PoV Oki Fariani
Aku tak bisa mendeskripsikan apa yang kurasa saat ini. Semenjak Herdi menyeretku di lantai dalam kondisi hamil muda, rasanya aku tak punya harap lagi untuk mencicip bahagia dalam rumah tangga.
Satu-satunya yang kujaga adalah jangan sampai keluargaku tahu bagaimana aku diperlakukan oleh Herdi. Aku boleh terluka, keluargaku tidak, mereka melepasku dalam pernikahan ini agar aku bahagia, karena mereka tahu bagaimana Herdi memanjakan aku sebelum ijab kabul dulu.
Biarkan mereka berpikir bahwa Herdi masih menyayangiku, membelikanku berbagai barang yang kusuka, mengantar jemput aku ke mana pun aku mau. Meski kenyataannya, Herdi adalah seorang penipu yang berpura-pura lugu. Semua kebaikannya sebelum pernikahan hanyalah upaya menjebakku, semua hanyalah kebohongan semata.
*****
Aku seperti robot, kuturuti setiap perkataan ibu mertuaku hanya agar ia diam, tapi nyatanya ia tak bisa diam, mulutnya terus bersuara sek
PoV Oki Fariani Kau tahu hal terburuk memiliki pasangan hidup yang zalim? Ketika ia mendapat kebahagiaan, hanya 10% yang ia bagikan pada kita pasangannya, namun ketika ia mendapat ‘kesialan’, maka 100% dibagikan pada kita, bahkan lebih. Dan itulah yang terjadi di saat kehamilanku memasuki usia tujuh bulan, Herdi mendapat kabar buruk yang membuat kehidupan rumah tanggaku makin mengerikan: PHK! ***** “Yang benar, Mas? Kok tiba-tiba kena PHK?!” Aku bertanya, tapi setengah protes sebenarnya. Mas Herdi hanya mengangkat bahunya, tanda bahwa ia tak peduli. “Terus bagaimana dengan uang bulanan? Nafkah untukku dan anak kalau sudah lahir nantinya bagaimana?” Aku bergetar, jemariku memegangi perutku yang sudah membulat. “Benar ya kata ibu dan Tiwi, kamu itu matre, suami diPHK yang kamu tanya malah uang buat kamu, egois banget kamu, Ki ...” “Mas, uang nafkah itu kewajiban suami untuk istri, kamu puny
PoV Tiwi Adelita Tak sengaja, aku melihat bekas memar di tangan Oki saat dia sedang mengulek bumbu di dapur. Aku awalnya mau langsung masuk kamar mandi, tapi karena penasaran, kuluangkan waktu sejenak ... “Itu kenapa? Kena kompor?!” Sebenarnya enggan bertanya pada Oki, tapi memar itu terlihat sangat mencolok di tangan Oki yang putih. Oki tidak menghentikan aktivitas menguleknya, dia cuma menatapku sebentar, “Memar yang ini?” “Iya ... itu kenapa? Kok bisa begitu?” “Diseret Herdi ...” Oki menjawab seolah bukan apa-apa. Aku terkesiap. Dia bohong kan?! “Diseret? Diseret gimana maksudnya?!” “Aku cuma ambil hpnya supaya gak main game terus, Herdi gak terima, tanganku ditarik, aku jatuh, terus Herdi seret dari ruang tengah sampai dalam kamar!” Oki kemudian menunjukkan bekas luka di sela jemarinya, “Ini tadinya berdarah, kuku Herdi nancep di jariku ini!” “Bohong! Mas Herdi
PoV Oki FarianiHerdi masih begitu saja, tak ada perubahan sama sekali, bermain game di handphone setiap hari, setiap jam, setiap menit. Jedanya hanya untuk buang air dan makan, ooh tidak juga sih, ke kamar mandi pun dia masih memegang hp, sambil makan juga terus memegang hp.Padahal satu kalung sudah kugadai, untuk modali Herdi mencari kerja, tapi setiap ditanya pertanggungjawabannya, selalu saja sama.“Belum ada panggilan!”“Kamu usaha dong, jangan di rumah aja, main game terus, usaha apa kek untuk dapatin uang!”“Nyuri maksud kamu? Apa melihara tuyul?”“Astaghfirullah, Herdi ... kamu sudahlah nggak pernah shalat, bisa-bisanya kepikiran untuk berbuat dosa besar begitu.”“Yaa terus apa lagi dong usaha buat dapatin uang?”“Kerjalah! Jadi driver ojek online kek, jualan kek, jangan
PoV Oki FarianiMenunggu tibanya hari perkiraan lahiran, aku semakin mager (malas gerak), perutku makin berat, nyeri yang kurasakan semakin sering, terasa ada tekanan keras di jalur lahir, timbul tenggelam bagai ombak di lautan.Seperti kucing anggora, kerjaanku hanya rebahan, sesekali duduk di gym ball yang dihadiahkan Desy untuk relaksasi, rasanya tidak mau ke mana-mana, weekend ini pun aku menolak ke rumah mertua, kubilang saja mau beres-beres rumah. Aku terlalu lelah jika harus disuruh naik turun tangga untuk mengambil jemuran di rumah sana.Herdi? Tidak perlu kucari-cari, aku sudah hafal kelakuannya dengan pacar kesayangannya itu, hape!Palingan dia sedang asyik nge-game di kasur, di kamar tamu, di teras, atau di depan tv, aku malas cari tahu di mana Herdi berduaan dengan hpnya itu. Aku sedang sibuk bolak-balik kamar mandi.Semakin besar perut, semakin sering buang air kecil. B
PoV Oki Fariani “Tidaaak!” Aku berteriak dalam benakku sendiri. Suara ngorok Herdi terdengar membahana meskipun ia tak ada di ruangan ini. Suaranya sampai menggetarkan langit-langit klinik bersalin. Gawat, sudah jam berapa ini? Jam 10 malam? Kulirik jam di atas dinding. Aduuh, bagaimana nasib ibu hamil yang lain? Apakah mereka terganggu dengan suara itu? Lalu bayi-bayi yang ada di ruangan bayi apakah semuanya sedang menangis karena takut mendengar suara dengkuran sekeras itu? Aku panik, melebihi paniknya ibu hamil melihat ketuban pecah. Untunglah sejurus kemudian suara dengkuran itu berhenti. Tak lama, aku melihat wajah Tante menyembul dari balik pintu yang terbuka. “Fiyuh, akhirnya Herdi bisa Tante bangunin, Tante suruh pulang, kasihan ...” “... kasihan ibu hamil sama bayi-bayi di sini ya Tan, terganggu dengar suara ngorok!” Potongku cepat. Tante tersenyum, “Bukan, kasihan Herdi udah kec
PoV Oki FarianiBau amis darah menyeruak di ruangan ini. Tidak usah diberitahu pun, aku paham ada sesuatu yang tak semestinya terjadi. Wajah dari para bidan telah menggambarkan sebuah kegentingan, selain itu kurasakan aliran darah terus menetes, kemudian menggenangi lantai bawah kasur.Bidan yang bertugas merawat bayi segera mengangkat bayi mungil dari atas dadaku. “Di mana ayahnya?”Aah, tak perlu ingatkan aku pada ayah anakku sendiri, dia pasti sedang terlelap nyenyak di rumah, dan aku tak berharap dia menemani di sini.“Tadi ayahnya kecapekan menunggu, jadi saya suruh pulang, sini bayinya biar saya saja yang gendong!” Tanteku mengambil alih si kecil yang belum kupersiapkan nama sama sekali. Terimakasih Tante!“Bu Oki, jangan tertidur sampai dua jam ke depan ya, silakan kabari keluarga melalui hp, atau lakukan apapun, pokoknya Bu Oki harus tetap tersadar!”Aku hanya mengang
PoV Tiwi AdelitaMasuk akal kah jika seorang yang akan melahirkan tidak menyiapkan uang sama sekali? Aneh kan? Kok bisa ... sudah tahu sebentar lagi waktunya persalinan, tapi malah tidak menyiapkan biaya lahiran seribu perak pun?!Begitulah ... Aku gak paham seboros apa Oki, gaji Mas Herdi sebanyak 4 juta tiap bulannya dia habiskan buat apa saja sih, kok gak becus banget mengelola uang sebanyak itu?Yang aku tahu, sebagai istri itu harusnya pintar perhitungan. Gaji suami 4 juta, yaa diatur dong sebaik mungkin, pasti bisalah disimpan untuk biaya lahiran. Kalau sampai tidak bisa mengatur uang, lebih baik dicerai saja istri kayak begitu!Kali ini kejadian sama seperti beberapa hari sebelum pernikahan Mas Herdi terjadi lagi, tiba-tiba Mas Herdi minta uang tiga juta ke bapak dan ibu untuk biaya persalinan Oki. Bayangkan ... masa’ uang tiga juta pun mereka gak punya?! Gimana keluargaku nggak emosi!Bapak dan ibu yaa p
PoV Oki Fariani“Mama mohon Nak, jangan menangis lagi! Jangan menangis, tolooong!” Aku berbisik sambil merintih, memohon dengan amat sangat pada Bayu yang terus menangis di tengah malam ini. Mataku sudah sembab, bengkak karena air mata yang terus merembes.Sementara itu Herdi dengan suara dengkuran yang amat besar, masih tertidur pulas tak terganggu sama sekali dengan jeritan nyaring Bayu sejak tadi. Boro-boro membantu menenangkan anaknya, Herdi lebih senang main game hingga ketiduran.P*ting ASI ku lecet, ada luka dan darah di sana. Tiap Bayu meminta ASI, aku akan menggigil menahan perih. Belum lagi asupan sayur katuk yang hari ini ibu masakkan untukku, membuat bengkak p*yudara hingga mengeras dan jangan ditanya rasa sakitnya seperti apa.P*yudara sudah seperti batu dengan ukuran seperti ulekan, lengkap dengan urat-urat bertonjolan. Badanku demam, dan tubuhku penuh rasa sakit, hingga tak tahu lagi