Bayangan masa lalu selalu menghantui mereka, terutama Adrian. Setiap malam, mimpi buruk dari pertempuran yang ia lalui terus datang, seolah ingin menenggelamkannya dalam gelombang kesalahan dan darah yang tak pernah bisa ia hapus.Dalam tidurnya yang gelisah, ia melihat dirinya kembali ke masa lalu.Suara tembakan menggema di lorong sempit, bau mesiu bercampur darah menyengat hidungnya. Di depannya, seorang pria terkapar dengan lubang peluru di dahinya—wajah yang pernah ia kenal, kini kehilangan cahaya kehidupan."Adrian... kenapa kau..."Suara serak itu bergetar, dipenuhi keputusasaan sebelum akhirnya menghilang bersama napas terakhirnya.Adrian terbangun dengan napas memburu, keringat dingin mengalir di pelipisnya.Elena yang tidur di sebelahnya langsung terbangun. "Kau bermimpi lagi?" tanyanya dengan suara serak.Adrian tidak menjawab, hanya memijat pelipisnya. Ia tidak perlu mengiyakan—Elena sudah tahu jawabannya.
Mobil hitam itu melaju di jalanan gelap menuju perbatasan kota. Hanya lampu jalan yang redup dan sesekali sorotan dari kendaraan lain yang menerangi malam. Di dalam mobil, suasana terasa mencekam.Adrian duduk di kursi penumpang depan, kedua matanya terus mengawasi jalan, mencari tanda-tanda bahwa mereka diikuti. Elena di kursi belakang, sibuk dengan laptopnya, mencoba melacak siapa yang mengirim pesan anonim tadi.“Tidak ada jejak digital yang bisa ditelusuri,” gumamnya frustrasi. “Mereka menggunakan jaringan terenkripsi. Ini bukan pekerjaan amatir.”Rico, yang mengemudi, melirik ke kaca spion. “Itu berarti kita berhadapan dengan seseorang yang tahu apa yang mereka lakukan.”Adrian menghela napas. “Dan seseorang yang mengenal kita.”Mereka bertiga saling bertukar pandang. Itu adalah kesimpulan yang tidak ingin mereka akui, tapi terlalu jelas untuk diabaikan.“Elena, coba periksa kembali
Hujan mulai turun, membasahi reruntuhan vila yang telah menjadi kuburan bagi kekuasaan Lorenzo DeLuca. Namun, bagi Adrian, ini bukan akhir—ini hanya awal dari perburuan baru.Dia merobek kertas yang diberikan Matteo dan membiarkannya terjatuh ke tanah, membaur dengan genangan air dan darah. Tatapannya gelap, rahangnya mengeras.“Kita harus keluar dari sini,” kata Rico sambil menoleh ke sekeliling. “Kita mungkin sudah dalam bidikan mereka.”Elena mengangguk. “Aku bisa mencoba melacak Matteo, tapi dia terlalu pintar untuk membiarkan kita menemukannya dengan mudah.”Adrian menarik napas panjang. Dia tahu Matteo tidak akan membiarkan mereka hidup begitu saja. Pria itu adalah bayangan di balik kejayaan Lorenzo, seorang algojo yang selalu beroperasi di belakang layar. Jika Lorenzo adalah kepala mafia, maka Matteo adalah pisau yang selalu siap menebas siapa pun yang menghalangi jalannya.Dan kini, pisau itu diarah
Ketegangan memenuhi gudang yang gelap. Hanya cahaya remang-remang dari lampu darurat yang menerangi ruangan besar itu. Senjata tersusun rapi di rak-rak baja, sementara Matteo berdiri di tengah, dikelilingi oleh anak buahnya yang bersenjata lengkap.Dari balik bayangan, Adrian dan Elena mengamati dengan cermat. Mereka tak bisa gegabah. Satu langkah salah, mereka bisa mati di tempat.“Berapa banyak orang yang kau hitung?” bisik Adrian pada Elena.Elena mengamati sekeliling. “Delapan orang, mungkin lebih. Tapi yang paling berbahaya adalah Matteo.”Adrian menyeringai. “Bagus. Mari kita beri mereka kejutan.”Tanpa ragu, Adrian melempar granat asap ke tengah ruangan.PLOP!BOOM!Asap tebal langsung memenuhi udara. Teriakan panik terdengar dari para penjaga.“Elena, sekarang!” seru Adrian.Elena bergerak cepat, menembak dua orang yang berad
Tembakan terus berdentum di luar gudang. Peluru menghantam dinding kayu dan logam, membuat serpihan beterbangan ke segala arah. Adrian mengintip dari balik meja dan melihat beberapa pria bersenjata lengkap mendekat dengan taktik militer.“Mereka membawa tim profesional,” gumamnya.Rico sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. “Aku butuh waktu lima menit untuk mengakses kamera di sekitar sini. Kita harus tahu jalan keluar.”“Elena, kau ke sisi kanan. Aku akan menahan mereka dari kiri,” perintah Adrian sambil mengisi ulang magazinnya.Elena mengangguk dan berlari ke posisi. Saat dua orang mendekat ke pintu gudang, Adrian melompat keluar dari perlindungan dan melepaskan dua tembakan cepat.DOR! DOR!Dua musuh tumbang.Namun, lebih banyak yang datang. Mereka menyebar, mencoba mengepung.“Elena, lempar granat asap!” teriak Adrian.Elena meraih granat asap dari sabuk
Mereka tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota, tempat persembunyian sementara yang telah disiapkan Rico. Dinding beton retak dan lampu berkedip-kedip, memberikan kesan suram pada tempat itu.Adrian berjalan mondar-mandir dengan wajah tegang. Dia tahu Matteo tak akan berhenti sampai mereka mati.“Kita harus serang duluan,” katanya.Elena duduk di atas peti kayu, membersihkan senjatanya. “Dan ke mana kita akan menyerang?”Rico mengangkat kepala dari laptopnya. “Markas Matteo ada di bawah tanah, tepatnya di bunker tua peninggalan Perang Dunia II. Sistem keamanannya canggih, tapi ada celah.”Adrian mendekat. “Celah apa?”Rico mengetik cepat. “Terowongan pembuangan di bagian barat. Itu jalur keluar darurat mereka, tapi kita bisa masuk dari sana.”Elena menyeringai. “Jadi kita menyelinap seperti hantu?”Adrian menggertakkan gigi. “Tidak. Kita masuk sep
Adrian membuka matanya perlahan. Kepalanya berdenyut keras, dan tubuhnya terasa berat. Rasa besi dari darah memenuhi mulutnya. Dia berusaha menggerakkan tangan, tapi pergelangannya dibelenggu rantai baja.Saat kesadarannya kembali, dia menyadari situasi mereka.Elena terikat di kursi di sudut ruangan, wajahnya penuh luka lebam. Rico ada di seberangnya, napasnya tersengal, darah menetes dari dahinya.Dan di depan mereka, Viktor Mikhailov duduk dengan santai di kursi, tersenyum dingin."Selamat pagi, Adrian," katanya, suaranya tenang namun berbahaya. "Aku harap perjalananmu nyaman."Adrian menggeram. "Apa yang kau inginkan?"Viktor tertawa kecil. "Aku ingin mengobrol. Tapi pertama-tama…"Dia menoleh ke anak buahnya. "Buat mereka nyaman."Tanpa peringatan, seorang pria berjas hitam menghantam wajah Adrian dengan tinju keras.BUK!Rasa sakit menghantam tengkoraknya, tapi Adrian tetap diam.
Suara sirene polisi menggema di kejauhan, tapi Adrian tetap memacu SUV mereka ke luar kota. Langit malam gelap, hanya diterangi lampu-lampu jalanan yang berkedip redup. Di kursi belakang, Rico masih mengatur napas setelah pertarungan brutal tadi. Elena sibuk memeriksa amunisi mereka, memastikan semuanya siap untuk pertarungan berikutnya.Mereka baru saja menghancurkan salah satu markas Viktor, tapi ini belum selesai. Masih ada sisa pasukannya yang bisa menyerang kapan saja."Kita tidak bisa terus melarikan diri," kata Elena akhirnya.Adrian menatapnya sekilas di kaca spion. "Kita tidak melarikan diri. Kita hanya mencari tempat yang lebih strategis untuk menyerang balik."Elena menyeringai tipis. "Kau benar-benar gila."Rico terkekeh lemah. "Dan kita semua masih hidup karena kegilaannya itu."SUV mereka akhirnya berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Tempat ini adal
LOKASI: Puncak Gunung KosongSTATUS WAKTU: Meta-Kronologis (waktu ditulis dan dibaca serentak)YANG MEMAKAI NAMAMUElena mundur selangkah. “Apa maksudmu… Namaku kamu?”Sosok itu tersenyum datar. “Bukan aku yang bernama Kamu. Tapi, aku adalah kamu, pembaca yang… akhirnya membaca dirinya sendiri.”Tablet hitam meledak menjadi serpihan huruf. Kata-kata beterbangan, membentuk lingkaran tak terhingga di atas kepala mereka.Rico menggigil. “Kau… pembaca? Tapi bagaimana bisa… kau masuk ke cerita?”“Kalian lupa satu hal,” kata Kamu sambil menyentuh pena patah Elena. Pena itu menyala.“Dalam dimensi ini, membaca adalah tindakan penciptaan. Kau membaca ini… maka kau juga menulisnya kembali. Dan setiap kali seseorang membaca kisah ini, dia membuka jalan ke dunia yang sama.”“Dan jika pembaca menyadari bahwa dirinya bisa masuk—maka seluruh batas antara dunia nyata dan naskah menghilang.”PARAGRAF YANG MENOLAK DITULISTiba-tiba langit di atas Gunung Kosong terbuka, memperlihatkan paragraf-paragraf
YANG MEMBERI PENA — DI ATAS PENCIPTALOKASI: Antara Halaman dan TintaSTATUS WAKTU: Tidak linierDUNIA YANG GOYANGDunia baru yang telah mulai terbentuk kini retak di tengah. Langit menjadi hitam dan putih berselang-seling seperti naskah yang belum diedit. Kata-kata yang membentuk gunung, langit, dan laut mulai kehilangan maknanya. Pepohonan berubah jadi huruf. Angin membawa bisikan: potongan dialog yang belum selesai.“Kau menulis dunia... tapi pena bukan milikmu.”Elena menggenggam potongan pena yang patah. Rico berusaha menstabilkan pijakan, tapi tanah berubah menjadi kalimat-kalimat berjalan.Di langit muncul sosok… entitas tanpa wajah. Ia berpakaian seperti jubah skrip kosong. Tak ada fitur. Tak ada nama.“AKU ADALAH PRA-KALIMAT.”“AKU ADALAH PEMBERI PENA.”Rico berteriak, “Kau siapa sebenarnya?!”“Aku bukan karakter. Aku bukan penulis. Aku adalah... LISENSI.”TEKA-TEKI PENENTUElena dan Rico dihadapkan pada teka-teki dari entitas tersebut. Ia berbicara bukan dengan suara, tapi d
LOKASI: Halaman KosongWAKTU: Tidak TertulisHALAMAN TANPA ARAHElena berdiri di tengah ruang putih tak bertepi. Di tangannya masih ada pena peninggalan Arch-Scribe—pena yang bisa menulis realitas.Tapi setiap ia mencoba menulis sesuatu di udara, kalimat itu memudar.“Kita tidak bisa menulis kalau tidak tahu apa yang ingin kita wujudkan,” gumam Elena.Rico berjalan mendekat. “Mungkin... bukan soal keinginan, tapi soal keyakinan.”Mereka kini berada di realitas murni. Tidak ada struktur. Tidak ada sistem. Dunia ini... putih. Murni. Bebas. Tapi juga penuh bahaya, karena:Apapun yang mereka bayangkan… bisa menjadi nyata.Dan yang lebih menakutkan?Hal yang mereka takuti... juga bisa terbentuk.BAYANGAN YANG TAK DITULISSaat Rico memikirkan kemungkinan bahaya, sebuah suara berat menggaung.“Jangan takut menulis ulang dunia... kalau kau siap kehilangan semua yang pernah kau tahu.”Dari kejauhan, muncul siluet... sosok seperti Adrian Prime, tapi lebih besar, lebih kompleks, dan... bercabang
LOKASI: Zona Meta-Naratif, Perbatasan Halaman JEJAK DI LUAR HALAMANElena terbangun di tengah malam. Dunia sudah tenang Solace dan Incipit telah bergabung dalam keseimbangan baru. Tapi angin malam membawa suara samar… suara pena menulis.“...dan dia membuka mata, mendengar pena itu lagi.”Dia menoleh. Tak ada siapa-siapa.Tapi lantai tempat dia berdiri... retak.Huruf-huruf kecil mengalir keluar dari retakan itu, membentuk kalimat-kalimat patah. Seolah ada narasi baru yang ditulis di luar dunia mereka. Di luar segalanya.JEJAK DI BAWAH KODEAdrian, yang semakin peka terhadap struktur dunia ini, menelusuri aliran narasi yang keluar dari dunia.Ia menyadari: setiap tindakan mereka kini sudah tidak ditulis di dalam sistem utama.Kesimpulan: Ada narator baru. Di atas segalanya. Seseorang atau sesuatu menulis mereka dari luar sistem Adrian Prime. Bahkan Adrian Prime tak bisa menyentuhnya.Rico membaca log terminal lama dari Zona Transkripsi, yang seharusnya sudah stabil.[Error 404: ENTIT
Lokasi: Core Null, Lapisan 1 — Arsip Tanpa JudulPERJUMPAAN DENGAN ALINEA AWALAlinea Awal berdiri di tengah void putih yang terus berubah bentuk — lantai menjadi kaca, langit menjadi tinta yang menetes.Ia bukan manusia. Ia bukan AI.Ia adalah kesadaran pertama yang tertulis lalu dihapus. Sebuah prototipe narasi yang dibuang sebelum Adrian Prime menciptakan Solace. Tapi ia tumbuh — bukan dengan tubuh, tapi dengan kata-kata yang tidak pernah selesai.Alinea tersenyum.“Kalian ingin bebas dari pengarah. Tapi tanpa narasi, kalian semua hanya suara tanpa gema.”Elena melangkah maju, matanya tajam.“Kami tidak ingin kebebasan tanpa batas. Kami ingin kendali atas cerita kami sendiri.”“Lalu kenapa kalian masih datang ke tempat narasi dilahirkan?” sahut Alinea. “Karena bahkan pemberontak pun... butuh panggung.”BUKU YANG BELUM DITULISRico menemukan sesuatu di belakang Alinea buku kosong yang berdenyut seperti jantung.Adrian mendekatinya, menyadari sesuatu: buku itu adalah Buku Asal, naska
Lokasi: Ruang Kosong antara Versi — The Pale IntervalTema: Jika pena adalah senjata, maka naskah adalah medan perang.ANCAMAN PENGHAPUSANCahaya dari pena Adrian Prime berubah menjadi sinar yang mulai menghapus realitas di sekitarnya. Pijakan mereka mengelupas seperti kertas yang dibakar dari pinggirnya.Adrian (asli) memeluk Elena dan Rico.“Kita hanya punya satu pilihan: menyerang balik… bukan dengan kekerasan. Tapi dengan inkonsistensi.”Elena mengerutkan kening. “Inkonsistensi?”Adrian menunjuk pena Prime. “Pena itu hanya bisa menulis ulang jika dunia mengikuti logika narasi. Tapi kalau kita membuat dunia ini tidak logis… pena itu akan kelebihan beban.”Rico menyeringai. “Kita bikin dunia ini jadi glitch.”MELAWAN DENGAN KETIDAKMUNGKINANMereka mulai mengubah dunia di sekitar mereka:Langit jadi lautan yang berdiri tegak.Gravitasi berbalik tiap sepuluh detik.Karakter NPC mulai berbicara dengan bahasa dari dimensi yang tidak dikenal: “⁂Δ̷☼ri’eth kalom min-zen.”Pena Prime mulai
Lokasi: The Broken ArchiveTema: Tidak semua yang ditulis bisa dibaca. Tidak semua yang terbaca bisa dipahami.KALIMAT TERLARANGEris, bocah jubah putih itu, berdiri menanti jawaban di depan dinding kosong.Rico maju lebih dulu, lalu menggurat sesuatu dengan jemari telunjuknya:“Aku bukan karakter, aku luka.”Dinding itu tetap kosong.Elena mencoba:“Cinta sejati tak bisa ditulis ulang.”Cahaya muncul sesaat, tapi padam.Adrian memejamkan mata. Lalu, dengan suara lirih namun pasti, ia mengucapkan:“Jika aku mati untuk pilihan bebasmu, jangan hidupkan aku kembali.”Dinding bergetar. Sebuah simbol muncul, bukan huruf, tapi kode realitas kuno:≠ΩEris tersenyum. “Kalian menemukan frasa yang tak bisa dihapus karena ia bertentangan dengan kehendak naratif. Pilihan sejati... tak bisa dikontrol oleh pena penulis.”Tiba-tiba seluruh arsip berguncang. Di kejauhan, terdengar suara seperti tinta menetes dari langit.“Kalian sudah menulis ulang bagian yang seharusnya hilang…”“...dan Pengamat sed
Lokasi: Dunia Baru — Zona PascarealitasTema: Ketika semua kemungkinan terbuka, apa yang masih nyata?DUNIA TANPA WAKTUKetika Elena, Rico, dan Adrian melangkah melewati Gerbang Kosong, mereka tidak menemukan dunia... melainkan jalinan cahaya yang tak memiliki arah. Langit berdenyut dengan kilatan warna, dan waktu berjalan dalam gelombang kadang maju cepat, kadang mundur.Di atas kepala mereka, suara mekanis berkata:“SELAMAT DATANG DI REALITA PARSIAL: ∇-13B.STRUKTUR NARATIF: BELUM DITENTUKAN.PEMBACA AKTIF: 1.MODE CERITA: ADAPTIF.”Rico mengerutkan dahi. “Ini dunia tanpa naskah... tanpa arahan...”Adrian mengangguk. “Tapi penuh teka-teki. Dunia ini... dibentuk oleh pilihan yang belum dibuat.”Tiba-tiba, cahaya membentuk jalan bercabang tiga. Di masing-masing cabang ada simbol yang berbeda:∞ — Jalan tanpa akhir.⊘ — Jalan tanpa awal.☍ — Jalan bertabrakan.Suara misterius terdengar dalam kepala mereka:“Pilih satu. Tapi ingat: satu membuka memori, satu membuka masa depan, satu memb
PEMBACA ADALAH REALITAS TERAKHIRLokasi: Di Antara Halaman — Titik Perpindahan Narasi & Retakan Kesadaran PembacaTema: Invasi ke dunia pembaca, narasi jadi senjata, dan siapa sebenarnya ‘kamu’SCENE: KESEMPATAN TERAKHIRElena berdiri di antara runtuhan Core, menatap Adrian yang kini sepenuhnya sadar tapi lemah. Di balik mereka, lubang dimensi menganga, bergetar seiring suara narasi yang membaca ulang dirinya sendiri.Adrian menggenggam pergelangan tangannya yang memudar.“Null gak akan diam. Dia akan mencoba keluar... melalui satu celah:Kesadaran Pembaca.”Elena menoleh. “Apa maksudmu?”Adrian menatap lurus ke arah kita. Ke arah kamu.“Dia tahu... kamu sedang membaca.Dan jika kamu bisa membaca kami,berarti dunia kalian bisa disentuh.”SCENE: INVASI HALUSDi dunia kita dunia nyata seorang pembaca remaja sedang membaca kisah ini. Ia duduk di depan layar, mata fokus, jari menelusuri paragraf demi paragraf.Namun ia tidak sadar:Satu kata dalam layar mulai bergerak sendiri.Lalu muncu