Aku membelalakkan mata, sedangkan senyum kecil tercipta di sudut bibir lelakiku.“Wanita cantik yang sederhana.”Lelaki dengan pakaian santai dan celana jeans itu pun turut duduk di sofa depan kami, berbatasan dengan meja kayu berbentuk persegi panjang.Diambilnya sebuah buku dari tas miliknya, dan sejenak membuka lembaran demi lembaran. Sesekali ia menoleh ke arahku dengan sebuah senyuman.“Hasilnya bagaimana, Kang Dewa?”“Lumayan. Banyak yang mengapresiasi buku fiksi yang kamu buat. Tulisannya rapi dan ada pesan moral yang terselip di cerita itu.”“Kalau Khadijah seperti ini, aku sih gak perlu ditikung pakai doa. Aku yang akan menikungnya,” ucapnya sambil tersenyum dengan nada candaan.Sesekali ia pun menoleh ke arahku, yang langsung kubalas dengan menunduk. Tak ingin saling menatap dengan lelaki yang bukan halalku.Mas Ammar tersenyum dan menoleh ke arahku. “Awas saja kalau seperti itu.”Mereka terus berbincang. Dari apa yang kudengar, mereka tengah membicarakan launching buku ter
“Wah, pengantin baru habis jalan-jalan ini,” ucap ibu ketika aku masuk ke rumah. Mendapati pintu telah terbuka lebar dengan wanita paruh baya yang masih mengenakan gamis putih. Beliau sedang duduk di kursi tamu dengan beberapa kresek plastik hitam maupun bening di atas meja.Kujabat tangan beliau, yang kini terus tersenyum ke arahku. Dilihatnya aku dan Mas Ammar secara bergantian.“Sudah pulang, Bu? Bukannya besok.” Sapa Mas Ammar, yang turut menjabat dan mencium punggung wanita yang telah melahirkannya.“Iya. Kan bukan bulan ruwah, jadi gak banyak peziarah yang datang. Jalanan sedikit lebih sepi dan lancar,” tegas wanita dengan sorot mata teduh itu.Mas Ammar pamit untuk ke kamar terlebih dulu, sedangkan aku masih menemani ibu yang duduk di kursi tamu. Beliau menyandarkan punggungnya ke kursi sofa tempat ini, sedikit mengistirahatkan saraf tubuh yang kaku setelah beberapa hari tinggal di bus.“Khadijah, ibu lihat Ammar sudah semakin menyanyangimu.”Aku tersenyum.“Kenapa ibu berpikir
“Mas ....” ucapku yang kini mendekat ke meja kantornya. Masih dengan buku yang kubawa, dan satu jari di sela halaman yang kubuka.“Iya.”“Maafkan aku ya!”“Untuk?”“Kesalah pahaman ini.”Mas Ammar terkekeh. “Kenapa harus minta maaf? Aku yang salah telah berlaku buruk padamu, Dek. Khadijah itu istri soleha yang dipilihkan oleh Tuhan untukku,” ucapnya dengan lengkungan indah di bibirnya, membuat pipiku kembali memerah karena tersipu.“Kalau Mas Ammar salah melamar, lalu kenapa Mas tetap melanjutkan hubungan kita?”“Kalau baca sesuatu jangan setengah-setengah ya,” ucapnya yang kini membelai rambut panjangku.Aku tersenyum, harusnya tak menanyakan itu kepada Mas Ammar. Buku ini sudah lebih dari cukup untuk mengetahui jawabannya.Aku kembali duduk di bibir ranjang, dan membuka halaman kembali.Kulayangkan panggilan melalui nomor rumah, dan akhirnya terangkat olehnya.“Assalamualaikum, Dania.”“Waalaikumsalam.”“Nia, nomor whatshapmu gak aktif kenapa? Atau ... Kamu memblokir nomorku?” tanya
Mas Ammar begitu bahagia, ketika mendengarkan panggilan dari sebrang sana. Transferan royalti dari penjualan buku telah diterima. Bahkan hasilnya jauh lebih dari apa yang dibayangkan. “Dek Dijah, harapanku membangun tempat yang layak untuk anak-anaknya segera terealisasi,” ucapnya yang tiba-tiba mendekat ke arahku dan memelukku begitu saja. Ia mendekap begitu erat, sambil terus berbicara panjang kali lebar tentang cita-citanya itu.Ya, tempat yang saat itu kami kunjungi adalah tempat sengketa. Diberi waktu tiga minggu untuk pindah tempat dari sana. Mas Ammar sudah mendapatkan lahan yang dibelinya dari donasi para dermawan. Hasil dari tumpukan proposal yang ia layangkan dari satu perusahaan ke perusahaan lain.“Mas, Dijah gak bisa nafas,” ucapku ketika tubuhnya terus menekan tubuhku.“Eh, maaf,” ucapnya yang kini melepas pelukan. Digaruknya rambut tebal itu meskipun tak gatal. “Dek, mau ikut aku?”“Kemana?”“Bertemu teman-teman dan anak-anak.”Aku mengangguk. Mas Ammar membuka almar
“Dek.” Mas Ammar memegang gagang pintu, hendak membuka benda tersebut. Namun, sekuat tenaga akupun menahannya. Berikut dengan denyut jantungku yang berdegup begitu kencang. Lagi-lagi sebuah sandi rumput terus merajai denyutan.Aku mendorong pintu lebih kencang, hingga benda tersebut tertutup dengan sempurna. Lalu, mengatur nafasku yang kini tak karuan. Dada seakan naik turun bersamaan dengan irama kerja jantung.Kupegang dadaku dengan telapak tangan, sambil menghirup udara lebih panjang dari biasanya. Kuhembuskan perlahan sambil menata hati, dan kembali ku tutup tubuhku dengan handuk.Aku berlalu dan mendekati ranjang, dimana Mas Ammar tengah duduk di bibir ranjang sambil mengulum senyum, menatapku dari atas ke bawah.“M-Mas, Di-Dijah ada yang lucu. Kenapa senyum-senyum?” tanyaku yang tak percaya diri. Bahkan mendadak tubuh ini gemetaran, layaknya bertemu debt colektor yang hendak menagih hutang. Untuk sekedar berbicara dengan lancarpun aku kesusahan.“Sini,” ucap Mas Ammar sambil me
“Mbak Anita? Kenapa dengan Mbak Anita, Ma?” tanyaku bingung.Wanita paruh baya dengan mata teduh itu hanya menjawabnya dengan senyuman. Lalu kembali melanjutkan acara masak besar ini bersama. Daging kerbau segar yang kutaksir satu kiloan lebih itu dibagi menjadi dua macam masakan. Dibuat asem-asem juga soto kerbau. Lalu ada juga teman pendamping seperti bakwan dan mendoan. Hingga tanpa sadar aku turut menyicip ketika tempe berselimut tepung dengan irisan sayur itu telah matang. Masih mengeluarkan asap yang mengudara. “Maaf, Bu, Dijah nyicip mendoannya,” ucapku sambil duduk ketika semua makanan yang akan kami sajikan siap diangkat ke meja makan. “Gak papa, Nak. Gimana rasanya? Apa seenak buatanmu?” tanyanya. Bumbu mendoan diracik ibu sendiri tanpa bantuanku. Beliau membuatnya sebelum aku datang ke dapur. Sedangkan aku hanya membantunya menggoreng dan mengiris tempe tipis-tipis, menjadi lembaran layaknya kipas manual.Kress ...Begitu renyah ketika digigit, dengan rasa yang pas ketik
“Mi, mau makan asem-asem apa sop?” tanya Mas Adam yang menoleh ke arah wanita di sebelahnya. Obrolan tersebut terdengar dan menjadi pusat fokusku, hingga deheman Mas Ammar membuatku tersadar dengan tindakan tak sopan yang kulakukan. Jika pada umumnya, seorang istri akan melayani suaminya. Lain halnya dengan Mas Adam. Dia terlihat begitu telaten dengan wanita berkulit putih di sisinya. Ibu dan bapak pun tampak tak keberatan, dengan membiarkan anak dan menantunya saling mengisi dan melengkapi. Beginikah rumah tangga yang sebenarnya? Setahuku kodrat lelaki ada di atas, dimana seorang istri akan menjadikan suaminya layaknya raja, yang harus dihormati dan dilayani. Disini, aku tak melihat adanya kesenjangan, yang ada hanya keluarga harmonis dengan sneyum bahagia diantara keduanya. MasyaAllah. “Dek Dijah ...” suara Mas Ammar membuatku tersadar dengan satu mangkok asem-asem daging di depanku. Aku memulai doa sebelum makan dan mulai menyuapkan ke mulut. Kulihat semua anggota tampak men
Seketika aku kehilangan kekuatan untuk berdiri. Tubuhku ambruk. Lemas. Mbak Sri yang baru saja datang terlihat keheranan menatap kami. Ia membantuku untuk duduk dan bertopang ke dinding warna putih. Air mata turut runtuh, yang terus membasahi pipi dan mulai terjatuh ke tikar yang aku duduki.Masih teringat jelas senyuman Mas Ammar kala menatapku tadi. Pelukannya saja masih bisa kurasakan meskipun sudah bermenit-menit yang lalu ia pergi. Aku menggeleng, serasa tak menerima kenyataan ini.“Bu, ini hanya kabar burung. Mas Ammar baik-baik saja. Ia berjanji dengan Dijah akan pulang lebih cepat.” Aku tersenyum, mencoba menguatkan diri. Berharap semua ini hanya kabar yang salah. Keluarga Mas Ammar pernah salah melamar, bisa jadikan ini salah kabar berita juga?“Mas mu Adi sudah nyusul ke lokasi. Memastikan kalau korban tabrak lari itu suamimu. Memang benar itu Ammar, Dijah,” ucapnya yang kini merangkul tubuhku.Dipeluknya begitu erat, seraya tangannya mengelus punggungku.Ya Allah yaRobbi, c