Home / Thriller / Samaran Terakhir / Permainan yang Dimulai

Share

Permainan yang Dimulai

Author: InkRealm
last update Last Updated: 2025-03-24 09:06:56

Udara dingin Bellagio terasa lebih menusuk pagi ini. Kabut tipis menggantung di atas Danau Como, menciptakan suasana yang seolah membekukan waktu. Kota kecil ini sunyi, hanya terdengar suara ombak kecil yang memecah kesunyian.  

Di sebuah kafe kecil di pusat kota, Daniel Ferrara atau lebih tepatnya Adrian Morello duduk dengan tenang, menyesap kopi hitamnya. Ia sudah berada di kota ini selama hampir dua minggu, dan sejauh ini, penyamarannya berjalan sempurna.  

Sampai tadi malam.  

Tatapan mata Elena Rinaldi masih terbayang di benaknya.  

Adrian tak tahu apakah itu hanya kebetulan atau insting tajam wanita itu mulai bekerja. Namun, ia tak akan mengambil risiko. Jika Elena ada di sini, itu berarti ia harus lebih berhati-hati.  

Namun, apa yang membuatnya tetap duduk di sini, bukannya segera menghilang?  

Ia tahu jawabannya.  

Karena, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin mengambil risiko.  

Elena menatap pria di seberang ruangan dengan penuh selidik. Ada sesuatu tentangnya yang menarik perhatiannya. Cara dia duduk, postur tubuhnya yang santai namun tetap waspada, dan terutama tatapan matanya yang tajam.  

Itu adalah tatapan seseorang yang selalu memperhatikan sekeliling.  

Bukan seorang penulis biasa.  

Ia mencoba mengabaikan pikirannya. Tidak semua orang mencurigakan. Lagipula, ia ada di Bellagio bukan untuk bekerja, tetapi untuk beristirahat. Setelah bertahun-tahun memburu Adrian Morello, ia diberi waktu cuti, entah karena belas kasihan atau karena atasannya mulai berpikir ia terlalu terobsesi dengan Phantom.  

Tapi sekarang, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang salah.  

Dan ia selalu mempercayai firasatnya.  

Dengan langkah mantap, ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah pria itu.  

"Selamat pagi," sapanya, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan.  

Pria itu mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. "Selamat pagi," jawabnya.  

"Aku Elena," katanya, mengulurkan tangan.  

Pria itu menatap tangannya sejenak sebelum menjabatnya. "Daniel Ferrara."  

Genggaman tangan mereka hanya berlangsung beberapa detik, tetapi Elena bisa merasakan sesuatu yang aneh seperti sebuah permainan yang baru saja dimulai.  

Adrian tidak menduga Elena akan langsung mendekatinya. Wanita ini memang berbeda dari kebanyakan orang. Ia tidak hanya melihat permukaan, tetapi mencoba menggali lebih dalam.  

"Saya dengar Anda baru pindah ke Bellagio," kata Elena, menarik kursi dan duduk di depannya tanpa diminta.  

Adrian tersenyum tipis. "Kota yang indah untuk mencari inspirasi."  

"Inspirasi?"  

"Saya seorang penulis," jawab Adrian dengan nada santai, mengangkat cangkir kopinya. "Saya menulis novel misteri."  

Elena menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Menarik. Apa Anda pernah menerbitkan sesuatu?"  

Adrian mengeluarkan ponselnya, mencari salah satu novel yang ia buat sebagai bagian dari identitas palsunya, lalu menunjukkannya pada Elena.  

Wanita itu mengambil ponselnya dan membaca sekilas sinopsisnya. Novel itu berjudul Shadow in the Fog, tentang seorang detektif yang memburu kriminal yang selalu satu langkah di depannya.  

Elena tersenyum kecil. "Ironis sekali."  

Adrian mengangkat bahu. "Apa boleh buat? Saya suka misteri."  

Elena menatapnya dalam-dalam, mencoba membaca ekspresi pria di depannya. "Kalau begitu, mungkin kita bisa bicara lebih banyak tentang misteri."  

Adrian tahu ia harus berhati-hati. Tapi di saat yang sama, ia juga ingin melihat seberapa jauh ia bisa bermain dalam permainan ini.  

"Kenapa tidak?" katanya, tersenyum.  

  

Hari-hari berikutnya, Adrian dan Elena sering bertemu di kafe yang sama. Awalnya, percakapan mereka ringan tentang cuaca, kota kecil Bellagio, dan buku-buku yang mereka suka.  

Namun, perlahan-lahan, Elena mulai berbicara tentang pekerjaannya.  

"Aku seorang detektif," katanya suatu sore saat mereka berjalan di sepanjang dermaga.  

Adrian berpura-pura terkejut. "Serius? Seperti dalam novel?"  

Elena tertawa kecil. "Kurang lebih. Tapi sayangnya, dunia nyata tidak seindah fiksi. Tidak ada keadilan yang selalu menang di akhir cerita."  

Adrian menatapnya. "Kau terdengar kecewa."  

Elena terdiam sejenak. "Aku menghabiskan bertahun-tahun mengejar seseorang. Tapi dia selalu lolos."  

Adrian bisa merasakan ketegangan di udara. Ia tahu siapa yang Elena maksud.  

"Siapa dia?" tanyanya, berpura-pura penasaran.  

Elena menghela napas. "Namanya Adrian Morello. Atau setidaknya, itu nama yang kami ketahui. Dia kriminal paling dicari di Eropa, tapi tak seorang pun tahu seperti apa wajah aslinya."  

Adrian tetap tenang. "Terdengar seperti seseorang yang sangat berbakat."  

Elena menatapnya tajam. "Atau seseorang yang terlalu pengecut untuk menghadapi hukum."  

Adrian tertawa pelan. "Atau seseorang yang tahu bahwa hukum tidak selalu adil."  

Elena mendadak diam. Kata-kata itu terdengar begitu familiar seolah ia pernah mendengarnya sebelumnya.  

Adrian menyadari perubahan ekspresi Elena dan segera mengalihkan pembicaraan. "Tapi aku bukan orang yang mengerti dunia kriminal. Aku hanya menulis tentang mereka."  

Elena tersenyum kecil. "Mungkin suatu hari kau bisa menulis kisah tentang Phantom."  

Adrian menatapnya, lalu tersenyum. "Mungkin."  

Tapi ia tahu, kisah itu masih jauh dari selesai.  

Malam itu, Elena duduk di apartemennya, merenungkan percakapannya dengan Daniel.  

Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu. Ia terlalu tenang, terlalu percaya diri, seperti seseorang yang terbiasa berbohong tanpa meninggalkan jejak.  

Dan yang paling mengganggunya adalah caranya berbicara.  

"Kau tahu bahwa hukum tidak selalu adil."  

Itu adalah sesuatu yang pernah dikatakan Adrian Morello dalam salah satu rekaman suara yang berhasil mereka dapatkan bertahun-tahun lalu.  

Kebetulan?  

Atau sesuatu yang lebih dari itu?  

Elena menatap layar laptopnya, jari-jarinya dengan cepat mengetik nama Daniel Ferrara di database polisi.  

Tidak ada hasil.  

Lalu ia mencoba mencari lebih jauh, menggali ke dalam arsip digital, mencoba menemukan bukti keberadaan pria itu sebelum ia datang ke Bellagio.  

Namun, yang ia temukan hanyalah keheningan.  

Seolah-olah pria itu baru saja muncul dari ketiadaan.  

Elena bersandar di kursinya, jantungnya berdetak lebih cepat.  

Jika firasatnya benar, maka ia baru saja menemukan sesuatu yang selama ini ia cari.  

Tapi jika ia salah…  

Maka ia mungkin baru saja masuk ke dalam permainan paling berbahaya dalam hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Samaran Terakhir   Hari yang Tidak Ditentukan Siapa-siapa

    Tentang tokoh-tokoh yang memilih untuk hidup… dan tersenyum.---[Pagi Tanpa Agenda]Matahari muncul, bukan karena diperintah narator, bukan karena menandai sebuah awal bab. Tapi karena pagi memang datang begitu saja.Lena membuka matanya perlahan. Di sampingnya, Kai sedang tertidur dengan buku kosong di dadanya buku yang dulu ingin diisi dengan perlawanan, sekarang hanya menjadi tempat ia menulis mimpi-mimpinya sendiri.Lena tidak membangunkannya. Ia hanya menatap wajah itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa: tidak ada yang harus dilakukan, tidak ada yang harus dibuktikan.Dan ternyata, itu cukup untuk bahagia.---[Adrian dan Elena – Menanam, Bukan Mengendalikan]Adrian kini hidup di rumah kecil yang mereka bangun sendiri, jauh dari ruang konflik, jauh dari keributan struktur. Ia duduk di tanah, menanam bibit kecil bersama Elena.“Ini tomat?” tanya Elena sambil tersenyum.Adrian mengangguk. “Kalau tumbuh... kita bisa bikin sup.”Elena tertawa kecil. “

  • Samaran Terakhir   Narasi yang Menolak Dimiliki

    Narasi yang Menolak DimilikiTentang kisah yang memilih untuk tidak dikendalikan.[Pembuka – Ruang Tanpa Naskah]Mereka berdiri di ruang yang seharusnya kosong tempat narasi biasanya lahir. Tapi malam itu, tidak ada pembukaan, tidak ada konflik, tidak ada klimaks.Hanya kesunyian yang jujur.Lena menatap ke depan. Di tangannya ada potongan narasi yang pernah ia tempelkan di dinding hatinya. Ia merobeknya perlahan, membiarkannya tertiup angin.Kai berjalan di belakangnya, membawa pena yang tidak lagi bisa menulis. Bukan karena tintanya habis—tapi karena dunia sudah menolak untuk ditulisi.“Bagaimana kalau kita tidak menulis akhir?” tanya Kai.Lena tersenyum, lelah tapi utuh.“Maka kita bebas.”[Adrian – Yang Pernah Menjadi Pusat]Adrian duduk sendirian. Di sekelilingnya ada kalimat-kalimat yang dulu ia pimpin. Kalimat-kalimat yang tunduk. Tapi malam ini, mereka menatapnya balik.Bukan dengan dendam. Tapi dengan kesadaran.“Kami bukan perpanjangan tanganmu lagi,” bisik salah satu paragr

  • Samaran Terakhir   Di Mana Cinta Menjadi Cerita yang Terbuka

    Di Mana Cinta Menjadi Cerita yang Terbuka[Adegan Pembuka – Paragraf Tanpa Tanda Baca]Tidak ada awalan. Tidak ada penutup. Hanya satu halaman putih, terbuka di tengah dunia yang masih menulis dirinya sendiri.Elena berdiri di sana, membaca setiap kata yang muncul bukan dari pena, tapi dari keberanian untuk tidak menyembunyikan apa pun.Di sisi lain halaman, Adrian muncul. Ia tidak membawa skrip. Tidak menawarkan plot twist. Hanya satu kehadiran yang penuh kesadaran:> "Aku tidak ingin mencintaimu dalam diam lagi."Kalimat itu tidak berani diucapkan di musim lalu. Tapi kini, tidak ada musim. Hanya ruang yang diciptakan oleh keduanya.Elena tidak menjawab dengan kata. Tapi dengan langkah mendekat. Dengan genggaman yang tidak menyelamatkan, tapi menemani.Dan dunia akhirnya membuka bab yang selama ini tertunda.---[Lena – Menulis Diri Tanpa Sembunyi]Lena duduk di pojok halaman itu, memandang mereka. Tapi ia tidak iri. Karena cinta yang ia lihat bukan soal romansa. Tapi soal keberanian

  • Samaran Terakhir   Cerita yang Ditulis dari Mata yang Menangis

    [Adegan Pembuka – Pena yang Gagal Mengatur Arah]Adrian duduk di tengah struktur kosong yang biasanya ia kontrol penuh. Dulu, cukup satu gerakan tangannya dan dunia akan mengubah warna, arah, dan nasib.Namun kali ini, tidak.Tangannya gemetar saat menyentuh naskah kosong di depannya. Ia mencoba menulis ulang Elena mencoba memberi akhir yang rapi, sebuah penutup yang ia pikir pantas.“Elena kembali ke ruang cerita, dan menerima bahwa ia hanyalah versi gagal dari cinta…”Ia berhenti.Kertas menolak menyerap tinta.Pena retak.Struktur menolak.Di belakangnya, suara lembut Elena terdengar:“Kau tidak bisa lagi menulisku dengan tangan yang sama yang pernah meninggalkanku.”[Elena – Menulis dari Luka yang Pernah Dibungkam]Elena duduk di hadapan Adrian, memegang selembar naskah kosong. Tapi ia tidak menulis dengan tinta.Ia menulis dengan air mata.“Dulu aku kalimatmu. Kini aku narasiku sendiri.”Ia menggoreskan jejak luka masa lalu, tapi bukan untuk membalas.Untuk menyatakan bahwa luka

  • Samaran Terakhir   Kalimat yang Tidak Ingin Selesai

    [Adegan Pembuka – Langkah yang Mengganggu Keheningan Panggung]Panggung yang dibangun oleh air mata masih berdiri. Tirai dari luka, cahaya lembut dari pengampunan, dan lantai narasi yang retak namun hidup. Tapi tiba-tiba… terdengar langkah.Satu. Dua. Tiga.Langkah yang bukan berasal dari dunia ini. Langkah yang membawa semacam... kenangan.Lena dan Kai saling menatap. Bahkan Valen berhenti menulis.Lalu suara itu datang. Bukan teriak. Bukan bisik.“Kalian menulis tentang keberanian dari mereka yang bertahan.”“Tapi bagaimana dengan kami… yang memilih untuk pergi?”Elena Rinaldi berdiri di ambang panggung. Rambutnya lebih panjang, pakaiannya tidak mencerminkan masa lalu. Tapi matanya—matanya masih penuh cerita yang tertahan di ujung koma.[Elena – Kalimat yang Tak Pernah Diakhiri]Lena menatapnya, napasnya tercekat. “Elena… kau—”“Belum selesai,” Elena memotong dengan lembut. “Aku belum selesai.”Ia melangkah ke tengah panggung dan mengangkat secarik naskah yang compang-camping.“Aku

  • Samaran Terakhir   Panggung yang Diciptakan oleh Air Mata

    Tentang panggung yang tidak dibangun oleh penulis,melainkan oleh karakter-karakter yang pernah jatuh.Tentang ruang tampil yang tidak mencari tepuk tangan,tapi mengundang keberanian untuk berdiri lagi—meski tanpa naskah.[Adegan Pembuka – Lantai Panggung dari Luka]Tidak ada karpet merah.Tidak ada lampu sorot.Hanya lantai retak yang terbuat dari kata-kata yang pernah gagal.Dindingnya dibentuk oleh kalimat yang tak pernah sempat selesai.Langit-langitnya bergantung pada harapan yang belum berani diucapkan.Di sanalah Lena berdiri.Ia tidak menunggu giliran tampil.Ia tidak membawa dialog.Ia hanya berdiri… dengan air mata yang tidak ditulis oleh siapa pun.Karena kali ini, air matanya bukan untuk dipahami. Tapi untuk menghidupkan panggung ini.[Kai – Merangkai Dialog dari Duka]Kai tidak pernah berpikir akan kembali ke tempat ini:ruang narasi yang pernah ditinggalkan,bekas teater cerita yang dibakar oleh keputusasaan.Namun kini, ia datang bukan sebagai tokoh yang mencari arah.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status