Share

Chapter 4: 03.23 p.m.

03.23 p.m. (Pukul 15.23)

KRIS

Pemuda itu mengayun langkahnya lebih cepat. Ia ingin segera menjauhi tamunya, seorang kurator benda-benda seni dan antik—lebih tepatnya, asisten. Ia tak menyukai kehadiran gadis itu. Kehadiran gadis itu di sini berarti bahwa majikannya benar-benar berniat akan menghapus sebagian besar kenangan di vila ini. Bahkan, mungkin seluruhnya. 

Kris marah pada gadis itu. Marah pada majikannya. Marah pada dirinya sendiri, yang tak mampu berbuat apa-apa meski ia telah melayani keluarga ini sejak belia. 

Kris ingin memaki dirinya sendiri, tapi itu sudah ia lakukan setiap hari sejak suatu hari beberapa tahun yang lalu. Memaki dirinya lagi hari ini tak akan memberi perbedaan berarti. Ia ingin menggugat majikannya, tapi ketika ia melihat tatapan sendu majikannya itu, ia lebih ingin untuk memaki diri sendiri lagi. Jadi, ketika siang itu si gadis asisten muncul di muka gerbang Vila Di Pegunungan, ia merasa telah menemukan pelampiasan kekesalannya.

Kris memang tak memaki gadis itu, tapi bersikap dingin nan tak acuh membuatnya cukup puas. Ia harap sudah membuat gadis itu merasa jengah dan kesal sebesar-besarnya. Ia harap gadis itu tak betah. Tadinya ia bahkan berharap kendaraan apapun yang ditumpangi gadis itu ke Pegunungan oleng di tengah perjalanan, tapi kenyataannya, gadis itu tetap muncul. Masih setengah berharap, pemuda itu membayangkan ini semua hanyalah mimpi, tapi kenyataanya, ia sekarang sedang menyiapkan meja makan untuk menjamu gadis itu. Di atas meja itu, bayangnya, majikannya dan gadis itu nanti akan berunding soal pelelangan, menjual habis segala kenangan yang ada di Vila Di Pegunungan.

Tangannya tetap bekerja meski isi kepalanya berkhayal ke mana-mana. Meja makan sudah tertutup linen warna merah darah yang cantik. Di atas meja, tiga buah piring bersisian dengan sendok, garpu dan pisau makan yang tersusun rapi. Seluruhnya telah ia poles hingga mengilat. Sehelai celemek terlipat rapi di sisi setiap piring. Dua pasang botol garam dan merica berdiri berdampingan, dengan setiap pasang diletakkan agak di pinggir meja. Di tengah-tengah meja, sebuah kandelabra bercabang tiga tegak, memanggul tiga batang lilin dengan sumbu yang masih dingin.

Ia beranjak ke sudut ruang. Dihampirinya sebuah gramofon yang juga sudah ia poles hingga mengilat. Ia pilah beberapa piringan hitam lalu menyisihkan lainnya ke dalam lemari yang bertengger di sebelahnya. Berikutnya, ia berkeliling ruang, memeriksa segala perabotan berada pada tempatnya dan tentu saja tak dihinggapi debu.

Kesalnya masih belum hilang, tapi Kris tak bisa membiarkan vila itu terkena imbas, betapapun besarnya kekesalan itu. Ia melakukan pelayanan ini bukan demi tamunya, majikannya atau bahkan dirinya sendiri. Ia melakukan ini demi semua kenangan yang di vila ini, kenangan-kenangan yang sebentar lagi akan habis dilelang, dicumbui orang-orang asing yang pastinya tak mengetahui betapa berharganya semua benda itu.

Persiapan selesai. Ia meninggalkan ruang makan lewat pintu lain yang langsung terhubung dengan dapur. Ia membuka setengah pintu, hanya untuk mengintip dan menyapa seorang pembantu perempuan yang sedang sibuk mengaduk panci berisi kuah mendidih, lalu bertanya, “Apakah sudah siap?”

“Sebentar lagi,” balas pembantu perempuan itu tanpa menoleh. “Kau boleh panggil mereka.”

Ia berbalik ke ruang makan. Membuka pintu yang lain lagi, yang menembus ke ruang keluarga. Ia menyeberangi ruang, menuju tangga ke lantai dua. Benaknya masih kacau. Hatinya masih penuh kesal. Menjadi-jadi. Dan sebelum ia naik ke lantai dua, diliriknya sekilas tangga yang menuju ke ruang bawah yang berada tepat di bawah tangga ke lantai dua. Ruang bawah itu terhubung pada gudang, sebuah ruangan di Vila Di Pegunungan yang paling banyak menampung kenangan—semua barang di vila ini hampir semuanya bermuara ke situ. Kesalnya bertambah manakala sebuah bayangan melintas di benaknya. Bayangan bahwa gudang itu akan dibongkar oleh orang asing, sementara majikannya memang menginginkan hal itu terjadi dan dirinya sendiri tak bisa berbuat apa-apa.

Kris menarik napas dalam dan menghembusnya dengan panjang, kemudian menapaki anak tangga ke lantai dua. Sampai di koridor atas, ia melewati beberapa kamar, lalu berhenti di sebuah pintu. Diketuknya pintu itu tiga kali, lalu menunggu sesaat. Penghuni kamar itu balas mengetuk dari dalam. Dua kali. Penghuni kamar itu tak lagi banyak bicara dan lebih sering mengurung diri setelah suatu hari beberapa tahun yang lalu—satu alasan lain Kris memaki dirinya lagi dan lagi. Ia berbalik begitu saja, menuju ruang bersantai tempat majikannya dan gadis asisten mungkin sedang berunding soal pelelangan, menjual habis segala kenangan yang ada di Vila Di Pegunungan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status