Malam itu udara terasa begitu dingin, wajar saja musim hujan telah tiba. Desya termenung dalam dinginnya malam. Dia yang sehari-harinya hanya terbaring si tempat tidur membuatnya jenuh. Dirinya putus asa, tak bisa melayani suaminya dengan baik seperti sebelum kejadian kecelakaan itu.
"Mas …” panggil Desya pada Rangga yang sedang berada di sebelahnya bermain ponsel. Pria itu sudah kembali dari bawah.
"Iya, Sayang?" Pria itu kembali berkata lembut. Desya sedikit senang karena sepertinya suaminya itu tidak terlalu berubah.
"Apa kamu masih mencintaiku dalam keadaan seperti ini?" tanya Desya.
Rangga tiba-tiba terdiam dan duduk di sebelah Desya. Dia mengingat semua yang sudah dia lakukan dengan Irma di belakang Desya, sedangkan Desya dalam keadaan sakit dan terpuruk. Rangga menatap Desya melihat keadaan seorang wanita yang sejak dulu berada disampingnya, susah maupun sedih.
"Mas kenapa kamu diam?"
"Iya Sayang, jangan ragukan soal itu."
"Berarti kamu janji tidak akan berbuat curang di pernikahan kita?”
"Iya aku janji.”
Suasana seketika hening, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar memanggil Rangga. Rangga membuka pintu dan melihat Irma ada di depannya.
"Sedang apa kamu mas, lama sekali?" tanya Irma.
"Ngapain kamu ke sini?! Tunggu di bawah!" pekik Rangga dengan nada yang sangat kecil takut Istrinya mendengar percakapan mereka.
Desya memperhatikan Rangga dan Irma dari tempat tidurnya. Dia masih susah berdiri apalagi berjalan.
"Siapa Mas?" tanya Desya dari kejauhan.
"Irma Sya, dia tidak tahu minimarket di sebelah mana. Mungkin, aku akan mengantarnya sebentar ya, kasihan dia kan orang baru disini.”
Rangga menutup pintu dan menarik tangan Irma turun menuju ruang tamu.
Desya terdiam lagi, sebenarnya Desya adalah wanita yang overthinking terlalu banyak berpikir tentang sesuatu yang belum pasti. Namun, firasatnya memang sering benar.
Oke, lupakan itu dulu. Desya berusaha selalu berpikir positif. Dia sempat drop berminggu-minggu hanya karena memikirkan siapa pencuri di kantornya. Jadi, lebih baik dia tenang dulu.
*****
Rangga masuk ke kamar Irma yang berada di lantai bawah rumahnya. Dulunya, itu adalah kamar tamu namun sekarang berhubung Irma sudah tinggal disini, kamar itu menjadi kamar Irma.
“Jangan pernah memanggilku di depan Desya!” pekik Rangga.
"Mas Rangga, tapi aku tidak mau tidur sendirian disini aku takut."
“Bagaimana nanti kalau Desya tau?”
“Biarkan saja! Dia tidak akan bisa mencarimu kesini kan, ayolah Mas malam ini saja. Aku takut petirnya” ucap Irma dengan nada manja.
Rangga menjadi bimbang, di satu sisi dia menyayangi Desya. Tapi, di sisi lain Irma yang mampu memberikan pelayanan untuk kebutuhannya.
Petir memekik memecah keheningan malam. Deru angin bergemuruh saling bersahutan.
Irma yang takut akan kegaduhan alam itu memeluk Rangga dan menarik suami sahabatnya itu masuk ke kamar.
Dibantingnya tubuh Rangga bersamanya ke ranjang. Membuat udara yang semula dingin menjadi panas, semakin panas hingga membuat gairah keduanya meledak.
Sementara itu, Desya mulai gelisah, Rangga tak kunjung kembali ke kamarnya. Dia mencoba menggerakkan kakinya namun hanya rasa sakit yang ia rasakan. Kaku dan sangat sakit. Lalu Desya mengambil ponsel dan menelpon Irma, tak ada jawaban. Mencoba berpikir positif, Desya memejamkan matanya mencoba mendamaikan logika dan perasaanya yang tak karuan.
Permainan terlarang itu dimulai lagi. Tampak keduanya sangat menikmatinya, tak peduli ada seorang wanita yang menderita di kamarnya. Wanita yang selalu merasa sesak dadanya jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Di kala dua orang pasangan terlarang sedang becumbu di kamar tamu, ada seorang istri sah yang menderita menahan sakit dan sesak di dada. Tubuhnya memberi sinyal bahwa lelaki yang menjadi bagian hidupnya sedang berbuat zalim pada istrinya sendiri meskipun Desya tak mengerti.
"Kenapa kamu selalu membuatku sebahagia ini Irma?" pekik Rangga yang sangat menikmati permainan itu.
Irma hanya bisa tersenyum dan terus menggoda suami sahabatnya itu.
"Aku sangat ingin memiliki anak, bolehkah Irma jika…"
Di tengah-tengah permainan mereka, Rangga sempat berbicara ingin memiliki seorang anak dan mungkin saja itu dari rahim Irma. Namun, ucapannya berhenti ketika sesuatu yang sangat menyenangkan dan membuat seluruh tubuh bergetar hebat, membuat Rangga mendekap erat Irma dan memberikan sesuatu yang mungkin bisa saja tumbuh.
"MAS RANGGA!" seru Irma tiba-tiba. Dia mulai menangis mengingat mereka tidak menggunakan pengaman.
"Sial! Kenapa kamu lakukan itu bodoh?!" Rangga seketika menyadari perbuatannya setelah mendengar teriakan Irma. Dia langsung lemas dan seketika teringat Desya.
"Irma tolong berhenti menangis. Aku harus menemui Desya. Tolong, jangan bilang siapa-siapa aku pasti tanggung jawab!"
Rangga lalu merapikan bajunya dan berlari menaiki tangga, menuju ke kamarnya.
Melihat itu, Irma seketika berhenti menangis dan mulai berpikir: jika dia bisa memberikan Rangga seorang anak, mungkin saja nyonya di rumah ini bukan lagi Desya. Irma pun tersenyum dan mencoba mencari cara agar rencananya berjalan lancar.
*****
Desya yang lama menahan sesak di dada dan menangis tanpa penyebab terkulai lemas di tempat tidurnya.
Rangga yang melihatnya langsung membangunkan Istrinya itu dan memeluknya.
"Kamu kenapa, Sayang?"
"Mas kamu dari mana saja?" tanya Desya serius.
"Mengantar Irma ke Minimarket."
"Lama sekali?" cecar Desya yang mulai melihat keanehan dari ucapan Rangga.
"Tadi aku makan bakso di bawah, ada tukang bakso lewat terus beli bakso."
"Bakso? Aku tidak mendengar apapun disini, biasanya kalau ada pedagang lewat aku dengar Mas,"
"Itu ... Tadi, bapaknya tidak membunyikan loncengnya karena aku larang biar tidak berisikin kamu yang lagi istirahat," ucap Rangga dengan cepat.
Desya terdiam. Dia mencoba menerima alasan Rangga, tetapi pikirannya justru menolak dan berpikir: adakah yang Rangga sembunyikan?
"Oh ya, kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu menangis?" tanya Rangga.
"Beberapa hari ini dadaku sering sesak Mas, aku menangis sendiri tanpa ada sebab yang aku ketahui, bawaannya ingin menangis saja. Aku akan terus sesak jika belum menangis"
"Bisa begitu ya, Sya? Mungkin, ini efek obat dari rumah sakit,"
"Tidak tahu Mas."
Rangga masih merasa bersalah atas perbuatannya. Kenapa bisa seceroboh itu, bagaimana jika nanti Irma hamil? Desya yang melihat ketidaktenangan Rangga mencoba mengetahui apa yang sedang dipikirkan suaminya. Namun, karena kelihatannya Rangga sangat stres Desya mengurungkan niatnya.
Tiba-tiba ponsel Rangga berbunyi, Rangga menyudahi lamunannya dan menerima panggilan itu.
"Halo Bu."
"Rangga bagaimana kabarmu?" tanya seorang wanita yang Rangga sebut Ibu.
"Baik Bu, ada apa?"
"Ibu mau datang besok, kamu jemput di bandara ya?"
Rangga terkejut dan terlihat gugup. Namun, tak ada waktu baginya, tak ada kata lain selain mengiyakan permintaan Ibunya.
"Siapa Mas?" tanya Desya.
"Ini Sya, Ibu besok mau datang minta dijemput di Bandara."
"Wah bagus dong Mas! Aku juga sudah merindukan Ibu mertuaku yang sangat baik." Desya mulai kembali tersenyum.
Dalam hati Rangga bingung, bagaimana nanti jika ibunya mengetahui ada Irma disini lalu mengetahui hubungan Rangga dan Irma?
Desya terpaku tak percaya lelaki yang ada di hadapannya adalah Dilan. Ia segera menjauhkan duduknya dan tampak sungkan pada lelaki itu.“Terima kasih cappuccino nya,” ucap Dilan Desya mengangguk lirih, ia bahkan tak bisa menoleh untuk melihat Dilan.“Kau kenapa Desya?” Dilan menaruh Cappuccinonya.Desya hanya terdiam.“Sya,” panggilnya lagi. Kali ini tangannya menyentuh tangan Desya yang dingin karena gugup.“Aku tidak apa-apa.” ucap Desya cepat.“Lalu kenapa kau pergi?”“Aku hanya tak ingin merepotkan kalian, kalian sudah terlalu baik.”“Tidak, kau pasti punya alasan lain.”Desya terdiam lagi, memang ia memiliki alasan lain yaitu kepercayaannya terhadap Dilan yang rusak hingga selalu menerka-nerka apa yang terjadi.Desya menarik tangannya yang mulai hangat dari Dilan.“Aku harus pergi,” Desya berdiri namun Dilan menarik lengannya.“Tunggu! Kau harus bilang kau ini kenapa ? Dan dimana tempat tinggalmu sekarang biar saya antar.”“Sudah aku bilang aku tak mau merepotkan kalian lagi. Men
“Desya?” Dilan turun dari mobilnya kemudian berjalan menuju ke lobi Apotek.Dilan mencoba untuk tidak melepas pandangannya dari wanita itu. Namun setelah ia semakin dekat, justru Dilan sudah tak melihatnya lagi. Dilan terus masuk menerobos beberapa karyawan yang lewat diantaranya. Namun ia tak menemukan Desya. Ataukah Dilan salah lihat? Entahlah,Dilan juga tak menemukan Agung disana, ia bertanya pada seseorang yang hendak keluar.“Mas, Pak Agungnya ada?”“Oh Pak Agung sudah pulang dari siang Pak,”“Begitu ya? Dia pulang sendiri atau dengan siapa?”“Wah kalau itu saya kurang tahu Pak,”“Oh ya kalau Bu Desya ada?”Lelaki itu celingukan mencari dimana Desya.“Biasanya Bu Desya pulang bareng kita sih, tapi dari tadi saya juga tidak melihatnya.”“Ya sudah Mas. Makasih ya,”Dilan menghela nafasnya, ia kembali ke mobilnya. Rasanya hampir putus asa ia mencari Desya. Ia menyalakan mesin mobil dan kemudian pergi. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan Desya. Bahkan sampai sekarang nom
“Sya, Desya…..” teriak Bu Ratna sembari berlarian kesana kemari, menyusuri setiap sudut rumah mencari Desya.“Bu, Ada apa?” tanya Pak Rehan.“Desya tidak ada di rumah Pak,” Bu Ratna panik.“Apa? Ibu sudah cari di luar? Di lantai atas?”“Sudah Pak, tapi tidak ada. Tunggu,”Bu Ratna kembali ke kamar Desya ia membuka lemari pakaian Desya sudah kosong, ia menunduk dan terduduk lemas di ranjang. Pan Rehan ikut masuk ke dalam kamar itu. “Bu?” ucapnya lalu memungut secarik kertas yang tergeletak di atas meja.Pak Rehan, Bu Ratna…..Maaf Desya tidak berbicara terlebih dahulu jika Desya akan pergi. Desya tidak ingin kalian menahan Desya.Tapi Desya janji, suatu saat Desya pasti akan kembali jika semua kebenaran itu sudah terungkap.Yang terpenting adalah sekarang kalian baik-baik saja, Desya sangat berterima kasih atas semua bantuan dan kebaikan-kebaikan kalian yang sangat berarti bagi Desya.Desya hanya pergi untuk mencari kebahagiaan Desya sendiri, tanpa harus merepotkan kalian terus menerus
“Mas Dilan, bagaimana kabarmu?” Wajah Desya menahan cemburu yang berkecamuk. Wanita itu, wanita hamil yang sedang bersama calon suaminya. Panggilan video itu tiba-tiba dimatiin oleh Desya seketika setelah Desya melihat ada Chika disana bersama Dilan.Dilan mencoba menelpon Desya berkali-kali namun Desya terlanjur kecewa. Entah semuanya benar atau tidak. Tapi kehadiran sosok Chika membuat Desya tak nyaman dan ingin bertengkar. “Sya, kamu kenapa?” terdengar suara Bu Ratna dari belakangnya. Membelai rambut panjang Desya dengan lembut. Desya yang menyadarinya langsung memeluknya erat menumpahkan air mata dan rasa sesaknya.“Bu…”Mata Desya berkaca, Bu Ratna tampak bingung, namun perlahan Bu Ratna mencoba mengetahui apa yang membuat Desya menjadi sesedih itu.“Ceritakan pada Ibu,”Desya mengusap air matanya, ia menghela nafas dan mencoba menenangkan pikirannya.“Bu, Desya mau tanya. Ibu percaya dengan Mas Dilan?”“Maksud kamu apa Sya?”Desya terdiam sejenak, ia merasa ragu bercerita dan
“Rio?” Agung bergumam kecil, Desya merasa ia juga mengenali wajah itu. Lelaki yang pernah memperhatikannya di Caffe sebelah apotek. Desya dan Agung saling melempar tatapan heran bercampur penasaran. Apakah lelaki itu adalah orang yang sama dengan apa yang mereka pikirkan?Terlihat mereka telah selesai melepas rindu, Rio duduk di kurai pengemudi lalu dadar bahwa kaca mobil belum ia tutup. Kemudian ia sesegera mungkin menutupnya dan pergi melesat jauh dari tempat itu. Tak mau tinggal diam, Agung mengikutinya dari belakang. “Pak, untuk apa mengikuti mereka?” “Saya tahu lelaki itu, dia seperti …”“Rio?” timpa Desya,“Kamu juga mengenal Rio?”Desya mengangguk cepat, ia menceritakan kejadian saat tengah makan di Kafe bahwa lelaki itu terus memperhatikannya dan saat itu ia sedang melakukan panggilan video dengan Dilan yang akhirnya Dilan memberitahu Desya untuk segera menjauh dari Rio.“Betul, saya yakin dia itu Rio saya tak salah lihat.”Desya mulai berpikir keras, kenapa istri mantan sua
“Dilan?” Agung terlihat bingung dengan tatapan Desya padanya namun memanggilnya dengan nama Dilan.“Oh, maaf.” Desya tersadar dari lamunannya, ia begitu merindukan sosok Dilan hingga ia lupa dengan siapa ia di taman itu sekarang.“Kau merindukan Dilan ya?” Agung melempar pandangannya ke arah sungai.Desya hanya tersenyum, ia bercerita pada Agung bagaimana Dilan selalu menurutinya untuk berkunjung ke tempat itu. Desya terus saja tersenyum jika mengingat tingkah konyol Dilan padanya.“Tapi Desya, ada sesuatu yang ingin ku katakan.”Desya tiba-tiba serius, ia menatap Agung penasaran. Apa gerangan yang akan Agung katakan padanya.“Apa itu Pak?”Bibir Agung bergetar, ia tak kuasa membuka mulutnya karena yang akan ia lontarkan mungkin saja akan menyakiti Desya.“Sebenarnya….”Desya meyakinkan Agung untuk mengatakannya dengan menatapnya lebih dalam dari sebelumnya.Agung terlihat gugup, sepertinya ia tak sanggup mengatakan ham itu pada Desya.“Sebenarnya saya ingin bertanya siapa lelaki baru
“Saya beri kamu waktu 7x24 jam untuk memikirkannya,” Agung berdiri kemudian beranjak pergi dari ruangannya.Desya bingung, ia bahkan tak memiliki modal yang besar. Keinginannya untuk terus berbisnis semakin tinggi. “Mungkin aku harus beritahu Mas Dilan,” Desya bergumam, ia mencoba mengetik pesan untuk calon suaminya yang masih berada di Liar Negeri.“Semoga Mas Dilan mendukungku, aku tahu ia sering cemburu dengan Pak Agung. Namun ini menyangkut cita-cita dan masa depanku.” Desya meminum segelas air putih yang ada di mejanya. Ia merasa lebih tertantang dan lebih semangat. Ia sangat mau mengiyakan tawaran Agung namun yang ia khawatirkan ia tak bisa menjaga amanah yang Agung titipkan yang berupa investasi itu.“Tapi aku harus yakin dan optimis, aku pasti akan berhasil dan membungkam mulut mereka yang sudah membuatku menderita bahkan selalu mengejekku! Terima kasih Rangga, Irma, kalian berdua membuatku lebih semangat untuk sukses kembali.”Tak lama, Dilan menelponnya. Menanyakan tentang
“Habiskan makananmu lalu kembali ke tempatmu sekarang,”Desya mengernyitkan dahinya, ia tak tahu maksud Dilan yang tiba-tiba saja menyuruhnya untuk pergi.“Kenapa Mas?”“Nanti saya ceritakan,”Desya membayar makanan di kasir ia berjalan melewati seorang lelaki yang selalu saja menatapnya penuh nafsu itu. Desya juga merasa aneh dan risih. Ia mempercepat langkahnya kemudian sampai di ruangannya dengan nafas yang memburu.“Desya, kau sudah sampai di ruanganmu?”Dilan masih melakukan panggilan video dengan Desya. Desya tersenyum, ia melihat raut wajah tak biasa dari Dilan.“Kau kenapa Mas?” tanya Desya.“Kenapa kau tertawa? Dengar saya, lelaki itu pacarnya Chika.”Desya membulatkan matanya seolah tak percaya namun memang kelihatannya lelaki itu cukup nakal.“Kau serius?”“Apakah aku terlihat seperti pelawak?”“Iya Mas, aku percaya. Kenapa kau jadi sensi seperti ini?”“Pasalnya kau harus menghindarinya Desya, kau bisa saja terancam karena lelaki itu seperti predator.”“Betul Mas, barusan
“Sudah datang Bu, Pak Reymond dan beberap stafnya sudah memasuki ruangan meeting.”“Apa? Astaga! Bagaimana ini? Pak Agung hari ini libur. Tolong bilang ke mereka ya rescedule besok saja.”“Baik Bu,”Lelaki itu pergi untuk menemui Pak Reymond di ruang meeting. Desya nampak gelisah, ia berharap Pak Reymond mau bernegosiasi untuk menjadwalkan ulang pertemuan mereka dengan Pak Agung. Pria itu datang kembali, kini wajahnya nampak sangat tegang. Sepertinya habis dimarahi oleh Reymond.“Maaf Bu Desya, saya sudah coba bujuk Pak Reymond agar dia bisa datang lagi besok tapi mereka tidak mau. Mereka harus meeting sekarang, bagaimana ini Bu?”Desya mematung, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia terdiam tiba-tiba teringat kala dia menjadi seorang CEO di perusahaannya dahulu. Semua tipe klien dia hadapi dengan mudah dan selalu goal.“Oke, tolong susul saya ke ruang meeting ya. Bawa semua berkas yang sudah saya siapkan di meja kerja saya, saya akan bawa laptop ini. Terima kasih,”ucap Desya pad