Share

Bab 6 Bos Angkuh

"Dewi?!" Mata Kanaya membola.

Dibukanya dengan cepat riwayat pesan dari nama tersebut.

[Terima kasih] - Dewi O.G

Hanya sebaris kata itu saja. Bahkan Elang sama sekali tak membalas.

"Terima kasih atas apa ya?" gumamnya.

Kanaya melanjutkan untuk menjelajahi riwayat chat lainnya. Sama sekali tak ada jejak yang mencurigakan. Kini ia beralih ke riwayat panggilan, tetapi tak ada pula yang mencuri atensinya. Pun dengan isian galeri, hanya foto dirinya beserta anak-anak yang bertebaran.

Rasa penasaran Kanaya masih belum berkurang. Ia memeriksa daftar kontak segera. Jarinya lincah scroll deretan nama sampai akhirnya tiba di huruf D.

"Danu, Dede, Deni, Desi, De--," katanya yang mengabsen daftar kontak dari huruf D berhenti.

Mata Kanaya melebar dengan sebelah tangan memegang dada, rasa deg degan semakin menyesakan. Lantaran ada kontak nama Dewi lagi di ponsel suaminya. Entah Dewi siapa? Entah Dewi yang mana?

"Dewi A, Dewi Kusuma, Dewi L, Dewi Sandra, dan Dewi O.G."

Setelah menyebut satu-satu nama Dewi, Kanaya putuskan untuk mengirimkan semua kontak tersebut ke ponselnya. Sebenarnya ia juga bisa menyadap W* sang suami seperti yang dilakukan istri di novel onlen yang sudah dibacanya tamat. Akan tetapi itu bukanlah pilihan seorang Kanaya.

Setelah dirasa cukup mengobrak-abrik ponsel Elang, ia segera menjauh dari kamar untuk menghubungi seseorang.

"Hallo, Bu. Apa yang saya harus lakukan dengan ke-lima wanita tersebut?" tanya seseorang dengan suara bariton di sambungan telpon, sesaat Kanaya mengirimkan 5 kontak wanita tersebut.

"Kamu cukup selediki sedetail mungkin dan apa hubungannya dengan suami saya?"

"Siap laksanakan," lantangnya.

**

Pagi-pagi sekali Elang sudah siap dan rapi lantaran akan pergi ke Bandung untuk memeriksa kantor cabang. Biasanya Kanaya akan melepas dengan pelukan hangat dan senyum termanisnya. Namun kali ini, wajahnya ditekuk dengan bibir mengerucut.

"Ay, aku cuma sebentar kok. Jangan gitu dong mukanya!" protes Elang gemas.

"Kenapa sih, Bos kamu Tidak suruh yang lain saja? Kamu itu kan seorang direktur keuangan. Masa disuruh-suruh?"

"Justru karena aku direktur keuangan, makanya disuruh. Soalnya kantor yang di Bandung bermasalah dengan keuangan."

"Iya, tapi sampai kapan? Kalau dipikir-pikir tidak masuk akal."

"Ay, kamu kenapa sih, berubah akhir-akhir ini? Jangan bilang gara-gara nama Dewi itu. Oh astaga! Ay, harus berapa kali kujelaskan? Kamulah dewiku."

"Ya-ya-ya. Sana berangkat!"

"Kayak yang ngusir. Sun dulu dong."

Elang mendaratkan kecupan singkat di bibir istrinya. Kemudian satu pelukan hangat sebagai tanda pamitnya. Ia gegas membuka pintu mobil karena Mang Dirman sudah menunggu sedari tadi.

Sebenarnya Mang Dirman pun sempat diintrogasi Kanaya. Namun sopir pribadinya itu mengaku sama sekali tidak tahu apa-apa. Ia menuturkan kalau Elang selama di Bandung hanya mendatangi kantor cabang dan tidak pernah macam-macam.

"Eh tunggu!" seru Kanaya.

"Ada apa Ay?"

"Aku hampir lupa. Aku mau titip untuk Kamila."

Kanaya gegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil sebuah paperbag yang berisi sebuah tas bermerek pesanan adiknya, Kamila.

"Apa lagi? Masa tiap ke Bandung harus bawa sesuatu buat adikmu?" protes Elang setelah istrinya kembali lagi dan mengulurkan sebuah paperbag.

"Jangan gitu, Mas! Walau bagaimanapun dia itu adikku satu-satunya."

"Kamu jangan terlalu memanjakannya! Dia sendiri tidak pernah menitipkan apa-apa buat kamu."

"Aku tidak mengharapkannya, Mas."

"Ya harusnya dia inisiatif dong, jangan maunya minta mulu. Lagian dia juga kan punya suami. Kenapa tiap kali menginginkan sesuatu harus minta sama kamu?" cecar Elang.

"Udah, Mas! Aku tidak mau debat soal itu lagi. Cepetan! Mau pergi apa enggak?"

"Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati," pesan Kanaya.

Roda empat milik Elang pun melaju menuju kota kembang.

Ini bukan untuk yang pertama kalinya, Elang mengungkapkan keberatan jika dititipkan sesuatu untuk adik iparnya. Kamila memang sudah menikah, tetapi kehidupannya tidak bisa terbilang mewah. Sebab ia menikah dengan lelaki dari kalangan biasa saja. Awalnya orang tua jelas tidak merestui sampai ia terus memaksa dan mengancam akan bunuh diri.

Bukan hanya itu karena sudah terbiasa dimanja dan diikuti segala kemauannya sedari kecil oleh orang tua, Kamila tumbuh menjadi anak yang keras kepala dan egois. Sebenarnya Kanaya juga sudah bosan meladeni segala permintaan adiknya yang selalu seenak jidat itu, tapi mau bagaimana lagi kalau tidak dituruti urusan akan panjang dan jadi masalah.

Kanaya dan Kamila lahir dari beda ibu. Ibu Kanaya meninggal setelah melahirkannya. Sang Ayah yang tidak bisa menduda lama kembali menikahi seorang gadis anak dari koleganya. Kemudian lahirlah Kamila dari hasil pernikahan tersebut.

Ibu tiri Kanaya cukup baik dalam menjalani perannya sebagai ibu sambung. Terkecuali jika sesuatu yang berkaitan dengan Kamila. Kanaya dibiasakan untuk mengalah dari adiknya dalam hal apa pun. Terbentuklah pribadinya yang patuh dan pengalah.

**

Sementara Elang masih di Bandung Kanaya memutuskan untuk mengunjungi mertuanya. Hubungan dia dengan orang tua Elang terbilang cukup baik.

"Eh Sayang, apa kabar?" sapa Rosa, ibunya Elang.

"Baik Mih," jawab Kanaya seraya mencium takjub tangan Rosa yang sudah keriput. Kemudian beralih ke tangan Sanjaya, ayahnya Elang.

"Sayang, sering-seringlah kunjungi kami yang sudah renta ini. Mungkin umur kami sudah tak lama lagi," timpal Sanjaya.

"Pih, jangan begitu. Papi sama Mami pasti panjang umurnya."

"Semoga saja. Tapi kami tidak mau serakah dengan umur. Hidup kami sudah cukup bahagia. Melihat anak-cucu yang selalu baik-baik saja. Elang tidak pernah macam-macam kan?" Pertanyaan Rosa membuat ia terhentak.

Kok, mami bertanya seperti itu? Apa beliau tahu sesuatu atau hanya firasat sebagai seorang ibu saja? Batin Kanaya.

"Mih, sebenarnya Naya ke sini mau minta bantuan."

"Bantuan apa, Sayang?"

"Bisa pertemukan Naya dengan Big bos?"

"Hah, untuk apa Naya?" tanya Sanjaya.

Bigbos yang dimaksud adalah direktur utama perusahaan tempat Elang bekerja. Setahu Kanaya, papi mertuanya itu sangat mengenal dekat si Bigbos.

"Ada perlu penting, Pih. Tolong dong," rengeknya.

"Hmm, masalahnya sekarang Big bos sudah tidak aktif lagi di Perusahaan karena faktor umur."

"Lha, lantas yang menggantikannya siapa?"

"Memangnya kamu tidak tahu?"

Kanaya menggeleng sebagai jawaban. Pasalnya Elang memang tidak pernah cerita.

"Itu sahabat suamimu." Rosa menyahut.

"Bima Anggara?"

"Iya. Siapa lagi."

Semua orang sudah hapal kalau Elang dan Bima sudah bersahabat sejak lama. Meski persahabatan mereka diawali dengan dasar sesama kolega juga.

"Oh, kalau begitu Naya pamit dulu, ya!"

"Lho, baru saja datang sudah mau pergi lagi," protes Rosa.

"Maaf, Mih. Besok-besok Naya pasti ke sini lagi."

Setelah pamit dan meninggalkan kediaman Sanjaya, Kanaya langsung menuju perusahaan dimana Big bos berada.

"Maaf, Bu. Untuk bertemu Pak Bima harus membuat janji terlebih dahulu," ujar sekretarisnya.

"Tolong sampaikan saja kepada Pak Bima kalau saya ada perlu sebentar saja," kukuh Kanaya.

"Iya nanti saya sampaikan. Sekarang Pak Bima benar-benar sangat sibuk."

"Tolong Mbak, sampaikan sekarang saja. Please Mbak." Kanaya tidak mau beranjak sebelum Si Sekretaris memberi tahu bosnya.

"Saya tidak berani, Bu. Takut kena semprot nanti. Pak Bima sedang banyak sibuk," ulangnya.

Ya ampun, susahnya untuk bertemu bigbos. Padahal cuma Bentara doang. Apa aku terobos saja? Kata hati Kanaya.

Tanpa ba-bi-bu, Kanaya langsung menyeret kakinya menuju pintu ruangan Bima.

"Bu, tolong berhenti. Jangan lakukan itu," teriak sekretaris panik seraya mengejar.

"Sebentar saja, Mbak. Tidak akan sampai 5 menit, kok. Lagian Pak Bima itu sahabat suami saya," ketus Kanaya. Ia sudah tidak bisa bicara lemah lembut lagi.

Ternyata kegaduhan tersebut sampai terdengar ke dalam ruangan Bima.

"Ada apa ini?" Tiba-tiba suara bariton muncul membuka pintu dengan raut datar dan angkuh. Tatapan matanya yang tajam mampu mengintimidasi lawan.

"Maaf, Pak. Ini istrinya Pak Elang memaksa masuk. Padahal sudah saya sampaikan sesuai instruksi Bapak," adu sekretaris ketakutan.

"Kamu sudah gagal menjalankan perintah. Silahkan pindah bagian," ucap Bima masih dengan datar, tetapi lantang.

"Ma-maksud Bapak, saya diberhentikan sebagai sekretaris?" tanyanya gugup tak percaya.

"Ya, itu lebih bagus. Daripada kamu dipecat," ujarnya tanpa pengampunan.

Sontak ucapan lelaki yang menjabat direktur utama tersebut membuat kedua bola mata Kanaya, pun si Sekretaris membulat sempurna.

***

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa like & komen agar othor semangat up babnya.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Gladys Pangalila
sifat naya sangat tdk bagus, ga ada sopan2 nya 🫣🫣
goodnovel comment avatar
Ana Widarti
semangat terus thor
goodnovel comment avatar
Ratni
bos yang arogant
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status