak mau dibilang jorok oleh siapapun di rumah itu karena mengerjakan urusan dapur tanpa celemek melapisi pakaiannya. Ia memulai masakannya dengan merebus air setengah panci besar. Sambil menunggu air mendidih, ia memotong kentang yang sudah dikupasnya tadi pagi. Ia memotong dengan cepat, sebagaimana yang ia lakukan selama ini, sebab air l
05.29 p.m. (pukul 17.29) LISA Lisa sedang mengeringkan rambut di balkon kamarnya di lantai dua. Awalnya ia tak berniat mandi mengingat betapa dinginnya udara di Pegunungan, apalagi airnya, tapi Tuan Bram bersikeras menyediakan air panas untuknya mandi. Jadi ia mengangguk, meski ia lihat Katemi tampaknya tak begitu suka direpotkan untuk mendidihkan sepanci besar air. Lisa tadinya juga ingin merebus air mandinya sendiri, tapi pembantu itu (tentu dengan senyuman yang dipaksakan) menahannya untuk menunggu di kamar. Akan tetapi, ternyata mandi sama sekali bukan pilihan yang buruk. Setelah mandi, tubuhnya terasa segar kembali. Pikirannya juga kembali luwes, seakan kecanggungan berkepanjangan di ruang makan tadi tidak pernah terjadi. Aroma sabun juga berhasil menghilangkan rasa lelahnya. Namun masih ada satu hal yang belum bisa diatasinya: udara dingin. Meskipun telah melapisi dirinya dengan mantel dan merangkapnya lagi dengan selimut tebal, ia tetap menggigil. Rasa-rasanya ia ingin menya
04.40 p.m. (pukul 16.40) ANNE Gadis bergaun klederdracht itu menanti-nanti saat pembantunya yang perempuan enyah dari ruang makan. Maka saat ayahnya meminta pembantu itu untuk mengantar si gadis asisten ke sebuah kamar tertentu di lantai dua, Anne tak bisa menahan senyumnya. “Bagaimana aku hari ini, Papa?” “Cantik.” “Cuma cantik?” “Seperti malaikat.” “Malaikat yang mana?” “Papa cuma pernah lihat satu malaikat.” Gadis itu girang. Lalu mendadak diam. “Papa masih kangen Mama?” Ayahnya tersenyum, lalu mengelus kepalanya dengan lembut. “Setiap Papa melihatmu, Papa pasti jadi ingat Mama.” “Jangan sedih, Papa. Sebentar lagi aku akan jadi Mama.” Ayahnya mengernyitkan dahi. “Yah, kamu akan semakin mirip Mama.” Gadis itu belum puas. Ia yakin bahwa ayahnya masih juga belum mengerti perkataannya. “Aku akan jadi Mama.” Ayahnya tersenyum ganjil. “Baiklah. Terserahmu saja. Jamuan ini sekaligus makan malam kita. Kembalilah ke kamarmu, Anne. Sampai besok.” Gadis itu kesal. Anne mengge
06.28 p.m. (pukul 18.28)LISALisa sempat tidur sebentar tadi. Kurang dari satu jam, tapi rasanya seperti tidur semalam suntuk. Ia sendiri tak percaya bisa terlelap sore tadi dalam keadaan sedingin itu, apalagi dengan adegan Tuan Bram dan Katemi terulang-ulang dalam benaknya. Bahkan ia terbangun sebelum penghitung mundur di ponselnya selesai dan berbunyi. Biasanya terjaga di tengah-tengah tidur lelap seperti tadi akan membuat kepalanya pening, tapi kali ini ia benar-benar merasa begitu bugar. Dan tak seperti kebiasaannya melanjutkan tidur, kali ini ia langsung beranjak dari kasur. Pekerjaan menumpuk dan itu harus selesai sebelum fajar.Sekarang, Lisa berada di sebuah ruangan bawah tanah vila itu. Sendirian. Ruang itu cukup besar dan berfungsi sebagai gudang. Sebuah lampu berdaya 5 watt menggantung di tengah-tengah, sesekali berayun tertiup angin malam yang berhembus lewat lubang udara di bagian teratas salah satu sisi tembok yang masih berada beberapa jengkal di atas permukaan tanah.
07.13 p.m. (pukul 19.13) LISA “Apa yang kamu lakukan?!” Lisa terjungkal ke belakang. Kepalanya membentur tembok. Sambil menggosok-gosok tempurung belakang kepalanya, ia menoleh ke arah pintu. Itu Kris. “Apa ini!?” Pemuda itu memungut papan Ouija dari lantai. “Aku baik-baik saja,” balas Lisa. Nadanya menyindir. “Oh...” Kris mengulurkan tangan. Ini kali pertama Lisa melihat wajah Kris seperti itu. Pemuda itu tampak menyesal. Ia meraih tangan Kris. Tiba-tiba semua kesalnya hilang. “Dari mana kamu dapat ini?” “Papan itu?” Lisa menunjuk ke suatu arah. “Dari peti itu.” Kris menghampiri peti itu dan mengamatinya beberapa saat. “Celaka,” celetuknya. “Apanya?” “Celaka!” Pemuda itu berbalik. Wajahnya pucat. Lisa tahu papan itu memang benda celaka. Hanya ada kejadian ganjil selepas papan itu dikeluarkan. Tapi pasti ada penjelasan di balik ini semua.