Salah Melamar

Salah Melamar

By:  Fida Yaumil Fitri   Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
4 ratings
69Chapters
18.9Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Bagaimana jadinya jika kamu mendapati kenyataan orang yang diinginkan calon suamimu adalah adikmu. Orangtuanya salah melamar, hingga kamu masuk ke dalam pernikahan yang tidak diharapkan.

View More
Salah Melamar Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Nurlaela
alurnya bagus, menguras emosi, tapi juga menghibur
2023-07-17 13:10:46
0
user avatar
Devita Sari
thor yg banyak yaa update nya
2023-07-04 15:30:28
0
user avatar
Mamah Irfan Faiz
ceritanya bagus
2023-06-24 12:50:47
0
user avatar
Yuni Riana
kereeeeeeeeeeeeeeeennnnn
2023-06-13 05:30:14
2
69 Chapters
bab.1 Lamaran
“Dijah, kamu segera siap-siap ya. Nanti malam ada yang melamarmu,” ucap emak sambil memamerkan senyum di wajah keriputnya. Binar matanya indah, menyiratkan betapa bahagianya saat ini. “Me-la-mar, Mak?” tanyaku tak percaya. “Iya. Sudah hentikan bacaanmu. Kamu segera mandi, ini sudah jam 5 sore juga. Anak perawan kok males mandi,” ucap Emak dengan kecepatan kilat sambil menarik paksa buku yang kupegang. Sebuah novel roman yang baru saja kubeli beberapa saat lalu.Aku Dijah, anak pertama dari seorang janda tua sederhana. Bapakku sudah meninggal beberapa tahun lalu, dan aku hanya tinggal berdua bersama Emakku yang super bawel. Meskipun begitu, aku sangat menyayanginya. Sebenarnya aku masih punya saudara, Namanya Dinda, dia adikku satu-satunya, yang mau tak mau menjadi teman berantemku. Sayang, saat ini ia sedang kuliah di kota, mengejar mimpinya. Sedangkan aku? Aku lebih memilih tinggal bersama ibu, karena tak tega meninggalkan ia. Terlebih lagi aku tak ingin membebani emak dengan biaya
Read more
bab.2 Kedatangan Dinda
“Wah, Dijah mangklingi ya kalau didandani seperti ini,” ucap salah satu saudara yang mengintipku dari balik pintu. Tanpa menoleh ke arahnya pun aku sudah tahu kalau itu bulek. Aku tersenyum, menatap wajahku dalam pantulan cermin rias. Seorang wanita berjilbab dengan riasan full itu benar-benar berbeda dengan wajahku. Pipinya terlihat lebih tirus, hidungnya terlihat lebih mancung, serta wajahnya yang kini berseri. Sejujurnya wajah berseri itu bukan nampak dari polesan yang tersapu ke wajahnya, melainkan betapa bahagianya aku yang akan dipersunting dengan lelaki yang memang aku idamkan. Aku benar-benar tak menyangka jika Ammar adalah jodohku. Mungkinkah ini suatu keajaiban dari sebuah doa? Nama yang kupanjatkan dalam setiap sujudku.Sebuah senyum tercipta, membayangkan kehidupanku ke depannya yang akan sangat indah. Merasakan sebuah pacaran setelah nikah, layaknya sebuah pernikahan di novel roman yang pernah aku baca. Saling malu-malu dan akhirnya saling mau-mau.“Assalamualaikum,” uca
Read more
bab.3 Pernikahan
“Sah?”“Sah, sah, sah.” Kalimat itu saling bersaut satu sama lain, menggema di seluruh ruangan tamu seusai kalimat ijab terdengar dari bibir Ammar.Mata emak berbinar, dengan senyum yang tak hentinya mengembang. Berikut dengan Dinda yang dipaksakan untuk tersenyum. Sebuah kamuflase itu terlihat jelas di mataku. Ya, kini ia duduk di sebelah emak, turut menyaksikan lelaki yang disayangnya mengucapkan kalimat ijab untuk kakak kandungnya. Prosesi terus berjalan, dimana aku dan Ammar diminta sungkem dengan orang tua yang telah melahirkan kita. Bahu lelaki itu ditepuk oleh bapaknya, berikut dengan suara yang dibisikkan di dekat telinganya. “Bagaimanapun, sekarang kamu adalah seorang suami. Bahagiakan istrimu,” ucapnya lirih yang masih terdengar olehku. Ibu Ammar pun turut mengelus pundakku, juga memberikan sebuah doa pengantar pernikahan kami. “semoga bahagia, Nduk. Semoga jadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah.”Aku tersenyum kecil, berharap pernikahan yang tak didasari oleh cinta ini
Read more
bab.4 Hari pertama
“Mas Ammar, apa yang kamu lakukan?” tanyaku ketika ia melewatiku dan mengambil bantal beserta selimut. Ia membentangkan di sebelah dipan kasur beralaskan keramik putih dengan warna yang usang dimakan usia. “Aku tidur disini. Kamu tidur saja di atas,” ucapnya. Tubuhku mendadak lemas. Acara pesta pernikahan belum usai. Tamu dan keluarga besar dari ibu juga belum pulang. Namun, aku mendapatkan hal yang memilukan hati. Di atas kertas putih tercatat namanya untukku. Ia sah untuk kusentuh. Dia milikku. Begitupun sebaliknya. Namun, pada kenyataannya semua hanya sebatas bayang-bayang. Di hati Mas Ammar tetap ada nama Dinda yang seolah semakin kuat mencengkram hatinya. Bahkan karena rasa itu, ia memilih untuk mengalah dan memberikan raganya untukku. Satu persatu air mata runtuh, hingga dengan cepat aku menghapus dengan kedua tanganku. Bagaimanapun aku harus kuat. Aku tak ingin terlihat lemah. Terlebih lagi, emak begitu bahagia dengan pernikahanku. Aku tak tega jika harus mengubah senyum y
Read more
bab.5 Kepergian Dinda
“Ini lo, Jah. Adikmu Dinda mau balik lagi ke kota. Padahal di rumah saja belum genap sehari to? Coba bujuk adikmu barang kali nurut,” ucap emak ketika suapan di mulutnya usai ditelan. Aku menoleh ke arah Dinda, dimana ia meringis ke arahku dengan canggung. “Dinda tuh ada tugas, Mbak. Kan ada semacam penelitian gitu, jadi gak bisa berlama-lama di rumah. Kasihan teman-teman Dinda yang satu kelompok,” ucap wanita cantik dengan jilbab warna merah muda di kepalanya.“Sedang melakukan penelitian apa, Din?” tanya Ammar yang kini menyaut. “Pengaruh lingkungan dalam pendidikan masa belia, Mas.”“Wah, sepertinya menyenangkan. Ambil datanya di desa mana?”Mereka berdua saling menyaut, membicarakan hal yang belum mampu kupahami, tentang kuliah, kkn, dan rencana skripsi. Aku hanya sebatas mendengar, karena tak memiliki pengalaman seperti itu. “Makannya dihabiskan dulu, nanti dilanjut ceritanya,” ucap emak yang sepertinya juga merasa tak nyaman dengan perbincangan mereka. Terlebih, dari tadi aku
Read more
Bab.6 Kue terang bulan
“Ma-Mas Ammar? Ini Mas Ammar?” tanyaku memastikan panggilan di sebrang sana.“Gak perlu basa-basi, Dijah. Jawab saja kamu suka rasa apa?”“Co-coklat. Aku suka rasa coklat,” jawabku dengan gemetaran. Mendapatkan sebuah perhatian seperti ini saja membuat hatiku kalang kabut. Apa ini artinya Ammar sudah mau membuka hati untuk menerimaku?“Aku sedang beli kue terang bulan. Kamu jangan tidur dulu.”“I-iya, Mas.”Sungguh, hatiku benar-benar bahagia. Bunga yang kutanam akhirnya mulai tumbuh dan memunculkan kuncupnya.“Jangan berpikiran tidak-tidak. Ini permintaan dari Dinda,” ucap dari sana sebelum panggilan dimatikan.Aku tersenyum getir, kembali tersadar jika semua bukan tentang aku. Dihidup Mas Ammar hanya ada nama satu wanita, Dinda.Aku memaksakan diri untuk membuka mata, meskipun rasa kantuk mulai menyapa. Mungkin karena kecapekan dengan rutinitas bersih-bersih seharian. Ibu aku minta untuk istirahat di kamarnya. Aku tak mau mengambil resiko jika sakit ibu kumat kembali.Tak selang lam
Read more
Bab.7 Hujan
“Mak, Emak bangun,” ucapku lirih yang kini membelai rambutnya. Wajah keriput yang terlihat begitu teduh. Dibalik omelan-omelannya selalu saja ada petuah yang terselip. “Emak ….”Emak seperti tak merespon, hingga aku tersadar tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. “Mas Ammar, Mas. Emak, Mas,” teriakku dengan panik.Mas ammar berlari mendekat, dan memastikan keadaan emak. Masih ada denyut nadi yang terasa meskipun sangat lemah. Dengan cepat ia membawa emak ke puskesmas, hingga sampai sana langsung diminta ke rumah sakit. “Ya Allah, Mak. Kamu kenapa?”Dengan naik mobil ambulance yang disediakan oleh puskesmas, aku terus memegang tangan keriput yang selama ini merawat dan membesarkanku. Kukecup keningnya dan kubelai rambut yang kini tertutup oleh jilbabnya. Selang oksigen dimasukkan di kedua lubang hidung itu, hingga perlahan mata emakku membuka. “Emak, ini Dijah, Mak. Ini Dijah,” ucapku yang kini sesenggukan. Pikiranku terus menerawang ke jauh, takut jika terjdi apa-apa dengan w
Read more
Bab.8 Di Rumah Ammar
Ini adalah hari ngunduh mantu, hari yang seharusnya aku tersenyum senang, karena diambil oleh keluarga besar Ammar. Namun, diposisi sekarang, keluargaku tengah berduka. Tepat tiga hari emak meninggalkan kami dari dunia ini. Masih teringat jelas bagimana kenangan di setiap inci rumah ini, yang selalu menjadikan tangis kala mengingatnya. Mak yang bawel dan suka menjewer telingaku meskipun di usiaku sudah sedewasa ini. Aku rindu.“Mbak Dijah, kok melamun,” ucap dinda yang terlihat tersenyum dengan gamis yang dikenakannya. Ya, dia satu-satunya keluarga intiku yang mengantar aku pindah. Juga ada bude dan paklek saudara dari emak yang turut menemani acara sederhana ini. Tak ada perayaan yang semestinya, hanya sebatas mengantar, dijamu oleh keluarga Ammar, dan mereka pulang. Ya, sebatas itu.“Assalamualaikum,” ucap saudara besarku yang kini berada di depan pintu Ammar. “waalaikumsalam,” suara ramah dari dalam rumah tersebut. Hanya keluraga inti saja, kedua orang tua serta kakak-kakak mas
Read more
Bab.9 Mengantar Dinda
Waktu terus berlalu, detikan jam terus berjalan. Aku hanya terus memandang Mas Ammar yang selalu asyik di depan laptopnya. Sesekali ia menengok ke arah ponsel, dan tersenyum. Kemudian, ia kembali memainkan jari jemarinya di atas keybord warna hitam itu. “Mas, Khadijah ke bawah dulu ya, mau nyiapin makan siang,” ucapku.Ia menoleh ke arahku. “Hm ... terserah.” Lalu balik fokus ke laptopnya. Sungguh, keberadaanku di kamar ini seperti tak dianggap.Aku mengayunkan langkah, sambil menyeka air mataku agar tak kedahuluan membasahi pipi. Aku tak ingin ibu ataupun bapak memergokiku bersedih. Aku harus terlihat tersenyum. Aku tak ingin aib keluarga menjadi sorotan mata orang lain, meskipun itu keluarga ammar sendiri. Ya, seperti itulah yang diucapkan emak sebelum meninggalkan kami.“Khadijah, mau bantu masak?” tanya ibu yang terlihat welcome ketika melihatku datang. Ia tersenyum dengan mata teduh yang ditujukan kearahku. Aku mengangguk.“Sini, sini, kamu bantu siangi ikannya ya,” ucap ibu y
Read more
Bab.10 Definisi Cinta
“Dijah, Ammar mana?” tanya ibu ketika aku duduk di kursi makan . Baik ibu dan bapak tidak tahu kalau Mas Ammar sudah keluar seusai shalat duhur. Kebiasaannya memang mengurung diri di kamar, dengan laptop yang disimpannya di tempat pribadi itu. Ya, kata Ibu pekerjaan Mas Ammar memang menghabiskan banyak waktu di laptop dari pada di luar.“Mas Ammar ijin keluar, Bu.”“Nongkrong sama temannya?”“Bukan. Katanya ada urusan pekerjaan,” dustaku. Ya, aku harus melakukan ini untuk menutubi aib rumah tangga kami.Ibu tersenyum. “Ya seperti itulah pekerjaan suamimu, Dijah. Dibilang kerja ya tidak seperti orang kerja pada umumnya. Tapi dibilang nganggur, sebenarnya menghasilkan,” ucap ibu . “Mari makan, jangan ngobrol dulu,” ucap bapak yang memandang kami bergantian.Aku menyuapkan makanan ini sedikit demi sedikit, lebih terkesan memainkannya. Rasanya aku tak nafsu, karena melihat bangku sebelahku kosong. Ya, aku sudah terbiasa makan bersama Mas Ammar. Ia adalah alasan untuk nafsu makanku kembal
Read more
DMCA.com Protection Status