Share

Saga Sang Gagak Barong
Saga Sang Gagak Barong
Author: Kurusinasan

BAB I : Keadilan Adalah Cinta Sejati

Hari Sabtu sore di pertengahan bulan Oktober tahun 2016, suasana pelataran belakang vila di tanah seluas dua hektar milik Guntur Gheni nampak meriah. Dua tenda kanopi besar lengkap dengan rangkaian lampu kecil dan balon putih berpita emas menjulang megah. Di bawah tenda-tenda itu tersaji aneka kue dan roti hangat. Di ujung tengah pelataran itu berdiri panggung dimana sekelompok pemusik melantunkan musik nostalgia yang menghadirkan suasana romantis.

Hari ini adalah perayaan pernikahan ketiga puluh tahun Guntur Gheni, sang pemimpin organisasi Gagak Barong dan istrinya, Harita Mauly. Dan sore itu, para tamu undangan berdatangan ke vila yang terletak di pinggiran kota Wirakarta untuk menghormati mereka.

Wignya Shuman, adik angkat sekaligus penasehat pribadi Guntur Gheni, yang ditemani beberapa pengawalnya terlihat sibuk menyambut tamu-tamu yang baru datang. Beberapa pelayan lain sibuk menumpuk kotak-kotak hadiah yang dibawakan para tamu dengan serapi mungkin pada sebuah meja panjang. Wignya mempersilahkan tamu yang datang untuk menempati meja kosong yang tersedia atau bergabung bersama orang yang mereka kenal.

Istri Wignya, Martha Shuman, sedang duduk menemani dua tamu wanita dekat tenda kanopi. Sembari berbincang, matanya sesekali mengawasi anak perempuan kembarnya, Melani dan Melina. Mereka sedang bermain permainan ular naga bersama beberapa anak kecil lainnya.

Dalam permainan itu, satu kelompok anak yang berbaris dari depan ke belakang, memegang pundak teman di depannya dan mereka berperan sebagai ular naga. Dua anak lain berdiri saling berhadapan dan berpegangan tangan untuk menjadi gerbang naga. Kelompok barisan anak yang berperan sebagai ular naga lalu berjalan mengitari gerbang naga sambil menyanyikan lagu khusus permainan itu.

Mereka kemudian tertawa terpingkal-pingkal ketika setelah lagu itu selesai dinyanyikan dan salah satu dari mereka terperangkap dalam gerbang naga. Martha dan kedua tamu wanita itu ikut tertawa melihat keceriaan mereka.

Dari arah pintu masuk, Magnus Kanigara baru saja datang dan langsung menghampiri Wignya. Magnus adalah salah satu dari tiga direktur bisnis organisasi. Ia mengelola bisnis kasino terbesar di negara itu.

Magnus Kanigara berusia enam puluh satu tahun, dua tahun lebih muda daripada Guntur Gheni. Tingginya yang seratus delapan puluh sentimeter dan berat satu kuintal membuatnya tampak menjulang.

Wajah Magnus begitu bersih dan menampakkan keramahan yang tulus. Tapi, orang-orang yang telah mengenalnya dengan baik takkan terkecoh dengan wajah ramahnya. Sisi gelapnya pernah membuat Magnus menjadi salah satu algojo di organisasi Gagak Barong.

“Wiggie, kau terlihat makin tampan saja,” katanya sambil memeluk Wignya.

Hanya Magnus yang memanggil Wignya dengan sebutan ‘Wiggie’ atau bahkan ‘Gie’ saja. Itulah yang menjadi ciri khas dan kelemahan kecil seorang Magnus Kanigara. Ia akan menciptakan julukan khusus bagi mereka yang sudah dianggapnya akrab secara pribadi. Jika tidak, maka kedekatan yang bersangkutan tidak lebih dari sekedar urusan bisnis baginya.

“Kau datang sendiri? Bagaimana kabar Raynar?” Wignya bertanya tentang anak lelaki Magnus. Selama beberapa tahun terakhir, Raynar Kanigara telah membantunya mengurus bisnis perhotelan kasino. Magnus menaruh harapan besar pada anak kesayangannya itu agar kelak menjadi penerusnya.

“Seperti yang kau lihat,” jawab Magnus seraya merentangkan lengannya. “Ray sekarang ada di Makau. Sudah dua hari ini, ada klausul kontrak bisnis hotel yang perlu segera dibereskan.”

Wignya tersenyum dan menepuk lengan Magnus. “Ya, begitulah bisnis,” katanya ringan. Magnus pun tersenyum dan balas menepuk lengan Wignya sebagai tanda kesepahaman.

Setelah mempersilahkan Magnus masuk, Wignya berjalan menghampiri Kaindra Gheni, anak Guntur. Ia sedang berkelakar riang bersama lima orang temannya di sebuah meja kayu bundar yang sesak dengan botol-botol bir dan beberapa piring berisi pastries.

Diusia tiga puluh tiga tahun, Kaindra adalah sosok pria tampan dengan senyum menawan dan tubuh yang tegap berotot; perpaduan yang membuatnya menjadi pujaan para wanita muda. Terlebih lagi, Kaindra terkenal royal kepada mereka. Tapi dibalik semua itu, Kaindra menyimpan keangkuhan dan ambisi besar yang suatu hari akan menjerumuskan dirinya dan organisasi Gagak Barong dalam jurang kehancuran.

“Kai, gantikan aku menyambut para tamu!” Wignya tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. “Aku yakin temanmu disini takkan keberatan menunggu sampai kamu selesai” lanjutnya.

“Ah, paman bikin aku kaget saja. Memangnya paman mau kemana?”

“Kau bahkan tidak bersama ayahmu di kantor.”

“Kan sudah ada kak Zethra disana?!”

Wignya merasa cukup. Ia tidak perlu menanggapinya lebih jauh. Kaindra bukan tidak tahu bahwa seharusnya ia mengikuti sebanyak mungkin rapat organisasi agar lebih paham tentang seluk beluk permasalahan yang ada, dan juga belajar cara ayahnya bekerja.

Kaindra terlalu meremehkan kenyamanan yang ada sekarang, pikir Wignya. Tapi kali ini Wignya tak ingin berdebat, terutama dihadapan teman-teman Kaindra yang hanya akan merendahkan dirinya sendiri. Wignya lalu memberi isyarat dengan menoleh kearah pintu masuk samping agar Kaindra segera kesana dan menyambut para tamu.

Kaindra mengerti isyarat itu. “Okay, okay, aku kesana sekarang!”

“Terima kasih!” timpal Wignya singkat, dan meninggalkannya menuju rumah utama.

Di kantornya, Guntur Gheni sedang duduk berbincang dengan Zethra Adyatman mengenai masalah yang dihadapi serikat pekerja mereka di sebuah perusahaan pertambangan asing. Zethra Adyatman adalah pengelola pusat serikat pekerja Gagak Barong sekaligus keponakan Wignya dari sisi ayahnya.

Sudah puluhan tahun Wignya menjadi pengelola pusat serikat pekerja Gagak Barong. Sampai lima tahun yang lalu, Guntur memutuskan agar Wignya menjadi penasehat pribadinya, dan lalu ia merekomendasikan Zethra untuk menggantikannya.

Zethra mengungkapkan bahwa perusahaan tambang itu secara bertahap mau menyingkirkan pekerja lokal yang sebagian besarnya adalah anggota organisasi Gagak Barong. Tujuannya adalah untuk mendatangkan pekerja-pekerja dari negara mereka sendiri.

Kasus pertama adalah penundaan berkelanjutan terhadap pembayaran uang pesangon dari Pemutusan Hubungan Kerja terhadap seratus dua puluh delapan karyawan yang telah bekerja disana selama bertahun-tahun. Kasus kedua adalah penundaan pelaksanaan komitmen perusahaan terhadap kenaikan upah pekerja yang telah disepakati lima bulan lalu. Alasan perusahaan untuk kedua kasus itu selalu terkait kondisi ekonomi perusahaan.

“Sebagian Dewan Direksinya adalah kerabat pejabat setempat jadi mereka merasa bisa sewenang-wenang,” ujar Zethra kesal.

Dari dibalik meja kerjanya, Guntur menyimak penjelasan Zethra. Setelah ia menyelesaikan kalimat terakhirnya, Guntur berkata, ”Jadi, intinya adalah agar pesangon pekerja kita yang dipecat bisa dibayarkan segera dan komitmen kenaikan upah itu dilaksanakan, begitu?”

“Benar, paman.” Jawab Zethra singkat.

“Lalu apa yang menghambatmu sejauh ini?”

“Kami sudah melakukan beberapa kali mediasi…”

Zethra segera berhenti bicara setelah Guntur mengisyaratkannya dengan mengangkat tangan. Ia lalu memajukan posisi badannya dan berkata, ”Aku tidak peduli bagaimana angsa menetaskan telurnya. Aku hanya ingin meihat itiknya. Jadi katakan saja apa masalahmu.”

Tiba-tiba mereka mendengar suara ketukan pintu dan Wignya Shuman segera masuk. “Apa yang kulewatkan?” tanyanya setelah mendudukkan diri pada sofa di seberang Zethra.

“Wig, seberapa jauh kau tahu dari kasus pekerja kita di pertambangan ini?” tanya Guntur lugas.

Wignya membalik beberapa halaman buku catatan yang dibawanya. “Dewan Direksi itu, mata mereka lebih besar daripada perutnya. Tapi yang terpenting adalah Dewan Komisarisnya. Mereka bertiga, dua diantaranya boneka. Pemegang kendali yang sesungguhnya adalah Bong Sui Han. Diimpor langsung dari negaranya. Disini namanya Suhanda Bong.”

Wignya berhenti sejenak untuk menyalakan rokok. Dalam pikirannya ia merasa sedikit geli dengan cara beberapa warga keturunan mengubah nama asli mereka menjadi nama pribumi. Setelah menghembuskan asap rokoknya, Wignya melanjutkan. “Wanita. Itu titik lemahnya.”

Guntur Gheni tersenyum dan menyandarkan punggungnya. Ia memalingkan pandangannya kepada Zethra dan berkata, “Sekarang aku sudah melihat itiknya.”

Zethra balas tersenyum kecil dan mengangguk. Ia paham bahwa Dewan Direksi perusahaan itu bukan lawan yang sesungguhnya. Mereka hanya orang tamak yang menjalankan perintah. Diatas itu semua, Zethra belajar bahwa ia harus mengenali siapa lawan yang sebenarnya agar bisa menyerang dari sudut yang tepat.

Guntur melihat ke jam tangannya. “Okay, sebaiknya aku bersiap untuk keluar sekarang.”

Mereka bertiga kemudian berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu.

*****

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status