Tiba di rest area, Ares pamit pergi ke kamar mandi sebentar kepada Ibu dan adiknya. Mereka berdua pun memilih ikut turun dibanding menunggu di mobil.“Kita berdua tunggu di restoran itu, ya,” kata Sekar, menunjuk ke arah restoran cepat saji.“Kalau begitu kita parkir di sana saja, Bu. Biar Ares pindahkan mobilnya dulu.”“Yasudah cepetan. Ibu sama Nadia jalan saja menuju ke sana.”Ares mengangguk patuh dan bersiap-siap mencari parkiran di depan restoran makanan cepat saji. Ketika sudah dapat, Ares mengambil ponsel miliknya yang diletakkan di dalam dashboar mobil.Ares memencet nomor villa tapi tidak bisa. Ares akhirnya mencoba telepon nomor ponsel Emak Nengsih, namun lagi-lagi tidak tersambung.“Kenapa tidak ada yang bisa tersambung.” Ares langsung mengecek jaringan ponselnya yang ternyata sangat bagus. Kalau soal pulsa, tidak mungkin. Ares pakai pascabayar.Tidak mau membuat Ibu dan Nadia curiga, Ares memutuskan untuk keluar dari dalam mobil dan pergi ke toilet.Selama berjalan menuju
Di saat sedang memikirkan siapa yang sudah berani mengotak-atik ponselnya, mendadak terdengar suara Nadia dari luar kamar.Hal ini membuat Ares melirik ke arah ujung pintu yang terdapat Nadia yang sedang menyengir lebar.“Mawar! Mas Ares! Kalian berdua ini pasti lagi kangen-kangenan tapi enggak ngajakin aku dih!” protes Nadia, masih menyengir lebar.Nadia berjalan masuk menuju ke arah Mawar juga Ares. Nadia belum menyadari sorot mata Ares yang sudah begitu tajam.Ketika sudah berdiri di depan Mawar dan samping Ares, Nadia terkejut ketika lengan tangannya dicengkeram erat oleh kakaknya.“Kamu apain hape Mas, Nad?” tembak Ares to the point.Nadia tampak melongo tidak paham. “Maksud Mas Ares apaan, sih? Kenapa mendadak tanya begini?”“Sudah enggak usah banyak ngalor ngidul! Kamu apain hape Mas!” bentak Ares, mulai tersulut emosinya.“Dih apaan, sih, Mas!” sangkal Nadia, mencoba berontak agar cengkeraman Ares terlepas. “Aku enggak tahu soal hape Mas Ares. Memang hape punya Mas kenapa?”“E
Ares benar-benar merasa pusing memikirkan soal ini. Yang dilakukannya saat ini hanya mengendalikan diri agar tidak terlalu gampang emosi. Apalagi saat ini tengah ada acara hajatan keluarga besar.Merasa sudah tenang, Ares akhirnya memutuskan untuk istirahat sebentar di kamar Mawar. Soal Nadia biarlah nanti diperdebatkan jika sudah kembali ke Jakarta.Beberapa jam kemudian. Sekar mendatangi kamar Mawar untuk membangunkan Ares. Apalagi anaknya sejak datang belum sempat mengisi perut. Sekar khawatir kalau Ares nanti sakit lambung jika telat makan.“Res, bangun, Nak,” ujar Sekar, mengusapi kening Ares penuh kelembutan kasih sayang.Ares merasa ada yang membelai mulai membuka kedua matanya perlahan-lahan. Ares tersenyum tipis ketika melihat wajah sang Ibu.“Bangun terus makan, Res,” kata Sekar, tersenyum lembut.Ares buru-buru bangun dan menatap sang Ibu penuh kasih sayang. Bahkan Ares langsung memegang kedua telapak tangan sang Ibu untuk dikecupnya.Selama mengecu
Selesai mendapatkan alamat rumah Anin dari Mawar, kini Ares merasa lega sedikit. Setidaknya sekarang ia memiliki pandangan untuk hari esok.Akan tetapi hari ini ia harus tetap tampil ramah tamah di depan para tamu undangan karena merasa tidak enak dengan keluarga Mawar yang sudah baik kepadanya.“Res, lihat itu yang pakai kebaya hitam. Cantik banget toh,” goda Sekar, sang Ibu. “Kayanya cocok kalau nikah sama kamu,” lanjutnya sembari mesam-mesem memandangi tamu undangan yang datang ke pernikahan Mawar ini.“Bu! Jangan malu-maluin ah!” Ares mengeluh soal kelakuan sang Ibu. Sejak para tamu datang, matanya tidak pernah bosan-bosan menatap ke arah pintu masuk untuk menilai para perempuan yang katanya cocok dijadikan mantu.“Malu-maluin gimana toh! Ibu itu lagi usaha buat cariin kamu istri!” dengkus Sekar, kesal.Ares yang sudah paham karakter sang Ibu hanya bisa menghela napas panjang saja dengan kasar. Mau dilawan model apa juga pasti akan selalu ingin menang. Yang dilakukan Ares hanya di
Meski kepikiran soal Anin, tapi Ares harus tetap memikirkan kondisi kesehatannya juga agar esok hari bisa kembali lagi ke rumah Anin.Dan, pagi ini tepat pukul enam pagi kalau Ares sudah berada di depan rumah Anin seperti afirmasi dirinya kemarin.“Pagi, Pak,” sapa Ares, ramah dan sopan.“Aduh! Siapa, ya? Lupa lagi!” kata sekuriti itu sembari memegang dahi-nya. Mencoba mengingat sesosok Ares. “A-A—““Ares, Pak,” jawab Ares, cepat.“Oh, iya!” Sekuriti itu tertawa sendiri ketika mengingat nama Ares. “Mau ketemu siapa? Non Anin tidak ada di rumah. Dia kabur kemarin,” tambahnya menjelaskan.“Kabur ke mana, Pak?” tanya Ares, penasaran.“Saya tidak tahu. Yang pasti Tuan sama Nyonya kemarin ribut gara-gara Non Anin kabur dari rumah.”“Boleh saya masuk?” pinta Ares, penuh harap.Sekuriti itu tampak berpikir sejenak. Pria paruh baya itu merasa kasihan kepada Ares tapi ada rasa takut kepada Budi. Apalagi sejak semalam sesosok Budi selalu saja mengamuk hingga membuat para ajudannya sedikit kena
Ares tahu betul jika jawabannya barusan pasti memancing emosi seorang Budi. Akan tetapi Ares melakukan ini demi kebaikan bersama dan kehidupan ke depannya bersama Anin.Dalam agama yang dianut Ares pun tidak membolehkan menikahi perempuan yang sedang hamil. Ares akan menunggu Anin melahirkan terlebih dahulu baru ia akan menikahi secara sah agama dan negara.“Kamu ingin mempermainkan saya?!” seru Budi, menatap nyalang wajah Ares.“Tidak, Pak. Justru saya ingin bertanggung jawab atas kehidupan Anin.”“Lalu apa maksud kamu, hah?!”Ares tersenyum manis. Mencoba menenangkan sekaligus mengendalikan hatinya sendiri agar tidak terpancing emosi. “Di dalam agama tidak boleh menikahi perempuan yang tengah hamil. Saya akan menikahi Anin setelah dia melahirkan.”“Lalu bagaimana nasib Anin yang hamil tanpa suami, hah! Pikir!” bentak Budi, masih tidak terima.“Soal itu biar saya yang mengurus dan merawatnya nanti. Bapak dan Ibu tidak usah khawatir.”Budi mendengkus kesal karena anak-nya—Anidya Kemal
Anin yang berhasil kabur kini telah sampai di pulau Dewata Bali. Anin menyewa rumah di sana untuk kehidupannya ke depan.Di sini Anin akan merasa aman dan nyaman karena tidak akan ada orang yang ingin tahu soal urusannya. Lagipula orang-orang di sini semuanya kebanyakan pendatang dari belahan dunia yang memang sengaja menyewa rumah untuk beberapa bulan kemudian.“Kita akan tinggal di sini. Semoga kamu suka ya, Nak.” Anin mencoba mengusapi perutnya sendiri yang masih rata itu. Mengajak calon anaknya berbicara meski tidak ada jawaban yang didapatkannya. “Kamu pengin makan apa, hm?”Entah kenapa Anin mendadak ingin makan di salah satu restoran yang lokasinya di pinggir pantai. Apa mungkin ini yang dinamakan ngidam? Entahlah.Ketika di saat orang akan bahagia menyambut kehamilan, namun semua itu tidak berlaku bagi Anin. Kehamilannya ini justru seperti sebuah musibah dan aib. Semua yang mengetahui akan merasa ikut malu.Di sini Anin menyadari atas perbuatannya terdahulu. Andai waktu bisa d
Ketika ponselnya terus bergetar, Ares benar-benar tidak ada minat dan gairah sama sekali untuk mengangkatnya.Yang dilakukan hanya melirik sekilas ke layar ponsel untuk melihat siapa yang menelepon. Ketika tahu Mawar yang menghubungi, Ares sedikit mengabaikan karena saat ini pikirannya sedang tidak karuan.Sampai ketika Mawar mengirimkan pesan chat yang membuat Ares penasaran. Terlebih ada pesan gambar yang dikirimkan juga. Dugaan Ares palingan foto keluarga saat pernikahan kemarin. Tapi dugaannya salah besar! Ternyata yang dikirimkan Mawar adalah foto Anin yang sedang menyantap makanan di sebuah restoran.Tentu saja hal ini membuatnya merasa kaget sekaligus senang. Apalagi saat ini dirinya sedang bingung mencari Anin ke mana. Mendadak Mawar memberikan kabar jika dia bertemu dengan Anin. Apa mungkin ini merupakan jawaban dari doa-nya barusan.Hal yang Ares lakukan tentu saja menghubungi Mawar secepat mungkin untuk menanyakan lokasinya. Akan tetapi panggilan teleponnya justru tidak dia