"Siapa ini?" tanya ibu Mertua Desya yang baru saja sampai dari bandara.
Dilihatnya wanita bertubuh ramping, berkulit putih dan wajah yang terias rapi ini dengan seksama. Bibirnya tersenyum kemudian dibalas dengan senyuman oleh wanita yang ada di depannya.
"Irma Bu," jawab Irma seraya mengulurkan tangannya.
"Rangga?" Ibu Rangga melihat ke arah Rangga untuk meminta penjelasan.
"Iya Bu, jadi dia ini sahabatnya Desya dia perawat di rumah sakit tempat Desya dirawat kemarin lalu saya bawa kesini agar bisa merawat Desya sampai sembuh." jelas Rangga.
"Desya sakit apa kok Ibu tidak tau, sekarang ada di mana dia?"
"Di kamar atas Bu--"ucap Rangga.
Tanpa pikir panjang, Ibu Rangga berjalan melewati Irma dan Rangga kemudian naik ke kamar Desya.
"Ibu!" teriak Desya pada seorang wanita paruh baya itu.
Ibu Rangga mendekat dan duduk di sebelah Desya.
"Kenapa bisa jadi seperti ini?"
"Desya jatuh di tangga Bu, waktu sehabis mengepel lantai lalu Desya ingin menjemur baju tapi Desya terpeleset akhirnya jatuh dan kaki Desya cedera."
Ibu Rangga membuka selimut yang menutupi kaki Desya. Meringis membayangkan betapa sakitnya kaki yang dipasangi perban itu.
"Waktu kamu jatuh, apakah belum dalam keadaan hamil?"
"Maksud Ibu apa?"
"Maksud saya kalau kamu dalam keadaan hamil nanti bahaya buat janin kamu."
Desya mengerti dengan pertanyaan ibu mertuanya. Inti dari pertanyaannya adalah menanyakan apakah Desya sudah hamil atau belum. "Maaf Bu, Desya belum hamil"
"Kenapa belum hamil? Apakah ada yang salah denganmu? Pernikahan sudah mau menginjak satu tahun, tapi kamu belum juga memberiku cucu! Kamu tahu kan Rangga itu anak ibu satu-satunya?" bentak Ibu mertuanya yang tiba-tiba saja menjadi emosional.
Desya tak habis pikir. Di mana empati dari mertuanya itu melihat kondisinya sekarang? Kenapa malah mempertanyakan soal kehamilan?
Tanpa ada kata-kata lagi, mertuanya pun pergi meninggalkan Desya sendirian.
Desya menangis meratapi dirinya yang seperti sudah tak berguna. Hanya terbaring, bahkan memukul perutnya berkali-kali kecewa dengan dirinya sendiri.
Tak lama, Irma datang menemui Desya.
"Sya, ibunya Mas Rangga kok marah-marah di bawah?"
"Aku tidak tahu Ir, mungkin dia kecewa karena aku belum bisa memberinya cucu."
"Yang sabar ya, kalau sudah waktunya kamu pasti hamil kok," ucap Irma seraya menepuk bahu Desya dan memeluknya.
Dalam hati Irma, dia bahagia akan semakin mudah merebut hati Ibu Rangga.
"Oh ya Sya, ini kamu minum obat dulu ya agar cepat sembuh kakinya"
Irma menyodorkan dua keping tablet dan satu keping kapsul untuk Desya bersama dengan segelas air mineral.
"Terima Kasih ya Irma," ucap Desya
"Ini sudah kewajibanku sebagai perawat pribadimu."
Desya meneguk obat yang Irma berikan.
Irma yang berhasil meminumkan obat untuk Desya tersenyum puas dan pergi dengan satu gelas kosong di tangannya.
"Dari mana kamu?" ucap Ibu Rangga yang sedang duduk bersama Rangga di ruang tamu.
"Eh Ibu. Ini, Irma baru saja memberikan obat untuk Desya."
"Oh begitu. Oh ya kamu bereskan barang-barangmu ya Ibu mau pakai kamarnya, kamu tidur di kamar pembantu tadi saya sudah bicarakan ini dengan Rangga."
Irma melotot ke arah Rangga. Wajahnya berubah menjadi masam. Dia pun langsung masuk ke kamar diikuti Rangga.
"Mas, kenapa jadi Irma tidur di kamar pembantu?" protes Irma dengan nada manja andalannya.
"Maaf Irma, ini hanya sementara sampai Ibu pulang. Nanti kamu bisa pakai kamar ini lagi."
"Tidak mau aku tidur di kamar pembantu Mas. Atau Desya saja yang tidur disana."
"Jangan ngawur kamu, sudah turuti saja perintahku!" tegas Rangga lalu keluar dari kamar tamu.
Irma yang kesal dengan keputusan Rangga, hanya bisa menurutinya dan bergegas membereskan barang-barangnya.
*****
"Rangga, itu bagaimana Istrimu kok belum hamil juga?" tanya Ibu Rangga.
"Rangga juga tidak tahu Bu, mungkin memang Tuhan belum kasih kami kepercayaan,"
"Tidak bisa begitu, pokoknya bagaimanapun caranya kamu harus kasih ibu cucu!" ucap Ibu Rangga lalu berdiri dan pergi ke kamar yang sudah Irma bereskan.
Rangga terdiam dalam bimbangnya, Desya yang hampir setahun menikah dengannya tak kunjung memiliki anak. Apalagi kondisinya sedang sakit bahkan berdiri saja pun tidak bisa. Matanya tiba-tiba terarah pada seorang wanita yang baru saja duduk di sebelahnya yang sudah kembali setelah merapikan barang. Perempuan itu memanyunkan bibir dan menepuk lengan Rangga.
"Mas, banyak kecoa jijik sekali aku di kamar pembantu," ucap Irma
"Lalu mau dimana lagi, tolong kamu diam dulu. Aku sedang pusing. Nanti aku pikirkan lagi."
Irma menghentakkan kakinya lalu pergi lagi ke kamar pembantu yang akan ditempati.
Sementara itu, di kamarnya Desya merasa kepalanya pusing dan pening. Jantungnya berdegup kencang, matanya kunang-kunang seketika telinganya menjadi tuli. Desya memejamkan matanya pelan dan terlihat samar-samar seseorang mendekatinya.
Desya terpaku tak percaya lelaki yang ada di hadapannya adalah Dilan. Ia segera menjauhkan duduknya dan tampak sungkan pada lelaki itu.“Terima kasih cappuccino nya,” ucap Dilan Desya mengangguk lirih, ia bahkan tak bisa menoleh untuk melihat Dilan.“Kau kenapa Desya?” Dilan menaruh Cappuccinonya.Desya hanya terdiam.“Sya,” panggilnya lagi. Kali ini tangannya menyentuh tangan Desya yang dingin karena gugup.“Aku tidak apa-apa.” ucap Desya cepat.“Lalu kenapa kau pergi?”“Aku hanya tak ingin merepotkan kalian, kalian sudah terlalu baik.”“Tidak, kau pasti punya alasan lain.”Desya terdiam lagi, memang ia memiliki alasan lain yaitu kepercayaannya terhadap Dilan yang rusak hingga selalu menerka-nerka apa yang terjadi.Desya menarik tangannya yang mulai hangat dari Dilan.“Aku harus pergi,” Desya berdiri namun Dilan menarik lengannya.“Tunggu! Kau harus bilang kau ini kenapa ? Dan dimana tempat tinggalmu sekarang biar saya antar.”“Sudah aku bilang aku tak mau merepotkan kalian lagi. Men
“Desya?” Dilan turun dari mobilnya kemudian berjalan menuju ke lobi Apotek.Dilan mencoba untuk tidak melepas pandangannya dari wanita itu. Namun setelah ia semakin dekat, justru Dilan sudah tak melihatnya lagi. Dilan terus masuk menerobos beberapa karyawan yang lewat diantaranya. Namun ia tak menemukan Desya. Ataukah Dilan salah lihat? Entahlah,Dilan juga tak menemukan Agung disana, ia bertanya pada seseorang yang hendak keluar.“Mas, Pak Agungnya ada?”“Oh Pak Agung sudah pulang dari siang Pak,”“Begitu ya? Dia pulang sendiri atau dengan siapa?”“Wah kalau itu saya kurang tahu Pak,”“Oh ya kalau Bu Desya ada?”Lelaki itu celingukan mencari dimana Desya.“Biasanya Bu Desya pulang bareng kita sih, tapi dari tadi saya juga tidak melihatnya.”“Ya sudah Mas. Makasih ya,”Dilan menghela nafasnya, ia kembali ke mobilnya. Rasanya hampir putus asa ia mencari Desya. Ia menyalakan mesin mobil dan kemudian pergi. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan Desya. Bahkan sampai sekarang nom
“Sya, Desya…..” teriak Bu Ratna sembari berlarian kesana kemari, menyusuri setiap sudut rumah mencari Desya.“Bu, Ada apa?” tanya Pak Rehan.“Desya tidak ada di rumah Pak,” Bu Ratna panik.“Apa? Ibu sudah cari di luar? Di lantai atas?”“Sudah Pak, tapi tidak ada. Tunggu,”Bu Ratna kembali ke kamar Desya ia membuka lemari pakaian Desya sudah kosong, ia menunduk dan terduduk lemas di ranjang. Pan Rehan ikut masuk ke dalam kamar itu. “Bu?” ucapnya lalu memungut secarik kertas yang tergeletak di atas meja.Pak Rehan, Bu Ratna…..Maaf Desya tidak berbicara terlebih dahulu jika Desya akan pergi. Desya tidak ingin kalian menahan Desya.Tapi Desya janji, suatu saat Desya pasti akan kembali jika semua kebenaran itu sudah terungkap.Yang terpenting adalah sekarang kalian baik-baik saja, Desya sangat berterima kasih atas semua bantuan dan kebaikan-kebaikan kalian yang sangat berarti bagi Desya.Desya hanya pergi untuk mencari kebahagiaan Desya sendiri, tanpa harus merepotkan kalian terus menerus
“Mas Dilan, bagaimana kabarmu?” Wajah Desya menahan cemburu yang berkecamuk. Wanita itu, wanita hamil yang sedang bersama calon suaminya. Panggilan video itu tiba-tiba dimatiin oleh Desya seketika setelah Desya melihat ada Chika disana bersama Dilan.Dilan mencoba menelpon Desya berkali-kali namun Desya terlanjur kecewa. Entah semuanya benar atau tidak. Tapi kehadiran sosok Chika membuat Desya tak nyaman dan ingin bertengkar. “Sya, kamu kenapa?” terdengar suara Bu Ratna dari belakangnya. Membelai rambut panjang Desya dengan lembut. Desya yang menyadarinya langsung memeluknya erat menumpahkan air mata dan rasa sesaknya.“Bu…”Mata Desya berkaca, Bu Ratna tampak bingung, namun perlahan Bu Ratna mencoba mengetahui apa yang membuat Desya menjadi sesedih itu.“Ceritakan pada Ibu,”Desya mengusap air matanya, ia menghela nafas dan mencoba menenangkan pikirannya.“Bu, Desya mau tanya. Ibu percaya dengan Mas Dilan?”“Maksud kamu apa Sya?”Desya terdiam sejenak, ia merasa ragu bercerita dan
“Rio?” Agung bergumam kecil, Desya merasa ia juga mengenali wajah itu. Lelaki yang pernah memperhatikannya di Caffe sebelah apotek. Desya dan Agung saling melempar tatapan heran bercampur penasaran. Apakah lelaki itu adalah orang yang sama dengan apa yang mereka pikirkan?Terlihat mereka telah selesai melepas rindu, Rio duduk di kurai pengemudi lalu dadar bahwa kaca mobil belum ia tutup. Kemudian ia sesegera mungkin menutupnya dan pergi melesat jauh dari tempat itu. Tak mau tinggal diam, Agung mengikutinya dari belakang. “Pak, untuk apa mengikuti mereka?” “Saya tahu lelaki itu, dia seperti …”“Rio?” timpa Desya,“Kamu juga mengenal Rio?”Desya mengangguk cepat, ia menceritakan kejadian saat tengah makan di Kafe bahwa lelaki itu terus memperhatikannya dan saat itu ia sedang melakukan panggilan video dengan Dilan yang akhirnya Dilan memberitahu Desya untuk segera menjauh dari Rio.“Betul, saya yakin dia itu Rio saya tak salah lihat.”Desya mulai berpikir keras, kenapa istri mantan sua
“Dilan?” Agung terlihat bingung dengan tatapan Desya padanya namun memanggilnya dengan nama Dilan.“Oh, maaf.” Desya tersadar dari lamunannya, ia begitu merindukan sosok Dilan hingga ia lupa dengan siapa ia di taman itu sekarang.“Kau merindukan Dilan ya?” Agung melempar pandangannya ke arah sungai.Desya hanya tersenyum, ia bercerita pada Agung bagaimana Dilan selalu menurutinya untuk berkunjung ke tempat itu. Desya terus saja tersenyum jika mengingat tingkah konyol Dilan padanya.“Tapi Desya, ada sesuatu yang ingin ku katakan.”Desya tiba-tiba serius, ia menatap Agung penasaran. Apa gerangan yang akan Agung katakan padanya.“Apa itu Pak?”Bibir Agung bergetar, ia tak kuasa membuka mulutnya karena yang akan ia lontarkan mungkin saja akan menyakiti Desya.“Sebenarnya….”Desya meyakinkan Agung untuk mengatakannya dengan menatapnya lebih dalam dari sebelumnya.Agung terlihat gugup, sepertinya ia tak sanggup mengatakan ham itu pada Desya.“Sebenarnya saya ingin bertanya siapa lelaki baru