LOGINSudut Pandang Catherine:Dua Bulan Kemudian.Matahari Floren menyembuhkan luka-lukaku. Di ladang-ladang Tuskan, aku menemukan diriku kembali. Aku melukis, membaca, mempelajari karya-karya klasik. Tidak ada telepon dari Lucian. Tidak ada kabar tentang Maya. Tidak ada bayang-bayang mafia Niva. Hanya aku dan seni yang murni.Aku merancang belasan gaun baru, terinspirasi oleh para maestro Renaisans. Anggun, murni, dengan keanggunan yang tak tersentuh. Inilah hidup baruku.Hari aku kembali ke Niva, udara musim gugur terasa sejuk. Bandara ramai, tetapi hatiku tenang. Ayahku menjemputku."Kamu kelihatan baik." Senyumnya merekah. "Putriku hidup kembali.""Aku memang begitu," balasku sambil tersenyum. "Aku siap memulai hidup baruku."Mobil melaju menuju rumah. Niva tetaplah Niva, tetapi aku bukan Catherine yang dulu.Kisahku menyebar lebih cepat dariku, menjadi bisik-bisik di kalangan elite. Tunangan bos mafia yang meninggalkan takhta dan memilih dirinya sendiri.Seseorang menungguku di gerbang
Sudut Pandang Maya:Lorong rumah sakit terasa dingin. Lampu putih menyilaukan, menusuk mataku."Bu Maya. Kamu sudah boleh pergi."Marco berdiri di depanku, wajahnya datar."Gimana keadaan Lucian?" tanyaku."Itu bukan urusanmu lagi." Suaranya sedingin es. "Bos bilang dia nggak ingin melihatmu lagi."Tidak ingin melihatku lagi.Beberapa jam lalu, di gereja itu, dia menyebutku selokan. Mainan. Sesuatu yang dipakai lalu dibuang. Sekarang, dia bahkan tidak sudi menatapku."Aku bisa menunggu sampai dia sadar ....""Bu Maya." Marco memotong ucapanku. Dua pengawal melangkah ke sisinya. "Silakan pergi sekarang juga. Atau kami terpaksa menggunakan kekerasan."Aku menatap mata mereka. Dingin dan asing. Mereka adalah orang-orang yang dulu menunduk padaku, karena aku adalah wanita bos mereka. Sekarang, mereka menatapku seperti sampah.Aku berbalik dan meninggalkan rumah sakit.Hujan mulai turun. Hujan Oktober yang dingin dan menggigit. Aku tidak membawa payung. Rambutku segera basah, air mengalir d
Sudut Pandang Lucian:Kata-kata Maya membuat perutku mual. Aku melonjak berdiri, mencengkeram segenggam rambutnya, lalu menyeretnya. Dia menjerit kesakitan, tetapi aku sama sekali tidak peduli."Kamu pikir aku butuh kamu?" Aku menghantamkan kepalanya ke pilar batu. "Kamu pikir kamu siapa?"Darah mulai mengalir di dahinya, tetapi amarahku masih jauh dari reda."Baru dua hari yang lalu kita ...." Dia mencoba membela diri."Dua hari yang lalu?" Aku menyeringai, tanganku menggapai lehernya, mencekik hingga wajahnya mulai membiru. "Kamu cuma tubuh hangat. Lubang buat ditiduri. Kamu cuma itu selama ini.""Kamu benar-benar pikir aku bisa mencintaimu?" Suaraku penuh hinaan. "Maya, kamu bahkan nggak sebanding dengan satu helai bulu mata Catherine yang rontok.""Kamu ... kamu bilang kamu mencintaiku ...," katanya dengan suara tercekik."Mencintaimu?" Aku melepaskannya, memandang rendah ke arahnya yang ambruk ke lantai sambil terbatuk-batuk. "Aku nggak pernah mencintaimu. Kamu cuma binatang yang
Pelukan ayahku hangat, sama hangatnya seperti saat aku kecil dan terbangun karena mimpi buruk. Aku terisak sejadi-jadinya, menumpahkan semua rasa sakit dan pengkhianatan yang selama ini kupendam."Aku nggak jadi menikah." Tangisku pecah. "Aku nggak mau semua ini.""Baiklah," kata ayahku sambil mengusap rambutku. "Apa pun yang kamu mau."Dia tidak bertanya kenapa, juga tidak menyalahkanku karena bertindak impulsif. Dia hanya memelukku erat."Bawa dia pulang," perintahnya kepada para pengawal.Mereka membantuku masuk ke dalam Rolls-Royce dan ayahku duduk di sampingku. Mobil itu melaju menjauh dari tempat mengerikan itu.Di rumah, ibuku sudah menunggu. Begitu melihat keadaanku, dia tidak mengajukan satu pertanyaan pun. Dia hanya memelukku dan membiarkanku menangis di bahunya."Ibu di sini," katanya lembut. "Semuanya akan baik-baik saja."Tiga jam kemudian, pengacara datang membawa setumpuk dokumen."Semua hadiah dari Pak Lucian sudah didata," lapornya. "Perhiasan, properti, saham. Semuany
Rasa panas menyengat di wajahku. Namun, itu tak seberapa dibandingkan kebencian di mata Maya."Akhirnya!" jeritnya. "Akhirnya aku nggak perlu berpura-pura lagi!"Wajahnya berubah menjadi topeng yang "buruk rupa"."Kamu tahu seberapa besar aku membencimu? Catherine, si Tuan Putri sempurna!"Suaranya menggema di lobi. Beberapa orang yang lewat berhenti dan menatap."Aku benci keluargamu yang sempurna! Aku benci latar belakangmu yang bersih! Aku benci gimana kamu mendapatkan segalanya tanpa perlu berusaha!"Aku berdiri di sana, mendengarkan, sementara hatiku berdarah."Lucian seharusnya milikku! Takhta ratu itu seharusnya milikku!" Suara Maya makin melengking. "Tapi kamu tiba-tiba datang, Malaikat Catherine, dan menyihirnya dengan wajah polos imutmu dan kebaikanmu yang terkutuk itu!""Aku nggak ....""Ya, itu benar!" potongnya. "Kamu merenggut segalanya! Cintanya, perhatiannya, janji-janjinya! Sementara aku? Aku ditinggalkan bersembunyi di bayangan, mencuri remah-remah dari apa yang sehar
"Catherine, aku mohon." Mata Lucian merah, penglihatannya kabur oleh air mata. "Jangan pergi."Dia mengadangku di depan pintu, menolak membiarkanku keluar."Aku tahu aku salah. Aku tahu aku sudah menyakitimu." Suaranya bergetar. "Tapi kita bisa memperbaikinya. Kita bisa mulai dari awal.""Mulai dari awal?" Aku tertawa lirih. "Setelah itu apa? Mengulang kebohongan yang sama lagi?""Nggak! Kali ini aku bakal jujur sama kamu." Dia meraihku, tetapi aku refleks menjauh. "Aku akan menceritakan semuanya. Maya, dia ....""Cukup." Aku memotong omongannya. "Aku nggak ingin mendengar satu kata pun lagi tentang dia.""Kalau gitu gimana dengan kita?" Lucian menatapku dengan putus asa. "Catherine, pikirkan kerajaan kita. Semua yang kita bangun.""Itu kerajaanmu, Lucian," koreksiku. "Bukan milikku.""Nggak! Itu milik kita!" Dia bersikeras, mencengkeram lenganku. "Aku bukan siapa-siapa tanpamu. Kamu membuatku lebih baik, lebih kuat. Kamu ratuku!"Aku teringat apa yang terjadi setahun lalu. Sophia Kast







