Nadira memasuki rumahnya yang cukup besar untuk keluarga yang hanya terdiri dari tiga orang. Sayup-sayup terdengar suara ribut dari ruang keluarga. Nadira segera melangkahkan kakinya ke sana. Di ruang keluarga ada dua anak laki-laki berusia 9 dan 14 tengah berebut kamera DSLR. Si anak 14 tahun berusaha menjauhkan kameranya dari jangkauan si anak 9 tahun.
“Mas, siniin kameranya.” Si anak 10 tahun meminta. Kakinya melonjak-lonjak hendak meraih kamera.
“Nggak!” tolak si anak yang lebih besar.
“Bima, Fian, ngapain sih ribut-ribut?” tanya Nadira setelah meletakkan ranselnya di sofa. “Kedengaran sampai depan, lho.
“Aku mau pinjam kamera Mas Bima, Mbak,” adu Fian.
“Bima, pinjami Fian kameranya sebentar dong,” kata Nadira halus.
“Nggak mau, Mbak. Kamera aku bisa rusak kalo Fian yang pegang. Aku nggak mau kayak Mas Rheyner yang laptopnya dirusak sama Fian,” tolak Bima.
“Aku nggak ngerusak kok, Mas. Aku cuma pengin pinjam sebentar,” kata Fian tidak terima. Khas anak kecil.
“Sekali nggak ya nggak!” Bima masih kekeuh tidak mau meminjamkan kamera yang baru didapatkan bulan lalu saat ulang tahunnya ke-14.
“Gini aja deh, Bima ngajarin Fian gimana cara mengoperasikan kameranya. Terus nanti kalo Fian udah bisa baru kamu pinjami. Gimana?” Nadira mencoba memberi solusi.
Bima terlihat berpikir sebelum mengangguk tanda setuju. Nadira tersenyum sambil mengelus kepala Bima dan Fian bersamaan. Sungguh Nadira menyayangi kedua adik Rheyner ini.
“Oh, iya, Ibu ke mana?” tanya Nadira begitu menyadari bahwa ibunya tidak ada di rumah.
“Ibu lagi pergi sama Mama, Mbak,” jawab Bima.
“Terus kok tumben kalian di sini?” tanya Nadira lagi
“Aku mau tunjukin ini ke Mbak Dira.” Bima menunjukkan selembar foto candid dua orang yang sedang tertawa lepas. “Bagus kan Mbak?”
Nadira memperhatikan foto tersebut. Foto dirinya bersama Rheyner saat ulang tahun Bima yang dirayakan di halaman belakang rumah Rheyner. Tanpa sadar kedua ujung bibirnya tertarik.
“Bagus banget,” jawab Nadira jujur. Untuk kategori anak SMP kelas 2 bisa mengambil gambar seperti itu tanpa belajar teknik-tekniknya secara formal seperti Bima adalah sesuatu yang bisa dikatakan hebat. Nadira bangga kepada Bima.
“Itu buat Mbak Dira. Aku nyetak dua, nanti yang satu bakal aku pajang di rumah sama Mama.” Bima menjelaskan.
“Eh, jangan!” ucap Nadira cepat.
“Kenapa Mbak?” Fian mewakili Bima untuk bertanya.
“Mas Rheyner baru aja punya pacar. Nanti kalo pacar Mas Rheyner main ke rumah kalian terus liat foto ini bisa salah paham. Jadi, jangan dipajang.” Nadira memberi kedua adik Rheyner pengertian.
“Mas Rheyner punya pacar?” Bima dan Fian bertanya bersamaan.
“He’em,” jawab Nadira riang. Otaknya kembali memutar adegan Rheyner dan Sherin di kedai es krim tadi. Remaja sepertinya memandang apa yang Rheyner lakukan tadi romantis. Kalau ia yang di posisi Sherin juga pasti akan luluh. Ah, kapan ada laki-laki bertindak manis kepadanya seperti Rheyner terhadap Sherin tadi?
“Mbak Dira nggak papa Mas Rheyner punya pacar?” tanya Fian polos.
“Hah, kamu kok nanya begitu?”
***
Rheyner berjalan menuju motornya diiringi tatapan Sherin. Ia baru saja mengantar Sherin pulang. Senyum mereka tak pernah lepas sejak mereka resmi menjadi sepasang kekasih tadi sore. Rheyner melambaikan tangan dan dibalas oleh Sherin.
‘Sumpah kok gue jadi norak gini sih?’ Rheyner menaiki motor sport-nya dan segera memacunya meninggalkan rumah Sherin.
Rheyner melihat Nadira tengah menyiram tanaman di depan rumahnya saat memasukkan motor ke garasi. Nadira melirik Rheyner sekilas tanpa menyapanya. Gadis yang sudah dianggap adik itu malah asik menyiram tanaman milik mama Rheyner. Rheyner pun langsung masuk tanpa menyapa Nadira.
Beberapa menit kemudian Rheyner sudah berada di belakang Nadira dengan baju rumahan. Ia berjalan mengendap-endap. Sisi jahilnya muncul. Di detik yang sama Nadira berbalik badan dengan selang yang masih mengucurkan air di tangan kanannya. Nadira yang kaget tanpa sadar menyemprotkan air ke badan Rheyner.
“Nadira!” seru Rheyner.
“Ya ampun, maaf, aku kaget, Rheyn.”
“Ck, karma nih,” gerutu Rheyner sambil memegang ujung kaosnya yang basah.
“Karma? Oh, jadi kamu tadi mau ngerjain aku?” Nadira menyipitkan mata. Cengiran Rheyner menjawab pertanyaan Nadira. “Ih, Rhyner … ini rasain.” Nadira malah menyemprotkan air lagi ke badan Rheyner. Kali ini dengan sengaja.
Rheyner berlari menghindar. Namun, pemuda itu tertawa keras. “Ampun, Nad, basah gue.”
“Bodo amat, kamu nggak tahu terima kasih banget sih, Rheyn!” geram Nadira terus mengejar Rheyner.
“Jangan panggil Rheyn kenapa sih? Kayak cewek tahu nggak.” Rheyner berhenti dan berkacak pinggang. Nadira tidak menyahut. Nadira menyemprotkan air dengan semangat untuk memuaskan hatinya.
“Kamu ‘kan belum mandi, Rheyn. Aku berbaik hati mandiin kamu, nih.” Nadira terkikik.
Rheyner memejamkan mata saat Nadira mengarahkan selang air ke mukanya. “Terus, Nad, terusin aja.”
“Iya, aku bakal dengan senang hati basahin badan kamu.” Nadira tertawa sarat akan kemenangan. Ia merasa berhasil mengalahkan Rheyner.
Rheyner memegang tangan Nadira yang lengah dan membalik arah selang. Otomatis air mengucur ke arah Nadira. Baju Nadira basah seketika. Refleks Nadira melepaskan selang dari genggaman tangannya. Selang air dikuasai Rheyner. Nadira berlari, menghindar.
“Rheyner, stop, aku baru aja mandi!” protes Nadira.
“Gue nggak dengar!” Gantian Rheyner yang semangat membasahi Nadira.
Permainan mereka terus berlanjut. Mereka seperti kembali ke masa kecil. Saling berlari mengejar satu sama lain. Suara tawa mereka terdengar di penjuru pekarangan rumah Rheyner. Mereka terlalu asyik dengan dunia yang baru saja mereka ciptakan. Bahkan tidak ada yang sadar bahwa bidikan lensa telah mengabadikan moment yang baru saja mereka ciptakan.
***
Ikuti cerita ini terus, yaaa.
Nadira berjalan santai menuju kelasnya. Pagi ini ia berangkat bersama Panji karena Rheyner menjemput Sherin. Ia berpisah dengan Panji di parkiran. Entah mengapa perasaan Nadira pagi ini sedikit tidak tenang. Sekolah sudah lumayan ramai mengingat bel masuk berbunyi sepuluh menit lagi. Di koridor dekat tangga Nadira melihat kerumunan murid yang lebih banyak perempuan. Memang di sana ada mading, tetapi biasanya tidak seramai itu kecuali saat pengumuman kelulusan.Benak Nadira diselimuti rasa penasaran. Tanpa sadar kakinya bergerak menuju ke mading tersebut. Saat Nadira mendekat semua mata memandangnya. Pandangan mereka beragam tapi lebih banyak yang menilai dari ujung rambut ke ujung kaki. Langkah Nadira tidak setegas tadi, ia menolehkan kepalanya perlahan untuk memastikan kemana arah pandang murid-murid yang berkerumun itu.Tidak ada orang lain di sana, di belaka
Rheyner menunggu Nadira di depan gerbang rumah gadis itu. Tadi pagi-pagi sekali Sherin mengiriminya pesan yang isinya menyuruh Rheyner berangkat dengan Nadira. Sementara Sherin akan berangkat sendiri seperti sebelum berpacaran dengan Rheyner. Entah mengapa Sherin benar-benar khawatir pada Nadira.Nadira keluar rumah dengan ceria. Ia bahkan bersenandung.“Lho, kirain Kak Panji. Kok kamu nggak jemput Kak Sherin sih, Rheyn?” tanya Nadira heran.“Bawel deh. Buruan naik.”Nadira naik ke boncengan Rheyner tanpa disuruh dua kali. Akan tetapi, Rheyner tak kunjung menyalakan mesin motornya.“Kok nggak jalan?” Nadira menyuarakan pertanyaan di benaknya.&l
“Lho, Mbak Dira mana, Mas?” tanya Bima saat melihat sang kakak pulang seorang diri. Rheyner hanya diam. Ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah dan langsung menuju ke dapur. Mengambil air mineral dari kulkas dan menenggaknya langsung. Setengah botol masuk ke perut Rheyner. “Ih, Mas Rhey minumnya kok nggak pake gelas sih? Fian bilangin Mama nih.” Adik bungsu Rheyner mendadak muncul. Rheyner menatapnya sekilas dan malas. “Mbak Dira mana Mas? Orang ditanya juga,” tanya Bima lagi. Ia mulai jengkel. “Lo berdua berisik banget, sih! Nadira pergi sama cowoknya!” jawab Rheyner galak. Setelah mengucapkan itu ia segera berjalan menuju tangga untuk masuk ke kamarnya. “Mas Rheyner kenapa sih, Mas Bim?” tanya Fian.
Pagi ini Rheyner sedang memanaskan motornya ketika ia melihat Nadira keluar dari rumah untuk membuang sampah lengkap dengan seragamnya, meski masih mengenakan sandal rumahan sebagai alas. Namun, tetap saja hal itu membuat Rheyner mengernyit heran.Melihat Nadira ia jadi teringat kejadian kemarin dan sepertinya sikapnya sedikit keterlaluan. Jadi ia memutuskan untuk meminta maaf. Belum sempat Rheyner menghampiri dan menyapa, tetapi Nadira sudah berbalik. Rheyner segera mengejar Nadira dan membiarkan mesin motornya tetap menyala.Begitu memasuki gerbang rumah Nadira, Rheyner bertemu dengan Rendra yang juga baru saja memanaskan mesin mobil.“Pagi, Yah. Wah, tumben nih jam segini udah siap ngantor,” sapa Rheyner.“Iya, Ayah ada pertemuan di luar kantor. Tempatnya agak jauh jadi harus berangkat pagi-pagi gini.”
Rheyner mengemudikan motor matic-nya dengan kecepatan penuh. Pasalnya ia sudah terlambat mengajar hampir satu jam. Iya, mengajar. Rheyner yang menyandang gelar karateka terbaik tingkat provinsi itu memiliki pekerjaan sambilan sebagai pelatih karate di dojo tempatnya dulu berlatih. Tidak setiap hari Rheyner mengajar, seminggu dua kali. Tadi setelah mengantar Sherin pulang Rheyner langsung melesat ke tempatnya mengajar. Jangan tanya mengapa Rheyner tidak mengantar Nadira pulang, karena; 1) Nadira dijemput oleh Josaphat 2) Pacar Rheyner itu Sherin bukan Nadira. Eh, apa urutan alasannya terbalik ya?Memarkirkan motornya secara asal, berganti pakaian pun grusa-grusu. Akhirnya kini Rheyner berd
Nadira membalurkan sunblock ke seluruh bagian tubuh yang dapat dijangkaunya sebelum menggunakan pakaian yang sudah disiapkan sejak semalam. Tidak, Nadira tidak naked. Ia menggunakan tanktop dan celana pendek yang biasa ia pakai sebagai rangkapan. Ini memang masih pagi buta, tetapi Nadira sudah bersiap sejak tadi. Hari ini rencananya ia akan menghabiskan waktu dengan Josaphat. Dari pagi sampai nanti malam. Ya, istilah nge-date mungkin cocok untuk digunakan. Selesai meratakan
Rheyner merebahkan dirinya pada sofa panjang ruang tamu rumahnya. Ia merasa lelah, baik fisik maupun pikiran. Tangan kirinya ia gunakan sebagai bantalan sementara tangan kanannya ia letakkan di dahi. Mata Rheyner memang terpejam, tetapi ia tidak tidur. Indra pendengarnya menangkap langkah kaki memasuki rumahnya. Langkah kaki itu tidak terdengar lagi. Rheyner tahu ada yang berdiri beberapa langkah dari sofa tempatnya berbaring. Ia juga tahu kalau itu bukan mamanya, karena jika itu mamanya tidak mungkin hanya diam saja. Rheyner pun masih diam, ia enggan membuka mata.“Ehm, Mas .…” Rheyner hafal di luar kepala suara ini. Suara milik orang yang sudah bersamanya selama sekitar 13 tahun. Rheyner tak langsung menjawab.Akhirnya Rheyner berdeham sebagai jawaban. Posisinya masih sama, tidak berubah sedikit pun meski ia dapat merasakan bahwa Nadira ten
“Nggak usah, Rheyn. Jo jemput aku, kok,” Nadira menolak tawaran Rheyner untuk mengajaknya berangkat bersama.Rheyner menarik kembali tangannya yang mengulurkan helm Nadira. “Oh, ya udah.”“Lagian punya pacar kok kerjaannya ngantarin cewek lain, sih.” Nadira terkekeh.“Lo ‘kan bukan cewek lain. Lo itu adik gue.” Rheyner menekankan kata adik.“Tapi ‘kan kita udah sama-sama punya pacar.” Nadira tersenyum manis.Pertama kalinya Rheyner tidak suka dengan senyuman Nadira. “Terus kenapa? Apa itu bisa dijadikan alasan untuk nggak saling peduli?”Nadira terperanjat. “Maksudku bukan gitu,