Rheyner mengantarkan Nadira sampai di depan kelasnya. Setelah itu Rheyner berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai 3 tepat di atas kelas Nadira. Dari arah yang berlawanan Sherin teman sekelasnya berjalan ke arah Rheyner. For your information, Sherin adalah salah satu gadis paling populer di sekolah Rheyner. Oh, dan jangan lupakan fakta bahwa ia adalah gadis yang ditaksir Rheyner setahun belakangan.
“Pagi, Rin,” sapa Rheyner ketika berhadapan dengan Sherin. Keduanya berhenti beberapa meter dari pintu kelas.
“Hai, Rhey, pagi juga. Pacar baru?” tanya Sherin dengan wajah yang berusaha ceria, tetapi Rheyner mampu membaca sinar mata Sherin yang meredup.
“Yang bareng gue?” Sherin mengangguk. “Bukanlah, adik gue,” jawab Rheyner buru-buru. Ia tak ingin Sherin salah paham.
“Adik?” Sherin mengeryit.
“Iya, kemarin-kemarin dia nggak mau go public. Lagian kenapa sih keliatannya bete gitu, jangan bilang lo cemburu?” goda Rheyner.
“Apaan sih, Rhey. Nggaklah. Pede lo!” sangkal Sherin, tetapi kedua pipinya tampak memerah. Rheyner tersenyum makin lebar mengetahui fakta itu. Sherin melirik Rheyner yang masih menatapnya. “Udah ah, Rhey, gue mau ngambil tugas ke ruang guru dulu.” Sherin berlalu tanpa menunggu persetujuan dari Rheyner.
Rheyner tersenyum simpul menatap punggung Sherin yang semakin menjauh. Rasanya semakin hari ia semakin jatuh dalam pesona seorang Sherin Shevana. Rheyner melanjutkan perjalanannya menuju kelas setelah sosok Sherin menghilang di balik tikungan tangga. Rheyner tahu Sherin juga memiliki rasa yang sama terhadapnya tetapi ia masih ragu. Sepertinya memang Rheyner harus segera mengikuti saran Nadira untuk membuktikan apakah dugaannya benar.
***
“Hai, Dira!” untuk kesekian kalinya Nadira mendapatkan sapaan yang sama sejak pagi tadi hingga bel pulang berbunyi. Nadira sebisa mungkin membalas sapaan mereka dengan senyum ramah seperti yang biasa ia tunjukkan.
‘Semua gara-gara Rheyner!’ geram Nadira dalam hati.
Nadira benar-benar tidak suka menjadi pusat perhatian hanya karena “affair”nya dengan Rheyner. Nadira berani bertaruh bahwa tidak semua yang menyapa tadi mengenal dirinya. Mereka menyapa hanya karena Nadira terlihat dekat dengan Rheyner. Mereka fake. Siapa pun yang terlihat dekat dengan si populer harus diperlakukan baik dan dihormati.
Nadira mengembuskan napas lelah. Ia berjalan menuruni tangga sendiri. Putri, sahabatnya, sudah ngibrit terlebih dahulu meninggalkan Nadira. Tiba-tiba lengan mungilnya ditarik oleh seseorang yang membuat Nadira hampir menjerit karena kaget. Saat Nadira mendongakkan kepala untuk menatap orang yang menarik lengannya tadi, betapa Nadira ingin menampar orang yang malah menunjukkan cengiran menyebalkan itu.
“Rheyner!” geram Nadira tertahan.
“Apa?” Rheyner menunjukkan muka polosnya seolah tidak terjadi apa pun.
“Aku.masih.marah.banget.sama.kamu!” kata Nadira penuh penekanan. Lalu berbalik dan mengibaskan tangan Rheyner.
“Yah, jangan dong.” Rheyner kembali menarik lengan Nadira. “Gue mau minta bantuan, nih.”
“Bantuan, setelah apa yang kamu perbuat hari ini? Nggak!”
“Ayolah, Nadira Almira yang paling imut sejagad raya, bantuin kakak tergantengmu ini,” mohon Rheyner.
Nadira awalnya ingin menolak dan meninggalkan Rheyner kalau saja tidak ada segerombolan murid menuruni tangga yang sama dan menatap mereka intens. Nadira hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan pasrah. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian lagi karena pertengkarannya dengan Rheyner. Ya, meskipun kenyataannya sekarang mereka sudah menjadi pusat perhatian.
Rheyner menyeringai puas. Ia sempatkan juga menyunggingkan senyum mautnya kepada murid-murid yang melirik keberadaannya dengan Nadira. Lalu dengan lembut Rheyner menarik lengan Nadira menuju parkiran siswa. Siang ini Rheyner akan merealisasikan rencananya untuk mengetahui perasaan Sherin.
***
Rheyner mengangsurkan sendoknya yang berisi es krim cokelat ke mulut Nadira. Nadira membuka mulut mungilnya antusias dan melahap es krim tersebut. Rheyner memajukan tangannya lagi untuk membersihkan lelehan es krim di sudut bibir Nadira. Nadira memamerkan senyum polosnya dan kembali memakan es krim strawberry miliknya.
Rheyner memberi tepukan lembut pada kepala Nadira setelah gadis itu menggelengkan kepala saat Rheyner menawarinya untuk memesan es krim lagi. Dunia seperti milik mereka berdua, membuat dua orang di hadapan mereka terabaikan. Dua orang berlawanan jenis itu memberi tatapan yang berbeda, satu dengan tatapan geli dan satu dengan tatapan sendu. Namun, Rheyner maupun Nadira seolah tidak mengetahuinya.
“Ehm!” Suara dehaman gadis yang duduk di depan Rheyner mengalihkan perhatian sekaligus menghentikan adegan mesra Rheyner dan Nadira. “Gue kayaknya pulang duluan aja, deh.”
“Lho, kenapa, Kak?” tanya Nadira.
“Ntar dululah, Rin. Masih jam segini juga. Tuh, es krim lo belum abis. Nanti si Rheyner nggak mau traktir lagi, lho,” ucap pemuda di samping Sherin.
“Tapi—”
“Sebentar, Kak, ini Rheyner mau ngomong dulu.” Dira memotong ucapan Sherin.
Rheyner membelalakkan mata. Pasalnya ia belum menyiapkan apa pun untuk mengungkapkan perasaannya pada Sherin. Niat awalnya ‘kan hanya untuk melihat reaksi Sherin jika Rheyner dekat dengan gadis lain. Akan tetapi, sudah kepalang tanggung juga.
“Ada apa, Rhey?” Sherin memandang Rheyner.
“Eh,” Rheyner gelagapan. Lalu muncul sebuah ide di kepalanya. “Tunggu di sini bentar, Rin.” Rheyner berjalan cepat menuju pintu keluar kedai es krim tempat mereka berada.
Sherin mengerutkan kening bingung. Sementara Nadira menatap Panji yang membalas dengan menaikkan bahu tanda tak tahu dengan rencana Rheyner.
“Kak Sherin, aku sama Rheyner nggak ada apa-apa kok. Aku sama dia cuma sebatas kakak dengan adik. Yaaa … meskipun nggak ada darah yang sama mengalir di tubuh kami. Jadi, Kakak jangan salah paham,” jelas Nadira yang membuat Sherin mencurahkan perhatiannya pada Nadira.
“Lo nggak perlu kali, Dir, ngasih penjelasan itu ke gue. Gue nggak cemburu kok.” Sherin tersenyum.
“Lha, Dira nggak bilang lo cemburu kali, Rin,” goda Panji. Pipi Sherin memerah ketika menyadari kebodohannya. Panji mengerling pada Nadira.
“Eh, maksudnya—”
“Sorry kalo lama.”
Ketiga pasang mata itu langsung memandang sumber suara yang memotong ucapan Sherin. Rheyner berdiri di samping Sherin dengan sebelah tangan yang berada di balik punggungnya.
“Rin,” panggil Rheyner.
Manik matanya menatap Sherin intens membuat Sherin hanyut dalam pusaran yang diciptakan Rheyner.
“Ck, lama Rhey. Nggak usah sok sinetron,” celetuk Panji yang langsung mendapat tabokan dari Nadira. Panji tidak sempat mengeluh karena suara Rheyner langsung memenuhi meja mereka.
“Gue suka sama lo, Rin.” Sherin semakin membeku dengan ucapan Rheyner. “Awalnya gue pikir seorang Sherin Shevana sama dengan cewek-cewek populer lain yang angkuh dan doyan nge-bully. Ternyata pendapat gue salah. Lo beda. Lo menarik dengan pesona lo sendiri. Dan gue, gue jatuh dalam pusaran pesona yang lo ciptakan secara nggak sadar. So, Sherin Shevana, be mine please?” Rheyner menyodorkan sebuket mawar merah ke hadapan Sherin.
Sherin berdiri menyejajarkan dengan tinggi Rheyner meski kenyataannya tinggi badannya hanya sedagu Rheyner. Rheyner masih setia menatap Sherin. Sementara semua orang di sekeliling meja mereka sudah terpaku ke arah mereka berdua. Seolah orang-orang tersebut sedang menyaksikan pertunjukkan sebuah drama romantis.
Rheyner menautkan alisnya tanda bertanya tentang jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan pada gadis di hadapannya ini tadi. Sherin tersenyum lalu mengangguk, tak lupa ia menerima buket bunga yang Rheyner ulurkan. Rheyner tersenyum sumringah. Seketika tepuk tangan bergema dalam kedai es krim bernama Rainbow itu. Rheyner dan Sherin kompak mengedarkan pandangan pada sekitar mereka berdiri. Mereka sempat terhenyak karena baru sadar bahwa mereka menjadi pusat perhatian.
Entah siapa yang memulai, tetapi tiba-tiba semua pengunjung menghampiri Rheyner dan Sherin untuk berjabat tangan seraya mengucapkan selamat. Keduanya hanya bisa mengucapkan terima kasih dengan muka memerah.
Dan kisah mereka di mulai dari sini tanpa mereka semua sadari.
***
Rheyner tengah menautkan tali sepatu ketika Nadira menghampiri. Pagi ini adalah hari pertamanya masuk kuliah. Setelah menjalani serangkaian OSPEK akhirnya ia resmi menjadi mahasiswa. Rheyner begitu antusias menjalani hari ini. Saat ia bangun tadi energinya seolah berada di titik maksimal. Nadira meletakkan kotak makan di samping Rheyner. Gadis itu telah memakai seragam lengkap. Ia tidak bersuara. Seolah menunggu Rheyner mengakhiri aktivitasnya. Netra gadis itu tidak lepas dari sosok Rheyner. Rheyner mendongak seusai memakai sepatu. Tangannya mengambil kotak dari Nadira. Bibir pemuda itu tersenyum. Tentu saja senyumnya bersambut dengan senyum Nadira. "Semangat untuk hari pertama kuliahnya. Jangan bandel dulu." Akhirnya Nadira bersuara. “Iya,” jawab Rheyner kalem.
Nadira mengikuti ke mana pun langkah Rheyner. Rheyner baru saja selesai manggung di kafe milik ibu Nadira bersama Valensi. Kini mereka bukan kembali ke rumah masing-masing, tetapi pergi ke distro Valensi. Usaha clothingan yang dijalankan Valensi memang semakin ramai. Hingga terpaksa tutup beberapa hari karena stok habis. Pencapaian yang luar biasa. Sekarang mereka datang untuk membantu produksi.“Nadira Almira, bisa diam nggak?” Rheyner berbalik dan membuat Nadira terdiam. Cebikan Nadira muncul mendengar nada galak Rheyner.“Lo bukan piyik yang ngikutin induknya mulu, ‘kan? Duduk diam aja kenapa, sih? Bentar lagi gue antar balik, udah mau jam malam lo,” tegas Rheyner yang sedetik kemudian melanjutkan langkah ke ruang produksi.Panji menghampiri Nadira. Merangkul adiknya itu men
Minggu kedua liburan semester ganjil. Sherin hanya termenung di meja belajarnya. Ia pandangi layar ponsel yang tidak menampilkan satu pesan pun dari sang kekasih hati. Rheyner semakin berubah. Intensitas berkirim pesan semakin jarang, apalagi lantunan suara lewat panggilan telepon. Rheyner tidak akan menghubungi kalau bukan Sherin yang mengawali.Sherin mendesah. Sepasang netranya beralih memandang taman dari jendela di samping kanan meja. Tekadnya kali ini sudah bulat. Hubungannya dengan Rheyner sudah tidak ada harapan. Rheyner semakin jauh untuk dijangkau. Sikapnya ketika bertemu tidak berubah jauh, hanya saja Sherin bisa merasakan Rheyner kehilangan rasa nyaman. Dan tidak dapat dimungkiri bahwa Sherin juga tak lagi merasakan aman berada di dekat Rheyner. Semuanya terasa hambar dan tidak benar.Jika Rheyner tidak bisa memberi putusan, maka biarkan Sherin yang
Hubungan Rheyner dengan Nadira kembali baik. Rheyner menjelaskan semua tentang Josaphat, minus perasaan Josaphat terhadap Nadira. Josaphat melarang Rheyner dan Panji memberi tahu Nadira. Karena dia ingin Nadira melupakannya. Kalau bisa, Josaphat ingin Nadira membencinya. Rheyner menghormati keputusan Josaphat itu.Sayangnya, setelah mendengar cerita Rheyner juga Panji, Nadira justru jatuh iba pada Nanda dan Josaphat. Nadira bisa memahami Josaphat dan memaafkannya. Ia juga melarang Rheyner dan Panji untuk merasa bersalah padanya. Bahkan Nadira mengancam tidak akan menganggap mereka kakak kalau mereka tetap menjauhinya.“Mbak Dir!” Nadira menoleh dan suara kamera terdengar. Bima memotretnya.“Mbak Dira selalu cantik,” puji Bima.Rheyner menoyo
Libur semester sudah berjalan dua hari. Akan tetapi, yang dilakukan oleh Rheyner hanya tidur, tidur, dan tidur. Itu pun tidak dilakukan di rumahnya. Sejak kejadian di apartemen Josaphat, Rheyner belum pulang ke rumah. Alasan yang ia buat adalah ia ada project bersama Valensi. Orang tuanya tidak curiga meski Rheyner tidak pulang mengambil perlengkapan. Pasalnya hal tersebut sudah biasa terjadi. Apalagi sekarang libur sekolah. Padahal kalau saja mereka tahu, ketidakpulangan Rheyner adalah cara menyembunyikan wajah “hancur”-nya. Tidak lama setelah Josaphat memuntahkan segala hal tentang dendam dan perasaannya, Rama datang bersama Damar. Panji memang sempat mengirimkan lokasinya pada Rama. Rama dan Damar dibuat terkejut dengan keadaan Rheyner serta Josaphat. Wajah keduanya sama-sama babak belur. Tangan mereka sama-sama mema
Rheyner dan Panji mengikuti langkah Josaphat yang memasuki lift. Saat ini mereka berada di sebuah gedung apartemen. Rheyner dan Panji dibuat heran. Awalnya mereka pikir Josaphat akan membawa ke sebuah tempat terbuka atau apa pun itu yang jelas bukan suatu hunian. Lift berhenti di lantai 12.Josaphat belum mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan ketika dia membawa Rheyner dan Panji berhenti di depan unit nomor 1210. Josaphat memasukkan kode pintu dan menyuruh Rheyner serta Panji untuk masuk. Baik Rheyner maupun Panji tidak ingin repot-repot bertanya meski sebenarnya penasaran.Rheyner terpaku melihat siapa yang duduk di depan televisi. Begitu pula dengan Panji. Sementara Josaphat bertepu