03.51 p.m. (Pukul 15.51)
LISA
Kris menggeser mundur kursi di ujung meja makan berbentuk persegi panjang. Kemudian dua lagi di ujung lain untuk Tuan Bram dan gadis berbalut klederdracht.
“Silahkan, “ sahut Tuan Bram.
Lisa canggung, sebab gadis berbusana klederdracht itu terus memandanginya. Tuan Bram juga langsung duduk tanpa perkenalan paling sederhana sekalipun. Gadis berbusana klederdracht sudah duduk manis, matanya masih mengawas ke wajah Lisa. Sementara Kris masih tetap bermuka datar dan bersikap dingin, berdiri dengan sebelah tangan menyiku di depan perut. Udara rasanya beku, tapi dinginnya tak begitu menyengat dibandingkan dengan sikap dingin orang-orang dalam ruang makan itu. Hanya Tuan Bram yang sedikit-sedikit tersenyum, tapi lama kelamaan Lisa justru semakin merasa gelisah.
“Ini Anne.” Kata Tuan Bram. Akhirnya.
“Anak Anda?” Sambung Lisa, sudut bibirnya berkedut. Sungkan. “Sepertinya pernah lihat...”
“Jangan ganggu aku!” Potong gadis bernama Anne. Matanya menyalang tajam, seakan-akan ada semburat yang langsung menusuk ke dalam otak Lisa. Gerak-gerik gadis itu seperti anak kecil yang kesumat karena permennya diambil paksa.
“Anne, ini Tante Lisa.” Tuan Bram membelai rambut Anne.
Lisa tersenyum ramah, tapi Anne membuang muka. Gadis itu mengantukkan ujung sepatunya ke kaki meja. Berkali-kali. Tuan Bram diam saja. Kris juga.
Dalam hatinya, Lisa jengkel. Ia tak begitu menyukai anak-anak, terlebih yang seperti ini. Tidak. Dari ukuran tubuhnya, Anne jelas bukan anak-anak lagi. Itu semakin membuat Lisa jengkel. Ia ingin menarik cuping telinga Anne atau mencubit bibirnya dengan sebuah tang sampai anak itu menjerit-jerit kesakitan. “Bocah ini perlu belajar sopan santun,” batin Lisa.
“Jadi, berapa umurnya?” Pada akhirnya, ia harus tetap berusaha untuk ramah.
“Dua belas,” jawab Tuan Bram singkat.
“Lukisan di koridor itu Anne?”
“Bukan. Itu ibunya”
“Wah, kecantikan ibunya benar-benar menurun ke Anne.” Meskipun, tentu saja, itu hanya pujian kosong. Lisa masih jengkel. “Jadi, di mana Nyonya Bram?”
Suasana mendadak senyap—lebih senyap dari sebelumnya. Tuan Bram berhenti bergerak sama sekali. Kini Tuan Bram yang ganti memandangi Lisa dengan mata menyalang. Sebentar. Lalu lelaki paruh baya itu berdehem.
“Maria, istriku, sudah lama meninggal.” Tuan Bram tersenyum.
Lisa terbatuk, tersedak napasnya sendiri.
03.38 p.m. (Pukul 15.38)ANNEAnne duduk mematung, menghadap cermin besar yang menegak di atas meja riasnya. Cermin persegi panjang itu memantulkan parasnya yang ayu tapi dingin. Bayangan yang terbentuk di permukaan cermin itu adalah sepotong wajah bentuk hati dengan dagu runcing; rambutnya kecoklatan, bergelombang hingga punggung atas; bibirnya merah hati, sedikit pucat dan pecah; pipinya kenyal, putih kemerahan; batang hidungnya ramping dengan tulang rawan yang tegas; sepasang matanya besar dengan bulu mata dan alis yang tipis; warna mata itu coklat cerah, tapi sama sekali tanpa binar. Kosong. Tatapan kosong yang sama itu memandangi pantulan dirinya sendiri di permukaan cermin semenjak siang tadi. Tak ada yang tahu pasti apakah ia mengedipkan matanya selama itu. Ia bahkan tak bergerak sama sekali kecuali rambutnya yang sesekali melambai terkena semilir yang masuk lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar dan hanya dihalangi kerai tipis warna putih. Tapi, yang paling aneh adalah gadi
04.11 p.m. (pukul 16.11) LISA “Maaf,” kata Lisa. Terkesan sekenanya, tapi kebanyakan orang juga bakal begitu. Canggung. Tuan Bram masih menyuguhkan senyum. Anne, gadis kekanakan itu, di luar dugaan tak menunjukkan gejala tersinggung sama sekali, kecuali jika berhenti mengadu kakinya sendiri dengan kaki meja masuk dalam hitungan. Sunyi hampir menguasai ruang itu, tapi pintu lain di ruang itu terbuka dengan sedikit kasar, membuat bunyi nyaring yang memecah sunyi. Lisa segera menoleh. Seorang pembantu perempuan memasuki ruangan dengan mendorong meja sajian. Ada tiga mangkuk sup kentang di atas meja dorong itu. Uapnya mengepul. Rambutnya disanggul rapi, ikatannya terjaga oleh sebuah penjepit rambut besar mirip kupu-kupu. Senyumnya tipis, dibentuk oleh bibir bergincu merah. Dagunya agak naik dan dadanya agak mencondong ke depan. Punggungnya terlihat cekung seperti sedang didorong ke depan oleh sesuatu—mungkin karena lilitan korset. Caranya berjalan mantap, suara ketukan sepatunya deng
03.00 p.m. (pukul 15.00) KATEMI Lewat jendela di lantai dua, Katemi melihat Kris membawa masuk seorang tamu perempuan ke dalam Vila Di Pegunungan. Katemi bergegas ke dapur, tentu saja tetap dengan langkahnya yang anggun dan mengetuk lantai dalam suatu irama yang teratur. Meski ia sehari-hari bekerja di dapur, menghadapi jelaga dan berbagai bau-bauan, ia harus tetap tampak terlihat anggun, demikian anggapannya. Satu-satunya hal yang disesalkannya karena mengganggu keanggunan penampilannya adalah selembar celemek yang sudah kusam—lupa ia cuci. Ia harus memakai celemek itu karena tak ada cadangan lain kecuali yang lebih kotor atau sudah rombeng dan ia tak mau dibilang jorok oleh siapapun di rumah itu karena mengerjakan urusan dapur tanpa celemek melapisi pakaiannya. Ia memulai masakannya dengan merebus air setengah panci besar. Sambil menunggu air mendidih, ia memotong kentang yang sudah dikupasnya tadi pagi. Ia memotong dengan cepat, sebagaimana yang ia lakukan selama ini, sebab air l
05.29 p.m. (pukul 17.29) LISA Lisa sedang mengeringkan rambut di balkon kamarnya di lantai dua. Awalnya ia tak berniat mandi mengingat betapa dinginnya udara di Pegunungan, apalagi airnya, tapi Tuan Bram bersikeras menyediakan air panas untuknya mandi. Jadi ia mengangguk, meski ia lihat Katemi tampaknya tak begitu suka direpotkan untuk mendidihkan sepanci besar air. Lisa tadinya juga ingin merebus air mandinya sendiri, tapi pembantu itu (tentu dengan senyuman yang dipaksakan) menahannya untuk menunggu di kamar. Akan tetapi, ternyata mandi sama sekali bukan pilihan yang buruk. Setelah mandi, tubuhnya terasa segar kembali. Pikirannya juga kembali luwes, seakan kecanggungan berkepanjangan di ruang makan tadi tidak pernah terjadi. Aroma sabun juga berhasil menghilangkan rasa lelahnya. Namun masih ada satu hal yang belum bisa diatasinya: udara dingin. Meskipun telah melapisi dirinya dengan mantel dan merangkapnya lagi dengan selimut tebal, ia tetap menggigil. Rasa-rasanya ia ingin menya
04.40 p.m. (pukul 16.40) ANNE Gadis bergaun klederdracht itu menanti-nanti saat pembantunya yang perempuan enyah dari ruang makan. Maka saat ayahnya meminta pembantu itu untuk mengantar si gadis asisten ke sebuah kamar tertentu di lantai dua, Anne tak bisa menahan senyumnya. “Bagaimana aku hari ini, Papa?” “Cantik.” “Cuma cantik?” “Seperti malaikat.” “Malaikat yang mana?” “Papa cuma pernah lihat satu malaikat.” Gadis itu girang. Lalu mendadak diam. “Papa masih kangen Mama?” Ayahnya tersenyum, lalu mengelus kepalanya dengan lembut. “Setiap Papa melihatmu, Papa pasti jadi ingat Mama.” “Jangan sedih, Papa. Sebentar lagi aku akan jadi Mama.” Ayahnya mengernyitkan dahi. “Yah, kamu akan semakin mirip Mama.” Gadis itu belum puas. Ia yakin bahwa ayahnya masih juga belum mengerti perkataannya. “Aku akan jadi Mama.” Ayahnya tersenyum ganjil. “Baiklah. Terserahmu saja. Jamuan ini sekaligus makan malam kita. Kembalilah ke kamarmu, Anne. Sampai besok.” Gadis itu kesal. Anne mengge
06.28 p.m. (pukul 18.28)LISALisa sempat tidur sebentar tadi. Kurang dari satu jam, tapi rasanya seperti tidur semalam suntuk. Ia sendiri tak percaya bisa terlelap sore tadi dalam keadaan sedingin itu, apalagi dengan adegan Tuan Bram dan Katemi terulang-ulang dalam benaknya. Bahkan ia terbangun sebelum penghitung mundur di ponselnya selesai dan berbunyi. Biasanya terjaga di tengah-tengah tidur lelap seperti tadi akan membuat kepalanya pening, tapi kali ini ia benar-benar merasa begitu bugar. Dan tak seperti kebiasaannya melanjutkan tidur, kali ini ia langsung beranjak dari kasur. Pekerjaan menumpuk dan itu harus selesai sebelum fajar.Sekarang, Lisa berada di sebuah ruangan bawah tanah vila itu. Sendirian. Ruang itu cukup besar dan berfungsi sebagai gudang. Sebuah lampu berdaya 5 watt menggantung di tengah-tengah, sesekali berayun tertiup angin malam yang berhembus lewat lubang udara di bagian teratas salah satu sisi tembok yang masih berada beberapa jengkal di atas permukaan tanah.
07.13 p.m. (pukul 19.13) LISA “Apa yang kamu lakukan?!” Lisa terjungkal ke belakang. Kepalanya membentur tembok. Sambil menggosok-gosok tempurung belakang kepalanya, ia menoleh ke arah pintu. Itu Kris. “Apa ini!?” Pemuda itu memungut papan Ouija dari lantai. “Aku baik-baik saja,” balas Lisa. Nadanya menyindir. “Oh...” Kris mengulurkan tangan. Ini kali pertama Lisa melihat wajah Kris seperti itu. Pemuda itu tampak menyesal. Ia meraih tangan Kris. Tiba-tiba semua kesalnya hilang. “Dari mana kamu dapat ini?” “Papan itu?” Lisa menunjuk ke suatu arah. “Dari peti itu.” Kris menghampiri peti itu dan mengamatinya beberapa saat. “Celaka,” celetuknya. “Apanya?” “Celaka!” Pemuda itu berbalik. Wajahnya pucat. Lisa tahu papan itu memang benda celaka. Hanya ada kejadian ganjil selepas papan itu dikeluarkan. Tapi pasti ada penjelasan di balik ini semua.
06.40 p.m. (pukul 18.40) BRAM Ada yang mengetuk pintu kamarnya. Ketukannya lemah dan memiliki jeda yang berbeda antar ketukan, membentuk suatu irama. Sekilas ingatannya berlalu. Bram ingat bahwa hanya satu orang yang mengetuk pintu dengan irama seperti itu di vilanya. Ia berusaha mengingatnya kembali, tapi sosok itu hanya melintas sekilas saja. Ia ingat, tapi juga sekaligus lupa. Itu perasaan terburuk yang pernah ia rasakan sepekan ini. Bram menyerah untuk menggali ingatannya dan menghampiri pintu. Ia membuka kunci pintu, tapi sebelum tangannya benar-benar mengenggam gagang pintu, bongkahan logam itu bergerak memutar dengan sendirinya. Lalu seorang perempuan bergaun kledercracht menghambur ke pelukannya. Bibir perempuan itu menyentuh bibirnya. Anehnya, ia tak merasa risih. Ketika bibir mereka bertemu, ada jeda sejenak. Bukan karena keraguan, tapi karena kerinduan yang entah dari mana tiba-tiba meluap-luap. Se