“Paman sudah mencoba mencari dan menghubungi ibumu, tapi sampai sekarang belum tahu di mana keberadaannya. Terakhir kali Paman mendengar informasi kalau ibumu sudah menikah dengan keluarga yang cukup berada. Mungkin dia tahu kondisimu saat ini, tapi untuk membawamu ke dalam keluarganya yang sekarang membuatnya berpikir lagi. Bisa jadi kehadiranmu di sana akan menimbulkan masalah baginya. Akan lebih baik kamu mencari Panti Asuhan saja."
Mendengar perkataan Paman tadi, dadaku terasa tertimpa ribuan ton besi yang membuat aku sesak dan susah bernapas. Tanpa kusadari kedua tanganku mengepal hingga bergetar. “Apakah ibuku benar seperti yang dikatakan Paman?” pertanyaan itu yang terbersit dipikiranku. Tapi aku tidak heran lagi karena sewaktu aku bayi saja ibuku sudah tega meninggalkan aku.
Apalagi sekarang tidak mungkin dia memikirkan aku. Jika dia memang ibu yang bertanggungjawab pasti jauh-jauh hari dia sudah mencariku. Aku yakin dia sudah hidup bahagia dengan keluarga barunya. Membawaku bersamanya hanya akan membebadi hidupnya saja. Lebih baik sekarang aku beranggapan kalau ibu sudah pergi bersama dengan ayah.
“Tidak apa-apa Paman. Mulai sekarang biar aku saja yang mengurus diriku sendiri. Aku tidak mau menyusahkan orang lain. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku Paman."
Aku pamit dan memberi salam perpisahan. Rasanya ingin menangis, tapi air mataku sudah enggan keluar. Mungkin dia sudah lelah dengan diriku yang selama ini menangisi diri sendiri. Sebelum merencanakan harus pergi kemana, aku pergi ke makam ayah dulu. Aku ingin jiarah, pamit sama ayah karena mungkin dalam waktu dekat ini aku tidak akan bisa mengunjunginya lagi.
Sudah tiga bulan semenjak kepergian ayah. Aku memandangi batu nisannya yang berdiri kokoh seperti dirinya kuat dan tegar dalam menjalani kehidupan yang keras ini. Aku tidak bisa berkata-kata, bahkan aku tidak bisa menangisi hidupku kedepannya yang tidak jelas ini.
Setelah aku selesai jiarah, di tengah jalan aku teringat dengan saran dari Paman. “Panti Asuhan… Apa aku coba cari tahu aja kali ya?”. Kalau sekolah, aku bisa minta ke guru supaya aku izin dulu hingga aku bisa menemukan tempat tinggal."
Aku berjalan sambil membawa tas yang berisi barang-barangku. Aku tidak sadar sudah berjalan jauh, sudah mendekati sekolahku yang letaknya dekat dengan perbatasan ke kota. Karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri hingga aku kaget ada mobil yang tiba-tiba berhenti mendadak di dekatku dan aku pun spontan menghentikan langkah kakiku.
Aku melihat seorang ibu keluar dari dalam mobil itu dan berjalan ke arahku. Sejenak dia melihat aku dengan tatapan bingung. Saat itu mungkin aku terlihat seperti orang yang kabur dari rumah.
Awalnya aku berpikir mungkin dia adalah orang kota yang tersesat ingin menanyakan alamat seseorang karena dia tersesat. Tetapi apa yang aku pikirkan salah. Betapa kagetnya aku ketika dia memanggil namaku. Aku terdiam sambil mengingat-ingat apakah aku pernah bertemu dengan orang yang ada di depanku ini. Tapi aku tidak mengingat pernah bertemu dengannya.
Mungkin ini hanya kebetulan atau aku hanya salah dengar kali. Mungkin telingaku saat ini yang bermasalah karena aku tadi sempat tidak focus dengan sekelilingku. Aku melihat dengan sekilas dan kemudian melanjutkan langkahku yang sempat terhenti tadi. Tidak mungkin ada orang lain yang mencariku juga. Tapi ibu tadi memanggil namaku lagi, kali ini lebih jelas.
“Safira…” Kemudian aku berbalik melihat melihat ke arah ibu tadi. Aku melihat perubahan raut wajahnya yang tadinya masih ada senyuman berubah menjadi sedih. Aku semakin bingung dengan ekspresi ibu itu. Apa yang terjadi? Kenapa ibu itu seperti ingin menangis saat melihatku. Melihat ibu tadi aku hanya bisa diam berdiri di tempatku. Aku ingin berbuat apa juga aku bingung.
“Fira, lama tidak pernah bertemu denganmu. Ternyata kamu sudah besar ya?” itulah awal pertemuanku dengan ibuku. Ibu yang selama ini tidak pernah aku rasakan kehadirannya. Sosok ibu yang berusaha aku hilangkan dari ingatanku. Tapi sekarang tanpa aku duga dia menampakkan dirinya di hadapanku. Dan tanpa aku minta dia datang. Dengan ragu-ragu aku menatapnya.
“Apakah dia benar ibuku ? Kalau iya, kenapa baru sekarang dia datang?”
Pertanyaan itu yang pertama kali muncul di pikiranku.
Itulah awal pertemuan aku dengan ibu pertama kalinya. Dia membawa aku tinggal bersama dengan ayah dan saudara tiriku.
Tujuh Tahun Kemudian...Suatu hari aku pulang kerja, sampai di rumah sudah mangrib. Aku membuka pintu rumah dan berjalan menuju ruang tamu. Kamarku ada di lantai dua dan harus melewati ruang tamu tersebut. Samar-samar aku mendengar ada orang lagi mengobrol. Ternyata di ruang tamu itu sudah berkumpul Ayah tiriku, Ibu, saudaralaki-laki tiriku dan istrinya.“Aku pulang…” sapaku sambil berjalan menuju tangga ke lantai dua. Aku ingin cepat-cepat sampai di kamar tidurku. Karena aku tidak mau mendengar ocehan apa lagi yang akan aku dengarkan kali ini.“Ya ampun… adik ipar ternyata baru pulang?” tanya Renata.Dia kakak iparku, istri dari saudara laki-laki tiriku, Dino. Salah satu orang yang paling tidak ingin aku dengar suaranya adalah kakak iparku itu. Semenjak dia tahu aku bukan anak kandung dari ayah tiriku, dia selalu mencoba mencari kekuranganku dan berusaha menjatuhkan dan mejelek-jelekkan diriku di dalam keluarga
“Benar ayah, jika perjodohan itu berjalan dengan lancar sangat baik buat posisiku dan juga buat perusahaan kita” kata Doni menimpali.Melihat semua orang yang ada di ruangan itu setuju aku menerima perjodohan itu, ibu merasa tidak enak. Ditambah lagi aku hanya diam berdiri dan tidak memberikan respon apa-apa. Ibuku datang menghampiriku dan mecoba meraih tanganku. Aku tahu dia berusaha menenangkan hatiku. Hidupku benar-benar diatur di rumah ini. Tidak bisa melakukan sesuatu sesuai dengan keinginanku.“Maaf… tapi aku tidak tertarik dengan perjodohan. Aku Lelah, aku izin ke kamarku dulu” kataku sambil meninggalkan mereka di ruang tamu tadi.Aku lelah dengan semua ini, aku ingin istirahat. Saat aku menaiki tangga menuju ke lantai dua di mana kamar tidurku berada, aku masih mendengar kakak iparku memanggil. Tapi aku tidak menggubris sedikitpun. Aku sudah muak dengan segala peraturan yang harus aku turuti di rumah ini. Jika mereka mengus
Hatiku semakin menjerit. Aku merasa terpojok seakan-akan ini semua adalah kesalahanku. Ibuku sepertinya tidak bisa memahami perasaanku selama tinggal bersamanya di dalam rumah ini.Atau memang ibuku pura-pura tidak tahu apa yang aku rasakan selama ini. Selama tinggal di rumah ini aku sekalipun tidak pernah membantah mereka. Apa yang mereka rencanakan dan lakukan terhadap hidupku aku selalu menurut.“Ya ampuuun, tensi ayah mertua tidak sampai naikkan? Kasihan ayah mertua. Padahal ayah mertua sudah stress memikirkan perkerjaannya di kantor juga. Dan masalah keluarga ini juga tidak berjalan sesuai dengan keinginannya.Tapi kalau adik ipar tidak mau, ya mau gimana lagi. Palingan harga diri suamiku yang akan tercoreng dia hadapan rekan bisnisnya. Tapi daripada itu, aku lebih khawatir dengan perasaan ayah mertua” kata Renata yang ingin membuat perasaan ibu menjadi tidak enak. Dia berusaha memanas-manasin hati ibu.“Masa sih dia semarah itu? Ka
Sementara di ruang keluarga rumah utama keluarga Adiwijaya, nyonya besar sedang memarahi anak bungsu keluarga itu. Dia khawatir anak bungsunya itu tidak ada niat untuk menikah apadahal umurnya sudah cukup matang untung berkeluarga.Bahkan keluarga itu sempat curiga kalau anaknya itu ada kelainanan, yaitu menyukai sesama jenis karena selama ini tidak pernah memperkenalkan teman wanitanya sekalipun.Keluarga Adiwijaya mempunya dua anak laki-laki, yang sulung Arlen Adiwijaya dan Daren Adiwijaya. Anak sulung mereka sudah menikah dan dari perikahan anak sulungnya itu mereka mempunyai cucu perempuan yang masih balita berumur satu setengah tahun.Keluarga Adiwijaya adalah salah satu keluarga yang mempunyai perusahaan besar yang sangat berpengaruh di Jakarta dan bahkan sudah membuka cabang di beberapa kota lain sampai ke luar negeri.”Daren, kamu sebenarnya dengar nggak sih mama lagi bicara? Umur papa sama mama kamu ini sudah nggak muda lagi, sudah ma
Mendengar ocehan mamanya, Daren sadar kalau kali ini dia tidak bisa mengelak lagi. Akhirnya dia melihat satu per satu foto para gadis yang ada di hadapannya itu. Dan setelah dia melihat beberapa gadis itu, mamanya bertanya apakah ada kira-kira yang dia suka. “Bagaimana Daren, apakah ada yang cocok kamu lihat?” “Hhmm, kalau dilihat dari foto semuanya terlihat sopan, cantik dan baik. Semuanya terlihat sama karena mereka berfoto dengan tersenyum. Kenapa wajah yang tersenyum bisa membuat terlihat baik ya?” tanya Daren sambil tersenyum kepada mamanya. Mamanya juga bingung dengan pertanyaan anak bungsunya itu. “Sejak kapan ada orang berfoto dengan wajah menangis? Ada-ada aja pertanyaanmu yang tidak masuk akal. Kamu jangan banyak tanya, sekarang kamu lihat mana kira-kira yang akan kamu ajak kencan. Katanya, semua yang dicalonkan ini adalah dari keluarga baik-baik.” Tiba-tiba Daren melihat satu foto wanita yang posenya menunjukkan wajah datar tanpa be
Keesok harinya di kantor Daren“Aaaah… baiklah. Kalau begitu akan saya lanjutkan sesuai dengan kesepakatan awal” kata Siska sambil menerima berkas yang sudah ditanda tangani Daren tadi.Dia merasa kesal kepada Daren karena menurutnya laki-laki itu terlalu keras terhadapnya padahal mereka adalah teman. Setelah dia memeriksa berkas yang tadi untung memastikan tidak ada yang kurang. Siska mengajak Daren makan siang tetapi sepertinya Daren tidak bisa.“Hari ini aku tidak bisa pergi makan bareng dengan mu” kata Daren kepada Siska. Daren yang melihat tidak ada pergerakan dari Siska bertanya lagi.“Kenapa? Kamu masih ada urusan? Hari ini aku ada janji pertemuan dengan seseorang, jadi lain kali saja kita pergi makannya."Daren menjelaskan sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan jam 13:45 WIB. Dia teringat dengan pesan dari mamanya kalau pihak dari wanita itu sudah mereservasi salah satu restoran dekat kantor
Daren yang merasa proyek pembangunan itu adalah tanggungjawabnya dari awal, mau tidak mau dia harus turun tangan langsung untuk memastikan kondisi di lapangan secara langsung bagaimana. “Ada-ada saja” kata Daren. Dia langsung menelepon mamanya memberitahukan kalau dia hari ini tidak bisa menjumpai wanita yang akan dijodohkan dengannya itu. Dia berusaha menjelaskan sama mamanya kalau dia kali ini tidak berbohong mencari alasan untuk menghidar pertemuan dengan wanita yang dijodohkan itu. Benar kalau memang saat ini dia ada urusan mendesak. Dia juga meminta mamanya untuk menyampaikan permintaan maafnya kalau dia merasa bersalah tidak bisa menepati janji pertemuan hari ini. “Ma, Daren minta tolong mama sampaikan permintaan maaf Daren. Aku tidak bisa menepati janji pertemuan hari ini dan dia boleh pulang. Kalau tidak mama kirimkan aku nomornya biar Daren yang menghubungi langsung” kata Daren memohon kepada mamanya. “Daren, kamu benar-benar tidak pu
Daren yang sedang dalam perjalanan pulang dari lokasi pembangunan merasa lega karena karyawannya yang mengalami kecelakaan tadi bukan kecelakaan yang besar. Dia sangat kesal kepada Siska kenapa tidak dia saja yang yang pergi sendiri mengurus masalah ini tadi. Tapi Daren juga tidak bisa menyalahkan Siska begitu saja. Mungkin karena tadi siang mereka panik makanya langsung pergi.“Untung bukan kecelakaan besar. Kalau tidak, akan menambah masalah baru” kata Daren.“Walaupun bukan kecelakaan besar tetap saja pekerja itu yang salah. Kenapa dia tidak berhati-hati saat bekerja. Apakah mereka tidak punya stan