‘Waalaikumsalam. Maaf Mas, baru reply. Tadi ada acara keluarga di rumah. Alhamdulillah kabar baik nih. Mas Syarif sendiri gimana?’
Aku tertegun, menyesali buruk sangka terhadap Susi yang terlanjur mengotori hatiku. Menyesali buruk sangka terhadap Ryana, karena kukira dia tak menaruh perhatian sedikit pun terhadapku. Balasan pesannya seperti mengobati luka parah yang belum sembuh juga selama bertahun-tahun. kini jadi sembuh total, tanpa bekas sama sekali!Segera kumatikan MP3 Player. Kukunci rapat pintu kamar. Kuminum segelas air. Kubiarkan suasana hening menemani jari-jariku yang mengetik WA balasan untuk sang gadis pujaan hati.[‘Alhamdulillah, kabarku selalu baik jika kamu mencintaiku. Kabarku akan makin baik jika kamu mau menikah denganku.’]‘Alhamdulillah, kabar baik, Mbak. Thanks balasannya.’Ternyata isi hati tidak selamanya sama persis dengan yang terketik di layar ponsel. Aku sibuk mengutuki diri sendiri.'Sama-sama. Lagi sibuk apa nih, Mas?' balasan dari Ryana muncul sekitar dua menit kemudian.'Lagi santai aja, Mbak.''Tak usah panggil Mbak, dong. Panggil nama saja.''Hehehe..., enggak sopan, Mbak. Saya kan lebih muda.''Saya juga masih muda, kan?''Hehehe..., iya.''Jadi kita saling panggil nama saja, ya. Biar lebih akrab.'Biar lebih akrab? Hatiku melambung seketika. 'Baiklah, Ryana. Terima kasih.''Sama-sama. Btw ada beríta apa nih, kok tumben ngirim WA ke saya?''Enggak boleh, ya? Maaf kalo WA saya mengganggu.''Sama sekali enggak mengganggu. Saya cuma tanya, siapa tahu ada info penting yang hendak disampaikan.''O, gitu. Tak ada apa-apa, kok. Hanya ingin menyapa, untuk menyambung silaturahmi.'Lalu kami pun terus chatting, membahas hal-hal sepele, hingga tak terasa sudah larut malam, dan Ryana pamit untuk mengakhiri pembicaraan. Dia mau tidur katanya.Setelah itu, aku membuka aplikasi F******k, kukunjungi akun Ryana, dan segera kutekan tombol "Add Friend".* * *POV: RIANABolehkah wanita menyatakan cinta duluan? Mungkin boleh, tapi bagiku rasanya teramat berat. Ada beban moral. Terkesan murahan. Kubayangkan si pria pujaan menatapku dengan sinis, merendahkanku, menyebutku sebagai perempuan tak punya martabat. Duhai, bisakah kau bayangkan betapa pedihnya jika itu terjadi?Aku sangat mencintai Syarif, tapi aku tak siap jika kepedihan itu harus tiba dan melukai hatiku hingga berdarah-darah.Dulu aku memang sering pacaran. Tapi si cowoklah yang selalu duluan menyatakan cinta. Seumur hidup aku belum pernah ngomong cinta duluan.Belakangan kutemukan pertanda bahwa ada kemungkinan Syarif pun mencintaiku. Pesan WA-nya di malam hari itu, yang hanya berisi pertanyaan apa kabar, membuat kebahagiaan hatiku melambung dan terbang tinggi, seolah-olah kulihat bidadari langit tersenyum manis menatapku.Untungnya aku bisa mengendalikan diri, membalas WA itu dengan wajar, karena aku bukan perempuan murahan.Lantas ketika esok paginya kubuka F******k, dan menerima permintaan pertemanan darinya, rasa bahagia itu makin melambung. Sudah ada dua pertanda. Masih haruskah kutunggu pertanda ketiga? Belumkah cukup untuk menyimpulkan bahwa dia pun mencintaiku?Jika ada pertanda ketiga, kuharap itu berupa sapaan lewat chatting di F******k, obrolan akrab, pemberian perhatian khusus seperti bertanya, ‘Sudah makan siang apa belum?’Tapi hingga dua hari setelah akunnya masuk ke friend listku, tak ada sapaan apapun dari dia. Bahkan komentar atau pemberian like di status yang kutulis pun tak pernah ada. Tak ada komunikasi apapun antara aku dengan dia di F******k.Terus terang, itu membuat perasaanku tersiksa. Tapi apa yang harus kulakukan? Sebagai perempuan, yang bisa kuperbuat hanya menunggu dan menunggu. Entah sampai kapan."Kamu belakangan ini kok kayak orang stres?" ujar Vira, sahabatku di Gerakan Islam Lurus. Dia sebaya denganku, wajahnya kalem, nada bicaranya tenang dan keibuan, cenderung pendiam tapi sangat baik hati."Masa, sih?" aku berlagak lugu, mencoba tersenyum secerah mungkin kepada Vira. Aku sedang sibuk mengetik sejumlah surat di depan laptop. Sementara Vira mengumpulkan berkas-berkas yang berserakan di lantai."Kelihatan banget, kok. Ada masalah, ya? Cerita dong!""Aku baik-baik saja kok, Vira.""Iya, deh. Tapi kalau kamu mau curhat, insya Allah aku siap kok, jadi tong sampahnya.""Hehehe.... Thanks ya, Say."Vira tersenyum tulus.Tiba-tiba pandangan mataku tertuju pada seseorang di sudut ruangan. Rangga! Entah sejak kapan dia ada di situ. Tangannya sedang asyik memencet-mencet tombol keypad di ponselnya. Mungkin sedang WA-an dengan seseorang."Hai, Rangga. Udah lama di sini?" sapaku dengan ramah."Udah," sahutnya datar. Dia menatapku sejenak. Lalu tiba-tiba tubuhnya berbalik, melangkah, dan pergi dari ruangan itu.Aku mendesah, merasa miris. Kuperhatikan, sikap Rangga berubah sejak aku memutuskan untuk menunda proses ta'aruf kami. Mungkin baginya, permintaan pending sama artinya dengan menolak secara halus. Mungkin dia kecewa padaku, lalu sakit hati dan marah.Dan itu bukan sesuatu yang kusukai. Aku ingin kami akrab lagi seperti sediakala. Masih mungkinkah itu?Oh, My God! Aku merasa sangat bersalah. Kebodohanku telah menjadikan Rangga sebagai korban. Kebodohan akibat aku terlalu fokus pada sesuatu yang belum pasti (Syarif), padahal di depanku sudah tersedia hal lain yang jauh lebih pasti (Rangga).Aku merasa sangat bodoh. Tapi sekali lagi, aku justru menikmati kebodohan tersebut! * * *Suatu hari Mas Farid meneleponku. Dia adalah pendiri Gerakan Islam Lurus, yang belakangan ini sering diundang jadi pembicara di sejumlah kota di Indonesia."Ryana, Sabtu depan kamu ada acara?""Tak ada, Mas.""Kalau begitu, kamu bisa ikut rombongan ke Bandung?""Acara apa, Mas? Kok pake rombongan segala?""Teman-teman Bandung mau merintis GIL di kampus ITB, dan kita diundang untuk sosialisasi. Sekalian, saya juga dapat undangan seminar di tempat yang sama.""Wah, boleh, Mas. Insya Allah saya ikut. By the way, selain saya siapa lagi yang diajak?""Doni dan Rangga.""Ikhwan semua, ya?" aku jadi merasa kurang nyaman. Apalagi karena ada Rangga. Apalagi Rangga dan Doni adalah sahabat akrab. Pasti mereka akan asyik bercengkerama berdua, dan aku tersisih sendirian. "Saya boleh ngajak Vira, gak?""Tadi saya sudah nelpon dia. Katanya tak bisa. Ada acara keluarga. Tapi jangan khawatir. Istri dan kedua anak saya juga ikut kok. Bandung kan dekat. Kita ke sana pakai mobil saya. Sekalian liburan.""O, I see," aku merasa lega. "Boleh deh. Insya Allah, Mas."Di dalam hati aku berkata, Rangga ikut? Bisakah kami nanti tetap akrab selama di Bandung, jika sekarang saja sikapnya sudah sangat jauh berubah?* * *Seminggu kemudian, kami satu rombongan pun berangkat ke Bandung. Mas Farid duduk di depan, bersebelahan dengan sopir pribadinya yang masih muda dan agak ganteng. Namanya Mas Didin. Di tengah, aku duduk bersama Mbak Tyas - Istri Mas Farid - dan kedua anak mereka yang masih kecil dan lucu-lucu. Sementara Rangga dan Doni duduk di belakang.Sepanjang perjalanan, Rangga tak banyak bicara. Padahal biasanya dia rajin sekali mengajak ngobrol siapa saja. Apalagi jika ada Doni, sahabat akrabnya. Biasanya mereka paling rame jika sudah ketemu.Duhai, aku merasa sangat bersalah! Pasti keputusanku itulah yang membuat Rangga berubah seperti ini. Mengapa sosok Syarif yang baru kukenal itu bisa membuatku bertindak demikian bodoh?Tekadku makin kuat untuk bicara serius dengan Rangga. Tapi kapan? Akankah momen ke Bandung ini bisa kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya?(Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu
POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep
Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana. Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting. Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal. “Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.” “Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?” “Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.” “O gitu?” “Iya.” Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut. Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at
POV: SYARIF Aku benar-benar tersudut! Serba salah! Bahkan salah tingkah dan mati gaya! Semuanya berawal dari kejadian malam itu, setelah aku bertemu Dika dan pulang ke rumah. Di dalam kamar, Ryana memegang secarik kertas yang diambil dari dompetku. “Ini kertas apa? Pakai tulisan Arab, tapi bahasanya kok aneh, ya?” Dan tidak berhenti sampai di situ. Berkali-kali dia menyebut istilah tukang pelet di depanku. Memang dia tidak menuduh apapun. Tapi aku tahu, pasti dia ingin mengutarakan sesuatu. Hal yang tidak berani dia sampaikan terang-terangan. Itulah situasi yang membuatku tersudut, merasa serba salah, bahkan salah tingkah dan mati gaya! Aku sebenarnya merasa berat untuk menceritakan semua ini, Kawan! Tapi karena posisiku sudah tersudut seperti itu, baiklah. Akan kuceritakan padamu. Tapi ingat, ya. Ini hanya kuceritakan padamu saja. Tidak akan kuceritakan pada Ryana, juga orang lain yang kukenal. * * *
Sepulang dari sekretariat GIL, aku langsung pulang ke rumah, menyetir mobil sambil memikirkan Rangga. Di satu sisi aku sangat kasihan padanya. Dulu dia kecewa padaku, karena aku menikah dengan Syarif pada saat sedang proses ta’aruf denganku. Dan kini, peristiwanya bahkan jauh lebih tragis. Jika aku berada pada posisi dia, mungkin sudah depresi karena tak kuat menahan derita jiwa. Aku pun berdoa, semoga Rangga tak pernah lagi menghadapi masalah besar seperti itu dalam perjuangannya menemukan jodoh. Dan di sisi lain, entah kenapa pikiranku jadi nakal, membayangkan bahwa masih ada kesempatan bagiku untuk bersatu dengan Rangga dalam ikatan suci pernikahan. Tempat paling istimewa di hatiku yang dulu dihuni oleh Syarif, kini dia sudah terusir dari sana. Dan Rangga hadir sebagai penggantinya. Rasa kagumku padanya yang sudah hadir sejak dulu, kini sudah berubah menjadi cinta. Ya, aku memang sudah bertekad untuk minta cerai pada Syarif, karena sudah ta
POV: RANGGA Memang, pernikahanku aneh banget. Tapi sebenarnya itu bukan pernikahan. Sebab yang duduk di pelaminan hanya aku dan kedua orang tuaku. Lalu di sebelah kami, dipajang Om dan Tante sebagai tameng aja. Supaya hadirin mengira bahwa merekalah orang tua dari pengantin wanita. Ke mana pengantin wanitanya? Jangan tanya padaku, karena aku sudah gak mau mikirin itu. Bahkan pikiranku sudah kukosongkan dari masalah tersebut. Sebab kalau kupikirkan, khawatir diri ini jadi gila. Ya, pria mana yang tidak shock, hampir pingsan, ketika jadwal pernikahan tinggal 1 hari lagi, ketika undangan sudah disebar semuanya, administrasi di KUA sudah selesai, biaya gedung resepsi sudah dibayar lunas, dekorasi ruangan sudah beres, konsumsi tinggal dimakan aja, tim dokumentasi dan wedding singer beserta group band-nya sudah siap semua, tapi justru pengantin wanitanya yang tidak muncul batang hidungnya! “Maaf, kami terpaksa membatalkan pernikaha