Share

Deadline 30 Hari

Sekitar 45 menit setelah masuk jalan tol, Mas Farid mengajak kami singgah di rest area 57. Dia mentraktir kami makan di sebuah restoran. Tentu saja kami semua sangat senang. Kami makan sambil ngobrol dan bercanda. Namun Rangga terlihat asyik dengan dunianya sendiri. Dia diam saja.

"Ga, lu napa sih?" Doni menyikut lengan Rangga, menatap sahabatnya itu dengan heran. "Dari tadi diam aja."

"Gak apa-apa, Bro," sahut Rangga kalem.

"Sariawan, ya?"

"Kagak!"

"Trus napa?"

"Diam lu! Pusing gue dengernya!"

Aku meringis di dalam hati, merasa makin bersalah.

Seusai makan, kami bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Aku merasa beruntung karena setelah shalat, sempat bertemu Rangga di teras sebuah toko. Segera kumanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya.

"Rangga, aku boleh bicara sebentar?"

"Tentang apa?"

"Aku minta maaf soal ta'aruf itu."

"O, itu. Enggak apa-apa, kok."

"Kamu jangan bohong. Aku melihat perubahan sikap kamu."

Rangga tertawa kecil. "Kenapa kamu jadi perasa gitu sih, Ryana? Bener, aku enggak apa-apa. Ditolak tuh hal biasa. Mungkin kita bukan jodoh."

"Aku bukan menolak, tapi minta waktu. Sedang ada masalah yang mengganggu pikiranku."

"Masalah apa?"

"Aku tak bisa cerita. Sorry for that. Yang jelas aku mau bicara jujur saja. Aku hargai itikad kamu jika mau menungguku. Tapi semuanya belum pasti. Hanya Allah yang tahu, apakah kita jodoh atau bukan. Jika jodoh, pasti Allah akan mempersatukan kita. Tapi jika bukan jodoh, aku ingin kita tetap jadi sahabat seperti dulu. Aku tak mau hubungan kita renggang. Kita punya misi dakwah di GIL. Kita harus terus bersinergi untuk tugas mulia itu. Kamu tentu tidak mau kan, tugas itu terhalang hanya karena masalah pribadi?"

Rangga terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. Lalu beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku baik-baik aja kok, Ryana."

"Please, Rangga. Kamu jangan bohong, dong."

"Aku enggak bohong!" suara Rangga meninggi dan terdengar tegas.

"Okay, fine. Aku pegang kata-kata kamu. Kita tetap akrab seperti dulu, tak ada yang berubah. Janji?"

"Insya Allah."

Aku tersenyum, merasa sedikit puas. "Thanks, ya. Kalau begitu, aku duluan ke mobil."

Rangga mengangguk sambil tersenyum. Aku pun segera melangkahkan kaki, bergegas dari teras itu.

"Ryana!" tiba-tiba Rangga memanggilku setelah aku agak jauh darinya. Aku segera berhenti, menoleh, menatapnya dengan penasaran.

"Kapan aku bisa mendapat jawaban pasti dari kamu?"

Aku tertegun, berpikir sejenak, lalu, "Sebulan dari sekarang."

"Sebulan? Enggak kelamaan, tuh? Gimana kalo tujuh hari?"

"Sorry, Rangga. Aku sedang ada masalah pribadi. Tentu butuh waktu untuk mengatasinya. Sebulan kukira waktu yang masuk akal. Kumohon kamu bisa maklum, ya."

"Hm... oke deh. Tepat satu bulan, ya? Tiga puluh hari?"

"Insya Allah."

"Baik, aku tunggu."

Aku mengangguk, dan kembali melangkahkan kaki menuju mobil Mas Farid di tempat parkir.

'Seorang pria tak mau terlihat lemah di depan wanita yang dia cintai,' demikian bunyi kalimat yang pernah kubaca di sebuah buku psikologi. Mungkin itu juga yang terjadi pada Rangga. Aku sangat yakin, perubahan sikapnya berkaitan dengan masalah ta'aruf itu. Tapi dia tak mau mengakuinya di depanku.

Keyakinanku itu makin kuat, karena setelah kami kembali melanjutkan perjalanan, kulihat Rangga kembali ceria dan banyak bicara.

"Sariawan lu dah sembuh, ya?" Doni menyindirnya.

"Lu perhatian amat sih, ama gue? Naksir ya?" Rangga menyahut dengan candaan sambil tertawa jenaka.

"Cuih! Emangnya gue cowok ganteng apaan!"

"Gantengan gue, kaleee..."

"Klaim gak mutu!"

"Lu aja yang sirik! Selalu gagal ganteng!"

"Sori, ya. Nenek gue bilang. gue terganteng satu kelurahan."

"Gak heran. Kelurahan lu kan isinya aki-aki semua."

Kami semua tertawa mendengar candaan kedua sahabat itu. Aku merasa sangat bahagia, karena Rangga bisa kembali ceria.

"Sudah... sudah...," tiba-tiba Mbak Tyas melerai perdebatan Rangga dan Doni. "Tak perlu saling klaim begitu. Kita tanya saja pada Raka," dia menyebut nama anak sulungnya yang berusia lima tahun. Anak kecil kan jujur."

Lalu Mbak Tyas mengusap kepala Raka dan bertanya, "Raka, lebih ganteng siapa, ya? Om Doni atau Om Rangga?"

Raka diam, berpikir sejenak, lalu dia menjawab dengan gayanya yang sangat polos, "Gantengan abi, dong!" Maksudnya adalah Mas Farid, ayahnya.

Seketika seisi mobil jadi penuh oleh tertawa ngakak. Aku bahkan sampai harus memegangi perut yang terasa sakit. Cuma Doni dan Rangga yang mesem-mesem, mungkin karena merasa kalah.

"Makanya tak perlu berantem," ujar Mas Farid sambil tertawa. "Kalau masih jomblo, tak ada gunanya ngaku ganteng. Kegantengan seorang pria baru terbukti jika sudah menikah. Hehehe...."

Rangga dan Doni cengengesan.

"Makanya, kalian cepat menikah, dong. Entar keburu lumutan."

"Belum ada calon, Mas," sahut Doni. Sementara Rangga hanya diam.

"Tuh, di depan kalian ada akhwat yang masih available," Mas Farid melirik ke arahku. "Berani gak, melamar dia?"

Duh, aku jadi serba salah oleh ucapan mas Farid itu.

"Ryana?" Doni cengengesan. "Hehehe.... enggak deh. Gue nyerah. Lu aja, Ga," ditinjunya lengan Rangga.

"Gue udah duluan, kaleee...!"

Semua orang di mobil itu terlihat kaget, langsung menatap Rangga dengan serius. Mas Didin bahkan sampai melotot, menatap ke belakang lewat kaca spion. Sementara hatiku berdebar tak karuan, merasa khawatir. Apakah Rangga akan membocorkan rahasia tentang proses ta'aruf kami?

"Rangga, kamu sudah melamar Ryana?" seru Mas Farid dengan ekspresi wajah yang takjub.

"Benar itu, Rangga?" Mbak Tyas menimpali

"Wah, Mas Rangga hebat!" Mas Didin pun ikut-ikutan.

"Sumpe lu? Kok gak bilang-bilang ke gue?" Doni menatap Rangga.

Hatiku seketika berdegup kencang. Ada rasa takut jika Rangga tiba-tiba bercerita bahwa dia sudah melamarku. Selain karena ta'aruf sebaiknya dirahasiakan, tapi aku tidak membayangkan rasa malu yang akan membebaniku.

Bagaimana jika semua orang tahu bahwa Rangga sedang melamarku. Lantas setelah itu aku justru menikah dengan pria lain? Tentu tak terbayangkan betapa malunya.

Aku berharap semoga Rangga tidak sampai menceritakan rahasia soal ta'aruf itu. Maka dengan debaran-debaran di dada, kutunggu ucapan berikutnya dari mulut Rangga.

"Eh... sori... sori...," Rangga terlihat kelabakan. "Tadi aku cuma mau ngomong, udah duluan mikirin oleh-oleh. Nanti kita beli apa di Bandung?

"Yee.. makanan aja lu pikirin! Makin gemuk tau rasa lu!" seru Doni.

Mas Farid, Mbak Tyas dan Mas Didin tertawa. Sementara aku menarik nafas lega. Plong rasanya. Ternyata Rangga hanya keceplosan bicara.

Lalu suasana jadi hening. Aku merasa bersyukur karena tidak ada orang di mobil itu yang mengetahui soal proses ta'aruf antara aku dengan Rangga. Memang seperti itu yang disunnahkah oleh Rasulullah. Proses ta'aruf sebaiknya dirahasiakan, namun pernikahan harus diumumkan.

Dan entah dari mana asalnya, tiba-tiba sosok Syarif hadir di pikiranku, membuatku melamunkan sebuah pertemuan yang teramat indah dengannya. Kebersamaan yang sangat romantis, penuh harum bunga dan wangi surgawi.

‘Duhai, bisakah kami nanti bersatu selamanya di dalam sebuah rumah tangga yang bahagia?’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status