Rheyner memarkirkan motornya tepat di depan garasi rumah Nadira. Ia masuk ke rumah Nadira dengan santai seolah rumah itu adalah rumahnya juga. Rheyner tersenyum melihat Nadira tengah menuruni tangga dengan ransel tergantung di bahu. Sementara Nadira langsung manyun begitu matanya bersiborok dengan Rheyner.
"Morning, cewek ngambekan," sapa Rheyner
"Aku nggak mau berangkat sama kamu!" kata Nadira yang masih bertahan dengan sikap ketusnya kemarin.
"Dan gue bakalan tetap maksa lo buat berangkat bareng gue."
"Kalo aku nggak mau ya nggak mau!" Sejujurnya Nadira bukan masih marah kepada Rheyner, tetapi ia sudah dapat membaca maksud Rheyner. Rheyner sudah tidak ingin menyembunyikan persahabatan mereka lagi.
"Ini ada apa ribut-ribut, ayo sarapan." Rendra, ayah Nadira, yang baru keluar dari ruang kerja menghampiri dan menginterupsi pertengkaran kecil mereka.
"Ayah, Dira berangkat sama Ayah, ya." Dira melingkarkan tangannya pada lengan ayahnya dengan manja.
"Memang kenapa? Biasanya bareng sama Rheyner. Ini juga Masmu udah di sini ‘kan?" Rendra mengernyit heran.
"Tahu nih, Yah, dari kemarin ngambek nggak jelas sama Rheyner," adu Rheyner sembari berjalan menghampiri ibu Nadira. "Pagi, Bu!" sapa Rheyner pada ibu Nadira yang sedang menyiapkan sarapan.
"Pagi, Nak."
"Ibu, aku sarapan sini ya?" pinta Rheyner.
"Ih, gak usah sok imut deh, Rheyn," cibir Nadira ketika mendengar suara manja Rheyner.
"Daripada sok-sokan ngambek," Rheyner menjulurkan lidahnya.
"Kalo sudah di meja makan nggak boleh ribut, ah, Ibu nggak suka. Sekarang duduk dan makan," lerai Dewi, ibu Nadira, yang datang dari dapur membawa piring saji.
"Iya maaf, Bu," jawab Rheyner yang sudah duduk manis tepat di depan Nadira duduk.
"Ya udah ini makan." Dewi meletakan sepiring besar roti bakar di tengah meja makan. Lalu ia duduk di sebelah Nadira dan menatap suami serta anak-anaknya melahap roti bakar buatannya dengan suka cita.
"Ibu nggak makan?" tanya Nadira menatap ibunya.
"Ibu lihat kalian makan aja udah kenyang rasanya. Padahal cuma roti bakar tapi kalian begitu menikmatinya."
"Yang penting itu kebersamaannya kali, Bu." Rheyner menghentikan kunyahannya.
"Iya. Ibu senang ada kamu sama adik-adikmu yang membuat Ibu merasa punya banyak anak. Ibu berharap kalian terus seperti ini, menganggap Ibu dan Ayah sebagai orang tua kandungmu dan adik-adikmu."
"Itu pasti, Bu. Makasih juga udah menganggap Rheyner sama adik-adik kayak anak sendiri. Kami bahagia, Bu, Yah. Rheyner janji selamanya bakalan tetap kayak gini, tetap jadi anak Ibu sama Ayah.” Rheyner menatap kedua orang tua Nadira sungguh-sungguh, sedangkan Nadira menatap Rheyner tak percaya sekaligus terharu.
“Kok jadi melankolis, mending kalian cepat berangkat nanti malah terlambat.” Rendra mengembalikan keadaan seperti tadi agar suasana tidak mengharu biru.
“Dira ‘kan belum jadi sarapan, Yah,” rengek Nadira. Nadira akan berubah manja jika ayahnya pulang. Maklum, Rendra bekerja di pertambangan sehingga jika tidak ada urusan di kantor pusat hanya akan pulang 3 bulan sekali.
“Buat bekal aja ya. Ibu siapin, kasihan Rheyner juga kalau harus nunggu lama.” Ibu beranjak dari duduknya untuk mengambil kotak makan.
“Sebenarnya nggak bakal telat juga sih, Yah, masih jam segini. Tapi berhubung adik tercantik ini suka jerit-jerit meski Rheyner baru pakai kecepatan rata-rata motor Rheyner, makanya kami emang harus berangkat pagi, Yah,” kata Rheyner sebelum menyuapkan potongan roti bakar terakhir ke mulutnya.
“Aku nggak selebay itu kali, kamunya aja yang suka ngebut. Bikin jantungan.” Nadira tidak terima.
“Motor Rheyner ‘kan motor sport, Dir, jadi ya tetap kencang,” bela Ayah sembari menyeruput kopi hitamnya.
Rheyner memeletkan lidah ke arah Nadira yang memandangnya kesal.
“Ini bekalnya, satu untuk Dira satu untuk Rheyner.” Dewi menyerahkan kotak bekal kepada Nadira dan Rheyner yang sudah berdiri di samping kursi Nadira.
“Makasih, Bu,” kata Rheyner. “Rhey pamit ya, Bu, sekalian minta izin Nadira pulang sore nanti. Biasa, Rhey basket dulu,” pamit Rheyner pada ibu dan ayah Nadira sembari mencium punggung tangan mereka takzim.
“Iya nggak papa asal nanti jangan lupa makan dan hati-hati,” pesan Dewi yang diangguki oleh Rheyner.
“Dira berangkat, Bu, Yah,” ganti Nadira yang mencium tangan kedua orang tuanya.
Selanjutnya Nadira melangkahkan kakinya keluar rumah menyusul Rheyner yang sudah keluar terlebih dulu. Rheyner sudah duduk manis di motornya menunggu Nadira yang berjalan ke arahnya lengkap dengan muka manyun. Rheyner mengangsurkan helm yang ia beli khusus untuk Nadira. Nadira menerima helm itu dan memakainya asal.
“Kaitin dululah, Nad.” Tangan Rheyner terulur untuk mengaitkan tali pengaman pada helm yang dipakai Nadira bersamaan dengan ucapannya barusan.
Nadira mengabaikan perlakuan manis Rheyner tersebut dan langsung mendudukan dirinya di jok motor Rheyner. Rheyner segera melajukan motornya tanpa Nadira mengomando. Tak sampai 20 menit motor Rheyner sudah berada di halaman parkir sekolahnya seperti biasa. Namun, suasana di tempat parkir itu tidak biasa karena berpasang-pasang mata tanpa canggung memandang Rheyner sejak memasuki gerbang sekolah. Ya, bukan hal baru sebenarnya kalau Rheyner menjadi pusat perhatian murid di sekolah khususnya kalangan murid perempuan. Lagian siapa sih murid di sekolah ini yang tidak tahu Rheyner, si kapten basket sekaligus atlet karateka terbaik tingkat provinsi dengan kegantengan tanpa cela dan kerendahan hati di atas rata-rata yang kalau marah bisa menjadi mengerikan itu? Asingkan sajalah orang yang tidak tahu siapa itu Rheyner.
Oke, sejenak lupakan fakta itu karena kali ini bukan Rheyner yang menjadi pusat pemandangan hampir seluruh murid yang dilewati Rheyner tadi. Perhatian murid-murid itu terpusat pada sosok yang berada di boncengan motor Rheyner. Pagi ini Rheyner benar-benar nekat membawa Nadira masuk sekolah bersamanya. Meskipun setiap hari mereka berangkat bersama, mereka tidak pernah sekalipun memasuki gerbang sekolah bersamaan karena alasan Nadira yang menurut Rheyner tidak masuk akal. Nadira tidak ingin diketahui memiliki hubungan dekat dengan Rheyner.
Nadira menginjakkan kakinya di tanah dengan perasaan campur aduk. Kesal, malu, takut, gugup juga khawatir menjadi satu. Namun, sepertinya perasaan khawatir lebih mendominasi. Nadira menyodorkan helm yang tadi ia pakai pada Rheyner.
“Cuek aja. Mereka kayak gitu karena belum terbiasa lihat lo sama gue,” kata Rheyner saat menerima helm yang disodorkan Nadira.
“Aku bukan kamu yang bisa bersikap kayak gitu, Rheyn. Taruhan sama aku kalo habis ini pasti bakalan banyak cewek yang ngelabrak aku kayak—”
“Jangan pernah ungkit hal yang bikin lo takut!” potong Rheyner cepat.
“Rheyner, kamu tahu pasti berapa banyak cewek populer di sini yang berusaha dapatin perhatian kamu dan kamu berusaha cuekin mereka,” ucap Nadira yang diangguki Rheyner. “Terus kamu pikir apa mereka akan tinggal diam lihat kamu bareng aku yang bukan siapa-siapa ini?” tanya Nadira cemas.
“Nad, gue rasa saat ini lo cuma terlalu takut untuk berpikir positif karena lo pernah ngalamin hal buruk. Percaya sama gue kalo semua itu nggak bakal terjadi lagi. Gue bakal jagain lo. Dan mereka juga nggak akan berani macam-macam sama lo.” Rheyner berusaha meyakinkan Nadira.
“Tapi gimana kalo setelah ini kamu digosipin macam-macam yang bakal merusak image baik kamu selama ini?”
“Yang lo takutin kena gosip tuh lo apa gue? Gue sih biasa digosipin. Lagian lo tuh aneh, cewek-cewek di sini bakalan senang kalo digosipin sama gue nggak kayak lo.” Rheyner sedikit merapikan rambutnya yang acak-acakan sebelum turun dari motornya.
Nadira masih berdiri di samping motor Rheyner dan memperhatikan sekelilingnya yang masih dengan terang-terangan meliriknya.
“Ck, udah yuk gue anterin ke kelas.” Rheyner meraih pergelangan tangan Nadira. “Eh, bentar. Poni lo berantakan nih. Udah kepanjangan ini, Nad.” Rheyner menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga Nadira.
Setelahnya Rheyner dan Nadira berjalan menuju kelas Nadira di lantai 2. Rheyner menggandeng Nadira dengan santai dan Nadira berusaha bersikap cuek dengan setiap tatapan iri, benci, dan menyelidik dari para murid khususnya perempuan.
Tanpa Rheyner dan Nadira sadari ada dua pasang mata yang menatap mereka dari spot berbeda, tetapi dengan pandangan yang sama, iri.
***
Rheyner mengantarkan Nadira sampai di depan kelasnya. Setelah itu Rheyner berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai 3 tepat di atas kelas Nadira. Dari arah yang berlawanan Sherin teman sekelasnya berjalan ke arah Rheyner. For your information, Sherin adalah salah satu gadis paling populer di sekolah Rheyner. Oh, dan jangan lupakan fakta bahwa ia adalah gadis yang ditaksir Rheyner setahun belakangan.“Pagi, Rin,” sapa Rheyner ketika berhadapan dengan Sherin. Keduanya berhenti beberapa meter dari pintu kelas.“Hai, Rhey, pagi juga. Pacar baru?” tanya Sherin dengan wajah yang berusaha ceria, tetapi Rheyner mampu membaca sinar mata Sherin yang meredup.“Yang bareng gue?” Sherin mengangguk. &ldq
Nadira memasuki rumahnya yang cukup besar untuk keluarga yang hanya terdiri dari tiga orang. Sayup-sayup terdengar suara ribut dari ruang keluarga. Nadira segera melangkahkan kakinya ke sana. Di ruang keluarga ada dua anak laki-laki berusia 9 dan 14 tengah berebut kamera DSLR. Si anak 14 tahun berusaha menjauhkan kameranya dari jangkauan si anak 9 tahun.“Mas, siniin kameranya.” Si anak 10 tahun meminta. Kakinya melonjak-lonjak hendak meraih kamera.“Nggak!” tolak si anak yang lebih besar.“Bima, Fian, ngapain sih ribut-ribut?” tanya Nadira setelah meletakkan ranselnya di sofa. “Kedengaran sampai depan, lho.“Aku mau pinjam kamera Mas Bima, Mbak,” adu Fian.“Bima, pi
Nadira berjalan santai menuju kelasnya. Pagi ini ia berangkat bersama Panji karena Rheyner menjemput Sherin. Ia berpisah dengan Panji di parkiran. Entah mengapa perasaan Nadira pagi ini sedikit tidak tenang. Sekolah sudah lumayan ramai mengingat bel masuk berbunyi sepuluh menit lagi. Di koridor dekat tangga Nadira melihat kerumunan murid yang lebih banyak perempuan. Memang di sana ada mading, tetapi biasanya tidak seramai itu kecuali saat pengumuman kelulusan.Benak Nadira diselimuti rasa penasaran. Tanpa sadar kakinya bergerak menuju ke mading tersebut. Saat Nadira mendekat semua mata memandangnya. Pandangan mereka beragam tapi lebih banyak yang menilai dari ujung rambut ke ujung kaki. Langkah Nadira tidak setegas tadi, ia menolehkan kepalanya perlahan untuk memastikan kemana arah pandang murid-murid yang berkerumun itu.Tidak ada orang lain di sana, di belaka
Rheyner menunggu Nadira di depan gerbang rumah gadis itu. Tadi pagi-pagi sekali Sherin mengiriminya pesan yang isinya menyuruh Rheyner berangkat dengan Nadira. Sementara Sherin akan berangkat sendiri seperti sebelum berpacaran dengan Rheyner. Entah mengapa Sherin benar-benar khawatir pada Nadira.Nadira keluar rumah dengan ceria. Ia bahkan bersenandung.“Lho, kirain Kak Panji. Kok kamu nggak jemput Kak Sherin sih, Rheyn?” tanya Nadira heran.“Bawel deh. Buruan naik.”Nadira naik ke boncengan Rheyner tanpa disuruh dua kali. Akan tetapi, Rheyner tak kunjung menyalakan mesin motornya.“Kok nggak jalan?” Nadira menyuarakan pertanyaan di benaknya.&l
“Lho, Mbak Dira mana, Mas?” tanya Bima saat melihat sang kakak pulang seorang diri. Rheyner hanya diam. Ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah dan langsung menuju ke dapur. Mengambil air mineral dari kulkas dan menenggaknya langsung. Setengah botol masuk ke perut Rheyner. “Ih, Mas Rhey minumnya kok nggak pake gelas sih? Fian bilangin Mama nih.” Adik bungsu Rheyner mendadak muncul. Rheyner menatapnya sekilas dan malas. “Mbak Dira mana Mas? Orang ditanya juga,” tanya Bima lagi. Ia mulai jengkel. “Lo berdua berisik banget, sih! Nadira pergi sama cowoknya!” jawab Rheyner galak. Setelah mengucapkan itu ia segera berjalan menuju tangga untuk masuk ke kamarnya. “Mas Rheyner kenapa sih, Mas Bim?” tanya Fian.
Pagi ini Rheyner sedang memanaskan motornya ketika ia melihat Nadira keluar dari rumah untuk membuang sampah lengkap dengan seragamnya, meski masih mengenakan sandal rumahan sebagai alas. Namun, tetap saja hal itu membuat Rheyner mengernyit heran.Melihat Nadira ia jadi teringat kejadian kemarin dan sepertinya sikapnya sedikit keterlaluan. Jadi ia memutuskan untuk meminta maaf. Belum sempat Rheyner menghampiri dan menyapa, tetapi Nadira sudah berbalik. Rheyner segera mengejar Nadira dan membiarkan mesin motornya tetap menyala.Begitu memasuki gerbang rumah Nadira, Rheyner bertemu dengan Rendra yang juga baru saja memanaskan mesin mobil.“Pagi, Yah. Wah, tumben nih jam segini udah siap ngantor,” sapa Rheyner.“Iya, Ayah ada pertemuan di luar kantor. Tempatnya agak jauh jadi harus berangkat pagi-pagi gini.”
Rheyner mengemudikan motor matic-nya dengan kecepatan penuh. Pasalnya ia sudah terlambat mengajar hampir satu jam. Iya, mengajar. Rheyner yang menyandang gelar karateka terbaik tingkat provinsi itu memiliki pekerjaan sambilan sebagai pelatih karate di dojo tempatnya dulu berlatih. Tidak setiap hari Rheyner mengajar, seminggu dua kali. Tadi setelah mengantar Sherin pulang Rheyner langsung melesat ke tempatnya mengajar. Jangan tanya mengapa Rheyner tidak mengantar Nadira pulang, karena; 1) Nadira dijemput oleh Josaphat 2) Pacar Rheyner itu Sherin bukan Nadira. Eh, apa urutan alasannya terbalik ya?Memarkirkan motornya secara asal, berganti pakaian pun grusa-grusu. Akhirnya kini Rheyner berd
Nadira membalurkan sunblock ke seluruh bagian tubuh yang dapat dijangkaunya sebelum menggunakan pakaian yang sudah disiapkan sejak semalam. Tidak, Nadira tidak naked. Ia menggunakan tanktop dan celana pendek yang biasa ia pakai sebagai rangkapan. Ini memang masih pagi buta, tetapi Nadira sudah bersiap sejak tadi. Hari ini rencananya ia akan menghabiskan waktu dengan Josaphat. Dari pagi sampai nanti malam. Ya, istilah nge-date mungkin cocok untuk digunakan. Selesai meratakan