Share

Sahabat Terbaik

“Terima kasih, Lucy.”

Rhea memegang pergelangan tangan Lucy dengan mengucapkan terima kasih. Rasanya ia tak tahu lagi bagaimana caranya berterima kasih atas semua yang telah Lucy lakukan selama ini. Sudah hampir tiga minggu pasca hari menyakitkan dalam hidupnya dan selama itu pula Lucy tak pernah berhenti menemaninya, memberinya semangat juga mengurusnya layaknya saudara. 

Saat ini mereka tengah berada di kamar Rhea dengan Lucy yang menyuapi Rhea. Lucy duduk di kursi di sisi ranjang sementara Rhea setengah duduk di ranjang. Seiring berjalannya waktu, perlahan Rhea mulai menerima dan mengikhlaskan apa yang telah terjadi meski tak dapat dipungkiri bahwa ia merasakan kekecewaan yang teramat besar pada Rylan. Sekarang ia sudah mau makan dengan teratur meski harus dengan bujukan Lucy.

Lucy menggenggam tangan Rhea dan mengatakan, “Bagaimanapun juga kau adalah sahabatku. Aku tak ingin melihatmu terus terpuruk. Aku yakin kau akan menemukan kebahagiaan lebih nanti. Aku masih di sini, Rhe, dan akan terus mendukungmu.”

Rhea menatap Lucy dengan sorot matanya yang teduh dan tampak berkaca-kaca. Rasanya ia sangat bersyukur memiliki Lucy sebagai sahabatnya. 

“Sudah, sekarang ayo habiskan makananmu,” tutur Lucy yang kembali menyuapkan sesendok bubur untuk Rhea. 

Rhea mengangguk dan membuka mulutnya di mana setetes air mata terlihat lolos melewati ujung matanya. 

“Eh? Rhe, kenapa kau menangis?” tanya Lucy dengan ibu jari yang menyeka air mata Rhea.

Rhea tersenyum dan mengusap air matanya. “Tidak ada. Aku hanya terharu dan senang bisa memiliki sahabat sepertimu,” jawabnya dengan mulut masih terisi makanan. 

“Hah… sudahlah, Rhe. Anggap saja ini kewajibanku sebagai asisten sekaligus sahabatmu. Sudah, jangan kau pikirkan bahkan sampai menangis, nanti matamu seperti biji kacang kenari,” sahut Lucy disertai tawa kecil. Ia senang setidaknya sudah bisa melihat Rhea tertawa. Selama ini Rhea sudah seperti mayat hidup yang terus menangis dan meratapi nasibnya, tapi untung saja perlahan Rhea bisa kembali seperti semula walau belum sepenuhnya.

Rhea kembali tertawa kecil kemudian melebarkan kedua tangannya. “Beri aku sebuah pelukan,” pintanya seperti anak-anak.

Lucy menggeleng lemah disertai helaan nafas lelah. “Hah… Baiklah, apa boleh buat,” ucapnya yang kemudian masuk dalam pelukan Rhea. Keduanya berpelukan selama beberapa saat di mana Rhea seolah tak mau melepas pelukannya. Bahkan Rhea semakin menguatkan pelukan membuat Lucy mengaduh sakit.

“Ssh, Rhe, bisa-bisa kau membuat tulang rusukku patah,” kata Lucy yang membuat Rhea segera melepas pelukan.

Rhea hanya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan tertawa ringan seraya meminta maaf.

“Jadi, apa yang akan kau lakukan setelah ini?” tanya Lucy dengan memijit lengan atasnya yang menjadi korban pelukan kuat Rhea.

Rhea memejamkan mata sejenak, menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian menjawab, “Apalagi? Memikirkannya saja rasanya sudah berat. Bahkan rasanya aku tak bisa berpikir apa yang akan aku lakukan setelah ini. Bukan karena semua orang mungkin membenciku, tapi menjalani hidupku tanpa Rylan. Itu… rasanya mustahil.” Di mana ia tertunduk mengingat banyak kenangan yang telah ia lewati bersama Rylan. 

Raut wajah Lucy menjadi sendu, digenggamnya tangan Rhea dan mengatakan, “Aku yakin kau bisa menemukan laki-laki lebih baik darinya. Percayalah. Kau wanita yang baik dan aku yakin kau juga akan mendapat laki-laki yang baik. Ah, tidak, kau memang harus mendapat laki-laki yang terbaik.”

Rhea tersenyum kecut dengan kepala masih tertunduk. “Kenapa ucapanmu seakan dia yang bersalah dan menyakiti aku?” Kemudian menegakkan kepala menatap Lucy dan kembali bertanya. “Menurutmu siapa yang bersalah, Lucy? Aku? Rylan, atau laki-laki itu? Laki-laki yang bahkan aku tidak tahu.” Bibir Rhea terlihat bergetar dengan suara yang juga terdengar parau saat kembali membuka suara. “Andai saja waktu itu aku tidak minum mungkin semuanya tidak akan jadi seperti ini. Ah, bukan, andai saja aku tak selemah itu dan bisa minum, pasti semua tak akan terjadi. Semua karena kebodohanku yang tak bisa mengingat semuanya dengan jelas. Yang kuingat Rylan membawaku ke kamar yang telah ia siapkan untuk kami, tapi… kenapa saat terbangun aku justru seranjang dengan pria lain? Terlebih pria itu mengatakan aku yang sengaja naik ke atas ranjangnya. Tapi sungguh, sungguh, Lucy, aku sama sekali tak ingat jika aku benar-benar melakukannya.” Rhea menatap kedua tangannya yang terlihat bergetar teringat malam itu kemudian tangannya terangkat menutupi wajah saat ingatan samar ketika pria itu menjamah tubuhnya terlintas. “Rasanya sangat keterlaluan jika aku menyalahkan Rylan atau membencinya, faktanya semua memang salahku. Meski ia menceraikanku di saat itu juga sekalipun, aku tetap tak bisa membencinya karena bagaimanapun itu bukan salahnya. Jika aku di posisinya mungkin aku juga akan melakukan hal serupa,” ucapnya tanpa menurunkan kedua tangannya yang menutupi wajah. 

“Rhea….” Lucy tak tahu apa yang harus dikatakannya sekarang. Ia hanya bisa menatap Rhea iba. 

Rhea menurunkan kedua tangan dari wajah di mana perlahan terkepal saat berada di atas pangkuan. “Tapi… aku tak mengerti kenapa Rylan tega berbicara seperti itu di depan semua orang. Aku tahu dia kecewa, tapi haruskah mengatakannya di depan media dan membuat semua orang membenciku? Bahkan semua umpatan kasar mereka seakan mereka benar-benar muak padaku.”

Lucy bangkit dari duduknya dan duduk di tepi ranjang kemudian menangkup wajah Rhea. “Rhe, kau tahu itu artinya apa? Artinya kau memang harus melupakannya. Aku tidak berani mengatakan bahwa Rylan bukanlah pria yang baik untukmu, tapi aku yakin mungkin ini cara Tuhan menyampaikan padamu bahwa kalian mungkin tidak ditakdirkan bersama.”

Rhea terdiam mencerna ucapan Lucy sampai akhirnya bibirnya mengukirkan kurva lengkungan. “Jika itu benar, bolehkah aku meminta dengan cara lain?”

Sebelah alis Lucy terlihat meninggi. “Maksudmu dengan dia yang selingkuh darimu? Ah, tidak-tidak, kau tahu kenapa? Karena Tuhan tahu kau lebih tak sanggup untuk itu. Karena bahkan aku sendiri tahu seperti apa kau mencintainya.”

Senyum Rhea kembali tersungging di bibir di mana ia berbalik menangkup wajah Lucy. “Apapun itu setidaknya aku masih bersyukur Tuhan telah memberikan teman sebaik dirimu. Berkatmu aku bisa melewati semua ini. Terima kasih, terima kasih.” Setelah mengatakan itu Rhea menarik Lucy ke dalam pelukan. 

“Ish, Rhe, kau membuatku takut jika terus memelukku. Kau tidak berubah haluan, kan? Aku ini masih normal, lo. Masih suka pria tampan dan kaya juga memiliki aset besar,” canda Lucy di tengah pelukan. 

Mendengarnya Rhea segera melepas pelukan, menatap Lucy dengan dahi terlihat berkerut kemudian tawa mereka pun merekah. Kamar yang sejak kemarin terasa hening dan suram itu pun perlahan mulai bersinar dan penuh canda tawa. Meski sakit hati Rhea masih melekat, setidaknya tawa kecilnya sudah mampu mengurangi beban yang begitu berat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status