LOGINMalam itu, setelah makan malam bersama sang mama dan Kairo, bukannya langsung masuk kamar seperti biasanya, Yuki malah berjalan pelan-pelan menyusuri lorong lantai dua. Bukannya ke kamarnya sendiri, ia justru melipir ke tempat yang sering jadi zona terlarang: kamar Kairo.
Seperti biasa, pintunya tidak dikunci. Kairo memang tidak pernah belajar dari kesalahan—terutama kesalahan punya adik perempuan bernama Yuki.
Kamar itu gelap, tenang, dan dominan warna hitam. Dari tempat tidur, lemari, sampai lampu meja. Semua matching dan teratur. Sangat kontras dengan kamar Yuki yang lebih mirip kapal pecah pasca badai.
Tanpa ragu, Yuki menjatuhkan diri ke atas ranjang Kairo.
"WOI DEK!!!" suara Kairo terdengar seperti alarm darurat. Ia baru saja keluar dari kamar mandi, rambut masih basah dan memakai kaus lusuh.
"Kenapa sih kamu di sini?! Jangan seenaknya tidur di ranjang aku! Nanti ketularan virus tingkah aneh kamu."
Yuki berguling manja, memasang senyum licik. "Aku cuma mau tanya sesuatu kok."
Kairo mengerutkan kening. "Tanya apa? Gak bisa nanya dari luar kamar?!"
"Temen kakak yang kemarin itu, yang ganteng banget... namanya siapa?" tanya Yuki, suara dibuat sehalus mungkin, seperti sedang menyebut nama orang yang bakal masuk dalam doa malamnya.
Kairo mendengus. "Kebiasaan! Matanya cowok mulu! Udah aku bilangin, hati-hati. Kalau udah beneran jatuh cinta, itu... rentan sakit hati."
Yuki menatap langit-langit sambil bersandar. "Yaelah, kak... emangnya aku udah pernah beneran jatuh cinta? Belum, tahu! Makanya ini pengen coba... siapa tahu cocok."
Kairo memutar bola matanya. "Nathaniel Arga. Puas?!"
Yuki menahan senyum, nyaris jingkrak di ranjang. "Nathaniel... Arga... Hmmm. Namanya kayak model iklan parfum. Pantesan aromanya... menggoda iman."
"Udah ah jangan halu," potong Kairo, makin jengkel. "Dan iya, dia satu jurusan sama kakak. Sama-sama ambil pendidikan dokter hewan. Tapi Arga anak yang serius, gak punya waktu ngurusin remaja unyu-unyu yang baru lulus SMA."
Yuki pura-pura nggak dengar. "Dia pasti pintar ya? Soalnya tadi aku lihat pas ngasih vitamin ke Oyen tuh tangannya lembut banget. Kayak tangan pawang kucing terlatig..."
"YUKI!" bentak Kairo. "Stop deh, gak boleh pacar-pacaran! Kamu tuh harus fokus sama UJIAN! Ngerti nggak?!"
Yuki manyun. "Iya iyaaa... ngerti... tapi kalau jodoh gimana kak?"
Kairo langsung mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Yuki. "KELUAR!"
Yuki tertawa cekikikan sambil kabur keluar kamar, membawa serta satu informasi berharga: Nama lengkap cowok ganteng itu adalah Nathaniel Arga, dan dia satu jurusan sama Kairo.
Malam itu, operasi kepo pun resmi dimulai.
———
Pagi-pagi buta, saat ayam tetangga baru mau mikir buat berkokok, rumah keluarga Yuki sudah sibuk. Aroma roti bakar dan telur mata sapi menyelimuti dapur mungil mereka. Yuki duduk di meja makan sambil menggambar-gambar wajah Arga di belakang buku bimbelnya, sementara Kairo sudah duduk dengan rapi lengkap dengan jas labnya, seolah siap membedah dinosaurus.
Sarah, sang mama, melangkah anggun mengenakan blouse putih dan celana span berwarna hitam. Seperti biasa, gaya rapinya gak ada lawan. Dengan tas berisi peralatan medis sederhana seperti stetoskop, thermometer, dan lainnya. Ia tampak lebih cocok jadi model iklan vitamin daripada dokter spesialis jantung.
"Yuki, udah tau mau ambil jurusan apa, Nak?" tanya Sarah sambil menuangkan teh ke gelas anak gadisnya.
Yuki yang baru saja menyuap sepotong roti bakar, langsung menegakkan badan.
"Hm... kayaknya mau ambil jurusan kayak Kak Kairo, Ma," jawab Yuki santai, seolah yang dia maksud adalah jurusan menggambar atau fashion, bukan jurusan kedokteran hewan yang penuh darah dan bulu.
Glek!
Kairo tersedak roti bakarnya sendiri. Ia batuk heboh sambil menepuk-nepuk dada, nyaris seperti pasien IGD yang kehabisan napas.
"YUKI!" serunya, dengan suara setengah parau. "Kamu itu bahkan pegang kucing aja lari-lari sambil nangis! Gak! Jangan! Jangan pernah masuk jurusan kakak!"
Sarah menatap Kairo sambil mengangkat alis, "Kairo, kok marah-marah gitu sih sama adik sendiri? Kan bagus kalau Yuki terinspirasi dari kamu."
Kairo menunjuk adiknya dengan garpu seperti mau melakukan interogasi.
"Masalahnya, Ma! Nih anak ngelus bulu ayam aja bisa trauma. Masa mau jadi dokter hewan? Dia tuh lebih cocok jadi... yaaa... mungkin editor drama Korea, bukan nanganin kambing melahirkan!"
Yuki mendesis kesal, "Aku akan belajar kok, Ma! Aku janji! Walaupun sekarang belum bisa megang kucing, aku bakal latihan! Mulai dari boneka dulu mungkin..."
Sarah menahan tawa sambil menggeleng-geleng, lalu memeriksa jam tangannya.
"Udah, kalian habisin sarapannya ya. Yuki diantar Pak Rudi aja ke bimbel, Mama berangkat dulu ke rumah sakit. Kairo, kamu bawa mobil sendiri aja ya, jangan naik motor. Cuaca tidak menentu, jaga-jaga supaya gak kehujanan."
Setelah mencium kening kedua anaknya, Sarah pun melangkah keluar dengan elegan. Sementara itu, Kairo hanya bisa menghela napas panjang, menatap adik semata wayangnya yang kini sedang mengintip jadwal bimbel sambil nyengir penuh semangat.
"Dek... jangan-jangan kamu masuk dokter hewan cuma gara-gara pengin ketemu Arga terus, ya?"
Yuki mengangkat bahu, "Siapa tahu, kan? Sekali dayung, dua Arga terlampaui!"
"...Astaga!" Gerutu Kairo.
"Jadi... kapan Kak Arga ke rumah lagi?" tanya Yuki dengan tatapan berbinar seperti anak ayam melihat cacing segar.
Kairo langsung menoleh dengan ekspresi horror. "Dia nggak akan pernah ke sini lagi! Kakak larang keras!"
"Yahhh!! KAK!! Kenapa sihh? Aku padahal cuma lihat doang," rengek Yuki sambil menghentakkan kaki ke lantai, kayak bocah yang nggak dibelikan balon di pasar malam.
"Lihat doang apanya?! Kamu tuh kalo Kak Arga datang langsung lupa cara napas!" Kairo menuding tajam. "Kakak nggak mau tiba-tiba kamu harus gap year cuma gara-gara naksir kakak kelas!"
TIT... TIT...
Suara klakson mobil di luar menyelamatkan Kairo dari debat yang pasti akan berakhir dengan bantal terbang.
"Udah! Itu dia, pangeran pujaanmu!" Kairo berdiri cepat, ambil tas dari sofa, dan melangkah menuju pintu. "Kakak berangkat sama dia sekarang. Jangan ngiler di teras!"
Yuki langsung sprint seperti sedang final lomba lari olimpiade. Nyaris nyungsep karena kaus kakinya licin di lantai keramik.
"Kak Arga! Haiiii!!!" teriak Yuki sambil melambai-lambaikan tangan heboh seolah sedang menyapa selebriti Korea.
Arga yang duduk di balik kemudi mobil, menoleh dan tersenyum, "Oh, hai!"
Kairo cepat-cepat masuk ke mobil sambil menutup pintu dan melirik Arga dengan muka pasrah.
"Udah, jalan aja. Adik gue emang rada-rada. Nggak usah ditanya."
"Adik lo lucu, ya," komentar Arga sembari menyalakan AC mobil, melirik Kairo yang baru saja duduk di kursi penumpang sambil menghela napas panjang seperti habis perang dunia.
"Lucu apaan? Gue hampir stres tiap hari dengar suara cemprengnya," gerutu Kairo, menyandarkan kepala ke jok mobil. "Tiap pagi, alarm gue itu bukan jam weker... tapi teriakan, 'Kak Kairo! Liat ini deh!' sambil bawa TikTok atau video kucing aneh!"
Arga tertawa. "Lucu gitu kok lo bete. Kalau gue sih seneng punya adik cewek kayak Yuki. Gak ngebosenin."
"Lo bisa bilang gitu karena lo anak tunggal. Lo gak tau rasanya was-was tiap hari," balas Kairo. "Gue kayak punya bom waktu di rumah. Hari ini dia makan mie goreng campur cokelat, besok bisa aja tiba-tiba ngevlog mukbang saus sambel tanpa nasi."
"Wah, ekstrem juga ya," ucap Arga sambil tertawa makin keras. "Tapi dia ceria banget. Positif vibes."
"Positif gangguan," sahut Kairo cepat. "Kemarin dia pura-pura tidur biar gue angkat ke kamar. Berat banget, padahal dia ngakunya diet."
"Gue jadi makin pengin punya adik, sumpah," kata Arga, geleng-geleng kepala tapi senyum-senyum sendiri membayangkan kelakuan Yuki.
"Lo tuh terlalu polos. Kalo lo punya adik kayak Yuki, lo bakal ikut gila, Ar. Percaya deh," kata Kairo sambil menatap keluar jendela. "Tapi ya... anehnya, kalau dia pergi seminggu ke rumah nenek gue... rumah jadi sepi. Gak ada yang maksa gue nonton drama Korea bareng."
Arga menoleh cepat. "Lo nonton drama Korea juga?!"
"Nggak! Maksud gue... terpaksa," bantah Kairo buru-buru, wajahnya memerah.
Arga ngakak. "Fix. Lo kakak terbaik sepanjang masa."
Rintik hujan turun deras menimpa halaman kampus, menimbulkan suara khas seperti gemericik berjuta jarum kecil di atas atap gedung. Mahasiswa berlarian mencari tempat berteduh, beberapa pasrah basah kuyup.Yuki berdiri di depan lobi, menatap langit yang tampak suram. Untungnya, gadis itu sudah terbiasa membawa payung lipat ke mana pun, pelajaran dari sering dimarahi Kairo karena "main hujan kayak bocah TK."Ia baru hendak melangkah ke arah parkiran ketika matanya menangkap sosok tinggi berjas hitam, berdiri santai tanpa payung, tampak siap-siap menerobos hujan.Arga.Yuki mengerutkan kening. Ya ampun, ini orang gak punya insting bertahan hidup apa gimana? pikirnya.Dengan langkah cepat, Yuki mendekat dan membuka payung di atas kepala pria itu."Kak... jangan kehujanan, nanti sakit," katanya sambil sedikit menundukkan payung agar cukup menutupi bahu Arga yang lebar.Arga menoleh dan tersenyum kecil, wajahnya sedikit basah terkena percikan air."Loh! Untung ada kamu, dek," ucapnya sambil
Suasana kantin siang itu ramai seperti biasa. Suara gesekan kursi, dentingan sendok, dan aroma mie ayam memenuhi udara. Di tengah hiruk-pikuk itu, Luna duduk manis di hadapan Arga yang sedang sibuk menyantap mie ayamnya dengan khidmat, seolah semangkuk mie itu adalah persoalan paling serius di dunia.Luna menoleh kanan-kiri, memastikan Kairo tidak sedang berkeliaran. Setelah yakin aman, ia mencondongkan tubuh ke arah Arga."Ga... lo inget kan apa yang gue bilang waktu itu? Soal gue suka Kairo?" bisiknya pelan.Arga mengangkat alis, lalu menyuap mie sebelum menjawab santai, "Iya, inget. Dan tenang aja, dia gak punya pacar, Lun."Luna langsung menghela napas lega, wajahnya berbinar seperti baru dapat kabar diskon besar-besaran."Huft, syukurlah... berarti gue masih punya harapan," katanya sambil menepuk dada lega.Tepat saat itu, suara langkah kecil terdengar mendekat. Yuki datang dengan ekspresi sedikit manyun dan langsung mengerutkan dahi saat melihat Arga duduk berdua dengan Luna."O
Luna berusaha keras terlihat profesional saat berbicara dengan Kairo. Ia membawa map tebal berisi proposal kerja sama, lengkap dengan tabel biaya dan rencana promosi, tapi dari tadi matanya lebih sering fokus pada hal lain, garis rahang Kairo yang tegas, caranya menunduk ketika membaca dokumen, dan nada suara rendah yang entah kenapa terasa... menenangkan."Kalau kita ambil sponsor dari mereka, harus disesuaikan dulu sama program adopsi satwa," ucap Kairo, menunjuk lembaran kertas di tangannya."Oh, iya, iya..." jawab Luna cepat, walau jelas sekali ia tidak benar-benar paham barusan.Kairo melirik sekilas. "Kamu beneran dengerin, kan?""Iya, iya, aku denger kok!" Luna menegakkan badan, berusaha terlihat fokus. Tapi detik berikutnya, pandangannya kembali jatuh ke wajah Kairo. Ya ampun, dari jarak segini kulitnya mulus banget. Ini cowok apa skincare berjalan sih? batinnya panik.Kairo menutup mapnya dan bersandar di kursi. "Jadi, kesimpulannya, aku setuju kerja sama itu asal sistem pela
Pagi itu meja makan terasa lebih dingin daripada kulkas. Tidak ada obrolan hangat seperti biasa, tidak juga pertengkaran kecil yang biasanya bikin rumah jadi ramai.Kairo sibuk menatap nasinya, Yuki sibuk mengaduk-aduk sereal tanpa niat makan, sementara Mama Sarah hanya bisa mendesah lemah sambil memandang dua anaknya itu bergantian."Dua-duanya ini keras kepala," gumam Mama Sarah pelan, tapi cukup keras untuk membuat sendok Yuki berhenti di udara.Setelah sarapan yang lebih mirip sesi hening nasional itu selesai, Kairo langsung keluar rumah menuju mobilnya. Yuki menghela napas panjang sebelum menyusul. Ia sudah tahu, pagi ini bakal panjang.Begitu pintu mobil tertutup, suasana kembali senyap. Hanya suara mesin dan AC yang bekerja keras menembus ketegangan di antara mereka. Yuki melirik kakaknya, lalu memberanikan diri membuka percakapan."Kak..." panggilnya pelan.Kairo melirik sekilas. "Apa?!" bentaknya cepat, dengan nada seperti sirine patroli.Yuki meringis. "Jangan larang Kak Arg
Hari ini adalah kali pertama Yuki mendapat tugas kerja kelompok. Dan entah kebetulan atau nasib, dia sekelompok dengan Justin, si cowok yang sudah kena "label waspada" dari Kairo."Kerja kelompok di mana ya?" tanya Zara pagi itu sambil menenteng buku catatan."Di coffee shop depan kampus aja. Kata Justin tempatnya adem dan ada colokan," jawab Yuki berusaha biasa saja, padahal dalam hatinya sudah mulai gelisah.Sebelum berangkat, Yuki berdiri di depan cermin sambil menatap ponselnya. Jempolnya ragu-ragu sebelum akhirnya mengetik pesan izin.📱: Kak, hari ini aku kerja kelompok sama teman-teman di coffee shop depan kampus. Jangan nyusul ya. Aku janji gak macem-macem.Pesan terkirim. Satu menit, dua menit... tak ada balasan."Yah... pasti lagi praktikum," gumamnya dengan lega tapi juga was-was.Ia pun mengambil tas, mengecek ulang dompet, buku, dan laptopnya, lalu berangkat dengan langkah ringan."Finally... hari tanpa pengawasan Satpam Kakak!" ujarnya pelan sambil tertawa kecil.Di coff
Ruang tamu rumah keluarga Kairo malam itu sudah seperti zona perang.Buku-buku tebal bertumpuk di lantai, stabilo berwarna-warni berserakan di mana-mana, dan Yuki duduk di tengah kekacauan itu dengan rambut dikuncir asal, wajah tegang, dan ekspresi seperti baru menghadapi soal ujian akhir."Kenapa sih harus punya tulang metacarpal lima biji?! Kenapa gak satu aja, biar gampang dihafalin?" gumamnya frustasi sambil menatap buku anatomi yang sudah penuh coretan.Ia menatap lagi satu halaman, mencoba mengingat diagram tulang radius dan ulna, tapi otaknya seperti sudah menolak kerja sama.Tiba-tiba terdengar suara bel dan aroma keju memenuhi udara."Oh hai adik!" suara ceria itu datang bersamaan dengan sosok Arga yang menenteng dua kotak pizza besar.Yuki langsung bangkit berdiri dengan wajah berseri, seolah-olah semua penderitaan anatomi sirna dalam sekejap."Hai kak! Bawa pizza... wow!!! Kamu malaikat penyelamat malam ini!" serunya sambil hampir merebut kotak itu dari tangan Arga."Pelan-







