Sekitar 45 menit setelah masuk jalan tol, Mas Farid mengajak kami singgah di rest area 57. Dia mentraktir kami makan di sebuah restoran. Tentu saja kami semua sangat senang. Kami makan sambil ngobrol dan bercanda. Namun Rangga terlihat asyik dengan dunianya sendiri. Dia diam saja.
"Ga, lu napa sih?" Doni menyikut lengan Rangga, menatap sahabatnya itu dengan heran. "Dari tadi diam aja.""Gak apa-apa, Bro," sahut Rangga kalem."Sariawan, ya?""Kagak!""Trus napa?""Diam lu! Pusing gue dengernya!"Aku meringis di dalam hati, merasa makin bersalah.Seusai makan, kami bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Aku merasa beruntung karena setelah shalat, sempat bertemu Rangga di teras sebuah toko. Segera kumanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya."Rangga, aku boleh bicara sebentar?""Tentang apa?""Aku minta maaf soal ta'aruf itu.""O, itu. Enggak apa-apa, kok.""Kamu jangan bohong. Aku melihat perubahan sikap kamu."Rangga tertawa kecil. "Kenapa kamu jadi perasa gitu sih, Ryana? Bener, aku enggak apa-apa. Ditolak tuh hal biasa. Mungkin kita bukan jodoh.""Aku bukan menolak, tapi minta waktu. Sedang ada masalah yang mengganggu pikiranku.""Masalah apa?""Aku tak bisa cerita. Sorry for that. Yang jelas aku mau bicara jujur saja. Aku hargai itikad kamu jika mau menungguku. Tapi semuanya belum pasti. Hanya Allah yang tahu, apakah kita jodoh atau bukan. Jika jodoh, pasti Allah akan mempersatukan kita. Tapi jika bukan jodoh, aku ingin kita tetap jadi sahabat seperti dulu. Aku tak mau hubungan kita renggang. Kita punya misi dakwah di GIL. Kita harus terus bersinergi untuk tugas mulia itu. Kamu tentu tidak mau kan, tugas itu terhalang hanya karena masalah pribadi?"Rangga terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. Lalu beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku baik-baik aja kok, Ryana.""Please, Rangga. Kamu jangan bohong, dong.""Aku enggak bohong!" suara Rangga meninggi dan terdengar tegas."Okay, fine. Aku pegang kata-kata kamu. Kita tetap akrab seperti dulu, tak ada yang berubah. Janji?""Insya Allah."Aku tersenyum, merasa sedikit puas. "Thanks, ya. Kalau begitu, aku duluan ke mobil."Rangga mengangguk sambil tersenyum. Aku pun segera melangkahkan kaki, bergegas dari teras itu."Ryana!" tiba-tiba Rangga memanggilku setelah aku agak jauh darinya. Aku segera berhenti, menoleh, menatapnya dengan penasaran."Kapan aku bisa mendapat jawaban pasti dari kamu?"Aku tertegun, berpikir sejenak, lalu, "Sebulan dari sekarang.""Sebulan? Enggak kelamaan, tuh? Gimana kalo tujuh hari?""Sorry, Rangga. Aku sedang ada masalah pribadi. Tentu butuh waktu untuk mengatasinya. Sebulan kukira waktu yang masuk akal. Kumohon kamu bisa maklum, ya.""Hm... oke deh. Tepat satu bulan, ya? Tiga puluh hari?""Insya Allah.""Baik, aku tunggu."Aku mengangguk, dan kembali melangkahkan kaki menuju mobil Mas Farid di tempat parkir.'Seorang pria tak mau terlihat lemah di depan wanita yang dia cintai,' demikian bunyi kalimat yang pernah kubaca di sebuah buku psikologi. Mungkin itu juga yang terjadi pada Rangga. Aku sangat yakin, perubahan sikapnya berkaitan dengan masalah ta'aruf itu. Tapi dia tak mau mengakuinya di depanku.Keyakinanku itu makin kuat, karena setelah kami kembali melanjutkan perjalanan, kulihat Rangga kembali ceria dan banyak bicara."Sariawan lu dah sembuh, ya?" Doni menyindirnya."Lu perhatian amat sih, ama gue? Naksir ya?" Rangga menyahut dengan candaan sambil tertawa jenaka."Cuih! Emangnya gue cowok ganteng apaan!""Gantengan gue, kaleee...""Klaim gak mutu!""Lu aja yang sirik! Selalu gagal ganteng!""Sori, ya. Nenek gue bilang. gue terganteng satu kelurahan.""Gak heran. Kelurahan lu kan isinya aki-aki semua."Kami semua tertawa mendengar candaan kedua sahabat itu. Aku merasa sangat bahagia, karena Rangga bisa kembali ceria."Sudah... sudah...," tiba-tiba Mbak Tyas melerai perdebatan Rangga dan Doni. "Tak perlu saling klaim begitu. Kita tanya saja pada Raka," dia menyebut nama anak sulungnya yang berusia lima tahun. Anak kecil kan jujur."Lalu Mbak Tyas mengusap kepala Raka dan bertanya, "Raka, lebih ganteng siapa, ya? Om Doni atau Om Rangga?"Raka diam, berpikir sejenak, lalu dia menjawab dengan gayanya yang sangat polos, "Gantengan abi, dong!" Maksudnya adalah Mas Farid, ayahnya.Seketika seisi mobil jadi penuh oleh tertawa ngakak. Aku bahkan sampai harus memegangi perut yang terasa sakit. Cuma Doni dan Rangga yang mesem-mesem, mungkin karena merasa kalah."Makanya tak perlu berantem," ujar Mas Farid sambil tertawa. "Kalau masih jomblo, tak ada gunanya ngaku ganteng. Kegantengan seorang pria baru terbukti jika sudah menikah. Hehehe...."Rangga dan Doni cengengesan."Makanya, kalian cepat menikah, dong. Entar keburu lumutan.""Belum ada calon, Mas," sahut Doni. Sementara Rangga hanya diam."Tuh, di depan kalian ada akhwat yang masih available," Mas Farid melirik ke arahku. "Berani gak, melamar dia?"Duh, aku jadi serba salah oleh ucapan mas Farid itu."Ryana?" Doni cengengesan. "Hehehe.... enggak deh. Gue nyerah. Lu aja, Ga," ditinjunya lengan Rangga."Gue udah duluan, kaleee...!"Semua orang di mobil itu terlihat kaget, langsung menatap Rangga dengan serius. Mas Didin bahkan sampai melotot, menatap ke belakang lewat kaca spion. Sementara hatiku berdebar tak karuan, merasa khawatir. Apakah Rangga akan membocorkan rahasia tentang proses ta'aruf kami?"Rangga, kamu sudah melamar Ryana?" seru Mas Farid dengan ekspresi wajah yang takjub."Benar itu, Rangga?" Mbak Tyas menimpali"Wah, Mas Rangga hebat!" Mas Didin pun ikut-ikutan."Sumpe lu? Kok gak bilang-bilang ke gue?" Doni menatap Rangga.Hatiku seketika berdegup kencang. Ada rasa takut jika Rangga tiba-tiba bercerita bahwa dia sudah melamarku. Selain karena ta'aruf sebaiknya dirahasiakan, tapi aku tidak membayangkan rasa malu yang akan membebaniku.Bagaimana jika semua orang tahu bahwa Rangga sedang melamarku. Lantas setelah itu aku justru menikah dengan pria lain? Tentu tak terbayangkan betapa malunya.Aku berharap semoga Rangga tidak sampai menceritakan rahasia soal ta'aruf itu. Maka dengan debaran-debaran di dada, kutunggu ucapan berikutnya dari mulut Rangga."Eh... sori... sori...," Rangga terlihat kelabakan. "Tadi aku cuma mau ngomong, udah duluan mikirin oleh-oleh. Nanti kita beli apa di Bandung?"Yee.. makanan aja lu pikirin! Makin gemuk tau rasa lu!" seru Doni.Mas Farid, Mbak Tyas dan Mas Didin tertawa. Sementara aku menarik nafas lega. Plong rasanya. Ternyata Rangga hanya keceplosan bicara.Lalu suasana jadi hening. Aku merasa bersyukur karena tidak ada orang di mobil itu yang mengetahui soal proses ta'aruf antara aku dengan Rangga. Memang seperti itu yang disunnahkah oleh Rasulullah. Proses ta'aruf sebaiknya dirahasiakan, namun pernikahan harus diumumkan.Dan entah dari mana asalnya, tiba-tiba sosok Syarif hadir di pikiranku, membuatku melamunkan sebuah pertemuan yang teramat indah dengannya. Kebersamaan yang sangat romantis, penuh harum bunga dan wangi surgawi.‘Duhai, bisakah kami nanti bersatu selamanya di dalam sebuah rumah tangga yang bahagia?’Sesampai di Bandung, kami langsung menuju gedung tempat seminar berlangsung. Malam harinya, kami berencana bergabung dengan teman-teman ITB yang hendak mendirikan GIL di kampus mereka.Ada sekitar dua ratus peserta yang hadir memenuhi ruangan yang tidak terlalu besar di lokasi seminar tersebut. Di atas panggung, Mas Farid menyampaikan materi tentang sekularisme yang tidak dikenal dalam ajaran Islam. Namun sayangnya, banyak umat Islam yang menganut aliran tersebut.Saat menyimak uraian Mas Farid itulah, di jejeran bangku agak pojok kanan belakang, kulihat sesosok pria yang dalam beberapa minggu ini telah berhasil menyita sebagian besar ruang di hati dan pikiranku; Syarif!'Lho, kenapa dia ada di sini?' aku jadi heran dan penasaran sekaligus bahagia, karena bisa bertemu lagi dengannya. Aku ingin melepas kangen, ngobrol dengan akrab dan romantis. Duh, betapa indahnya!Aku sempat bingung, kenapa hasrat terhadap Syarif begitu menggebu-gebu? Kenapa aku
HARI PERTAMA: Aku mengirim WA untuk Syarif.'Gimana lamarannya? Sudah dikirim?'Sekitar sepuluh menit kemudian dia membalas, 'Belum. Lagi nyiapin contoh desain cover.''Okay, good luck ya.'HARI KEDUA: Kudatangi bagian HRD di kantorku."Ada kiriman lamaran gak, dari orang yang namanya Syarif?""Lamaran bidang apa?""Desainer cover.""Tak ada."HARI KETIGA: Tono dari bagian HRD menghubungiku."Lamarannya sudah masuk, tuh. Sudah kuserahkan ke Pak Irfan.""Okay, thanks ya, Ton.""Sama-sama."Segera kudatangi Pak Irfan untuk bertanya langsung padanya."Sudah baca lamaran dari Syarif, Pak?""Sudah. Secara teknis, hasil desain dia cukup bagus.""Alhamdulillah. Berarti diterima, dong?"Pak Irfan menggeleng, ada cibiran di bibirnya."Kenapa, Pak?""Kamu kan tahu, dalam membuat desain
HARI KESEMBILAN: Aku bengong sendirian di kantor, menatap layar laptop, memerhatikan satu-persatu status Facebook Syarif.Menurutku dia orang yang sangat unik. Saat menulis tentang dakwah, dia pakai gaya bahasa yang heroik, indah dan mengharukan.'Betapa bangganya saya, berada di tengah saudara-saudaraku seiman, para pejuang dakwah yang sangat saya cintai ini. Kita semua satu ukhuwah di dalam Islam. Saya mencintai kalian semua, karena kita satu tauhid!'Namun saat bicara tentang sepakbola, cara dia menulis sungguh bertolak belakang.'Hajar tuh, klub sepakbola k4mpungan! Norak semua!'Aku juga sempat menemukan beberapa status Syarif yang isinya mencela seseorang pakai kata-kata yang agak kasar.Kuperhatikan, Syarif sangat senang berdebat. Dia sering terlibat diskusi panas dengan banyak orang di Facebook. Ada satu nama yang kuperhatikan sering "bertengkar kata-kata" dengannya. Susanto, demikian nama orang itu. Sepertinya dia orang liberal, sangat benci kepada aktivis dakwah. Dia juga se
Secara tak terduga, Susi tersenyum, menatapku dengan jenaka. "Sudah Susi duga, Mbak," ujarnya masih dengan senyuman di bibirnya. "Berarti Susi pintar dong. Mbak? Bisa menebak hati orang.""Iya deh, pintar. Berarti kamu bisa menebak juga dong, isi hati Syarif?""Hm...," Susi diam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. "Menurut penerawangan Susi nih, Mas Riprip juga naksir Mbak Ryana, Iho."Aku tertegun. Syarif juga mencintaiku? Betapa bahagianya jika itu benar. Kurasakan sebuah desiran halus menjalar di rongga dadaku."Kamu tahu dari mana?" tetap kucoba bersikap tenang."Dari sikapnya. Tapi dia gak mau ngaku waktu Susi tanya.""HAH? Berarti kamu pernah ngomong soal itu sama dia?""Pernah, Mbak. Kelihatan banget kalo dia naksir Mbak Ryana. Tapi dia bilang sih, cuma kagum aja.""Berarti belum seratus persen pasti, dong?""Susah sih Mbak, menebak hati orang.""Jadi aku harus gimana? Kamu punya ide?""Coba Mbak Ryana ngomong langsung ke dia.""Menyatakan cinta padanya? Wah, aku tak akan mela
POV: SYARIFKuterima sepucuk surat itu dari tangan Susi. Sepupuku yang centil itu datang di malam hari, sepulang kantor, masih dengan pakaian lusuh dan bau badannya yang menyengat karena ia belum mandi."Surat apa, nih?""Dari Mbak Ryana.""Tentang apa?""Baca aja sendiri!"Bergetar tanganku saat menyobek amplop dan mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Surat apakah gerangan? Tumben Ryana mengirim surat? Emangnya tak bisa lewat WA atau email atau inbox Facebook? Zaman canggih begini kok masih surat-suratan!Kutatap Susi, kuamati seluruh tubuhnya."Kamu belum mandi, ya?""Belum. Soalnya tadi langsung ke sini.""Sana, mandi dulu.""Nanti aja kalau udah pulang ke rumah.""Mandi di sini aja. Aku mau baca surat ini. Sendirian.""Mbak Ryana pesan, Susi harus di sini waktu Mas Riprip baca suratnya.""Kok gitu?""Gak tahu. Dia mintanya gitu. Susi nurut aja.""Kamu gak bohong, kan?""Suer, gak bohong!""Suer apa Demi Allah?""Demi Allah!""Hm...," aku menggumam. Terpaksa deh, kubiarkan ma
Ya Allah! Betapa menggigilnya tubuhku setelah membaca pesan itu. Semangatku terbakar sebakar-bakarnya. Terasa panas, hingga tubuhku melonjak-lonjak, meluap-luap oleh rasa bahagia yang tak terlukiskan dengan kata-kata.Segera kuketik pesan untuk membalas WA itu. Tapi tiba-tiba aku berpikir, 'Pesan sepenting ini tak layak dikirim. lewat WhatsApp. Aku harus meneleponnya.'Tapi baru saja hendak meneleponnya via WhatsApp, tiba-tiba kubatalkan niat itu sambil berkata di dalam hati, ‘Panggilan telepon pun tidak layak. Aku harus bicara langsung padanya, persis di depan dirinya.’Maka seperti singa mengamuk, aku segera bertindak. Kupinjam motor teman kantor, minta izin pada direktur agar aku diperbolehkan keluar sebentar. Kukebut motor sekencang-kencangnya menuju kantor Ryana, seolah-olah aku dikejar-kejar oleh gelombang tsunami yang siap menerkam tubuhku jika terlambat sedetik saja.Jam dua belas lewat dua puluh menit, aku tiba di kantor Ryana. Kuparkir motor dengan buru-buru, lalu kuberlari
"Begini," aku mendesah. "Sejujurnya aku merasa tak pantas berdampingan dengan kamu, Ryana. Keluargaku miskin, sedangkan keluarga kamu....""Syarif," potong Ryana dengan cepat. "Apa kita masih harus membicarakan itu? It's not important. Okay?""Baiklah. Tapi keluarga kamu gimana? Apa mereka setuju?""Aku belum tahu, tapi aku akan meyakinkan mereka. Kamu tak perlu khawatir.""Alhamdulillah. Terima kasih karena kamu akan berusaha. Tapi bagaimana jika mereka tetap tak mau menerimaku setelah kamu yakinkan?""Jangan pesimis gitu, dong. Percaya aja sama aku. Insya Allah aku akan bisa menaklukkan hati Mama. Jelek-jelek gini aku pintar negosiasi, dan alhamdulillah selalu menang.""Hehehe..., iya deh. Aku percaya. Kudoakan semoga usaha kamu berhasil.""Aamiin. Jadi yang nomor dua beres. ya? Lalu yang nomor tiga apa?""Ini soal masa laluku. Aku punya masa lalu yang sangat kacau. Anak nakal, merokok, hobi tawuran, suka ber....""Aku sudah tahu semua dari Susi," Ryana kembali memotong pembicaraank
Saat itu pagi-pagi sekali, aku menagih sebuah hadiah istimewa pada kedua orang tuaku. Kue tart berwarna orange Persija dengan gambar bola di bagian atasnya. "Nanti kalau ada waktu, kue tartnya kami belikan," ujar Ayah. "Asyiiikkk!!!" aku berteriak kegirangan. Dan siang hari seusai shalat Dzuhur, Ayah dan Ibu berangkat dari rumah dengan pakaian yang sangat rapi. Ayah mengenakan batik warna coklat tua dan celana bahan warna hitam. Sementara Ibu mengenakan gaun terusan berwarna biru muda, jilbab dengan warna senada, membuatnya terlihat lebih cantik dari biasanya. Aku tak tahu ke mana tujuan mereka. Senyum misterius Ayah dan Ibu membuat jantungku berdebar kencang. Apakah mereka sedang merencanakan sebuah pesta kejutan untukku? Apakah malam nanti mataku akan ditutup, dituntun berjalan dari kamar ke ruang tamu? Lantas ketika penutup mataku dibuka, terbentanglah pemandangan berupa balon-balon hias yang sangat cantik, spanduk bertuliskan "Happy Birthday, Syarif" dengan huruf dan warna yan