"Dewi?!" Mata Kanaya membola.
Dibukanya dengan cepat riwayat pesan dari nama tersebut.[Terima kasih] - Dewi O.GHanya sebaris kata itu saja. Bahkan Elang sama sekali tak membalas."Terima kasih atas apa ya?" gumamnya.Kanaya melanjutkan untuk menjelajahi riwayat chat lainnya. Sama sekali tak ada jejak yang mencurigakan. Kini ia beralih ke riwayat panggilan, tetapi tak ada pula yang mencuri atensinya. Pun dengan isian galeri, hanya foto dirinya beserta anak-anak yang bertebaran.Rasa penasaran Kanaya masih belum berkurang. Ia memeriksa daftar kontak segera. Jarinya lincah scroll deretan nama sampai akhirnya tiba di huruf D."Danu, Dede, Deni, Desi, De--," katanya yang mengabsen daftar kontak dari huruf D berhenti.Mata Kanaya melebar dengan sebelah tangan memegang dada, rasa deg degan semakin menyesakan. Lantaran ada kontak nama Dewi lagi di ponsel suaminya. Entah Dewi siapa? Entah Dewi yang mana?"Dewi A, Dewi Kusuma, Dewi L, Dewi Sandra, dan Dewi O.G."Setelah menyebut satu-satu nama Dewi, Kanaya putuskan untuk mengirimkan semua kontak tersebut ke ponselnya. Sebenarnya ia juga bisa menyadap W* sang suami seperti yang dilakukan istri di novel onlen yang sudah dibacanya tamat. Akan tetapi itu bukanlah pilihan seorang Kanaya.Setelah dirasa cukup mengobrak-abrik ponsel Elang, ia segera menjauh dari kamar untuk menghubungi seseorang."Hallo, Bu. Apa yang saya harus lakukan dengan ke-lima wanita tersebut?" tanya seseorang dengan suara bariton di sambungan telpon, sesaat Kanaya mengirimkan 5 kontak wanita tersebut."Kamu cukup selediki sedetail mungkin dan apa hubungannya dengan suami saya?""Siap laksanakan," lantangnya.**Pagi-pagi sekali Elang sudah siap dan rapi lantaran akan pergi ke Bandung untuk memeriksa kantor cabang. Biasanya Kanaya akan melepas dengan pelukan hangat dan senyum termanisnya. Namun kali ini, wajahnya ditekuk dengan bibir mengerucut."Ay, aku cuma sebentar kok. Jangan gitu dong mukanya!" protes Elang gemas."Kenapa sih, Bos kamu Tidak suruh yang lain saja? Kamu itu kan seorang direktur keuangan. Masa disuruh-suruh?""Justru karena aku direktur keuangan, makanya disuruh. Soalnya kantor yang di Bandung bermasalah dengan keuangan.""Iya, tapi sampai kapan? Kalau dipikir-pikir tidak masuk akal.""Ay, kamu kenapa sih, berubah akhir-akhir ini? Jangan bilang gara-gara nama Dewi itu. Oh astaga! Ay, harus berapa kali kujelaskan? Kamulah dewiku.""Ya-ya-ya. Sana berangkat!""Kayak yang ngusir. Sun dulu dong."Elang mendaratkan kecupan singkat di bibir istrinya. Kemudian satu pelukan hangat sebagai tanda pamitnya. Ia gegas membuka pintu mobil karena Mang Dirman sudah menunggu sedari tadi.Sebenarnya Mang Dirman pun sempat diintrogasi Kanaya. Namun sopir pribadinya itu mengaku sama sekali tidak tahu apa-apa. Ia menuturkan kalau Elang selama di Bandung hanya mendatangi kantor cabang dan tidak pernah macam-macam."Eh tunggu!" seru Kanaya."Ada apa Ay?""Aku hampir lupa. Aku mau titip untuk Kamila."Kanaya gegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil sebuah paperbag yang berisi sebuah tas bermerek pesanan adiknya, Kamila."Apa lagi? Masa tiap ke Bandung harus bawa sesuatu buat adikmu?" protes Elang setelah istrinya kembali lagi dan mengulurkan sebuah paperbag."Jangan gitu, Mas! Walau bagaimanapun dia itu adikku satu-satunya.""Kamu jangan terlalu memanjakannya! Dia sendiri tidak pernah menitipkan apa-apa buat kamu.""Aku tidak mengharapkannya, Mas.""Ya harusnya dia inisiatif dong, jangan maunya minta mulu. Lagian dia juga kan punya suami. Kenapa tiap kali menginginkan sesuatu harus minta sama kamu?" cecar Elang."Udah, Mas! Aku tidak mau debat soal itu lagi. Cepetan! Mau pergi apa enggak?""Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Hati-hati," pesan Kanaya.Roda empat milik Elang pun melaju menuju kota kembang.Ini bukan untuk yang pertama kalinya, Elang mengungkapkan keberatan jika dititipkan sesuatu untuk adik iparnya. Kamila memang sudah menikah, tetapi kehidupannya tidak bisa terbilang mewah. Sebab ia menikah dengan lelaki dari kalangan biasa saja. Awalnya orang tua jelas tidak merestui sampai ia terus memaksa dan mengancam akan bunuh diri.Bukan hanya itu karena sudah terbiasa dimanja dan diikuti segala kemauannya sedari kecil oleh orang tua, Kamila tumbuh menjadi anak yang keras kepala dan egois. Sebenarnya Kanaya juga sudah bosan meladeni segala permintaan adiknya yang selalu seenak jidat itu, tapi mau bagaimana lagi kalau tidak dituruti urusan akan panjang dan jadi masalah.Kanaya dan Kamila lahir dari beda ibu. Ibu Kanaya meninggal setelah melahirkannya. Sang Ayah yang tidak bisa menduda lama kembali menikahi seorang gadis anak dari koleganya. Kemudian lahirlah Kamila dari hasil pernikahan tersebut.Ibu tiri Kanaya cukup baik dalam menjalani perannya sebagai ibu sambung. Terkecuali jika sesuatu yang berkaitan dengan Kamila. Kanaya dibiasakan untuk mengalah dari adiknya dalam hal apa pun. Terbentuklah pribadinya yang patuh dan pengalah. **Sementara Elang masih di Bandung Kanaya memutuskan untuk mengunjungi mertuanya. Hubungan dia dengan orang tua Elang terbilang cukup baik."Eh Sayang, apa kabar?" sapa Rosa, ibunya Elang."Baik Mih," jawab Kanaya seraya mencium takjub tangan Rosa yang sudah keriput. Kemudian beralih ke tangan Sanjaya, ayahnya Elang."Sayang, sering-seringlah kunjungi kami yang sudah renta ini. Mungkin umur kami sudah tak lama lagi," timpal Sanjaya."Pih, jangan begitu. Papi sama Mami pasti panjang umurnya.""Semoga saja. Tapi kami tidak mau serakah dengan umur. Hidup kami sudah cukup bahagia. Melihat anak-cucu yang selalu baik-baik saja. Elang tidak pernah macam-macam kan?" Pertanyaan Rosa membuat ia terhentak.Kok, mami bertanya seperti itu? Apa beliau tahu sesuatu atau hanya firasat sebagai seorang ibu saja? Batin Kanaya."Mih, sebenarnya Naya ke sini mau minta bantuan.""Bantuan apa, Sayang?""Bisa pertemukan Naya dengan Big bos?""Hah, untuk apa Naya?" tanya Sanjaya.Bigbos yang dimaksud adalah direktur utama perusahaan tempat Elang bekerja. Setahu Kanaya, papi mertuanya itu sangat mengenal dekat si Bigbos."Ada perlu penting, Pih. Tolong dong," rengeknya."Hmm, masalahnya sekarang Big bos sudah tidak aktif lagi di Perusahaan karena faktor umur.""Lha, lantas yang menggantikannya siapa?""Memangnya kamu tidak tahu?"Kanaya menggeleng sebagai jawaban. Pasalnya Elang memang tidak pernah cerita."Itu sahabat suamimu." Rosa menyahut."Bima Anggara?""Iya. Siapa lagi."Semua orang sudah hapal kalau Elang dan Bima sudah bersahabat sejak lama. Meski persahabatan mereka diawali dengan dasar sesama kolega juga."Oh, kalau begitu Naya pamit dulu, ya!""Lho, baru saja datang sudah mau pergi lagi," protes Rosa."Maaf, Mih. Besok-besok Naya pasti ke sini lagi."Setelah pamit dan meninggalkan kediaman Sanjaya, Kanaya langsung menuju perusahaan dimana Big bos berada."Maaf, Bu. Untuk bertemu Pak Bima harus membuat janji terlebih dahulu," ujar sekretarisnya."Tolong sampaikan saja kepada Pak Bima kalau saya ada perlu sebentar saja," kukuh Kanaya."Iya nanti saya sampaikan. Sekarang Pak Bima benar-benar sangat sibuk.""Tolong Mbak, sampaikan sekarang saja. Please Mbak." Kanaya tidak mau beranjak sebelum Si Sekretaris memberi tahu bosnya."Saya tidak berani, Bu. Takut kena semprot nanti. Pak Bima sedang banyak sibuk," ulangnya.Ya ampun, susahnya untuk bertemu bigbos. Padahal cuma Bentara doang. Apa aku terobos saja? Kata hati Kanaya.Tanpa ba-bi-bu, Kanaya langsung menyeret kakinya menuju pintu ruangan Bima."Bu, tolong berhenti. Jangan lakukan itu," teriak sekretaris panik seraya mengejar."Sebentar saja, Mbak. Tidak akan sampai 5 menit, kok. Lagian Pak Bima itu sahabat suami saya," ketus Kanaya. Ia sudah tidak bisa bicara lemah lembut lagi.Ternyata kegaduhan tersebut sampai terdengar ke dalam ruangan Bima."Ada apa ini?" Tiba-tiba suara bariton muncul membuka pintu dengan raut datar dan angkuh. Tatapan matanya yang tajam mampu mengintimidasi lawan."Maaf, Pak. Ini istrinya Pak Elang memaksa masuk. Padahal sudah saya sampaikan sesuai instruksi Bapak," adu sekretaris ketakutan."Kamu sudah gagal menjalankan perintah. Silahkan pindah bagian," ucap Bima masih dengan datar, tetapi lantang."Ma-maksud Bapak, saya diberhentikan sebagai sekretaris?" tanyanya gugup tak percaya."Ya, itu lebih bagus. Daripada kamu dipecat," ujarnya tanpa pengampunan.Sontak ucapan lelaki yang menjabat direktur utama tersebut membuat kedua bola mata Kanaya, pun si Sekretaris membulat sempurna.***Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa like & komen agar othor semangat up babnya.Selamat membaca 🥰Sontak ucapan lelaki yang menjabat direktur utama tersebut membuat kedua bola mata Kanaya, pun si sekretaris membulat sempurna.Bima kembali masuk keruangannya dan menutup pintu rapat tanpa menoleh kepada Kanaya. Keberadaannya pun sama sekali tidak dianggap ada bak demit saja."Ini semua gara-gara Bu Kanaya," tuduh sekretaris dengan mata berembun, lalu pergi meninggalkannya.Kalau saja Kanaya bukan istri Elang, mungkin si sekretaris sudah mengajaknya duel Jambak.Kanaya dibuat melongo dengan kejadian ini. Memang selama ini dia belum kenal secara langsung dengan Bima. Meskipun ia adalah sahabat dari suaminya. Elang juga selama ini belum pernah menceritakan kalau Bima itu tipe orang yang songong dan arogan. Padahal dengan alasan kalau Bima sahabat Elang, seharusnya ia bisa lebih mudah untuk berbicara.Melihat Bigbos sepert itu, pupus sudah harapan Kanaya untuk berbicara empat mata. Padahal tadinya ia ingin menyampaikan keberatannya perihal Elang yang selalu ditugaskan
Setelah mendapat laporan kalau Bima Anggara sedang malam mingguan di sebuah club ternama ibu kota, Kanaya gegas bersiap. Ia akan mengunjungi club yang sama. Bagaimanapun Kanaya harus bisa berbicara langsung kepada Big boss yang arogan itu. Detak jantung Kanaya tak biasa. Sebab, ini adalah pengalaman pertamanya memasuki tempat hiburan malam seperti club. Mungkin sebagian orang tidak percaya jika mengetahui salah satu konglemerat ibu kota masih asing dengan tempat seperti itu. Akan tetapi, inilah faktanya. Sewaktu muda, jiwanya sama dengan anak muda lainnya. Ingin bersenang-senang di tempat hiburan malam, tetapi sang ibu sambung tak pernah mengizinkan. Kanaya memilih patuh. Selepas menikah, suaminya pun tak pernah mengizinkan ia mengenal gemerlap malam dan Kanaya lagi-lagi memilih patuh. “Mas, maafkan aku. Tapi aku harus menemui bosmu,” gumam Kanaya. Begitu masuk ke dalam club, cahaya remang menyambutnya. Beberapa orang tengah asik dengan alunan musik yang Dj mainkan. Sebagian lainnya
Tangan Kanaya malah menggantung di lehernya hingga kepala big boss tertarik. Wajah mereka kini dalam keadaan sangat dekat. Bahkan ujung hidung keduanya yang mancung telah beradu. “Astaga!” Bima sadar kalau yang di hadapannya adalah istri Elang. Ia lekas mendorong Kanaya hingga tersandar ke kursinya lagi. “Aw,” ringis Kanaya kesakitan. Karena kepalanya sedikit terbentur kaca jendela.Untung saja tadi di club, Bima belum sempat minum banyak. Sehingga kesadaran dan akal sehatnya masih normal. Coba kalau enggak, mungkin sudah dilahap apa yang menempelinya barusan. “Anda mabuk.” “Eh, gue enggak mabuk. Dasar Bos rese! So’ berkuasa. Apa susahnya sih, tidak mengirim Elang lagi ke Bandung. Lu enggak tahu bagaimana rasanya diselingkuhi oleh pasangan. Rasanya sakit banget tahu. Makanya cepet lu kawin, biar bisa ngerasain rasanya cemburu dan dikhianati. Eh, gue lupa. Kata orang kan, lu gay. Mana mungkin mau kawin. Hahaha ….” Kanaya terbahak. Persekian detik kemudian ocehannya berhenti. Ia sepe
Kanaya gegas bersiap-siap dan pamit kepada kedua putrinya. Namun ia tidak bilang akan ke Bandung, hanya izin ada urusan penting bersama teman.“Ya, Mama …,” keluh Alya.“Iya, hari minggu menyebalkan. Papa enggak ada, Mama juga ikut-ikutan enggak ada,” protes Anna.“Dasar orang dewasa! Dikit-dikit ada urusan penting. Emang anaknya enggak penting apa?” Alya mencebik.“Uh Sayang … I am sorry, please!”“Tahu ah,” ketusnya.Kanaya tidak punya banyak waktu untuk membujuk anak-anak. Ia memutuskan tetap pergi, meski bibir mereka mengerucut.“Kak, aku kok ngerasa akhir-akhir ini Mama aneh.” Alya berujar setelah mamanya berlalu.“Iya, sama.”“Ada apa, ya?”“Entah,” sahut Anna malas. Ia kembali memainkan game di ponselnya. Kapan lagi bisa sebebas ini main ponsel, kalau bukan saat mamanya tidak ada di rumah.** Sebenarnya ini untuk pertama Kanaya membawa mobil sendiri ke Bandung. Ada rasa was-was dan panik dalam dirinya. Akan tetapi rasa penasaran akan sosok Dewi juga bra yang diliha
Kanaya secepatnya mendapat pertolongan. Ia dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Tenaga medis yang sangat kompeten dan berpengalaman menanganinya dengan baik.Elang yang baru saja mendapat kabar kecelakaan istrinya langsung melesat pulang ke Ibu kota. Rasa khawatir dan panik memenuhi rongga dada. Sangat sesak sekali.Sesampainya di Rumah Sakit, ia langsung berlari menuju ruang inap VVIP. Kanaya dalam keadaan sadar sudah terbaring lemah dengan selang infus. “Ay, kamu tidak kenapa-kenapa kan?” tanyanya cemas memburu seraya menciumi Kanaya. Air matanya juga mengalir tanpa malu walaupun disaksikan dokter dan perawat. “Mana yang luka, Ay? Mana yang sakit?” todong Elang kemudian.Kanaya tidak merespon. Pandangannya hanya lurus ke depan.“Syukurlah, Nyonya Kanaya tidak mengalami luka yang serius. Sedikit robek di lengan kanan, kami sudah menjahitnya,” tutur dokter.“Kalau kepalanya, Dok?” tanya Elang seraya menyentuh memar di dahi Kanaya.“Ia. Itu memar akibat benturan dan Nyonya Kanaya mende
“Mah, maksudnya apa suami laknat?” tanya Anna.“Oh, itu anu ….” Kanaya mengusap tengkuk. “Barusan teman Mama telpon dan curhat kalau suaminya menikah lagi diam-diam,” jelasnya mengada-ngada.“Syukurlah.”“Kok, syukurlah?”“Maksud aku, syukurlah ternyata bukan mengumpat kepada Papa.”“Ya, bukan dong! Oya, kamu nyusul Mama ada apa?”“Aku mau pamit sekolah, Mah. Habisnya Mama lama di kamar, katanya bentar tadi.”“Oh maaf, Sayang. Mama lupa saking antengnya dengar curhatan teman.”“Iya, Mah. Kalau begitu aku mau berangkat sekarang.”“Yuk, Mama antar sampai depan.”Di depan Alya sudah menunggu tak sabar karena takut kesiangan masuk sekolah. Setelah anak-anak mencium punggung tangan kedua orang tuanya, mereka gegas naik mobil. Mang Ujang, masih sopir pribadi keluarga langsung mengantar.“Ay, kalau begitu aku juga berangkat kerja dulu.”Seperti biasa Kanaya mendapat satu kecupan di dahi dan elusan di pucuk kepala.**Untuk mengusir penat, Kanaya mengajak sahabatnya, Meta untuk nongkrong di s
Dret … daun pintu terbuka. Sosok tinggi 175 cm masuk pelan dengan dengan segelas susu hangat. Bibirnya tak luput dari senyuman tipis.Gadis berpiyama satin yang sedang duduk di tepi ranjang repleks terlonjak. “Elang?”“Minumlah! Agar kamu rileks,” ujarnya seakan mengerti bagaimana perasaan Si Gadis yang bercampur aduk tak menentu.“Te-terima kasih,” ucpanya gugup. Lalu meneguk sedikit demi sedikit susu hangat tersebut hingga tandas.Elang duduk di tepi ranjang setelah mengambil alih gelas bekas susu. “Maaf.” Ia berujar seraya meraih tangan gadis yang tadi pagi telah sah menjadi istrinya. “Dingin sekali,” sambungnya.Si Gadis itu bernama Kanaya Putri Larasati. Larasati adalah nama almarhumah ibunya. Ia hanya menunduk tidak berani menatap kedua netra Elang yang dalam bak telaga. “A-aku ….” Susah sekali bagi Kanaya untuk mengucapkan sepatah kata.Ia sama sekali tidak mengenal sosok lelaki yang ada di hadapannya. Ia hanya tahu Elang anak salah stau kolega Sang Ayah. Perjodohan ini s
Tentu saja yang dituju Kanaya bukanlah rumah seorang teman seperti apa yang telah diucapkan bibirnya. Melainkan sebuah tempat yang ia pikir tidak akan ada satu pun orang yang mengenalinya. Tempat salah yang akan membuatnya euphoria dan melupakan sejenak kepedihannya.Kanaya melangkah pelan memasuki tempat dengan lantai dansa berukuran besar di tengah-tengah. Ruangan bernuansa gelap yang hanya bermodalkan lampu sorot berputar-putar dan lampu ambience yang menempel di dinding. Gendang telinganya dipaksa menikmati alunan musik disko yang dibawakan disjoki melalui sistem PA.Sebenarnya ia tak suka, ini bukanlah gaya Kanaya. Seperti memasuki sebuah club malam waktu itu, kali ini juga untuk pertama ia memasuki diskotek. Namun, kakinya tetap masuk lebih dalam mencoba keluar dari zona nyaman untuk mencari kesenangan. Pikirannya sungguh kacau. Kanaya masih syok dengan yang terjadi pada rumah tangganya. Butuh waktu untuk mencerna kenyataan pahit yang baru saja ia telan.“Hai cantik,” goda sala