Sungguh, Kawan! Aku sempat bingung, bahkan stres berat ketika memutar otak, berpikir dan mencari cara terbaik dan paling ampuh untuk mendapatkan cinta Ryana.
Hingga suatu hari, aku bertemu lagi dengan seorang teman lama dari dunia anak jalanan. Tak perlu kusebut namanya, karena tidak penting.
Aku bercerita padanya tentang niat dan tekad kuatku untuk mendapatkan cinta Ryana. Dan si teman ini pun menceritakan satu hal.
“Di daerah kabupaten Bogor, ada seorang ustadz yang bisa membantumu. Ilmu dari dia terbukti tokcer, banyak yang berhasil.”
“Ilmu apa? Bukan ilmu pelet, kan?”
“Ya, tentu bukan. Dia seorang ustadz, lho. Yang dia gunakan juga ayat-ayat Al Quran, kok.”
“O gitu?”
“Iya.”
Mendengar penjelasan seperti itu, maka aku pun tertarik untuk mendatangi pak ustadz tersebut.
Berdua dengan si teman, kami pun naik motor boncengan ke sana. Jaraknya lumayan jauh. Badanku sampai pegal-pegal karena kelamaan dibonceng di at
POV: SYARIF Kutinggalkan rumah Ryana dengan sangat berat hati. Kucoba merelakan bahwa dia kini bukan lagi istriku. Aku sudah kehilangannya, sebuah kehilangan yang terasa sangat menyakitkan bagiku. Tapi aku harus ikhlas menerima semuanya, karena ini terjadi akibat kesalahanku juga. Aku kini sadar bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Cinta harus terjadi dengan cara yang alamiah. Kulangkahkan kaki dengan gontai, dengan perasaan yang hancur lebur. Jika Allah menghukumku atas semua dosaku selama ini, terutama dosa syirik yang telah kuperbuat, maka aku akan mencoba pasrah saja. Aku berjanji tak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi. Aku taubat nashuha, dan berjanji akan mempelajari Islam secara lebih mendalam. Agar aku tidak sampai salah langkah lagi. Aku kembali pulang ke rumah orang tua angkatku, dan mencoba untuk memulai lagi hidup baru di sana. Sekitar lima hari setelah aku pulang ke rumah tersebut, secara tak terduga mas Farid menelep
(Lanjutan orasi Farid) “Saudara-saudaraku seiman yang sangat kucintai karena Allah, Kita punya tugas mulia di gerakan dakwah ini. Kita hendak mengajak seluruh umat Islam untuk beragama secara lurus, tidak mudah terpengaruh oleh aliran sesat yang semakin gencar dikampanyekan oleh para musuh Islam. Kita tak boleh lengah, karena musuh-musuh Islam tak pernah tidur dan terus bekerja untuk menghancurkan aqidah kita. Jika kita mudah terpecah-belah hanya karena mengetahui aib masa lalu salah seorang saudara seperjuangan kita, bagaimana mungkin kita bisa sukses dalam perjuangan mulia di jalan dakwah? Justru para musuh akan semakin mudah memecah-belah dan menghancurkan kita. Justru cobaan seperti yang sedang kita hadapi ini, mari hadapi dengan penuh bijaksana. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid, tetap bersatu dalam satu ukhuwah yang erat, tidak terpengaruh oleh fitnah keji yang sedang menghantam Gerakan Islam Lurus. Kita tak perlu
POV: RYANA"Kamu ini cantik, Ryana," ujar Dian sahabatku. "Banyak pria yang antri melamar kamu. Tapi kenapa sampai sekarang kamu belum menetapkan pilihan?""Belum ada yang sesuai kriteria, Say.""Kriteria kamu terlalu banyak, sih.""Memang harus seperti itu, kan?"Ya. menurutku harus seperti itu. Kriteria itu sangat penting agar kita mendapatkan jodoh terbaik sebagai pendamping hidup. Jodoh bukan urusan main-main, bukan? Aku tak mau jika kelak menyesal karena memilih orang yang salah sebagai suamiku."Emang kriteria kamu seperti apa?" tanya Dian lagi.“Well, dia harus cerdas, minimal lulusan S1 juga seperti aku, sudah mapan dari segi finansial, taat beribadah, hafal Al Quran minimal lima juz, punya jiwa pemimpin, usia minimal tiga tahun lebih tua dari aku.”“Dan harus ganteng seperti Reza Rahadian, aktor idola kamu itu?”“It's not important. Yang penting orangnya baik.”“Berarti kalo mukanya ancur, boleh dong?”"Hihihi.. enggak jugalah. At least enak dipandang."“Yeee...itu sih sama a
Perkenalkan namaku Ryana, usia 26 tahun, anak sulung dari tiga bersaudara, lahir dan besar di Jakarta. Saat ini, aku bekerja sebagai staf marketing di sebuah penerbitan buku.Aku menganggap bahwa jodoh merupakan hal yang sangat rumit, penuh rumus, penuh kriteria yang harus dipenuhi. Jika bertemu seorang pria yang melamarmu, kau harus teliti dulu, apakah dia cocok atau tidak dengan kriteria yang kau tetapkan.Selama bertahun-tahun prinsip ini kupegang dengan sangat teguh. Aku sangat memercayainya.Namun ternyata, semua hal di dunia ini bisa berubah drastis. Pertemuan dengan seorang pria di suatu hari yang cerah telah menjungkirbalikkan semua prinsip dan pandangan hidupku mengenai kriteria jodoh.Kisahnya berawal saat Mbak Sinta - guru ngajiku - menyuruhku tidak pulang dulu setelah kami mengikuti pengajian di rumahnya, di suatu Sabtu siang yang cerah."Ada yang hendak saya sampaikan," ujar Mbak Sinta sambil membereskan meja yang penuh oleh piring, gelas, makanan dan minuman."Apa itu, M
‘Ryana, kamu sudah shalat istikharah?’Pesan WhatsApp dari Mbak Sinta mengagetkanku, di suatu siang yang cerah.Ya Allah, kok lupa begini? Kemarin aku sudah niat untuk minta petunjuk pada Allah; apakah bersedia ta'aruf dengan Rangga atau tidak.Jawaban apa yang harus kuberikan pada Mbak Sinta? Aku tak mau berbohong dengan menjawab "sudah". Aku benar-benar lupa shalat istikharah!Kucoba merenung sejenak. Kupikirkan dan kupelajari sosok Rangga dengan cermat.Sejujurnya aku selama ini jatuh simpati padanya. Orangnya sangat baik, rajin beribadah, hafalan Al Qurannya sudah lebih dari lima juz. Rangga memiliki wajah bulat, tidak terlalu ganteng. Hobinya fotografi.Rangga juga lumayan cerdas, lulusan S1, sudah mapan dari segi finansial, bahkan keluarganya pun kaya. Ayahnya seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Tapi dia kurang bagus dalam hal memimpin, dan usianya lebih muda dua bulan dari aku.Ada dua kriteriaku yang tidak ada pada Rangga. Tapi di sisi lain, ada rasa simpati yang cukup bes
Suatu malam, sudah kuniatkan untuk shalat istikharah. Tapi entah kenapa, aku lupa dan ketiduran.Esoknya, aku buru-buru ke kantor karena ada rapat penting di pagi hari. Seusai rapat, Mbak Dewi - atasanku - memanggilku ke ruangannya."Ada tugas untuk kamu," ujarnya dengan nada penuh wibawa."Tugas apa, Mbak?""Ada tawaran kerjasama sponsorship dari sebuah komunitas anak muda di Jakarta Utara. Namanya Komunitas Nuansa. Mereka membuat acara santunan di panti asuhan. Kita akan menyumbang buku. Kamu siapkan semuanya, ya. List bukunya sudah ada pada Dian.""Insya Allah, Mbak. Siap! Acaranya kapan, ya?""Besok.""Okay.""Oh, ya. Besok kamu juga harus datang ke acara mereka. Nanti harus ada laporan tertulis yang dilengkapi dokumentasi foto dan video.""Okay."Maka di hari yang ditentukan, aku datang ke lokasi acara santunan anak yatim piatu yang diselenggarakan oleh komunitas anak muda tersebut. Panti asuhan yang menjadi lokasi kegiatan mereka, tempatnya agak jauh dan terpencil. Untung ada Ma
Kutaksir usia pemuda ini sekitar 21 atau 23 tahun. Masih lebih muda dariku. Penampilannya terlihat keren dengan kemeja kotak-kotak warna hitam yang semua kancingnya dibiarkan terbuka. Dan di bagian dalam dia mengenakan kaos warna krem yang sangat serasi dengan tubuh atletis dan kulitnya yang berwarna sawo matang.Badannya tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu pendek. Bentuk wajahnya lonjong, rambutnya pendek namun tidak cepak. Secara umum penampilannya terlihat sangat casual, sederhana namun trendi. Khas anak muda sekali.Sebuah name tag yang dikalungkan di lehernya membuatku yakin bahwa dia salah seorang panitia. Sayangnya, name tag itu dalam posisi terbalik sehingga aku tidak bisa melihat namanya."Eh... sorry," aku gugup, merasa malu karena si pemuda ganteng tersebut melihat diriku untuk pertama kalinya dalam posisi tubuh yang memalukan seperti itu. Dengan cepat aku segera bangkit, duduk di jok mobil, berusaha menenangkan diri dan tersenyum ke arahnya. "HP saya hilang.""H
Kami tadi memang sempat ngobrol, tapi tidaklah lama. Tak banyak yang bisa kuketahui dari dirinya melalui obrolan yang sangat singkat.Dan HPku yang "hilang" ternyata membawa keberuntungan tersendiri. Tadi Syarif sempat menawarkan diri untuk menghubungi nomorku pakai HP dia. Alhamdulillah, tersambung. Yang menerima adalah Dian."Halo, ini HP Ryana. Tertinggal di kantor. Orangnya sedang ada acara di luar. Saya temannya, Dian. Ada yang bisa dibantu?""AIhamdulillah, ternyata tidak hilang." aku menatap Syarif sambil tersenyum bahagia, merasa amat bersyukur.Lebih bersyukur lagi karena secara tidak langsung bantuan Syarif membuatku berhasil mendapatkan nomor HPnya, tanpa harus kupinta.Sesampai di kantor, segera kucek fitur received call di HP. Nomor Syarif kusimpan rapi di phonebook. Ada godaan untuk menghubungi dia, sekadar mengucapkan apa kabar. Tapi rasa malu dan gengsi menguasai diriku. Hm... rasanya kok tidak pantas. Seperti perempuan murahan saja.Lagipula aku kan belum tahu, apakah