Rossi duduk di kursi interogasi dengan ekspresi datar. Di hadapannya, Elena menyilangkan tangan. "Dengan semua bukti yang kita miliki, kau tak akan bisa lolos" katanya dingin. Rossi tersenyum tipis. "Kau pikir aku peduli?" Elena menekan kedua tangannya ke meja. "Kalau begitu, beri tahu aku satu hal di mana Marco Santoro?" Rossi menatapnya lama, lalu mendekat sedikit. "Kau sudah terlalu dekat dengan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi." Elena menahan napas. "Dan itu akan membunuhmu." Tiba-tiba, lampu di ruang interogasi berkedip. Suara ledakan kecil terdengar dari luar. Alarm berbunyi. Elena langsung menarik pistolnya. Tapi Rossi hanya tersenyum lebih lebar. "Kau pikir mereka akan membiarkanku berbicara?" Dan sebelum Elena bisa bertindak, sebuah suara menggema di ruangan. DOR! Rossi tersentak. Darah mengalir dari dahinya. Ia terjatuh ke meja. Mati. Elena berbalik cepat, tapi koridor di luar ruangan sudah kosong. Pembunuhnya menghilang da
Pelabuhan larut malam terasa sunyi. Tapi Adrian dan Elena tahu itu hanya ilusi. Bahaya mengintai di setiap sudut. Mereka sudah ketahuan. Dan Marco pasti telah mengirim anak buahnya untuk menghabisi mereka. Adrian menghela napas, lalu menatap Elena. "Kita tidak bisa lari sekarang," katanya pelan. Elena menggenggam pistolnya erat. "Aku tidak pernah berencana untuk lari." Adrian tersenyum miring. "Bagus. Kita buat mereka menyesal telah mengejar kita." Mereka berpisah, bergerak di antara kontainer besar di pelabuhan. Elena merayap ke arah salah satu gudang tua, mengamati sekitar dengan hati-hati. Lalu ia melihatnya dua pria bersenjata patroli di dekat pintu masuk. Mereka sedang berbicara melalui radio. "Mereka masih di sekitar sini. Perintah dari Marco: tembak untuk membunuh." Elena menahan napas. Jika mereka berhasil menghubungi Marco, dia bisa membawa lebih banyak orang. Ia harus bertindak cepat. Dalam satu gerakan cepat, ia keluar dari bayangan, menemb
Adrian duduk di tepi dermaga, menatap matahari pagi yang perlahan muncul dari balik cakrawala. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma asin yang menenangkan. Elena berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuhnya pada pagar besi. "Kau yakin ini sudah berakhir?" tanyanya pelan. Adrian tidak langsung menjawab. Ia masih merasakan darah di tangannya, meski secara fisik sudah bersih. Kematian Marco Santoro seharusnya mengakhiri segalanya. Tapi dunia kriminal tidak sesederhana itu. "Aku ingin percaya begitu," jawabnya akhirnya. Elena duduk di sampingnya. "Tapi?" "Tapi Marco benar. Dunia ini tidak akan berhenti hanya karena dia mati." Elena menggenggam tangannya. "Itu berarti kita harus tetap waspada." Adrian tersenyum tipis. "Kita?" Elena menatapnya dengan tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian." Adrian menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa tidak benar-benar sendirian. Tapi kebersamaan mereka akan
1. Persiapan Perang Adrian berdiri di depan meja dapur apartemen Elena, menatap peta yang terbentang di atasnya. Berbagai foto, catatan, dan skema terpampang jelas—semuanya berpusat pada satu nama: Keluarga DeLuca. Elena duduk di sofa, mengamati ekspresi serius Adrian. "Apa langkah pertamamu?" tanyanya. Adrian menghela napas. "Aku perlu tahu seberapa besar kekuatan mereka di kota ini. Jika Lorenzo datang menemuimu sendiri, berarti mereka punya pengaruh yang cukup kuat di sini." Elena mengangguk. "Aku bisa mencoba mencari informasi dari dalam kepolisian. Mungkin ada catatan transaksi mencurigakan yang mengarah ke mereka." "Tidak cukup." Adrian menatapnya. "Aku butuh seseorang yang bisa memberikan informasi langsung. Seseorang dari dunia mereka." Elena berpikir sejenak. "Ada satu orang yang mungkin bisa membantu." "Siapa?" "Mantan informan Marco. Namanya Silvio Romano. Dia dulu bekerja untuk Santoro, tapi setelah kematiannya, dia menghilang. Jika dia masih hidup, dia pa
1. Balas Dendam Dimulai Dua jam setelah penculikan Giovanni DeLuca, Adrian dan Elena tetap siaga di gudang tua yang mereka jadikan markas sementara. Giovanni duduk di kursi dengan tangan terikat di belakangnya. Mulutnya berdarah akibat perlawanan sebelumnya. Elena menatapnya tajam. “Ayahmu pasti sudah menggerakkan seluruh pasukannya sekarang.” Adrian berdiri di sampingnya, mengamati layar ponsel. Dia telah memasang beberapa pemantau frekuensi radio untuk mengawasi komunikasi DeLuca. “Lorenzo tidak akan tinggal diam,” gumam Adrian. “Tapi kita juga tidak akan.” Tiba-tiba, suara alarm dari pemantau frekuensi berbunyi. Adrian segera melihatnya. “…Pasukan mereka sudah di jalan,” katanya pelan. “Mereka mengirim empat SUV bersenjata penuh. Lima belas orang. Mereka tidak main-main.” Elena menggertakkan gigi. “Mereka tidak akan datang untuk negosiasi.” Adrian menatap Giovanni. “Ini adalah kesempatanmu untuk tetap hidup. Katakan di mana kelemahan mereka.” Giovanni menyeringai
1. Menuju Sarang Musuh SUV hitam melaju di jalanan sepi menuju vila Lorenzo DeLuca. Adrian duduk di kursi pengemudi dengan tatapan tajam, sementara Elena di sebelahnya memeriksa amunisi. Giovanni DeLuca masih terikat di kursi belakang, sesekali menggerakkan pergelangan tangannya, mencoba mencari celah untuk meloloskan diri. "Seberapa kuat pertahanan vila ayahmu?" tanya Elena tanpa menoleh. Giovanni terkekeh kecil. "Kalian tidak akan keluar hidup-hidup dari sana." Adrian menatapnya sekilas melalui kaca spion. "Kita lihat nanti." Elena menyalakan tablet kecil yang menampilkan peta udara vila DeLuca. "Menurut informasi yang kita dapat, ada dua puluh sampai tiga puluh orang bersenjata di dalam. Kamera pengawas ada di semua sudut, dan sistem keamanannya salah satu yang terbaik." Adrian menggertakkan gigi. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh gangguan." Elena tersenyum. "Sudah kupikirkan." Dia mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu. Tak lama kemudian, layar menamp
Menuju Sarang MusuhSUV hitam melaju kencang di jalanan sepi menuju vila Lorenzo DeLuca. Adrian duduk di kursi pengemudi dengan ekspresi tajam dan rahang mengeras, sementara Elena di sebelahnya sibuk memeriksa amunisi senjata mereka. Di kursi belakang, Giovanni DeLuca masih terikat, sesekali menggerakkan pergelangan tangannya, mencari celah untuk meloloskan diri."Seberapa kuat pertahanan vila ayahmu?" tanya Elena tanpa menoleh.Giovanni terkekeh kecil, matanya penuh ejekan. "Kalian takkan keluar hidup-hidup dari sana."Adrian menatapnya sekilas melalui kaca spion. "Kita lihat nanti."Elena menyalakan tablet kecil yang menampilkan peta udara vila DeLuca. "Menurut informasi yang kita dapat, ada dua puluh sampai tiga puluh orang bersenjata di dalam. Kamera pengawas ada di semua sudut, dan sistem keamanannya salah satu yang terbaik."Adrian menggertakkan gigi. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh gangguan."Elena tersenyum tipis. "Sudah kupikirkan."Dia mengetik sesuatu di pon
Bayangan masa lalu selalu menghantui mereka, terutama Adrian. Setiap malam, mimpi buruk dari pertempuran yang ia lalui terus datang, seolah ingin menenggelamkannya dalam gelombang kesalahan dan darah yang tak pernah bisa ia hapus.Dalam tidurnya yang gelisah, ia melihat dirinya kembali ke masa lalu.Suara tembakan menggema di lorong sempit, bau mesiu bercampur darah menyengat hidungnya. Di depannya, seorang pria terkapar dengan lubang peluru di dahinya—wajah yang pernah ia kenal, kini kehilangan cahaya kehidupan."Adrian... kenapa kau..."Suara serak itu bergetar, dipenuhi keputusasaan sebelum akhirnya menghilang bersama napas terakhirnya.Adrian terbangun dengan napas memburu, keringat dingin mengalir di pelipisnya.Elena yang tidur di sebelahnya langsung terbangun. "Kau bermimpi lagi?" tanyanya dengan suara serak.Adrian tidak menjawab, hanya memijat pelipisnya. Ia tidak perlu mengiyakan—Elena sudah tahu jawabannya.
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - RUANG MEMORI TERLUPAKANSTATUS WAKTU: Tidak TerukurAdrian terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya tergeletak di atas lantai batu yang dingin. Lorong yang penuh dengan bayangan kini hilang, digantikan oleh ruang besar dengan dinding berlapis cermin retak, masing-masing memantulkan bayangannya dalam bentuk yang terdistorsi.Ia mencoba mengingat bagaimana ia sampai di tempat ini, tapi pikirannya terasa kabur, seolah ingatan-ingatan itu terhapus seiring dengan langkahnya yang semakin dalam ke dalam dimensi ini."Di mana aku..." gumamnya, meraba pelipisnya yang terasa nyeri. Di sekelilingnya, cermin-cermin itu berderak pelan, suara retakannya seperti bisikan yang tak henti-hentinya mengganggu pikirannya.Di salah satu cermin, bayangannya muncul, namun kali ini berbeda. Bukan hanya sosoknya yang terlihat, tetapi juga kenangan yang lama terkubur dalam pikirannya. Ia melihat dirinya yang lebih muda, berlari di tengah hutan, berteriak ketakutan, dengan mata
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - LABIRIN MEMORISTATUS WAKTU: Tidak TerukurAdrian melangkah ke dalam lorong yang baru saja terbuka, napasnya masih berat, tubuhnya terasa semakin dingin. Lorong ini berbeda dari yang lain. Dinding-dindingnya terbuat dari batu kasar, berlumut, dan berdenyut pelan seolah memiliki nadi sendiri. Cahaya redup dari lentera yang tergantung di sepanjang lorong itu berkelap-kelip, seolah menyadari kehadirannya."Dimensi ini... semakin aneh," gumamnya, mencoba tetap fokus meski pikirannya mulai dihantui oleh bayangan gadis yang baru saja ia temui. Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia begitu mengenal tempat ini?Setiap langkah yang Adrian ambil menggema, seakan dinding-dinding labirin ini berbisik satu sama lain, menceritakan kisah yang tak pernah berakhir. Ia berhenti di sebuah persimpangan, tiga jalan bercabang di hadapannya, masing-masing menuju ke kegelapan yang sama pekatnya.Di dinding di depannya, ukiran samar muncul, berkilau dalam cahaya lentera:"HANYA YANG TIDA
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - AULA WAKTU TERHENTISTATUS WAKTU: Tidak TerukurAdrian melangkah semakin dalam ke lorong tanpa bayangan, merasakan setiap detik seolah membekukan darahnya. Udara di sekitarnya mulai berubah, lebih berat, lebih pekat, seolah menghirup napas dari sesuatu yang hampir mati namun masih bernafas dengan susah payah. Ketika akhirnya ia mencapai ujung lorong, ruangan besar terbuka di hadapannya.Ia berdiri di tengah aula megah yang penuh dengan jam-jam antik, masing-masing berdenting pelan, namun jarumnya tidak bergerak. Lantai marmer di bawahnya retak, memantulkan bayangan-bayangannya sendiri dalam pola yang aneh. Di atasnya, sebuah jam raksasa tergantung, jarumnya terhenti pada angka 11:59, seolah waktu di tempat ini tak pernah mencapai tengah malam."Apa ini...?" bisiknya, mendekati salah satu jam di sisi dinding. Ia memperhatikan dengan saksama, melihat bahwa kaca jam itu bergetar pelan, seakan mencoba berbicara padanya.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar da
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - KORIDOR YANG BERUBAHSTATUS WAKTU: Tidak TerukurAdrian berdiri di tengah lantai kaca yang kini mulai merekah, serpihan-serpihan kaca berputar di sekelilingnya, seperti serpihan mimpi yang pecah. Elena telah menghilang ke dalam kegelapan, dan seolah untuk menambah rasa teror, dinding-dinding di sekelilingnya mulai menutup, merapat, dan berputar, menciptakan koridor baru yang tidak pernah ada sebelumnya."Elena!" Adrian berteriak lagi, namun hanya gema suaranya yang menjawab, terpantul dari setiap permukaan kaca yang kini berubah menjadi cermin, memantulkan wajahnya dari berbagai sudut. Tapi sesuatu terasa salah bayangannya di cermin itu tidak bergerak seperti dirinya. Mereka berdiri diam, menatapnya dengan mata kosong, senyum tipis yang mengerikan terukir di bibir mereka."Ini... jebakan lain," gumamnya, mencoba mengendalikan napasnya yang memburu. Ia tahu, di tempat seperti ini, rasa takut adalah musuh yang paling berbahaya.Ia melangkah mundur, namun bayan
LOKASI: DIMENSI BAYANGAN - RUANGAN TAK BERTANGGASTATUS WAKTU: Tidak TerukurSaat tubuh mereka menghantam lantai keras, Elena dan Adrian terlempar ke dalam ruangan baru yang lebih aneh dari sebelumnya. Lantainya terbuat dari kaca hitam berkilau, seolah setiap langkah mereka bisa memecahkan permukaan dan menjatuhkan mereka ke dalam kehampaan di bawahnya. Dinding-dinding di sekeliling mereka bergerak perlahan, memutar, menciptakan pola-pola yang berubah setiap beberapa detik, seolah-olah ruangan itu sendiri sedang berpikir.Adrian bangkit dengan susah payah, menggenggam lengannya yang terasa nyeri. Elena di sampingnya terbatuk pelan, mencoba menstabilkan napasnya. Udara di ruangan ini lebih dingin, berbau logam dan sesuatu yang membusuk."Di mana kita sekarang?" Elena bergumam, matanya berkeliling, mencoba memahami lingkungan baru ini. "Apa ini semacam... ilusi lagi?"Adrian menatap lantai kaca di bawah kakinya. Di bawahnya, dia melihat bayangan-bayangan bergerak, sosok-sosok yang tampa
LOKASI: DI DALAM GEDUNG TUA - LORONG TAK BERUJUNGSTATUS WAKTU: Tak TerukurLangkah mereka bergema di lorong yang terasa semakin menyempit. Dinding-dinding bata di sekeliling mereka berdetak pelan, seakan jantung dari makhluk hidup raksasa yang terbangun dari tidur panjangnya. Setiap langkah adalah perjudian, seolah lantai kayu tua di bawah kaki mereka bisa runtuh kapan saja, menelan mereka ke dalam kegelapan tanpa akhir."Adrian... perhatikan ini," bisik Elena, menunjuk ke dinding di sebelahnya. Pada bata yang berlumut itu, terukir simbol-simbol kuno yang terus berdenyut dengan cahaya merah samar, seolah tinta dari darah segar. Bentuknya seperti mata yang mengintip, terus mengikuti setiap gerakan mereka. "Ini bukan hanya labirin biasa. Ini lebih seperti... jebakan yang hidup."Adrian memperhatikan simbol itu dengan alis berkerut. Ia mendekat, jari-jarinya hampir menyentuh permukaan dingin batu itu ketika tiba-tiba simbol tersebut bergetar, seakan merespons kehadiran mereka. Dalam sek
LOKASI: DI DALAM GEDUNG TUASTATUS WAKTU: Tak TerukurGelapnya tempat mereka dalam sekejap. Ruangan tempat mereka berdiri menjadi kosong dalam sekejap mata, lalu dikelilingi kabut hitam pekat yang seolah hidup, bergerak perlahan, seakan bernapas di sekitar mereka. Suara bisikan itu masih menggema, semakin dalam, semakin mengikat setiap percakapan, setiap gerakan mereka. Aroma lembab dan besi tua memenuhi udara, membuat setiap tarikan napas terasa berat.Elena dan Adrian saling mengacungkan senjata mereka, berusaha mencari arah di dalam kekelaman yang menyelubungi. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan, seolah-olah mereka terjebak di dalam labirin narasi yang tak berujung. Dinding-dinding bata di sekitar mereka tampak bergerak, berdenyut seperti daging hidup, seolah bangunan ini sendiri adalah makhluk hidup yang mempermainkan mereka."Ini tidak nyata," bisik Elena, meski dia sendiri tahu kata-kata itu tidak akan mengubah apa pun. Suaran
LOKASI: DI DALAM GEDUNG TUASTATUS WAKTU: Tak TerukurGelap menyelimuti mereka dalam sekejap. Ruangan tempat mereka berdiri menjadi kosong dalam sekejap mata, lalu diselimuti oleh kabut hitam pekat. Suara bisikan itu masih bergema, semakin dalam, semakin mengikat setiap percakapan, setiap gerakan mereka.Elena dan Adrian saling menggenggam senjata mereka, berusaha mencari arah di dalam kekelaman yang menyelubungi. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan, seakan mereka terjebak di dalam labirin narasi yang tak berujung."Ini tidak nyata," bisik Elena, meski ia sendiri tahu kata-kata itu tidak akan mengubah apa pun."Apakah kita benar-benar masih berada di dunia yang sama?" tanya Adrian, suaranya penuh kebingungan. "Kenapa semuanya terasa... seperti cerita yang hidup?"Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar di belakang mereka. Mereka berdua berbalik, siap, namun tidak ada siapa pun di sana hanya dinding kosong dan lorong yang terbentang
Belum sempat mereka memahami situasi, ponsel Elena kembali berdering. Nama yang muncul di layar membuat darahnya berdesir."Detektif Elena, ini Kapten Ramos. Ada kasus pembunuhan aneh di gedung tua di pusat kota. Kamu harus segera ke sana. Ini... bukan kasus biasa."Elena menelan ludah. "Baik, Kapten. Dalam perjalanan."Ia menutup telepon, menatap Adrian. "Kau ikut denganku. Ini bisa saja berkaitan dengan semua ini."Adrian mengangguk, tatapannya tajam, penuh ketegangan. "Kita selesaikan ini."Tanpa banyak bicara lagi, mereka melangkah ke arah mobil patroli yang diparkir di sudut jalan, siap menghadapi apa pun yang menanti mereka di gedung tua itu. Tapi langkah mereka terhenti saat melihat seseorang menatap mereka dari kejauhan seorang pria dengan jas hitam dan topi fedora, yang menghilang begitu mereka mencoba mendekat.Mereka saling pandang. Sepertinya, bayangan dari masa lalu Adrian... baru saja muncul kembali.GEDUNG TUA DI UJUNG KOTASirene mobil patroli memecah kesunyian malam s