Dari luar, rumah dua lantai bergaya modern minimalis itu tampak seperti hunian keluarga dambaan P*******t, bersih, estetik, dan adem. Tapi begitu pintu dibuka, suasananya lebih mirip drama survival.
Di ruang tengah, seorang gadis remaja dengan bantal lepek di kepala melotot kesal ke arah tangga. Yuki, calon mahasiswa yang masih jungkir balik belajar soal SNBT, benar-benar terganggu.
"KAK! Sumpah, ini udah naik turun tangga ke berapa kali?!" teriaknya, memicing ke arah Kairo yang lagi-lagi turun tangga dengan langkah panik, seperti sedang ikut lomba lari estafet.
"Ssst! Pelan dikit, itu si Oyen muntah lagi! Kayaknya dia nggak cocok naik motor deh, atau... ya ampun, jangan-jangan dia stres denger aku nyanyi di perjalanan?" Kairo bergumam, setengah berbicara ke diri sendiri.
Kairo, mahasiswa semester dua jurusan pendidikan dokter hewan, baru banget ngerasain kerasnya hidup dunia praktikum. Dan hari ini, dia dititipi seekor kucing jingga untuk dibawa ke kampus besok.
Masalahnya, si kucing kayaknya gak sepakat dengan rencana hidup Kairo.
"Bayangin aja, dek. Aku baru aja jadi maba, terus udah harus mandiin kucing, ukur suhu tubuhnya, eh sekarang bersihin muntahan di tiga tempat! Ini ujian mental atau percobaan sabar sih?"
Yuki menjauh sejauh mungkin dari sumber kekacauan sambil memeluk bantal. "Nope. Cancel. Aku gak jadi daftar jurusan yang ada-ada bau hewan. Makasih, kak, udah memperlihatkan realita kelam dunia perkuliahan."
Kairo menghela napas panjang sambil memandangi Oyen yang sekarang rebahan manja di atas handuk hangat. "Aku juga nggak yakin dia bakal anteng dipakai praktikum besok. Tapi dia lucu... kalau lagi gak muntah."
"Sini! Bantu pegangin Oyen bentar. Kakak mau cek suhunya, dia kok kelihatannya lemas," seru Kairo sambil membawa thermometer digital dan wajah serius kayak dokter bedah yang baru turun dari helikopter.
Yuki mendesah keras, tapi tetap berdiri. Dengan langkah penuh drama, dia menghampiri Kairo dan kucing jingga yang tampak innocent, padahal menyimpan niat jahat di balik mata bulatnya.
"Yang bener ya pegangnya! Kalau dia kabur, bisa ditulis praktikum gagal di laporan kakak!" ujar Kairo dengan ekspresi panik campur ancaman.
"Iya, iya! Aku pegangin nih. Buruan, cepet taruh aja termometernya di ketek Oyen, sebelum dia..."
"KETEK?!" potong Kairo dengan suara nyaring.Yuki menatap kakaknya, bingung. "Lah, iya. Emang bukan di situ ya?"
Kairo menghela napas dalam-dalam, seperti sedang menyiapkan hati untuk mengucap sesuatu yang bisa mengubah dunia. "Termometer hewan... masuknya lewat... DUBUR."
Yuki diam.
Sepuluh detik kemudian, "KAKAK SERIUS GAK SIH?! Ini bukan malpraktik?! Gimana kalau dia trauma dan kabur ke rumah tetangga?!"
Tapi Kairo sudah dalam mode fokus, memposisikan termometer sambil mengelus punggung Oyen. "Tenang, asal pelan-pelan dan kamu tahanin, dia gak bakal—"
"NYAAAAAARRRRGHH!!"
Sebuah cakar tajam melesat cepat. Suara kucing campur suara Yuki memecah keheningan sore. Yuki menjerit keras.
"AAAAAAAKH! KAK!!! Dia nyakar tanganku! Ini kayak disayat jodoh yang pergi tanpa pamit!!"
Kairo buru-buru menarik termometer, sementara Oyen langsung loncat dan ngilang entah ke mana, meninggalkan dua manusia yang now officially chaos.
Yuki memandangi lengannya yang sekarang ada jejak merah tiga garis. "Ini... ini... ini pertanda! Aku tuh gak ditakdirkan berurusan sama hewan! Udah pasti!"
Kairo, yang masih sibuk mengecek hasil suhu dari layar kecil termometer, bergumam, "36,9. Aman."
"Yang gak aman itu tanganku, Kak!" Yuki melempar bantal ke arah Kairo yang langsung tangkis pakai kertas laporan praktikum.
Sore itu, suasana rumah mereka tenang... kecuali jeritan Yuki tiap kena alkohol.
Dan Oyen? Setelah kabur, dan kembali lagi. Dia tidur nyenyak di atas sofa. Seolah tidak pernah mencakar Yuki.
Ting... Tong...
Suara bel pintu membuat Yuki spontan berdiri dari sofa, meski lengannya masih terasa perih bekas cakar Oyen. Wajahnya langsung cerah.
"MAMAAAA!!!" teriaknya seperti baru menang kuis berhadiah motor.
Ia berlari ke arah pintu depan dengan ekspresi bahagia, membayangkan sosok sang mama yang akan datang membawa makanan dan pelukan hangat. Tanpa pikir panjang, Yuki membuka pintu lebar-lebar dan langsung memeluk orang di depannya.
Namun, sebuah suara bariton yang asing memecah harapannya.
"Maaf..."
Yuki terdiam. Pelukannya membeku. Otaknya mendadak loading 99%.
Pelan-pelan, ia melepaskan pelukannya—penuh ketegangan seperti di adegan sinetron. Matanya membulat saat melihat pria yang berdiri di depannya. Tinggi. Kulit putih. Rambut sedikit berangakan. Wangi. Dan... bukan mama.
"Ma-ma-maaf... kamu siapa?" tanya Yuki dengan wajah yang langsung memerah kayak tomat rebus.
Pria itu tersenyum sopan sambil celingak-celinguk, berusaha tidak kelihatan awkward, meskipun jelas-jelas barusan dipeluk tanpa izin.
"Aku Arga. Temannya Kairo. Ini benar rumahnya Kairo, kan?"
Yuki hanya bisa mengangguk pelan, wajahnya sudah seperti nasi goreng kepedesan. "Kak!!! Kakak!!!" teriaknya sambil lari sekencang mungkin ke ruang tamu. Tangannya langsung menyapu bukunya yang berserakan di meja, lalu tanpa menoleh ke belakang, dia melesat naik ke lantai dua. Pintu kamar langsung ditutup rapat seperti ingin mengubur aibnya.
Begitu napasnya stabil, Yuki terduduk di balik pintu.
"Gila... tuh cowok ganteng banget!" gumamnya dengan tangan menutup wajah. Pipinya masih panas.
Sementara itu di bawah...
Kairo menatap Arga dengan alis terangkat. "Lo udah sampe? Cepet banget. Eh, ketemu adik gue ya?"
Arga mengangguk sambil nyengir tipis. "Iya, ketemu sih tadi..."
Setelah berhasil mengubur rasa malu dengan cara berguling-guling di ranjang empuknya, Yuki segera meraih ponsel yang tergeletak di sana.
Dengan jari gemetar campur excited, dia menekan nama kontak sahabatnya.
📞 Yuki: "Zaraaa! Lo harus tahu sekarang juga! Penting!"
📞 Zara: "Astagaaa! apa? Lo udah fix jurusan kuliah lo?"
📞 Yuki: "Bukan! Ini lebih penting dari masa depan gue! Kakak gue bawa temennya ke rumah, dan, sumpah, dia... GANTENGNYA KAYAK MAHLUK SURGA!"
Yuki hampir saja mengguling di kasur lagi saking senangnya, tapi buru-buru nahan karena ingat kejadian tadi masih membuat jiwanya labil.
📞 Zara: "Lo lebay. Gantengnya ngalahin ketua OSIS kita yang tiap senyum bikin semua cewek batal diet?"
📞 Yuki: "Zar... ini bukan sekadar senyum. Ini tuh... visualnya keras! Lo tahu gak, kayak cowok di iklan parfum yang jalan pelan-pelan terus ada angin berhembus dari arah yang gak jelas. Gitu!"
Zara di seberang sana hanya bisa menghela napas. Sahabatnya memang selalu dramatis kalau udah urusan cowok.
📞 Yuki: "Gue gak ragu. Serius. Temennya Kairo itu jauh lebih ganteng. Gue kayak nemu harta karun di depan pintu."
📞 Zara: "Awas lo jadi stalking akun medsosnya terus nyebut dia 'sayang' dalam hati."
📞 Yuki: "Tutup mulut lo, itu rahasia nasional!"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari lantai bawah.
"DEK!! DEK!!" teriak Kairo seperti biasa, dengan nada darurat seolah rumah kebakaran, padahal paling cuma kehabisan es batu.
📞 Yuki: "Eh, udahan dulu ya. Kakak gue manggil. Gue harus jaga image."
Tanpa menunggu jawaban Zara, Yuki menutup telepon, langsung bangkit, berdiri di depan kaca.Refleks, dia merapikan rambut, mencubit pipinya biar lebih merona, dan menuruni tangga dengan langkah selembut kabut pagi.
"Apa sih, kak?" tanyanya dengan suara pelan, nada sopan, mata bersinar penuh kontrol diri.
Kairo yang lagi duduk di ruang tamu menatap adiknya dengan tatapan waspada. "Buatin es dong," katanya sambil memainkan HP-nya.
Yuki melirik sekilas ke arah dapur, lalu pandangannya beralih ke... Arga, yang sedang jongkok di dekat Oyen, memberinya vitamin sambil mengelus bulunya dengan hati-hati.
Tiba-tiba dunia terasa slow motion.
Yuki berjalan ke dapur dengan gaya anggun (padahal biasanya kayak tank Tentara), lalu kembali lima menit kemudian sambil membawa nampan berisi jus apel dan camilan ringan.
"Silakan, kak. Jus apel dan camilannya," ucapnya lembut, meletakkan nampan di meja seperti seorang barista estetik dari café mahal.
Kairo menatap adiknya, nyaris tidak percaya. "Lo gak salah makan sesuatu, kan?"
Biasanya Yuki kalau disuruh ngambil air aja, bawa dengan sumpah serapah dan jalan sambil jedag-jedug. Tapi sekarang?
Penuh senyum. Penuh keanggunan. Penuh acting.
"Makasih ya." Suara Arga menyusul, membuat jantung Yuki naik lift ke lantai tujuh belas.
Yuki tersenyum sekilas lalu cepat-cepat kabur ke dapur. Begitu sudah aman, dia berdiri mematung, wajahnya merah padam.
"Gue harus jaga wibawa. Gue harus jaga wibawa!" bisiknya sambil menepuk pipi sendiri.
Di ruang tamu, Kairo hanya bisa mendesah, lalu menatap Oyen.
"Gue gak yakin lo satu-satunya yang butuh vitamin hari ini, Yen."
Kampus hari itu seperti pasar malam. Ramai, riuh, penuh orang lalu-lalang dengan selebaran di tangan. Bedanya, bukan ada yang jualan cilok atau bakso bakar, tapi selebaran visi-misi calon ketua klub. Semua mahasiswa kelihatan heboh, seolah hari ini bakal menentukan nasib dunia.Di pojok gedung B, Kairo duduk tegak dengan wajah serius ala calon pejabat. Di depannya ada banner sederhana bertuliskan:"Kairo Arsenio – Calon Ketua Klub Hewan Kesayangan. Visi: Hewan sehat, hati hangat. Misi: Lebih banyak vaksin, lebih sedikit drama."Orang-orang lewat dan mengangguk-angguk, karena memang visinya masuk akal, nggak lebay, dan Kairo terlihat profesional. Bahkan kucing liar yang nyelonong pun kayaknya setuju.Sementara itu, di ruangan sebelah, suasana jauh lebih... ehm... meriah. Arga berdiri di atas panggung mini, pakai kemeja casual tapi tetap berkarisma. Slide presentasinya penuh foto-foto hewan eksotik. Ada ular dengan efek kilat dramatis, bunglon warna-warni kayak lampu disko, dan kura-kur
Hari itu Arga benar-benar keok sama jadwal padatnya. Dari kuliah pagi yang dosennya nggak pernah ngurangin materi, dilanjut praktikum sampai tangan belepotan obat hewan, plus mampir ke rumah Kairo buat ngurusin Oyen, si kucing sok artis yang hobi muntah di waktu tidak tepat.Begitu mesin mobilnya mati di halaman, Arga turun sambil meregangkan badan. Rumahnya berdiri megah dengan nuansa Japanese style atap miring dengan kayu gelap, taman batu, dan kolam kecil yang airnya tenang banget. Dari luar memang elegan, persis rumah-rumah di drama Jepang yang bikin orang langsung nyangka pemiliknya adalah orang penting."Selamat sore, Arga," sapa Pak Rudy, tukang kebun merangkap penjaga mini zoo di belakang rumah. Di sanalah hewan-hewan eksotis Arga dirawat: ada ular, landak mini, sampai buaya kecil.Arga mengangguk ramah. "Sore, Pak Rudy. Semua hewan baik-baik aja kan?" Tanya Arga."Puji Tuhan sehat semua. Tinggal nak Arga aja yang keliatan capek," jawab pak Rudy yang menyadari kelelahan dalam
Suatu sore, Yuki sedang sibuk dengan "konten masterpiece"-nya. Ia berdandan ala-ala karakter aneh: pakai bandana hijau ngejreng, bedak belepotan, bibir merah menyala kayak habis makan lima kilo cabe rawit, plus jaket bolong yang harusnya sudah pensiun jadi lap meja. Dengan penuh percaya diri, ia menari di depan kamera ponselnya.Tiba-tibatok tok tok!pintu rumah diketuk. Yuki spontan melirik jam dinding."Oh, pasti kak Kairo. Pulang cepat juga," gumamnya.Dengan langkah riang, ia membuka pintu. Tapi begitu pintu terbuka, dunia serasa berhenti.Yang berdiri di depan sana bukan Kairo yang tatapannya dingin bak kulkas dua pintu, melainkan Arga... dengan senyum ramah plus tawa ngakak melihat Yuki dalam penampilan absurd itu.Yuki sontak membeku."..."Lalu, refleks:"AAAAAAAAA!!!"Yuki lari terbirit-birit ke kamarnya, masih pakai bandana hijau ngejreng itu."Kak Arga duduk aja di sofa yaaa!!!" teriaknya dari lantai dua, suaranya pecah kayak toa masjid yang kebasahan.Beberapa detik kemud
Jemari Yuki terus menggeser layar ponselnya, seperti sedang mencari harta karun yang tak kunjung ditemukan. Fokusnya hanya satu: akun Arga. Sudah sepuluh kali mengetik nama yang sama di kolom pencarian, tapi hasilnya nihil."Dia ansos kali, ya?" gumam Yuki sambil memiringkan kepala, seolah layar ponselnya akan memberi jawaban kalau dilihat dari sudut berbeda.Tumpukan buku pelajaran di depannya? Sudah jadi pajangan. Pikirannya sibuk merangkai skenario bagaimana caranya menemukan jejak digital Arga.Lalu—ting!—satu ide cemerlang melintas."Ah! Cari dari akun Kairo aja!"Begitu melihat profil kakaknya, Yuki baru sadar... ia bahkan belum mem-follow Kairo sama sekali. Lebih parah lagi, akun Kairo dikunci, jadi ia tak bisa mengintip daftar followers atau following.Tak butuh waktu lama, Yuki langsung kirim permintaan pertemanan. Dan, dengan suara lantang khasnya, ia berteriak dari lantai satu,"Kak!!! Terima followan aku!!!"Di lantai dua, Kairo yang sedang tenggelam dalam laporan praktiku
Malam itu, setelah makan malam bersama sang mama dan Kairo, bukannya langsung masuk kamar seperti biasanya, Yuki malah berjalan pelan-pelan menyusuri lorong lantai dua. Bukannya ke kamarnya sendiri, ia justru melipir ke tempat yang sering jadi zona terlarang: kamar Kairo.Seperti biasa, pintunya tidak dikunci. Kairo memang tidak pernah belajar dari kesalahan—terutama kesalahan punya adik perempuan bernama Yuki.Kamar itu gelap, tenang, dan dominan warna hitam. Dari tempat tidur, lemari, sampai lampu meja. Semua matching dan teratur. Sangat kontras dengan kamar Yuki yang lebih mirip kapal pecah pasca badai.Tanpa ragu, Yuki menjatuhkan diri ke atas ranjang Kairo."WOI DEK!!!" suara Kairo terdengar seperti alarm darurat. Ia baru saja keluar dari kamar mandi, rambut masih basah dan memakai kaus lusuh."Kenapa sih kamu di sini?! Jangan seenaknya tidur di ranjang aku! Nanti ketularan virus tingkah aneh kamu."Yuki berguling manja, memasang senyum licik. "Aku cuma mau tanya sesuatu kok."Ka
Dari luar, rumah dua lantai bergaya modern minimalis itu tampak seperti hunian keluarga dambaan Pinterest, bersih, estetik, dan adem. Tapi begitu pintu dibuka, suasananya lebih mirip drama survival.Di ruang tengah, seorang gadis remaja dengan bantal lepek di kepala melotot kesal ke arah tangga. Yuki, calon mahasiswa yang masih jungkir balik belajar soal SNBT, benar-benar terganggu."KAK! Sumpah, ini udah naik turun tangga ke berapa kali?!" teriaknya, memicing ke arah Kairo yang lagi-lagi turun tangga dengan langkah panik, seperti sedang ikut lomba lari estafet."Ssst! Pelan dikit, itu si Oyen muntah lagi! Kayaknya dia nggak cocok naik motor deh, atau... ya ampun, jangan-jangan dia stres denger aku nyanyi di perjalanan?" Kairo bergumam, setengah berbicara ke diri sendiri.Kairo, mahasiswa semester dua jurusan pendidikan dokter hewan, baru banget ngerasain kerasnya hidup dunia praktikum. Dan hari ini, dia dititipi seekor kucing jingga untuk dibawa ke kampus besok.Masalahnya, si kucing