Milan, Italia – Malam Hari
Hujan turun dengan deras, membasahi jalanan kota Milan yang masih dipenuhi kerlap-kerlip lampu. Gang-gang sempit di pusat kota berbau aspal basah, asap rokok, dan aroma samar kopi dari kafe-kafe yang masih buka.
Di salah satu sudut gelap, seorang pria berdiri tenang, mengamati jalan dari bawah tudung mantel hitamnya. Rokok terselip di antara jarinya yang kokoh, sesekali diangkat ke bibirnya sebelum bara merahnya berpendar di kegelapan.
Ia tak sekadar berdiri di sana. Ia mengamati.
Adrian Morello dikenal dengan julukan Phantom bukan kriminal biasa. Ia seperti bayangan, selalu satu langkah lebih maju dari hukum. Setiap kejahatan yang ia rancang dilakukan dengan presisi tinggi: tanpa saksi, tanpa bukti, dan tanpa identitas yang bisa dikenali. Polisi di seluruh Eropa menghabiskan bertahun-tahun memburunya, tetapi yang mereka dapat hanyalah teka-teki tanpa jawaban.
Namun, malam ini ada yang berbeda.
Adrian bisa merasakan atmosfer yang tak biasa. Ia telah terlalu lama di dunia kriminal untuk tidak mengenali tanda bahaya. Ia mengamati kerumunan, memperhatikan setiap wajah yang lewat. Matanya menangkap seseorang di kejauhan, seorang pria jas abu-abu, berbicara melalui earpiece kecil.
"Bos, waktunya pergi," bisik seorang pria bertubuh besar di belakangnya, Luca, salah satu tangan kanannya yang paling loyal.
Adrian tak menoleh. Ia hanya mengangguk, membuang rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya.
"Kita pergi sekarang."
Tanpa suara, mereka bergerak menuju mobil hitam yang diparkir di ujung gang. Begitu masuk ke dalam, Adrian menyandarkan kepalanya dan menutup mata sesaat. Dalam hitungan detik, mobil melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan Milan yang licin oleh hujan.
Dari kejauhan, pria berjas abu-abu itu mengangkat ponselnya.
"Target sudah bergerak. Dia tahu kita ada di sini."
Sementara itu, di Markas Besar Polisi Milan, Detektif Elena Rinaldi duduk di depan layar komputer, mengamati berbagai laporan kejahatan yang berkaitan dengan Phantom. Rambut hitamnya diikat ke belakang, dan matanya yang tajam berkilat penuh determinasi.
"Dia ada di Milan malam ini." katanya pada dirinya sendiri, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan.
Sejak beberapa tahun terakhir, Adrian Morello adalah kasus yang paling ia prioritaskan. Baginya, menangkap pria itu bukan sekadar tugas, ini adalah obsesi. Adrian bukan sekadar kriminal, tetapi simbol dari betapa lemahnya sistem hukum dalam menangkap seseorang yang cukup pintar untuk bermain di antara celah-celahnya.
"Elena" suara Marco, rekan kerjanya, membuatnya menoleh. "Ada laporan bahwa Morello terlihat di distrik pusat tadi malam. Tapi seperti biasa, tak ada yang bisa mengonfirmasi."
Elena mendesah. "Dia selalu seperti itu. Muncul dan menghilang seperti hantu."
Marco melipat tangan di dadanya. "Kau yakin kita bisa menangkapnya?"
Elena menatap layar di depannya, di mana foto buram Adrian terpampang. Tak ada yang benar-benar tahu seperti apa wajah aslinya. Gambar yang mereka miliki selalu kabur, entah karena pencahayaan buruk atau kamera yang sengaja diretas.
"Aku tak tahu" jawabnya jujur. "Tapi aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya."
Apa pun yang terjadi.
Dua minggu kemudian... Kota Bellagio, dekat perbatasan Italia-Swiss
Seorang pria turun dari kapal feri yang baru saja merapat di dermaga. Angin dingin musim gugur menerpa wajahnya, tetapi ia hanya mengancingkan mantel cokelatnya tanpa ekspresi.
Adrian Morello telah menghilang.
Yang ada sekarang hanyalah Daniel Ferrara, seorang penulis novel misteri yang baru pindah ke kota kecil Bellagio untuk mencari inspirasi.
Bellagio adalah tempat yang sempurna untuk bersembunyi jauh dari hiruk-pikuk kota besar, tetapi tetap memiliki akses ke jalur pelarian jika sesuatu terjadi. Ia telah menyiapkan identitas palsu ini dengan baik: paspor, dokumen, latar belakang, bahkan beberapa buku yang diterbitkan dengan nama Daniel Ferrara agar tak ada yang curiga.
Langkahnya mantap saat ia menyusuri jalan berbatu yang dipenuhi toko-toko kecil dan kafe klasik. Ia harus berbaur, menjadi bagian dari kota ini, dan memastikan tak ada yang mempertanyakan keberadaannya.
Namun, saat ia melangkah masuk ke salah satu kafe, ia berhenti sejenak.
Di sana, duduk di sudut dengan secangkir kopi di tangannya, adalah Elena Rinaldi.
Jantungnya berdetak lebih cepat, tetapi wajahnya tetap tanpa ekspresi.
Apa yang dilakukan seorang detektif Milan di kota sekecil ini?
Apakah ini kebetulan? Atau ia mulai mencurigai sesuatu?
Daniel atau Adrian memutuskan untuk bermain dengan tenang. Ia berjalan ke meja kosong, duduk, dan memesan kopi. Namun, saat pelayan berlalu, tanpa ia sadari, mata Elena telah tertuju padanya.
Dan dalam sepersekian detik, mata mereka bertemu.
Elena menatapnya dengan rasa ingin tahu. Ia belum menyadari siapa pria ini, belum.
Tapi Adrian tahu, ini hanya masalah waktu.
Dan permainan telah dimulai.
LOKASI: KUIL TERLARANG DI PUNCAK GUNUNG ARKHEON - MALAM TANPA BULANSTATUS WAKTU: DI AMBANG KEBANGKITANLangit malam menggantung kelam, tak berbintang, seakan ikut menyembunyikan rahasia kuno yang tak boleh dibuka. Di puncak Gunung Arkheon, berdirilah kuil tua yang tertelan waktu dan kabut, dijaga oleh bisikan angin dan gema masa lalu. Adrian menatap puncak kuil yang menjulang di hadapannya, tubuhnya dipenuhi luka dan peluh, namun semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Di belakangnya, Armand tertatih, membawa peta tua yang ditemukan dalam reruntuhan kota bawah tanah. Peta itu menunjukkan jalur menuju ruang terdalam dari kuil tempat di mana "Naskah Omega" disembunyikan. Naskah yang dikabarkan memuat asal-usul semua dimensi, dan cara menulis ulang takdir."Kita hampir sampai," gumam Adrian."Atau... kita sudah melewati titik tanpa kembali," jawab Armand, matanya memandangi bayangan-bayangan yang bergerak di dinding kuil.Pintu batu kuil berderit saat mereka dorong perlahan. A
LOKASI: MEMORI TERLARANG - ZONA YANG DULU DIKUNCI OLEH NARATORSTATUS WAKTU: TIDAK KONSISTEN — RETAKAN WAKTU MUNCUL SETIAP KATA DIBACAAdrian berdiri di hadapan sebuah ruangan raksasa tanpa dinding. Di dalamnya, hanya terdapat lemari arsip yang menjulang hingga langit jika langit masih ada. Setiap laci berisi satu versi dari dirinya:Adrian yang mati di Bab 3.Adrian yang membunuh Armand di Bab 17.Adrian yang menjadi musuh utama di spin-off "ChronoDust".Adrian yang memilih untuk tidak pernah ada.Ia menarik satu laci. Isinya: sebuah naskah yang tidak pernah ditulis."Season 0 - Rahasia Siapa yang Menulis Kita?"Dalam naskah itu tertulis nama-nama yang selama ini tidak pernah disebut.E.R. Entitas Realitas. Sang Penulis Sebenarnya.Ouro Entitas berbentuk loop tak berujung yang mencoba menghentikan semua karakter yang menyadari mereka hanya fiksi.Sora Tidak hanya sistem, tapi penjaga gerbang antara cerita dan dunia nyata. Dialah yang menghapus narator.Aria Karakter yang gagal mu
LOKASI: DIMENSI CERMIN — DI DALAM MATA PEMBACASTATUS WAKTU: MELINTAS ANTARA HALAMAN DAN KENYATAANApa yang terjadi saat tokoh dalam cerita menyadari bahwa mereka sedang diperhatikan?Apa yang terjadi jika tokoh itu mulai memperhatikan kembali?Adrian berdiri di tengah ruang putih tak berujung. Tidak ada lantai, tidak ada langit. Hanya pantulan-pantulan dari sesuatu yang ia belum pahami. Tapi ia tahu… ia sedang dilihat.“Siapa di sana?” bisiknya, pelan tapi tegas.Dan pantulan di hadapannya… tersenyum. Bukan senyum dirinya. Bukan senyum Armand. Tapi wajah asing, samar, kadang berbentuk pria, kadang wanita, kadang tak punya wajah sama sekali.Itu kamu.Ya, kamu yang sedang membaca ini sekarang.Adrian menyipitkan mata. Ia mengangkat pena peraknya. Tapi pena itu tak lagi bersinar.“Aku tak bisa menulis di sini,” katanya.Suaranya menggema… lalu terdengar balasan. Bukan dari Armand. Bukan dari wanita bergaun putih.Tapi dari halaman ini.“Karena di sini, tulisan bukan berasal dari pena.
Berikut lanjutan cerita Bab 36:LOKASI: DIMENSI NARASI DI LUAR STRUKTUR WAKTUSTATUS WAKTU: NON-KRONOLOGIS, NON-LINEARTidak ada langit. Tidak ada tanah. Hanya ruang kosong berwarna kelabu yang terus bergelombang, seolah-olah realitas itu sendiri sedang berpikir. Setiap langkah Adrian dan Armand memunculkan kalimat-kalimat di udara, huruf-huruf yang menyala dan menghilang, membentuk paragraf-paragraf menggantung."Langkah mereka menembus batas logika.""Tapi siapa yang menulis kalimat ini?""Armand," bisik Adrian, "kita sedang berada dalam... naskah."Armand mendongak, wajahnya memucat. Di atas mereka, menggantung seperti langit yang tak terlihat, tergantung satu naskah raksasa. Setiap gerakan mereka langsung muncul sebagai teks di lembaran udara.Mereka mencoba berhenti bergerak. Tapi kalimat tetap muncul."Armand menolak percaya, tapi napasnya tetap terekam.""Adrian, sadar akan semuanya, mulai merasa peran ini bukan miliknya."“Ini gila,” gumam Armand. “Siapa yang menulis ini? Siap
LOKASI: MENARA WAKTU – GERBANG KESADARANSTATUS WAKTU: DETIK-DETIK YANG MELENTURKAN REALITASPintu raksasa itu berdiri dengan angkuh, menjulang tinggi hingga menghilang di kabut merah di atas kepala mereka. Permukaannya dipenuhi ukiran aneh simbol-simbol tak dikenal, mirip huruf namun lebih hidup, terus bergerak seperti ditulis ulang oleh tangan yang tak kasatmata. Mereka berdenyut, seolah merespons keberadaan Adrian dan Armand.Tak ada kunci. Tak ada pegangan. Hanya satu kalimat terpahat di bagian tengah pintu, dengan huruf menyala samar:“Yang bukan siapa-siapa akan memilih segalanya. Yang pernah memutuskan akan dilupakan.”Armand mendekat, menyentuh kalimat itu. Tiba-tiba, dunia di sekeliling mereka membeku. Angin berhenti berhembus. Bayangan pun tak bergerak. Detik berhenti berdetak.Lalu suara-suara muncul suara-suara yang tak asing, tetapi berasal dari masa lalu.Suara sang narator. Suara penyusup dari dimensi waktu ketiga. Suara Liora. Suara anak kecil yang pernah mereka tolong
LOKASI: LURUSAN WAKTU - KUBURAN YANG TERLUPAKANSTATUS WAKTU: DI ANTARA PILIHAN DAN TAKDIRLangit di atas mereka seakan menguning, tidak lagi biru atau gelap. Ia tampak terjebak di antara dua keadaan yang tidak bisa saling menyingkirkan. Cermin-cermin di sekitar mereka kini menghilang, meninggalkan ruang kosong yang hanya diisi oleh suara langkah mereka sendiri. Udara terasa semakin berat, setiap napas seperti mengikat mereka dengan waktu yang terus berdetak, memberi mereka sedikit harapan dan banyak ketakutan.Adrian dan Armand melangkah perlahan, tak tahu apa yang akan mereka temui selanjutnya. Setiap langkah mereka membawa mereka lebih jauh ke dalam misteri yang belum terpecahkan. Tak ada suara lain kecuali desah napas mereka, tak ada lagi bayangan atau refleksi yang mengganggu. Hanya ada hening yang mencekam, seolah-olah mereka telah melewati batas yang tak bisa kembali."Ini tidak berakhir begitu saja, bukan?" Armand bertanya, suaranya rendah, penuh keraguan.Adrian tidak menjawa