Share

Salahkah Menjadi Janda?
Salahkah Menjadi Janda?
Author: Hans Yunata

Bab 1 Hamil

Author: Hans Yunata
last update Last Updated: 2022-08-25 08:25:42

Darahku tersirap memandang benda pipih kecil di tanganku.

"Tina..." teriakan dari luar serta gedoran di pintu kamar mandi membuat benda itu jatuh ke lantai.

"Iya..." jawabku dengan jantung berdetak kencang.

"Buruan... Lama amat?" teriak Wina.

"Iya, sebentar." sahutku.

Aku mengambil benda yang jatuh itu.

Mataku nanar menatap hasil test pack di tanganku. Test pack termahal yang katanya hasilnya 99,99% akurat. Dan sama seperti test pack sebelumnya, kali ini pun hasilnya tetap garis dua yang sangat jelas dan tegas. Sebenarnya aku yang naif dan berusaha menyangkal. Enam test pack sebelumnya (yang kupakai untuk tes urine setiap hari), walaupun harganya murah, sudah menunjukkan garis dua yang artinya aku positif hamil. Tapi aku tetap mengulanginya, berharap hasilnya berbeda.

Bagaimana aku harus menyangkalnya? Bahkan tanpa test pack ini pun, aku sudah tahu kalau aku hamil. Perubahan tubuhku sangat nyata. Aku sering merasakan mual terutama di pagi hari dan emosiku gampang sekali berubah-ubah dan berganti secepat nadi berdenyut. Menurut artikel yang kubaca, itu adalah tanda umum seorang wanita hamil.

Kalau orang lain yang mengalami ini, mungkin akan berteriak bahagia memberitahukan kepada seluruh dunia bahwa ia hamil. Tapi aku? Jangankan seluruh dunia, bahkan di kamar mandi kos yang sempit ini aku harus sembunyi-sembunyi. Tersiksa setiap pagi dalam satu minggu ini, membekap mulut kuat-kuat saat keinginan muntah mendera supaya yang lain tidak mendengar.

Air mataku menetes perlahan. Kutahan isakku dan kuputar keran air dengan kencang sehingga bunyi gemerisik air menyamarkan suara-suara yang kutimbulkan dalam kamar mandi ini. Kali ini aku harus menerima kenyataan. Bukankah memang sudah saatnya aku mendapatkan ini? Kami sudah berkali-kali melakukannya, tidak mungkin aku lolos terus. Bahkan kami pernah melakukannya tanpa pengaman.

Aku mengusap air mataku. Bagaimana aku memberitahu Anton? Bagaimana aku harus menuntut tanggung jawabnya?

"Tin... Tina..." terdengar lagi suara dan ketukan dari luar pintu. "Agustina Kusuma!"

"Ya?" Aku tergagap. Untung air keran masih mengucur deras sehingga suaraku yang sengau tidak kentara.

"Kamu ngapain? Udah lama lho kamu di dalam," itu suara Wina, teman sekosku.

"Iya, Win. Sembelit nih," kilahku sambil memutar keran air sedikit lebih pelan.

"Jangan lama-lama jongkok. Ntar kamu bisa ambeien," Wina bercanda sambil terkekeh.

Pasti dia sedang ingat teman kami, Sarah, yang minggu lalu opname di rumah sakit karena menderita ambeien.

Kudengar langkah kakinya sudah menjauh. Aku kembali menatap wajahku di kaca kecil yang tergantung di dinding kamar mandi. Andai saja aku bisa menolak Anton dengan tegas mungkin ini tak akan terjadi.

Aku ingat betul saat pertama kali Anton memintaku jadi pacarnya. Tentu saja aku bahagia dan segera mengiyakannya karena aku diam-diam sudah lama menyukainya. Siapa yang nggak mau jadi pacar pemuda tampan itu? Siapa yang tidak mengenalnya? Dia sangat tampan dan populer di kota ini. Dia juga bekerja sebagai tenaga harian lepas tapi di kantor yang berbeda denganku.

Itu terjadi setengah tahun yang lalu saat aku merayakan ulang tahunku yang ke-19 tahun. Aku yang merayakannya dengan mentraktir makan teman sekosku, Wina dan Sarah, di sebuah cafe yang baru buka di kota kami, dikejutkan dengan kedatangan Anton dengan buket bunga mawar di tangannya.

"Aku udah lama naksir kamu, Tin. Mau nggak kamu jadi pacarku?" Tanyanya saat itu.

Aku menatap kedua temanku. Mereka hanya senyum-senyum meledekku.

"Aku sering lho nitip salam sama kamu lewat mereka berdua," Anton mengedipkan matanya kepada kedua temanku. "Nggak sampai, ya?"

"Emang masih zaman nitip salam?" Celetuk Sarah yang memang terkenal blak-blakan. "Nitip barang dong. Makanan kek, uang kek."

"Aku nggak ada dititipi apa-apa lho," kata Wina, temanku yang satu ini seorang pendiam. "Jadi nggak ada juga yang disampaikan ke kamu, Tin."

"Ya, udah sih," kata Anton. "Mau, ya? Ya... Ya... Ya..." Anton menyodorkan bunganya ke hadapanku. " Kalau diterima berarti mau."

"Terima... Terima..." Sarah menyemangatiku sambil bertepuk tangan.

Aku memandangi Anton lalu beralih ke Sarah, dia mengacungkan kedua jempolnya. Tapi saat aku menatap Wina, gadis pendiam itu menggeleng samar.

Tapi aku tidak bisa berpikir lama-lama. Anton sudah mendekatiku. Jarak kami hanya dibatasi oleh bunga mawarnya. Tanpa pikir panjang karena aku juga diam-diam menyukainya, aku segera mengambil bunga yang disodorkannya.

"Yes..." Anton mengepalkan tinjunya di udara dan tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sudah ada di dalam pelukannya.

Saat mataku bersirobok dengan mata Wina, aku melihat sinar kecewa memancar dari sana. Tapi aku tidak peduli. Yang kurasakan hanyalah bahagia.

"Tin..." Kembali terdengar suara Wina. "Kamu nggak kerja, ya? Ini udah hampir jam 8 lho. Sebentar lagi kita apel pagi."

Kami bertiga, aku, Sarah dan Wina, memang bekerja di kantor yang sama. Bedanya mereka berdua sudah berstatus PNS sedangkan aku masih tenaga harian lepas dan aku yang paling muda di antara kami bahkan di antara rekan kerja di kantor tapi kami bertiga sepakat untuk saling memanggil nama saja supaya lebih akrab dan tidak ada batas.

"Mungkin aku nggak ikut baris, Win," jawabku. "Perutku kurang enak nih."

"Kamu kayak lagi morning sickness aja deh."

Deg. Jantungku berdebar cukup keras mendengar perkataan Wina. Apa dia tahu sesuatu? Dan saat melihat kaca, wajahku ternyata sudah memerah.

"Apaan sih, Win?" seruku.

"Ya, udah, aku pergi duluan, ya. Cepetan nyusul. Ntar Pak Kumis nanya kamu lagi. Aku malas meladeni om kamu itu. Genit!"

Aku tersenyum. Pak Rudi, pamanku, memang berkumis tebal sehingga hampir setiap orang yang mengenalnya menyebutnya Pak Kumis. Dia orang baik walaupun sedikit genit.

"Ok, hati-hati, ya!"

Sekali lagi aku berkumur. Setelah memastikan rasa mualnya sudah hilang, aku keluar.

"Lho, nggak kerja?"

Aku terkejut mendapati Bu Sari, ibu kos kami, sudah ada di meja makan.

"Kerja, Bu. Ini baru selesai mandi," jawabku.

"Tapi Wina udah berangkat tuh," lanjut Bu Sari.

"Iya, Bu. Biar aja dia duluan. Permisi, Bu," aku segera beranjak meninggalkan beliau sebelum semakin banyak lagi pertanyaannya.

Aku menghenyakkan pantatku di kasurku yang mungil. Kupandangi dan kuelus permukaannya yang dilapisi seprei putih. Hanya sebulan setelah kami sah pacaran, Anton mengambil kesucianku di atas kasur ini. Seprei ini pula yang menjadi saksi darah pertamaku menodai warnanya yang putih dan polos.

Sebenarnya ibu kosku melarang laki-laki masuk ke kamar anak kosnya. Tapi hari itu, Anton diam-diam masuk ke kamarku karena aku sedang demam dan di rumah hanya ada aku. Sarah dan Wina pulang kampung. Dan entah bagaimana, Anton berhasil membujukku sehingga terjadilah perbuatan terlarang itu. Bukannya bertobat, tapi sejak saat itu kami jadi sering melakukannya. Anton selalu punya cara membujukku. Mulai dari rayuan semanis madu sampai kepada ancaman bahwa dia akan menyebarkan aib kami. Tentu saja aku takut dengan ancaman itu.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Saat kedua kalinya kami melakukan perbuatan haram itu, aku baru ingat perkataan Wina. Dia satu-satunya orang yang tidak setuju aku pacaran dengan Anton, bahkan di saat acara ulang tahunku, dia jelas-jelas menunjukkan ketidaksetujuannya. Tapi aku dibutakan rasa bahagia sehingga mengabaikannya bahkan menganggapnya cemburu kepadaku.

"Sepertinya dia bukan orang baik, Tin," katanya setelah kami pulang dari kafe malam itu.

"Kamu tahu dari mana?" Tanyaku sambil mencium-cium mawar pemberian Anton.

" Firasatku bilang dia bukan orang baik," kata Wina.

"Bagaimana kalau firasat kamu itu salah?" Tantangku. "Kamu menilainya dari mana?"

"Dia urakan dan nggak sopan," kata Wina. " Lihat aja tadi, dia kayak nggak menghargai kamu dan juga kami."

Aku kurang suka mendengar penuturannya. "Bilang aja kamu cemburu kan," ledekku.

"Cemburu?" Wina terkekeh geli. " Sorry, Tin, walaupun dia tampan, aku nggak tertarik sedikit pun sama dia."

"Udah deh, ngaku aja." Aku ngotot.

Sekarang aku menyesalinya. Tapi aku menyadari bahwa aku tidak akan bisa lepas dari Anton sejak pertama kali dia mengambil hartaku yang paling berharga.

Aku meremas rambutku pilu. Bagaimana ini? Bagaimana cara menyampaikan ini kepada Anton?

Dan seakan mengerti kegelisahanku, tiba-tiba ponselku berdering. Aku meraihnya dari meja kecil di samping kasurku. Nama Anton tertera di sana.

"Halo?"

"Halo, Sayang," suara ceria di seberang sana bukannya menenteramkan aku, tapi malah membuatku tiba-tiba mual lagi.

"Bang, aku mau ngomong," kataku.

"Apa, Sayang? Bilang aja. Kita kan lagi ngomong ini. Eh, kamu masih di rumah, ya?"

bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status