Home / Romansa / Salah Pilih Jodoh / Deadline 30 Hari

Share

Deadline 30 Hari

Author: Dea Amira
last update Huling Na-update: 2024-04-13 09:00:22

Sekitar 45 menit setelah masuk jalan tol, Mas Farid mengajak kami singgah di rest area 57. Dia mentraktir kami makan di sebuah restoran. Tentu saja kami semua sangat senang. Kami makan sambil ngobrol dan bercanda. Namun Rangga terlihat asyik dengan dunianya sendiri. Dia diam saja.

"Ga, lu napa sih?" Doni menyikut lengan Rangga, menatap sahabatnya itu dengan heran. "Dari tadi diam aja."

"Gak apa-apa, Bro," sahut Rangga kalem.

"Sariawan, ya?"

"Kagak!"

"Trus napa?"

"Diam lu! Pusing gue dengernya!"

Aku meringis di dalam hati, merasa makin bersalah.

Seusai makan, kami bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Aku merasa beruntung karena setelah shalat, sempat bertemu Rangga di teras sebuah toko. Segera kumanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya.

"Rangga, aku boleh bicara sebentar?"

"Tentang apa?"

"Aku minta maaf soal ta'aruf itu."

"O, itu. Enggak apa-apa, kok."

"Kamu jangan bohong. Aku melihat perubahan sikap kamu."

Rangga tertawa kecil. "Kenapa kamu jadi perasa gitu sih, Ryana? Bener, aku enggak apa-apa. Ditolak tuh hal biasa. Mungkin kita bukan jodoh."

"Aku bukan menolak, tapi minta waktu. Sedang ada masalah yang mengganggu pikiranku."

"Masalah apa?"

"Aku tak bisa cerita. Sorry for that. Yang jelas aku mau bicara jujur saja. Aku hargai itikad kamu jika mau menungguku. Tapi semuanya belum pasti. Hanya Allah yang tahu, apakah kita jodoh atau bukan. Jika jodoh, pasti Allah akan mempersatukan kita. Tapi jika bukan jodoh, aku ingin kita tetap jadi sahabat seperti dulu. Aku tak mau hubungan kita renggang. Kita punya misi dakwah di GIL. Kita harus terus bersinergi untuk tugas mulia itu. Kamu tentu tidak mau kan, tugas itu terhalang hanya karena masalah pribadi?"

Rangga terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. Lalu beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku baik-baik aja kok, Ryana."

"Please, Rangga. Kamu jangan bohong, dong."

"Aku enggak bohong!" suara Rangga meninggi dan terdengar tegas.

"Okay, fine. Aku pegang kata-kata kamu. Kita tetap akrab seperti dulu, tak ada yang berubah. Janji?"

"Insya Allah."

Aku tersenyum, merasa sedikit puas. "Thanks, ya. Kalau begitu, aku duluan ke mobil."

Rangga mengangguk sambil tersenyum. Aku pun segera melangkahkan kaki, bergegas dari teras itu.

"Ryana!" tiba-tiba Rangga memanggilku setelah aku agak jauh darinya. Aku segera berhenti, menoleh, menatapnya dengan penasaran.

"Kapan aku bisa mendapat jawaban pasti dari kamu?"

Aku tertegun, berpikir sejenak, lalu, "Sebulan dari sekarang."

"Sebulan? Enggak kelamaan, tuh? Gimana kalo tujuh hari?"

"Sorry, Rangga. Aku sedang ada masalah pribadi. Tentu butuh waktu untuk mengatasinya. Sebulan kukira waktu yang masuk akal. Kumohon kamu bisa maklum, ya."

"Hm... oke deh. Tepat satu bulan, ya? Tiga puluh hari?"

"Insya Allah."

"Baik, aku tunggu."

Aku mengangguk, dan kembali melangkahkan kaki menuju mobil Mas Farid di tempat parkir.

'Seorang pria tak mau terlihat lemah di depan wanita yang dia cintai,' demikian bunyi kalimat yang pernah kubaca di sebuah buku psikologi. Mungkin itu juga yang terjadi pada Rangga. Aku sangat yakin, perubahan sikapnya berkaitan dengan masalah ta'aruf itu. Tapi dia tak mau mengakuinya di depanku.

Keyakinanku itu makin kuat, karena setelah kami kembali melanjutkan perjalanan, kulihat Rangga kembali ceria dan banyak bicara.

"Sariawan lu dah sembuh, ya?" Doni menyindirnya.

"Lu perhatian amat sih, ama gue? Naksir ya?" Rangga menyahut dengan candaan sambil tertawa jenaka.

"Cuih! Emangnya gue cowok ganteng apaan!"

"Gantengan gue, kaleee..."

"Klaim gak mutu!"

"Lu aja yang sirik! Selalu gagal ganteng!"

"Sori, ya. Nenek gue bilang. gue terganteng satu kelurahan."

"Gak heran. Kelurahan lu kan isinya aki-aki semua."

Kami semua tertawa mendengar candaan kedua sahabat itu. Aku merasa sangat bahagia, karena Rangga bisa kembali ceria.

"Sudah... sudah...," tiba-tiba Mbak Tyas melerai perdebatan Rangga dan Doni. "Tak perlu saling klaim begitu. Kita tanya saja pada Raka," dia menyebut nama anak sulungnya yang berusia lima tahun. Anak kecil kan jujur."

Lalu Mbak Tyas mengusap kepala Raka dan bertanya, "Raka, lebih ganteng siapa, ya? Om Doni atau Om Rangga?"

Raka diam, berpikir sejenak, lalu dia menjawab dengan gayanya yang sangat polos, "Gantengan abi, dong!" Maksudnya adalah Mas Farid, ayahnya.

Seketika seisi mobil jadi penuh oleh tertawa ngakak. Aku bahkan sampai harus memegangi perut yang terasa sakit. Cuma Doni dan Rangga yang mesem-mesem, mungkin karena merasa kalah.

"Makanya tak perlu berantem," ujar Mas Farid sambil tertawa. "Kalau masih jomblo, tak ada gunanya ngaku ganteng. Kegantengan seorang pria baru terbukti jika sudah menikah. Hehehe...."

Rangga dan Doni cengengesan.

"Makanya, kalian cepat menikah, dong. Entar keburu lumutan."

"Belum ada calon, Mas," sahut Doni. Sementara Rangga hanya diam.

"Tuh, di depan kalian ada akhwat yang masih available," Mas Farid melirik ke arahku. "Berani gak, melamar dia?"

Duh, aku jadi serba salah oleh ucapan mas Farid itu.

"Ryana?" Doni cengengesan. "Hehehe.... enggak deh. Gue nyerah. Lu aja, Ga," ditinjunya lengan Rangga.

"Gue udah duluan, kaleee...!"

Semua orang di mobil itu terlihat kaget, langsung menatap Rangga dengan serius. Mas Didin bahkan sampai melotot, menatap ke belakang lewat kaca spion. Sementara hatiku berdebar tak karuan, merasa khawatir. Apakah Rangga akan membocorkan rahasia tentang proses ta'aruf kami?

"Rangga, kamu sudah melamar Ryana?" seru Mas Farid dengan ekspresi wajah yang takjub.

"Benar itu, Rangga?" Mbak Tyas menimpali

"Wah, Mas Rangga hebat!" Mas Didin pun ikut-ikutan.

"Sumpe lu? Kok gak bilang-bilang ke gue?" Doni menatap Rangga.

Hatiku seketika berdegup kencang. Ada rasa takut jika Rangga tiba-tiba bercerita bahwa dia sudah melamarku. Selain karena ta'aruf sebaiknya dirahasiakan, tapi aku tidak membayangkan rasa malu yang akan membebaniku.

Bagaimana jika semua orang tahu bahwa Rangga sedang melamarku. Lantas setelah itu aku justru menikah dengan pria lain? Tentu tak terbayangkan betapa malunya.

Aku berharap semoga Rangga tidak sampai menceritakan rahasia soal ta'aruf itu. Maka dengan debaran-debaran di dada, kutunggu ucapan berikutnya dari mulut Rangga.

"Eh... sori... sori...," Rangga terlihat kelabakan. "Tadi aku cuma mau ngomong, udah duluan mikirin oleh-oleh. Nanti kita beli apa di Bandung?

"Yee.. makanan aja lu pikirin! Makin gemuk tau rasa lu!" seru Doni.

Mas Farid, Mbak Tyas dan Mas Didin tertawa. Sementara aku menarik nafas lega. Plong rasanya. Ternyata Rangga hanya keceplosan bicara.

Lalu suasana jadi hening. Aku merasa bersyukur karena tidak ada orang di mobil itu yang mengetahui soal proses ta'aruf antara aku dengan Rangga. Memang seperti itu yang disunnahkah oleh Rasulullah. Proses ta'aruf sebaiknya dirahasiakan, namun pernikahan harus diumumkan.

Dan entah dari mana asalnya, tiba-tiba sosok Syarif hadir di pikiranku, membuatku melamunkan sebuah pertemuan yang teramat indah dengannya. Kebersamaan yang sangat romantis, penuh harum bunga dan wangi surgawi.

‘Duhai, bisakah kami nanti bersatu selamanya di dalam sebuah rumah tangga yang bahagia?’

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Salah Pilih Jodoh   Keputusan Akhir

    (Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu

  • Salah Pilih Jodoh   Sidang Penentuan

    POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep

  • Salah Pilih Jodoh   Apakah Ini Jalannya?

    Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana. Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting. Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal. “Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.” “Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?” “Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.” “O gitu?” “Iya.” Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut. Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at

  • Salah Pilih Jodoh   Syarif Buka Rahasia

    POV: SYARIF Aku benar-benar tersudut! Serba salah! Bahkan salah tingkah dan mati gaya! Semuanya berawal dari kejadian malam itu, setelah aku bertemu Dika dan pulang ke rumah. Di dalam kamar, Ryana memegang secarik kertas yang diambil dari dompetku. “Ini kertas apa? Pakai tulisan Arab, tapi bahasanya kok aneh, ya?” Dan tidak berhenti sampai di situ. Berkali-kali dia menyebut istilah tukang pelet di depanku. Memang dia tidak menuduh apapun. Tapi aku tahu, pasti dia ingin mengutarakan sesuatu. Hal yang tidak berani dia sampaikan terang-terangan. Itulah situasi yang membuatku tersudut, merasa serba salah, bahkan salah tingkah dan mati gaya! Aku sebenarnya merasa berat untuk menceritakan semua ini, Kawan! Tapi karena posisiku sudah tersudut seperti itu, baiklah. Akan kuceritakan padamu. Tapi ingat, ya. Ini hanya kuceritakan padamu saja. Tidak akan kuceritakan pada Ryana, juga orang lain yang kukenal. * * *

  • Salah Pilih Jodoh   Syarif Terpancing Emosi

    Sepulang dari sekretariat GIL, aku langsung pulang ke rumah, menyetir mobil sambil memikirkan Rangga. Di satu sisi aku sangat kasihan padanya. Dulu dia kecewa padaku, karena aku menikah dengan Syarif pada saat sedang proses ta’aruf denganku. Dan kini, peristiwanya bahkan jauh lebih tragis. Jika aku berada pada posisi dia, mungkin sudah depresi karena tak kuat menahan derita jiwa. Aku pun berdoa, semoga Rangga tak pernah lagi menghadapi masalah besar seperti itu dalam perjuangannya menemukan jodoh. Dan di sisi lain, entah kenapa pikiranku jadi nakal, membayangkan bahwa masih ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Rangga dalam ikatan suci pernikahan. Tempat paling istimewa di hatiku yang dulu dihuni oleh Syarif, kini dia sudah terusir dari sana. Dan Rangga hadir sebagai penggantinya. Rasa kagumku padanya yang sudah hadir sejak dulu, kini sudah berubah menjadi cinta. Ya, aku memang sudah bertekad untuk minta cerai pada Syarif, karena sudah ta

  • Salah Pilih Jodoh   Dua Kali Kena PHP

    POV: RANGGA Memang, pernikahanku aneh banget. Tapi sebenarnya itu bukan pernikahan. Sebab yang duduk di pelaminan hanya aku dan kedua orang tuaku. Lalu di sebelah kami, dipajang Om dan Tante sebagai tameng aja. Supaya hadirin mengira bahwa merekalah orang tua dari pengantin wanita. Ke mana pengantin wanitanya? Jangan tanya padaku, karena aku sudah gak mau mikirin itu. Bahkan pikiranku sudah kukosongkan dari masalah tersebut. Sebab kalau kupikirkan, khawatir diri ini jadi gila. Ya, pria mana yang tidak shock, hampir pingsan, ketika jadwal pernikahan tinggal 1 hari lagi, ketika undangan sudah disebar semuanya, administrasi di KUA sudah selesai, biaya gedung resepsi sudah dibayar lunas, dekorasi ruangan sudah beres, konsumsi tinggal dimakan aja, tim dokumentasi dan wedding singer beserta group band-nya sudah siap semua, tapi justru pengantin wanitanya yang tidak muncul batang hidungnya! “Maaf, kami terpaksa membatalkan pernikaha

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status