Share

Chapter 3: 03.20 p.m.

03.20 p.m. (Pukul 15.20)

LISA

Keramahannya tak akan berarti apapun bagi Kris. Kini Lisa lebih memilih untuk menikmati dirinya sendiri. Langkahnya jadi diperlambat, sambil disebar pandangannya ke kiri dan ke kanan. Disusuri oleh pandangannya itu hamparan tembok kayu yang penuh dengan lukisan-lukisan yang bergantung berjejer. Lukisan yang bagus, tapi tak cukup unik untuk membuat Lisa mematung dan menggeser-geser bingkai kacamata di pangkal hidungnya—sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia asik mengamati sesuatu yang menurutnya tidak biasa. Ada lukisan pemandangan, tampaknya lingkungan sekitar desa, tapi ada juga pemandangan-pemandangan dengan kincir angin raksasa, padang-padang tulip dan lautan penuh kapal layar yang setahunya tidak ada di negeri ini. Ada lukisan makhluk hidup: beberapa serangga dan hewan-hewan tunggangan semacam kuda poni dan gajah India, tapi makhluk hidup yang paling banyak di gambar adalah manusia, lebih tepatnya perempuan. Bukan paling banyak, tetapi semuanya. Semua manusia dalam lukisan di sepanjang koridor yang sudah ia lihat adalah perempuan. Kalau diperhatikan, perempuan-perempuan itu lumayan mirip satu sama lain.

Lisa akhirnya terlalu asyik memandangi lukisan-lukisan di sepanjang tembok koridor. Entah pada langkah yang ke berapa, ia menabrak punggung Kris. Lelaki ikal itu berbalik dan memandangnya tanpa perubahan raut wajah yang berarti.

“Saya mengantar sampai sini,” Kris menunjuk ke ujung koridor, tampak dua jalan bercabang di sana. “Di sana ambil jalur kanan. Di ujung jalan berikutnya, ada tiga ruang. Tuan Bram sudah menunggu di ruangan paling kiri.”

“Kamu tidak ikut?”

“Telinga Anda tampaknya punya gangguan.” Kris segera berbalik meninggalkan Lisa dengan langkahnya yang lebar dan gesit. 

“Terima kasih, Tuan Ketus!” Ujar Lisa, suaranya sedikit keras, berharap sampai ke telinga Kris yang belum-belum sudah berjarak jauh sekali darinya.

Lisa tak lagi ambil soal. Pandangannya kembali merayapi tembok koridor. Kali ini Lisa ingin lebih rinci mengamati lukisan. Ia membagi lukisan dalam beberapa kelompok. Ada  lukisan pemandangan alam, hewan, buah-buahan, kapal-kapal, dan orang-orang—perempuan-perempuan—serta beberapa lukisan abstrak. Sampai pada lukisan-lukisan tertentu, ada sesuatu yang disadari Lisa. Meskipun lukisan-lukisan itu memiliki tema yang berbeda, goresan-goresan cat itu hampir semuanya berasal dari tangan yang sama. Ia tahu itu, karena seperti yang ia sampaikan pada Kris sebelumnya, ia juga melukis. Tidak ahli, tapi gemar dan ia yakin sudah cukup sering melukis untuk menyadari adanya kesamaan gaya dalam lukisan yang berbeda.

Mata Lisa mulai terasa lelah. Pencahayaan di koridor itu memang jelek, ditambah pula dengan keadaannya yang kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh. Ia mempercepat langkahnya, berniat segera menyelesaikan urusan ramah tamah dan beristirahat sebentar. Toh lukisan-lukisan itu juga tak bagus-bagus amat, pikirnya. Di depan, persimpangan yang dimaksud Kris sudah terlihat. Ada sebuah lukisan besar di tembok persimpangan itu yang menghadap ke arah koridor tempat ia berjalan sekarang.

Sekarang, di hadapan Lisa terpampang sebuah lukisan dengan luas kurang lebih dua kali satu meter persegi. Sebuah lukisan manusia. Seorang anak gadis dengan kisaran umur 13 sampai 16 tahun sedang berdiri anggun berbalut busana klederdracht. Aneh, pikirnya, sebab busana itu tak cocok dengan latar di belakangnya. Tak ada bangunan dengan kincir angin. Tak ada bunga tulip. Tak ada padang rumput dengan sapi perahnya. Tak ada segala macam yang berhubungan dengan negara asalnya. Latar yang dilukis justru kebun teh di pegunungan, persis dengan pemandangan yang ia lihat sepanjang perjalanan tadi. Raut wajah gadis di lukisan itu juga janggal. Tersenyum, tapi justru tampak agak seram karena kedua matanya yang menatap tajam ke depan dengan dagu sedikit saja terangkat. Sinis.

Lisa mematung. Tangan kirinya melingkar ke pinggang kanan, semetara yang kanan bertumpu pada bagian siku kiri, menopang dagu yang sesekali mengangguk. Jarinya sesekali menjangkau bingkai kacamatanya, berusaha menyesuaikan letak benda berbahan serat kaca itu di batang hidungnya untuk mendapat penglihatan paling baik. Lalu ia mengamati lukisan itu dari ujung satu ke ujung lain. Berbeda dengan lukisan-lukisan yang ia lihat sebelumnya, goresan-goresan yang dioles pada kanvas itu terkesan lebih tegas. Warnanya juga lebih pucat dan perpaduannya kelam. Perempuan yang dilukis memiliki kemiripan yang sama dengan perempuan-perempuan dalam lukisan yang lain, hanya saja, perempuan dalam lukisan yang satu ini adalah yang paling cantik dan, karena raut wajahnya yang  pongah, juga memancarkan kesan berkuasa.

“Berapa harga yang Anda taksir untuk lukisan itu?” Suara seorang lelaki terdengar tiba-tiba. 

 “Astaga!” Lisa memekik. Suara itu mengagetkannya, tapi ia hanya butuh lima detik untuk mengambil kendali atas dirinya lagi. Ia memandang sekilas seorang lelaki bongsor menjadi sumber suara tadi, lalu sedikit membungkuk sebentar, menyampaikan keseganan sekaligus hormat karena akal sehatnya mengatakan bahwa lelaki yang berdiri tepat di depan pintu adalah pemilik vila ini.

“Oh, maaf. Kaget, ya?” Kata lelaki itu. Senyumnya lebar.

“Sedikit. Eh, anu, maksudnya tidak juga.”

“Anda Nyonya Zaitun? Lebih muda dari yang saya kira. Terlalu muda.”

“Saya Lisa. Asisten Bu Zaitun. Anda Tuan Bram?”

“Ya,” kata lelaki itu. Nadanya menggantung, lalu kepalanya bergerak mengikuti gerak bola matanya yang mengamati sosok Lisa dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Senyumnya menciut.

Lisa menyeret ujung kemejanya ke bawah untuk menghilangkan kerut-kerut yang mungkin tampak, sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan pelanggan. Di dalam kepala, Lisa merekam sosok Tuan Bram dalam ingatannya: rambutnya sedikit ikal dan lebat, kemerahan dengan banyak selingan keperakan; matanya dikelilingi lingkar hitam yang tipis, warna bolanya cerah, tak terlalu tampak, tapi yang jelas bukan coklat muda; hidungnya mancung dengan ujung tumpul; giginya besar, berbaris tak begitu rapi dan cukup mencolok bahkan lewat celah senyum yang sekilas saja; tulang menonjol dengan kesan tegas di dua sisi pipinya yang memiliki cekung kecil, terus ke bawah membentuk dagu yang besar dan kokoh. Semua rincian itu membentuk raut yang sangat jantan. Tegas dan seram, tapi tetap bisa mengundang iba.

“Bu Zaitun ada urusan mendadak. Nanti menyusul.”

“Oh, ya?” Senyum Tuan Bram melebar kembali. “Baguslah.”

Tuan Bram berbalik. Kemeja panjangnya yang merah marun mengilat terkena semburat kekuningan dari dalam kamarnya. Kilatan di satin itu bergerak-gerak, memberitahu Lisa bahwa asalnya bukan dari pijaran lampu. “Ah, bocah sialan itu tak melaporkan apapun padaku,” kata lelaki itu sambil lalu ke dalam kamarnya. Lisa tersenyum. Ia tahu orang yang dimaksud Tuan Bram dalam umpatan itu.

“Silahkan masuk!” 

Lisa melangkah lambat ke dalam ruangan, mendekat perlahan pada daun pintu mengilat yang memantulkan liuk cahaya kekuningan. Dirasakannya hembusan hangat yang lemah di muka ruangan itu. Di balik pintu itu rupanya adalah sebuah ruang bersantai yang luas. Dindingnya berbahan kayu, sama seperti ruang-ruang yang sudah ia lewati di vila itu. Tak ada pernik apapun yang menghiasi dinding kecuali sepucuk senapan laras panjang yang menggantung agak miring di sisi kanan. Tak ada jendela pula, hanya ada semacam celah-celah kecil di bagian atas. Setengah luasan lantainya di selimuti karpet merah persegi dengan sulaman berumbai di kedua ujungnya. Di atas karpet itu tersusun sepasang sofa antik yang juga berwarna merah, hanya saja warnanya lebih gelap, mungkin karena jamur-jamur yang sudah lama berkeluarga di permukaannya—dengan udara lembab Pegunungan, mungkin jamur-jamur itu sudah sampai turunan ketujuhbelas. Di antara kedua sofa itu berdiri sebuah meja bundar mungil dengan sebuah gelas kosong di atasnya. Lalu, yang paling menarik perhatian Lisa, adalah sebuah perapian yang dibentuk oleh susunan bata merah yang rapi di sisi ruang, tepat di samping sepasang sofa merah. Susunan bata pada perapian itu meninggi hingga menembus langit-langit; tampak amat mencolok dengan dinding yang terbuat dari kayu, tapi justru tampak indah karena itu. Hanya api kecil yang meliuk di ceruk perapian yang juga menerangi ruangan tanpa jendela itu, tapi hawa hangatnya sudah bisa melingkupi seisi ruang. Suatu tontonan yang menawan, setidaknya bagi Lisa yang tak pernah melihat langsung perapian dalam ruang, lebih-lebih menggunakannya.

Tuan Bram merebahkan tubuhnya ke salah satu sofa merah. Angin berhembus keluar dari bantalan sofa yang seketika menggembung, lalu melewati api di perapian dan membuatnya meliuk liar sejenak. “Duduklah!”

Lisa duduk. Kakinya merapat, lutut bertemu lutut, tumit bertemu tumit. Kedua telapak tangannya mengusap paha. Kepalanya berputar sebentar sambil matanya melihat-lihat lagi. “Ruangan ini cantik.”

“Kamu juga.”

Lisa agak terkejut. Ia harusnya tersipu, tapi justru ia bergidik. Lelaki di depannya memang menawan, tapi mungkin hanya untuk perempuan tertentu. Yang seumuran misal, atau perempuan-perempuan muda dengan selera yang “begitu”. Lisa merasa terlalu muda dan merasa tak punya selera semacam itu, tapi ia tetap tersenyum juga. Sebatas keramahan untuk pelanggan.

“Jadi, bagaimana dengan barang-barang yang mau Anda lelang?”

“Tanpa basa-basi.” 

“Maaf, saya cuma tegang.” Lisa sebenarnya sangat suka basa-basi, tapi entah kenapa kali ini ia lupa. 

“Mungkin karena dingin. Sering ke gunung?”

“Beberapa kali. Gunung yang sama tapi.”

“Ada kebun tehnya juga?”

Lisa menggeleng. “Cuma hamparan pasir. Paling bagus mata air panas bau telur busuk.”

Keduanya tertawa singkat. Bara di perapian meletik. Secuil kayu merah menyala, lalu terhempas dan semakin memudar di udara. Tinggal segaris asap tipis yang mengapung di udara saat serpihan bara itu menyentuh lantai yang dingin, sedingin kesunyian yang datang setelah tawa lepas barusan.

“Jadi, apa tugas kamu di sini?” Tuan Bram memulai duluan kali ini.

“Saya akan kelompokkan barang-barangnya. Nanti Bu Zaitun yang tinggal menaksir, dan selebihnya, mengatur pelelangan. ”

“Bisa kamu lelang semuanya saja?”

“Bisa. Tapi kami harus tetap jujur soal mutunya.”

“Eh, jangan semua juga, sih. Tampaknya bakal terlihat murahan dan aku akan terlihat seperti orang bangkrut.”

“Kalau boleh tahu, kenapa Anda ingin menjual semuanya?” Lisa bertanya begitu saja. Seakan-akan pertanyaan itu  tak melanggar kode etis.

“Aku ingin memulai hidup baru.” Wajah Tuan Bram sedikit memelas. Matanya menatap ke arah perapian.

Lisa memandang wajah Tuan Bram yang tiba-tiba jadi kuyu. Seperti memandang wajah seorang ayah yang sudah tua dan lelah. Getir. Seperti mengiba. Meski begitu, dalam benaknya, Lisa menerka-menerka: sebuah percakapan kaku dengan cepatnya mengarah pada hal pribadi; apakah Tuan Bram memang sungguh-sungguh atau jangan-jangan ini hanya semacam muslihat buaya darat? Ia sudah sering berurusan dengan lelaki hidung belang, bukan urusan percintaan memang, hanya sebagai teman, tapi justru itulah yang membuatnya lebih leluasa mengamati tingkah laku spesies lelaki macam itu. Dan sejujurnya, Lisa sempat hampir bersimpati dengan Tuan Bram, tapi mengingat pengalamannya, buru-buru ia enyahkan pikiran itu—ia tak mau berpikir bahwa jangan-jangan ia memang punya selera yang “begitu”.

Kesunyian hadir lagi. Hampir beku. Bara di perapian meletik lagi, meluncurkan lebih banyak percikan merah menyala yang memudar di udara dan mengirimkan lebih banyak garis asap ke langit-langit. Lalu pintu terketuk tiga kali, terbuka perlahan tak lama setelahnya.

“Jamuan siap, Tuan.”

Itu Kris yang muncul dari balik pintu. Lisa menengok ke belakang. Pemuda itu memang bilang akan mengurus sesuatu tadi.

“Ah, perut kosong selalu bikin masalah, bukan?” Tuan Bram beranjak dari sofa merahnya.

Lisa mengekor tanpa banyak bicara. Setelah percakapan tadi, ia merasa ada sesuatu dalam diri Tuan Bram yang membuatnya enggan bercakap lagi—selain perkiraannya soal kebelangan hidung Tuan Bram—sesuatu yang menyedihkan, tapi juga memuakkan. Itu kata hatinya, yang lebih ia sukai dengan sebutan “intuisi”, dan ia memang macam orang yang sangat mempercayai suara kecil dari hati.

Ketiga orang itu berjalan menyusuri koridor. Kris berjalan di belakang, sementara Lisa dan Tuan Bram berjalan beriringan di depan. Kris berjalan lebih lambat kali ini dan sikapnya pun lebih pantas selayaknya pelaksana urusan rumah tangga seharusnya. Beberapa langkah kemudian, mereka sampai di persimpangan koridor tempat lukisan gadis klederdracht dipajang. Lisa sempat berhenti sesaat, tapi perhatiannya tak lagi tertuju pada lukisan itu. Matanya lebih tertarik mengamati Tuan Bram yang barusan mendahuluinya dan kini ada beberapa langkah di depannya.

Lisa mengamati Tuan Bram dari belakang. Tubuh Tuan Bram tinggi dan besar, tapi bukan gemuk. Langkahnya lebih lebar dari Kris, tapi tak tergesa. Kalem. Terlihat dari belakang, rambut Tuan Bram ternyata memiliki lebih banyak lagi garis perak. 

Lisa mempercepat pergantian langkahnya. Beberapa jengkal dari Tuan Bram, ia tersadar bahwa kulit lelaki itu begitu pucat, dan satu hal yang baru disadarinya, Tuan Bram memiliki aroma yang harum. Mungkin parfum, tapi Lisa belum pernah mencium aroma seperti itu. Saat mereka kembali bersisian, Lisa sempat mencuri pandang pada wajah Tuan Bram. Bola mata lelaki itu berwarna biru. Dari manakah asal negara Tuan Bram? Mungkin Negeri Kincir Angin. Lisa teringat akan lukisan gadis berbalut klederdracht.

Mereka terus berjalan tanpa sepatah kata pun terucap. Lisa berpura-pura menikmati deret lukisan yang sebenarnya tidak terlalu menarik. Tuan Bram masih mempertahankan senyumnya, kini agak tipis. Kris, masih seperti tadi, berjalan dengan lagaknya yang kaku. Ruangan yang mereka tuju adalah sebuah ruangan di ujung jalur kiri dari persimpangan koridor. Sebuah ruang makan dengan meja persegi panjang melintang di tengah-tengahnya.

Baru saja mereka memasuki ruang itu, sebuah pintu di sisi lain ruangan terbuka. Sedikit kasar. 

“Papa!”

Pemilik suara itu menghambur ke arah Tuan Bram dan langsung memeluknya seakan-akan telah berpisah bertahun-tahun. Ia seorang gadis dalam balutan klederdracht. Si gadis dalam lukisan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status