Share

Bab 5 Kontak Dewi

Selamat membaca.

Bab 5 Kontak Dewi

“Ma-maaf,” sesal Kanaya dengan mata tak kalah melebar dan bersirobok dengan suaminya itu.

Beberapa orang yang sedang menghadiri meeting kompak melempar pandang kepada Kanaya yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Gegas Elang beranjak dan membungkukkan badan sebelum ia membawa istri berlalu dari hadapan klien pentingnya.

“Ay, ada apa?” tanya Elang dengan raut kesal sekaligus bingung setelah membawa Kanaya menjauh dari ruangan.

“Mas sedang meeting?” tanya Kanaya memastikan.

“Ya ampun, Ay! Ya iyalah aku sedang meeting. Hal apa yang membawamu sampai ke sini? Kenapa tidak memberitahu? Dan ini lagi. Lihat dirimu!” cecar Elang. Untuk pertama kalinya ia merasa malu dengan kehadiran sang istri.

“Aku? Aku kenapa Mas?” desisnya kesal. Terlebih ada amarah yang memang sedang ia tahan.

“Penampilanmu.”

Kanaya menunduk melihat sandal santai rumah, pakaian yang ia kenakan, hingga memegang rambut cepolnya. “Astaga!” serunya baru tersadar. “Maaf, Mas. Aku buru-buru tadi.”

“Iya, ada apa? Sampai kamu begini?”

“A-aku …,” ucap Kanaya bingung harus bilang apa.

“Pak, maaf.” Tiba-tiba salah seorang pria yang ada di ruang meeting tadi menyusul mereka.

“Iya, ada apa?” tanya Elang.

“Bu Dewi masih menunggu untuk kelanjutan meetingnya.”

“Oh, iya. Saya akan segera ke sana.”

“Baik, Pak.” Orang tersebut pun pergi lagi.

“Bu Dewi?” Nada Kanaya sedikit menghentak.

“Iya. Dia klien yang paling bawel dan menyusahkan,” dengkus Elang. “Oya Ay, aku tidak punya banyak waktu. Cepat ada apa?” sambungnya mendesak.

“I-itu Anna sakit, Mas. Badannya panas sekali sampai mengigau,” karang Kanaya asal.

Duh, maafkan mama, Sayang. Terpaksa berbohong bilang kamu sakit. Semoga ucapanku ini tidak menjadi kenyataan. Batin Kanaya panik.

“Ya Tuhan, Ay. Jadi Anna sakit? Padahal tadi pagi dia baik-baik saja. Tidak biasanya Anna sakit panas sampai mengigau.”

“Itu dia, Mas. Makanya aku cemas sekali. Tadi aku telepon, tapi kamu enggak angkat-angkat. Karena takut kenapa-kenapa, aku langsung saja ke sini.”

“Iya, sudah tenang ya, Ay! Mas akan bereskan meetingnya secepat mungkin. Sekarang kamu pulang dulu dan panggil dokter segera. Are you ok?”

“Iya, Mas. Maaf, aku sudah ganggu meetingnya.”

“Tak apa Ay, kalian lebih penting dari apapun di dunia ini,” ungkap Elang sambil memeluk istrinya.

Elang pun kembali ke ruang meeting. Di sana sudah menunggu wanita berusia 50 tahunan dengan wajah tak bersahabat. Dialah wanita yang Wulan sebut ‘Bu Dewi’ saat video call Elang dan Kanaya berlangsung.

“Lain kali, tolong Anda lebih profesional,” katanya penuh penekanan seakan mengintimidasi.

“Baik, Bu.”

“Mari kita lanjutkan,” ajak salah seorang yang turut hadir.

“Waktu saya habis. Jadwalkan ulang saja!” cetus Dewi dengan mimik datar.

“Maaf Bu, prosesnya bisa tertunda lagi kalau tidak diselesaikan sekarang.” Elang keberatan.

Terlebih lagi mengatur ulang jadwal meeting dengan Dewi adalah hal yang susah. Sekalinya bisa meeting, mendadak seperti sekarang. Kalau saja bukan orang penting, sudah Elang coret dari daftar kerja sama.

“Permisi,” ujar Dewi seraya beranjak tanpa mempedulikan Elang yang menyampaikan keberatannya.

“Aish!” desis Elang sebal setelah Dewi keluar dari ruangan.

“Sabar, Bos!” ucap bawahannya.

Kanaya yang sebenarnya belum keluar dari gedung kerja Elang, diam-diam memerhatikan wanita yang bernama Dewi. Kesan jumawa, tetapi berwibawa serta mampu mengintimidasi lawan bicara, tidaklah mungkin ia wanita simpanan Elang. Begitu juga usia dan penampilannya, sungguh tidak mencerminkan wanita murahan. Justru sebaliknya sangat berkelas.

Kini Kanaya bisa bernapas lega dan kembali ke rumah secepatnya. Dia jadi bingung sendiri bagaimana menghadapi suaminya saat pulang nanti? Lantaran tadi ia bilang kalau anaknya, Anna tengah sakit.

**

Jujur lebih baik, itulah keputusan yang akhirnya Kanaya ambil.

“Ay,” panggil Elang sesampai di rumah.

“Iya, Mas. Eh, sudah pulang? Tumben enggak ucap salam.” Kanaya menyambut.

“Anna mana? Bagaimana keadaannya? Apa kata dokter?” Ia membrondong istrinya dengan pertanyaan.

“Tenang dulu, Mas.”

“Tenang gimana? Anna mana, Ay?” Elang tampak panik sekali.

Tiba-tiba Anna muncul dan berlari. “Papa,” panggilnya manja.

“Lho, kok?” dahi Elang ditekuk melihat putri sulungnya tidak terlihat sakit sama sekali. Masih ceria seperti waktu tadi pagi sebelum ia berangkat kerja.

“Papa kenapa?”

Bukannya menjawab Elang malah mengulurkan telapak tangannya, lalu menyentuh dahi Anna. “Sayang, kamu baik-baik saja?”

“Papa aneh,” celetuk Anna.

“Ekhm … Ay?” Elang berdeham kemudian matanya menyipit. “Jelaskan!” tegasnya.

Kanaya menarik napas panjang saat melihat sorot mata suaminya seperti siap menelan ia hidup-hidup.

"Ann, Mama ada perlu dulu sama Papa, ya!"

"Ok, Mam."

Anna langsung paham kalau sebagai anak ia harus bisa kasih orang tuanya privasi. Anna segera mengakhiri bermanja-manjanya kepada Elang.

"Mas, ayok!" ajak Kanaya. Elang pun mengekor sang istri masuk kamar.

"Jelaskan!" pintanya kembali dengan lantang.

"Mas, maaf sudah membuatmu cemas. Aku terpaksa berbohong karena takut kamu marah," ujar Kanaya sambil melepaskan jas yang dikenakan Elang.

"Kamu sudah tahu kan, aku tidak suka sekali jika dibohongi. Ini konyol!"

"Aku juga tidak suka dibohongi." Kanaya melonggarkan ikatan dasi di leher suaminya.

"Maksudmu?" Alis Elang terangkat sebelah.

"Ingat kan waktu hari kemarin? Kamu menyebut nama apa saat bersamaku?" tanyanya dengan penekanan. Hidung Elang mengerut, entah ia lupa atau pura-pura lupa.

"Ah!" ringisnya, sebab ikatan dasi yang telah longgar ditarik lagi oleh Kanaya hingga mencekik.

"Sesak?"

"Uhuk, uhuk." Elang terbatuk. "Ay, ini seperti bukan dirimu," lanjutnya.

"Aku bisa lebih dari ini. Do you understand?" Tarikannya Kanaya lepaskan tanpa aba-aba membuat tubuh suami terjengkang ke tepi bad.

Mata Elang membeliak tak percaya dengan sikap Kanaya yang selama ini selalu lembut dan patuh, mendadak berubah. Suaranya yang lantang minta kejelasan menciut. Sepengecut itukah dia terhadap wanita? Padahal sedari tadi di kantor pasca kedatangan Kanaya, ia begitu kesal. Lantaran meeting pentingnya menjadi kacau. Belum lagi rekan-rekan kantor terus membicarakan penampilan Kanaya yang terlampau rumahan saat datang.

Sementara Kanaya merutuki kecerobohannya. Bisa-bisanya ia mempermalukan diri sendiri seperti tadi. Rasa cemburu tidak bisa mengimbangi akal sehatnya. Kemana Kanaya seorang wanita yang brilian? Mungkin selama ini, ia terlalu fokus menikmati peran sebagai seorang istri sekaligus ibu. Hingga ia tenggelam dan pola pikirnya mulai diam di tempat.

**

"Mana Papa, Kak?"

"Biasa lagi ada urusan katanya sama Mama."

"Kok, enggak temui aku dulu? Emang ada urusan apa?"

"Udah, kamu jangan kepo!"

"Dasar orang dewasa, banyak sekali urusannya," dumbel Alya.

"Begitulah mereka. Kakak takut kalau mama dan papa mulai sering bilang urusan."

"Takut kenapa kak?"

"Kata Devi, awalnya orang tua mereka juga gitu. Urusan yang dimaksud mereka ternyata bertengkar. Kalau udah sering bertengkar, orang tua suka pisah."

"Apa? Aku enggak mau mama dan papa pisah!" pekik Alya tiba-tiba.

Kemudian ia berlari menuju kamar orang tuanya dan menggedor-gedor pintu. "Pah, Mah," panggilnya dengan suara yang parau karena tangis yang masih ditahannya.

"Ada apa, Sayang?" tanya Elang setelah membuka pintu.

"Papa ...." Alya menghambur ke pelukan Elang. Tangisnya pun pecah.

"Lho, anak Papa kenapa?"

Tidak lama Anna datang menyusul. Melihat kelakuan adiknya, ia hanya mencebik dan tangannya bersidekap di dada.

"Alya, kenapa Ann?" tanya Kanaya.

"Aku enggak mau Mama dan Papa pisah,” terang Alya.

"Eum, Ann! Kamu pasti cerita yang tidak-tidak ya? Jangan Suka nakut-nakutin adikmu, ah!" tegur Kanaya.

"Ih Mama asal tuduh aja. Sebel!" rajuk Anna sambil memutar bola mata malas.

Kanaya lupa kalau bicara dengan Anna itu tidak boleh menyudutkan atau seakan menuduh. Karena ia memang tipe sensitive.

"Maaf, Sayang." Kanaya mencubit gemas pipi Anna.

Elang membawa Alya duduk di sofa depan Tv. Kanaya juga Anna mengikuti.

"Sayang, udah dong nangisnya. Cerita sama Papa ada apa? Kok sampai bicara pisah begitu? Papa serem dengarnya," ucap Elang seraya bergidik ngeri.

Alya pun menceritakan apa yang dibicarakan Anna tentang orang tua temannya Devi.

"Ye, itu kamu aja yang cengeng. Kakak kan cuma cerita doang," sewot Anna.

"Sayang, Papa dan Mama berbeda dengan orang tua siapa namanya? Oya, Devi. Kami ini tidak mungkin pisah. Papa kalau lagi kerja saja, suka keingetan terus sama Mama," aku Elang.

"Papa enggak bohong 'kan?" Alya memastikan.

"Ya Tuhan, sejak kapan Papa suka bohong?" tukas Elang. "Iya kan, Mah?" sambungnya minta dukungan Kanaya.

"Iya, Sayang. Pokoknya kalian jangan mikir yang macam-macam, ya!"

Kedua putri mereka mengangguk kompak. Elang menarik Anna serta istri agar ikut memeluknya seperti Alya.

"Papa sayang kalian semua." Elang mencium pucuk kepala orang yang berharga dalam hidupnya satu-satu.

**

Jarum jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Elang masih memandangi punggung istrinya yang membelakangi. Semenjak kejadian salah sebut nama, ada yang berubah pada sikap Kanaya. Ia terkesan mengacuhkan suami saat di atas ranjang.

"Ay ...."

"Emm."

"Besok kan aku mau ke Bandung, charger aku dulu dong," pintanya penuh kode.

"Itu chargeran kamu ada di laci," sahut Kanaya dengan posisi yang masih membelakangi.

"Ekhm, sejak kapan istriku jadi lemot?"

"Apa kamu bilang?" sentak Kanaya yang langsung berbalik. "Jadi karena istrimu lemot, jadi boleh gitu main enak-enak sama Si Dewi?" Matanya membulat siap menerkam.

"Aduh, Ay? Kok, Dewi lagi? Kamu segitunya cemburu. Tapi aku senang sih," goda Elang meski jantungnya memacu kencang setiap kali Kanaya mengungkit nama itu.

"Senang?"

"Iya, artinya kamu sangat cinta sama suamimu ini. Aku adalah lelaki paling beruntung sudah 15 tahun dicintai wanita sesempurna kamu," pujinya. Meski terdengar gombal, tetapi yang dikatakannya sungguh dari hati terdalam.

"Ralat. Bukan 15 tahun, 14 tahun,” sergah Kanaya.

"Iya-iya, 14 tahun."

Bukan tanpa sebab, pasalnya Kanaya memang jatuh cinta pada suaminya setelah satu tahun pernikahan berjalan.

"Sudah ah, ngantuk. Jangan ngajak ngobrol terus!" ujar Kanaya seraya mau membalik badan lagi. Namun, tidak jadi karena Elang dengan cepat menariknya.

"Ay, mohon jangan menolak," pintanya memelas.

Kanaya tampak berpikir beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. Mendapat lampu hijau dari sang istri, Elang langsung mendaratkan bibirnya di tempat yang sensitif.

Setelah hampir sejam bergulat, game over. Ada satu sisi di hati Kanaya entah sebelah mana tepatnya, sebuah ketidak relaan.

Perasaan apa ini? Batin Kanaya.

Sementara Elang setelah keinginannya tersalurkan, langsung beranjak ke dunia mimpi. Dengkur halusnya terdengar begitu pulas seperti bayi.

Tung, tung, tung, banyak notif masuk ke ponsel pintar Elang. Untuk pertama kalinya Kanaya merasa sangat penasaran dan ada rasa ingin sekali membuka. Selama ini ia selalu menganggap kalau ponsel adalah sebuah benda yang harus terjaga privasinya. Kecuali meminta izin terlebih dahulu kepada si pemilik.

Namun, sekarang berbeda. Benda pipih Elang tak akan lagi ia jaga privasinya. Perlahan dan sangat hati-hati, Kanaya meminjam jari telunjuk suami. Lantaran ponselnya memang diamankan oleh fingerprint.

Deg, deg, deg … ritme jantung Kanaya berubah cepat saat suasana berubah menegangkan. Jari telunjuk Elang sudah menempel sempurna dan layar ponsel langsung terbuka.

Netra Kanaya tertuju tajam ke sebuah aplikasi chat. Dengan cepat jarinya menyentuh ikon hijau. Tampaklah deretan kontak yang mengirim pesan.

“Dewi?!” Mata Kanaya membola sempurna.

***

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ana Widarti
obrak abrik teruss
goodnovel comment avatar
Dinara L.A
......... terima kasih
goodnovel comment avatar
Ratni
apa Dewi selingkuhan nya??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status