Rasa cintaku begitu besar hingga aku tidak bisa berpikir takut ataupun malu bila orang lain melihatku. Rasa takut kehilangan, rasa takut menanggung rindu yang menyakitkan begitu menghantuiku, hingga dekapan eratku membuat Arjun tidak nyaman. Arjun mendongakkan wajahku, kedua tangannya menghimpit pipiku. Sehingga bibir meronaku mengkerucut. "Apa yang kamu takutkan? Apa yang ingin kamu katakan, Zhee?" bisik Arjun lirih, kemudian mematuk bibirku. Aku diam, bagaimana aku bicara dia menekan rahangku. Mataku menatap dalam wajahnya, dan air mulai menggenang di mata. Arjun mematuk bibirku kembali dengan lembut, kemudian melonggarkan cengkeraman pipiku. "Lekas kembali, aku menunggumu, aku bisa mati menahan rindu, Arjun!" jawabku lirih. "Aku tidak mau itu, aku ingin kamu selalu hidup untukku, Zhee!" bisik Arjun, kemudian mematuk bibirku kembali. "Kembalilah ke kamar, jangan buat meradang Bos Reza, aku takut dia menjauhkan kita, Zhee!" pinta Arjun melepas pelukannya. Aku segera menarik dir
"Apa sih pesan dari Telkomsel," jawabku berbohong. "Ooo," sahut Reza. Aku tahu dia tidak percaya dengan jawabanku tapi setidaknya dia tidak mau mendebat. Selama dalam perjalanan alam pikiranku dipenuhi bayangan Arjun. Pria berondong itu sangat tampan dan menawan, pasti Diana sangat bahagia di sampingnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan? Arjun sangat tampan kan? Dia gagah dan romantis, berhati mulia lagi," tanya Reza menjebak. Aku diam, pandanganku ke luar jendela memandang pohon-pohon yang serasa berkejaran dengan mobilku. "Entah kenapa aku menyayangi anak malang itu, aku bangga melihat dia sukses," gumamnya kemudian dengan pelan. Apakah kehadiranku diantara mereka akan merusak hubungan kasih sayang mereka? "Antarkan aku ke kantor dulu, Eko, habis itu antarkan Nyonya Zhee pulang!" perintah Reza. "Siap Bos!" jawab Eko. Sampai perempatan mobil belok ke kiri ke arah Jl. Pahlawan menuju ke sebuah Kantor Perusahaan Property dan Real Estate Armando Group. Reza turun dari mobil, Eko
Setelah masuk ke lobi stasiun, Arjun berhenti, dia membuka masker dan kacamatanya. "Arjun," panggilku lirih. Dia hanya tersenyum dan memelukku sangat erat. Degup jantung kami menyatu, napas kami pun berpacu setelah berlarian. "Aku tidak membawa mobil, kita naik kereta api saja, ya Zhee? Aku ingin memelukmu sepanjang perjalanan," ujar Arjun berbisik. "Lekas pakai lagi masker dan kacamatamu, Arjun! Bahaya kalau ada yang mengenali kita," usulku. "Iya," jawabnya bergegas mengenakan kembali masker dan kacamata. Tiba-tiba muncul ide ingin pergi ke Jogja. Kita asal memutuskan, yang penting kita bisa bertemu melepas rindu. Naik kereta api kelas bisnis sangat nyaman, sepanjang jalan kita hanya melepas rindu dengan berpelukan dan berciuman. "Zhee, berpisah tiga hari tersiksanya seperti ini, bagaimana kalau berpisah berhari-hari?" bisik Arjun. "Bagaimana kalau kita lari saja, Arjun?" usulku asal nyeplos. "Kam
Aku sampai di stasiun pukul 00.30, Eko setia menungguku. "Maaf, Pak Eko!" ucapku menyesal. "Tidak apa-apa, Nyonya. Kalau Bos Reza marah akhirnya memecat saya, saya rela," jawab Eko sedih. "Jangan khawatir, aku yang akan bilang pada Bos Reza, ini semua salahku," sahut Arjun. Itu salah satu kepribadian yang aku suka dari Arjun, dia selalu berdiri di depan untuk pasang badan melindungi orang lemah. "Tidak perlu Mas Reza," sahut Eko. "Kalian suami istri hanya untuk bertemu seperti ini perjuangannya saya salut. Bahkan saya yang baik-baik saja tidak bisa mencintai pasangan sebesar cinta kalian," lanjutnya menggumam sedih. "Ayo keburu pagi!" ajak Arjun, kemudian membukakan pintu mobil untuk aku masuk. Tidak butuh waktu lama, mobil sudah masuk halaman. Reza sedang duduk di teras depan rumah sambil ngopi dan merokok. "Kita tidak perlu sembunyi-sembunyi, berlatih bicara jujur apa adanya," kata Arjun sebelum turun dari mobil begitu melihat Reza di teras. "Selamat malam, Bos!" sapa Arjun.
Aku terkejut begitu mendengar pernikahan Arjun dimajukan. Besuk status Diana resmi menjadi istri Arjun, bahkan menurut agama maupun tercatat di negara. (Zhee, aku menunggumu di depan stasiun! Ada banyak hal yang harus aku bicarakan kepadamu) begitu isi chat Arjun, saat keluar kamar mandi aku membacanya. (Iya, Arjun, aku pasti datang!) jawabku. Setelah berdandan aku menghampiri Reza di meja makan. Aku melirik Reza yang tersenyum sendiri fokus di layar ponselnya tanpa memperdulikan kedatanganku. "Asik sekali, kayak lagi kasmaran aja!" olokku. "Kalau aku sedang kasmaran, kamu pasti senang dong karena aku tidak lagi mengekangmu," kata Reza asal nyeplos. "Apa hubungannya? Emang benar kamu tidak akan mengekangku? Yakin?" kataku menggodanya. "Tidak bisa, Zhee. Kamu adalah nafasku, aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kamu," ujarnya sedih. "Sudah, duduklah! Kita sarapan dulu," ajaknya. Kita makan bersama. Sebentar-sebentar mataku melirik ke arah Reza, lelaki yang tampan dan gaga
"Zhee, aku jadi ragu menikahi Diana, tapi aku juga tidak bisa harus sembunyi-sembunyi terus menutupi pernikahan kita. Cintaku kepadamu begitu besar, Zhee," katanya mempererat pelukannya. "Kenapa aku semakin takut, bagaimana kalau Mas Reza tahu tentang cinta kita, apakah dia bisa menerimanya?" gumamku lirih. "Aku menghormati dia seperti kakakku, hidupku sebatang kara, Zhee. Dialah yang kupunya satu-satunya di dunia ini. Mamaku lari dengan lelaki selingkuhannya entah kemana? Papaku meninggal dunia saat mengejar mama. Saat itu hujan deras papa tertabrak mobil, Zhee. Darah yang mengalir terbawa air hujan bagai lautan merah, ngeri," ujarnya sambil menangis. "Andai saja mobil itu mau membawa papaku ke rumah sakit, tentu aku akan memaafkannya sekalipun papaku meninggal. Tapi dia tidak mau menolongnya justru pergi dan melarikan mobilnya dengan kencang. Aku benci dengan pembunuh papaku, aku harus menemukannya! Aku akan hancurkan juga anak gadisnya, aku akan renggut kebahagiaannya sebagaimana
Reza membopongku sambil berlari, aku setengah sadar dan di belakang Reza ada Arjun. Sesampai di rumah sakit dua orang perawat menyambutku dengan membawa brankar. Reza merebahkan tubuhku yang tersiksa sesak dan semakin lemah. Aku samar-samar melihat Arjun berlarian membantu Reza dan perawat mendorong brankar. Dalam hatiku berpikir, apakah ini artinya pernikahan tadi batal? Dokter datang memeriksaku dengan seksama, aku hanya melihat ada dokter dan perawat. "Nyonya harus banyak istirahat, tensi darah Nyonya naik, ini bahaya buat kandungan nyonya," ujar dokter. "Dokter apakah saya hamil?" tanyaku ragu. "Iya, apa nyonya belum tahu?" tanya dokter balik. "Saya tahu kalau sedang terlambat haid, tapi belum sempat tespack, Dok," kataku. "Nyonya jangan stres dan jaga emosinya, Nyonya!" pesan dokter. Tak lama dokter keluar meninggalkan aku di kamar. "Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Reza. "Sudah sadar, yang mana suam
"Pa, maafkan saya!" kata Arjun pelan. "Maksudmu?" tanya Samsul terkejut. "Saya tetap akan menikahi Diana, kita cari lagi hari yang baik," usul Arjun. "Apa besuk bukan hari baik? Apa kamu sekarang menjadi paranormal?" desak Samsul kecewa. "Mas Arjun, ada apa denganmu? Kita sudah menyiapkan pesta sedemikian mewahnya dan kamu tega menghancurkannya?" kata Diana dengan isak tangis. "Tolong Pak Reza dan Nyonya Zhee, beri pengertian kepada Arjun! Ini menghancurkan kehormatan keluargaku," pinta Samsul. "Arjun, coba kamu pikirkan lagi!" usul Reza. "Ayo Zhee, beri pengertian kepada Arjun, dia hanya mendengarkanmu!" pinta Reza kepadaku kemudian. Arjun mematapku, dia ingin mendengar apa yang akan aku katakan. Aku dilema, aku tidak tahu harus mengatakan apa. "Mas Reza, biarkan Arjun memutuskannya sendiri, kita jangan ikut campur!" ujarku berat. "Mas Reza, tolong ajak mereka semua keluar, bicarakan saja diluar aku ingin tidur," pinta