Nadira berjalan santai menuju kelasnya. Pagi ini ia berangkat bersama Panji karena Rheyner menjemput Sherin. Ia berpisah dengan Panji di parkiran. Entah mengapa perasaan Nadira pagi ini sedikit tidak tenang. Sekolah sudah lumayan ramai mengingat bel masuk berbunyi sepuluh menit lagi. Di koridor dekat tangga Nadira melihat kerumunan murid yang lebih banyak perempuan. Memang di sana ada mading, tetapi biasanya tidak seramai itu kecuali saat pengumuman kelulusan.
Benak Nadira diselimuti rasa penasaran. Tanpa sadar kakinya bergerak menuju ke mading tersebut. Saat Nadira mendekat semua mata memandangnya. Pandangan mereka beragam tapi lebih banyak yang menilai dari ujung rambut ke ujung kaki. Langkah Nadira tidak setegas tadi, ia menolehkan kepalanya perlahan untuk memastikan kemana arah pandang murid-murid yang berkerumun itu.
Tidak ada orang lain di sana, di belakangnya. Nadira meneruskan langkah kaki yang sudah terlanjur ke sana. Lagi pula Nadira memang mengarah ke tangga yang ada di sebelah mading. Nadira menyunggingkan senyum pada satu-dua murid yang masih menatapnya terang-terangan. Nadira mendesah lega begitu ia mencapai tangga.
“Jadi itu pacarnya Rheyner, not bad lah kalo menurut gue.”
“Iya gue setuju. Cantikan dia kemana-mana dibanding si centil Anita.”
Samar-samar Nadira mendengar percakapan murid yang berjalan menjauh dari kerumunan. Nadira meneruskan langkahnya menaiki tangga dengan pikiran yang berkelana. Tadi yang dimaksud pacarnya Rheyner itu siapa?
***
“Rhey, lo bohongin gue ‘kan!” todong Arfa begitu Rheyner mendudukkan diri di kursi kantin.
“Gue baru aja duduk, Fa,” protes Rheyner.
“Bohong soal apaan?” Panji mewakili Rheyner.
“Sebenarnya lo sama Nadira pacaran ‘kan, ngaku lo?” Arfa menunjuk muka Rheyner.
“Uhuk … uhuk ....” Rheyner yang tengah meminum jus jambu Arfa pun tersedak.
“Noh, benar ‘kan? Tahulah, gue ngambek sama kalian berdua.” Arfa berdiri dan mencebikkan bibirnya kesal. “Bayarin jus jambu gue,” titah Arfa sebelum pergi dari hadapan Rheyner dan Panji.
Rheyner bertukar pandang dengan Panji sebelum keduanya bergidik ngeri. “Itu anak kesambet apa gimana?” Panji bertanya retorik.
Rheyner mengangkat bahunya. “Lo yang bayar ya, gue mau pacaran.”
“Heh, ‘kan gue kagak minum!” protes Panji tidak digubris oleh Rheyner yang sudah berjalan menjauh.
“Sial—”
“Gue sih lebih ikhlas kalo Rheyner pacaran sama adik kelas itu dari pada Rheyner sama si Anita,” umpatan Panji terinterupsi oleh suara di belakangnya. Panji membalikkan badannya. Ternyata teman seangkatannya.
“Yaelah, si Anita yang ngaku-ngaku doang keleus. Dia sama Rheyner aja nggak begitu dekat,” suara lain menimpali.
“Sst...emang Rheyner pacaran sama siapa?” tanya Panji.
“Lo kan sohibnya, kok nanya sama gue,” jawab cewek itu cuek.
“Yaelah si Panji, nggak up to date banget sih. Sekali-kali mampir mading dong, Ji,” celetuk cewek yang satu.
“Emang ada apaan sih di mading, heboh benar. Cewek kelas gue juga pada ngeributin mading sepagian tadi.”
“Yah, malah curhat lo.”
Panji berdiri sembari mengeluarkan dompet dari saku belakang celana abu-abunya. “Nggak asyik lo pada.”
Panji berjalan keluar kantin setelah membayar jus jambu Arfa dan nasi gorengnya. Panji penasaran sekali dengan apa yang ada di mading. Sepertinya bukan sesuatu yang biasa.
Mata Panji membulat begitu tahu apa yang ia temukan di mading. Sebuah foto mesra dengan tulisan congratulation di bawahnya. Foto itu memperlihatkan Rheyner yang tengah menyuapi Nadira di sebuah kedai es krim.
***
Nadira merebahkan dirinya di kasur kamar Rheyner. Matanya menatap langit-langit kamar. Sang empunya kamar belum sampai rumah, tetapi Nadira dengan santainya memasuki kamar tersebut. Nadira memang sudah terbiasa keluar-masuk kamar Rheyner. Begitupun Rheyner. Nadira lebih nyaman tidur di kamar Rheyner daripada di kamar yang di desain oleh mama Rheyner untuknya. Alhasil setiap menginap di rumah Rheyner, Nadira akan tidur di kamar Rheyner sementara Rheyner akan mengungsi ke kamar yang seharusnya ditempati Nadira.
Mata Nadira terpejam. Ia hampir saja terlelap kalau saja tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Rheyner muncul dari balik pintu. Ia agak terkejut mendapati Nadira berada di kamarnya.
“Udah dari tadi?” tanya Rheyner sembari melepas ikatan dasinya.
“Lumayan,” jawab Nadira tanpa mengubah posisinya. “Aku tidur sini ya, Mas.”
“Hm.”
Dira akan memanggil Rheyner dengan embel-embel ‘Mas’ kalau sedang ada maunya atau bisa dikatakan sedang bermanja-manja pada Rheyner.
“Nad, nggak ada yang gangguin lo ‘kan setelah tiga hari yang lalu ada foto kita di mading?”
“Nggak kok. Ngomong-ngomong Kak Sherin benaran nggak marah sama aku ‘kan?” tanya Dira balik.
“Nggak, dia malahan khawatir lo kenapa-napa. Biasa ‘kan gue artisnya Sbasa,” kata Rheyner narsis. Nadira hanya mencibir. For your information, Sbasa adalah singkatan dari SMA Bakti Bangsa.
Rheyner ikut merebahkan tubuh lelahnya di kasur bagian kiri. “Tumben tidur sini.”
“Sebenarnya aku nungguin kamu pulang, pengin cerita.” Nadira mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap. Rheyner memandang Nadira sembari memeluk gulingnya. Alisnya bertaut. “Beberapa minggu yang lalu aku ketemu cowok cakep di kafe. Dia habis manggung gitu.”
“Dia anak band?” sela Rheyner.
“Iya, dia gitaris. Namanya Josaphat. Dia sekolah di sekolah khusus musik, seangkatan sama kamu.”
“Lo suka?” Rheyner sebenarnya sudah tahu jawaban Nadira, tetapi ia tetap bertanya. Nadira jarang bercerita tentang cowok.
“Ck, Rheyn ....” rengek Nadira. Sudah pastilah Dira menyukainya, untuk apa ia bercerita kalau bukan karena tertarik. Dasar Rheyner nggak peka.
“Jangan terlalu dekat sama dia. Kalian ‘kan baru kenal,” kata Rheyner tegas.
“Ih, kenapa. Dia baik kok.”
“Lo bahkan baru ketemu sekali, Nadira!”
“Dan bahkan kamu sama sekali belum pernah ketemu dia. Btw, aku udah ketemu dia beberapa kali dan sempat ngobrol juga. Dia orangnya asyik.”
“Pokoknya lo nggak boleh ngasih nomor atau akun sosmed lo ke dia,” perintah Rheyner.
“Aku bahkan udah chat-chat-an sama dia.” Nadira mengangkat ponselnya. Cting. Ponsel itu berbunyi. Nadira melihat pengirim pesan tersebut dan seketika senyumnya terbit. “Aku nggak jadi tidur sini deh.” Nadira setengah berlari keluar kamar Rheyner.
“Nad, Nadira!” panggil Rheyner, tetapi tak mendapat sahutan. Suasana hati Rheyner mendadak berubah.
***
Rheyner menunggu Nadira di depan gerbang rumah gadis itu. Tadi pagi-pagi sekali Sherin mengiriminya pesan yang isinya menyuruh Rheyner berangkat dengan Nadira. Sementara Sherin akan berangkat sendiri seperti sebelum berpacaran dengan Rheyner. Entah mengapa Sherin benar-benar khawatir pada Nadira.Nadira keluar rumah dengan ceria. Ia bahkan bersenandung.“Lho, kirain Kak Panji. Kok kamu nggak jemput Kak Sherin sih, Rheyn?” tanya Nadira heran.“Bawel deh. Buruan naik.”Nadira naik ke boncengan Rheyner tanpa disuruh dua kali. Akan tetapi, Rheyner tak kunjung menyalakan mesin motornya.“Kok nggak jalan?” Nadira menyuarakan pertanyaan di benaknya.&l
“Lho, Mbak Dira mana, Mas?” tanya Bima saat melihat sang kakak pulang seorang diri. Rheyner hanya diam. Ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah dan langsung menuju ke dapur. Mengambil air mineral dari kulkas dan menenggaknya langsung. Setengah botol masuk ke perut Rheyner. “Ih, Mas Rhey minumnya kok nggak pake gelas sih? Fian bilangin Mama nih.” Adik bungsu Rheyner mendadak muncul. Rheyner menatapnya sekilas dan malas. “Mbak Dira mana Mas? Orang ditanya juga,” tanya Bima lagi. Ia mulai jengkel. “Lo berdua berisik banget, sih! Nadira pergi sama cowoknya!” jawab Rheyner galak. Setelah mengucapkan itu ia segera berjalan menuju tangga untuk masuk ke kamarnya. “Mas Rheyner kenapa sih, Mas Bim?” tanya Fian.
Pagi ini Rheyner sedang memanaskan motornya ketika ia melihat Nadira keluar dari rumah untuk membuang sampah lengkap dengan seragamnya, meski masih mengenakan sandal rumahan sebagai alas. Namun, tetap saja hal itu membuat Rheyner mengernyit heran.Melihat Nadira ia jadi teringat kejadian kemarin dan sepertinya sikapnya sedikit keterlaluan. Jadi ia memutuskan untuk meminta maaf. Belum sempat Rheyner menghampiri dan menyapa, tetapi Nadira sudah berbalik. Rheyner segera mengejar Nadira dan membiarkan mesin motornya tetap menyala.Begitu memasuki gerbang rumah Nadira, Rheyner bertemu dengan Rendra yang juga baru saja memanaskan mesin mobil.“Pagi, Yah. Wah, tumben nih jam segini udah siap ngantor,” sapa Rheyner.“Iya, Ayah ada pertemuan di luar kantor. Tempatnya agak jauh jadi harus berangkat pagi-pagi gini.”
Rheyner mengemudikan motor matic-nya dengan kecepatan penuh. Pasalnya ia sudah terlambat mengajar hampir satu jam. Iya, mengajar. Rheyner yang menyandang gelar karateka terbaik tingkat provinsi itu memiliki pekerjaan sambilan sebagai pelatih karate di dojo tempatnya dulu berlatih. Tidak setiap hari Rheyner mengajar, seminggu dua kali. Tadi setelah mengantar Sherin pulang Rheyner langsung melesat ke tempatnya mengajar. Jangan tanya mengapa Rheyner tidak mengantar Nadira pulang, karena; 1) Nadira dijemput oleh Josaphat 2) Pacar Rheyner itu Sherin bukan Nadira. Eh, apa urutan alasannya terbalik ya?Memarkirkan motornya secara asal, berganti pakaian pun grusa-grusu. Akhirnya kini Rheyner berd
Nadira membalurkan sunblock ke seluruh bagian tubuh yang dapat dijangkaunya sebelum menggunakan pakaian yang sudah disiapkan sejak semalam. Tidak, Nadira tidak naked. Ia menggunakan tanktop dan celana pendek yang biasa ia pakai sebagai rangkapan. Ini memang masih pagi buta, tetapi Nadira sudah bersiap sejak tadi. Hari ini rencananya ia akan menghabiskan waktu dengan Josaphat. Dari pagi sampai nanti malam. Ya, istilah nge-date mungkin cocok untuk digunakan. Selesai meratakan
Rheyner merebahkan dirinya pada sofa panjang ruang tamu rumahnya. Ia merasa lelah, baik fisik maupun pikiran. Tangan kirinya ia gunakan sebagai bantalan sementara tangan kanannya ia letakkan di dahi. Mata Rheyner memang terpejam, tetapi ia tidak tidur. Indra pendengarnya menangkap langkah kaki memasuki rumahnya. Langkah kaki itu tidak terdengar lagi. Rheyner tahu ada yang berdiri beberapa langkah dari sofa tempatnya berbaring. Ia juga tahu kalau itu bukan mamanya, karena jika itu mamanya tidak mungkin hanya diam saja. Rheyner pun masih diam, ia enggan membuka mata.“Ehm, Mas .…” Rheyner hafal di luar kepala suara ini. Suara milik orang yang sudah bersamanya selama sekitar 13 tahun. Rheyner tak langsung menjawab.Akhirnya Rheyner berdeham sebagai jawaban. Posisinya masih sama, tidak berubah sedikit pun meski ia dapat merasakan bahwa Nadira ten
“Nggak usah, Rheyn. Jo jemput aku, kok,” Nadira menolak tawaran Rheyner untuk mengajaknya berangkat bersama.Rheyner menarik kembali tangannya yang mengulurkan helm Nadira. “Oh, ya udah.”“Lagian punya pacar kok kerjaannya ngantarin cewek lain, sih.” Nadira terkekeh.“Lo ‘kan bukan cewek lain. Lo itu adik gue.” Rheyner menekankan kata adik.“Tapi ‘kan kita udah sama-sama punya pacar.” Nadira tersenyum manis.Pertama kalinya Rheyner tidak suka dengan senyuman Nadira. “Terus kenapa? Apa itu bisa dijadikan alasan untuk nggak saling peduli?”Nadira terperanjat. “Maksudku bukan gitu,
Sore ini Rheyner dan Panji masih harus latihan basket untuk persiapan turnamen yang sudah di depan mata. Rheyner dan Panji akan bermain untuk terakhir kalinya sebelum ‘pensiun’. Mereka berdua memang merupakan pemain andalan di tim basket SMA Bakti Bangsa. Setelah berlatih dan berdiskusi tentang strategi apa yang akan digunakan dalam turnamen, pelatih memberi waktu istirahat. Rheyner menenggak minuman isotonik pemberian pacarnya. Panji yang duduk di sebelahnya melakukan hal yang sama, bedanya minuman yang ia minum bukan dari pacarnya. Teman satu tim mereka sudah menyebar di pinggir lapangan yang teduh. Bahkan ada yang dengan santainya tidur telentang bertelanjang dada. Sekitar lapangan basket memang sepi karena memang area olahraga terpisah dengan gedung pembelajaran. Arfa dan Erga berjalan ke arah Rheyner dan Panji. Rheyner menafsirkan mereka dari kanti