PoV OKI FARIANI
Aneh sekali, ada keganjilan kurasakan sejak masuk ke dalam ruangan rias pengantin ini. Saat aku lempar senyum ke arah Ibunya Mas Herdi, tidak ada balasan senyum yang kudapatkan, justru ibu tampak menekuk mukanya.
Bahkan ketika Mamah ingin bersalaman dengan ibu, ibu malah memalingkan wajah dan tidak mengulurkan tangannya sama sekali. Lho, ada apa ini? Bukankah hari ini akan berlangsung akad nikah antara aku dan Mas Herdi? Mengapa sikap ibu malah dingin sekali?
“Neng, ibunya Herdi kenapa?” Mamah yang jarang bicara padaku, sampai tak tahan menanyaiku.
“Oki nggak tahu Mah, kemarin ibu masih kirim chat baik-baik saja kok. Bahkan Tiwi semalam juga masih chat Oki, katanya nggak sabar menunggu hari ini. Coba Oki tanya ke Tiwi ya ...”
Mamah pun mengangguk, kemudian menuju toilet.
Banyak yang mengatakan hari pernikahan adalah hari paling membahagiakan, tapi ... tidak dengan hari pernikahanku ini. Dari ekspresi bapak, ibu, bahkan keluarga Mas Herdi yang datang dari Jawa pun mukanya bertekuk saat melihatku dan keluargaku. Ada apakah?
Lebih asem lagi wajah Tiwi, saat aku panggil namanya dengan senyum lebar merekah, Tiwi malah memperlihatkan wajah yang amat kecut. Tatapannya padaku seperti sedang melihat kecoa, tikus, cicak, atau binatang menjijikkan lainnya yang ingin ia singkirkan.
Melihat wajah Tiwi saja sudah cukup bagiku untuk merasa down dan meninggalkan gedung pernikahan ini.
Tiwi Adelita, perempuan dengan pipi penuh jerawat meradang itu membawa vibe amat buruk yang dapat menghancurkan mood siapa pun, karena dia jelas-jelas memperlihatkan wajah jutek yang tak ditahan-tahan.
Tapi aku berusaha bertahan ... karena ada keluargaku juga yang hadir di pesta malam ini, mereka pasti kecewa jika aku melarikan diri di hari pernikahan.
“Silakan Kak ...” Make Up Artist dan timnya membuatku berfokus pada apa yang harus kulakukan saat ini.
Tanganku langsung diambil untuk dihias oleh tim henna, sedangkan wajahku langsung dibersihkan dan dipakaikan pelembab serta serum, kemudian disemprotkan setting spray.
“Wah wajah Kakak mulus sekali, sehat banget ini kulitnya!”
“Terimakasih,” aku tersenyum, syukurlah mendapatkan MUA yang ramah dan membangkitkan mood. Sementara akan kulupakan dulu keanehan keluarga Mas Herdi, namun firasatku sungguh tidak enak atas apa yang baru saja terjadi. Apakah aku melakukan kesalahan?
*****
Jujur, aku tampil cantik sekali hari ini, lebih cantik daripada saat foto pre wedding yang lalu, MUA nya jauh lebih detail hari ini, gaun yang kupakai juga lebih bagus, aku terlihat seperti boneka porselen, barbie Korea. Namun sayang ... aku tak ada minat untuk menarik senyuman, bahkan senyum tipis pun rasanya enggan.
Ketika Mas Herdi menyebut namaku dalam ijab kabul, berjabat tangan dengan omku sebagai wali, tangisku pun pecah seketika. Berbeda dari tangisan pengantin pada umumnya, aku menangis bukan karena terharu atau bahagia, tapi tangisan penyesalan, sungguh ... aku menangis sesenggukan karena menyesal.
Mengapa aku bisa tersesat hingga sejauh ini? Mengapa aku menjadi istri dari seseorang yang sama sekali tidak aku cintai? Yang bahkan keluarganya pun memperlihatkan sikap dingin di hari pernikahan ini.
Tangisku semakin menjadi ketika usai sungkeman, saat sedang menepuk-nepukkan tisu ke wajah untuk menghapus air di sudut mata, kemudian tiba-tiba saja aku melihat wajah itu dari kejauhan, ia menatapku dengan mata sendu.
Feri?
Ya, Feri hadir, ia menggunakan setelan jas yang dulu aku belikan saat ulangtahunnya, dan dia menatapku dengan pelupuk matanya yang juga berkaca-kaca. Berdiri jauh dari kerumunan.
Ferrrii??
Kami hanya saling bertatapan dengan ekspresi wajah tak dapat digambarkan, hanya kami yang dapat memahami, hanya kami yang mengerti kepedihan yang bercokol di hati. Bahuku sampai terguncang karena tiba-tiba aku tak bisa mengontrol tangisku lagi.
Mas Herdi melihat, Mas Herdi tahu ada Feri hadir di ruangan ini, tapi dia diam saja, membiarkan aku menangis begitu menggebu.
Sebelum make up ku lungsur karena air mata yang tak henti-henti mengucur deras, Mbak Farah segera menarikku dan berbisik.
“Mba Oki, kita touch up untuk baju resepsi yuk!”
Tim MUA pun menarikku ke ruang rias. Mereka mencoba menghibur aku yang masih terus terisak sulit mengendalikan diri. 2 bal tisu pun takkan cukup untuk mengeringkan air mataku.
*****
Hingga resepsi usai, tak ada seulas senyum pun aku pajang di pelaminan, tak ada juga satu potong makanan pun yang aku nikmati. Dan, tak ada yang peduli, termasuk Mas Herdi!
Mamah, Tante, dan Om, memang sedari semalam sudah sibuk menerima tamu dari Garut yang datang jauh hanya untuk menghadiri undangan pernikahan. Tapi ada apa dengan Mas Herdi?
Mas Herdi cemburu karena tadi Feri datang kah, lalu mendiamkan aku seperti ini? Bahkan semangkok bakso, serta kambing guling dan zuppa soup dari gubukan pun ia makan sendirian sampai habis, tak menawariku barang sesuap.
Aku terus meneliti wajah keluarga Mas Herdi satu per satu, ibu ... bapak ... Tiwi ... tante dan om yang katanya datang langsung dari Jawa ... mengapa sorot mata mereka menyiratkan keganjilan? Kesalahan apa sebenarnya yang telah aku lakukan?
Wajah Mas Herdi sendiri juga memperlihatkan hal yang tak biasa, seperti ada yang ia sembunyikan.
Aku terlalu lelah untuk menduga-duga, perasaanku begitu takut, seperti tengah memasuki gerbang penjara, yang penuh dengan para pesakitan dan sipir kejam.
Saat asisten MUA melakukan tugas terakhirnya, mempreteli segala aksesoris dan membersihkan riasan berlapis-lapis yang beberapa jam ini menumpuk di wajahku, ekor mataku menangkap adegan ibu dan bapak menghitung-hitung uang amplop di sudut ruangan.
Mereka mengambil semua uang yang ada di kotak itu tanpa sedikitpun berbasa-basi pada keluargaku.
Menyobek amplop dengan bernafsu, seperti -maaf- sopir angkot kejar setoran.
Aku tidak punya clue, apa sebenarnya yang terjadi, dan mengapa mereka bersikap seperti ini.
POV Tiwi AdelitaKegalauan tiba-tiba kembali menyergap saat aku melihat Oki kembali ke rumah ini bersama Herdi dengan membawa beberapa tas dan kardus, bersiap menempati kamar depan. Perlahan kuselidiki Oki dari ujung kepala hingga kaki, seolah mataku adalah mesin scan. Kutelusuri mimik wajah dan tampilannya.Bayu dalam gendongan Oki terlihat lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Karena sudah dua bulan tidak bertemu, aku sangat menyadari cekungan di bawah mata Bayu yang lebih kentara. Apakah Oki tidak merawat Bayu dengan baik?Oki sendiri sama kondisinya, badannya tampak lebih kurus dengan pipi lebih tirus dan mata panda yang sembap. Kesimpulanku, Oki memang tidak pandai merawat diri sendiri dan anaknya.Sebelah sisi hatiku sebenarnya merasa khawatir dan galau beberapa hari ini. Aku mengetahui Herdi bermain api dengan seorang perempuan berwajah menor. Kami berpapasan di tengah jalan tanpa Herdi sadari beberapa hari lalu. Jelas bahwa mereka menjalani hubungan yang tidak biasa, bahasa ka
POV Oki FarianiApa maksud Tiwi ya? Aku membaca kembali chat dari Tiwi beberapa saat lalu.Kok dia minta aku untuk menyuruh Mas Herdi pulang? Kan Mas Herdi bilang tidak datang ke sini karena ibu dan Tiwi pingsan kena tipu tante Dewi?Perutku terasa berkedut. Getaran lemah, tapi aku bisa mendeteksinya, sepertinya janin kecil di rahimku turut terdampak gemuruh hatiku sejak tadi. Setelah menangis habis-habisan, lalu tiba-tiba tersentak dengan kabar pingsannya ibu dan iparku, segala yang terjadi hari ini cukup menyedot banyak energi.“Kak Oki, sudah baikkan? Perut Kak Oki sakit?” Desy tampak ragu-ragu bertanya sambil melangkah mendekatiku.“Maafin aku ya Kak, bukannya meringankan beban Kak Oki, malah tambah ngebebanin pikiran dengan ucapan-ucapan asal jeplak.” Sekali lagi Desy berusaha meminta maaf.“Tenang aja Des, Kak Oki alhamdulillah sudah lebih stabil kok, tadi maaf ya jadi ngagetin semua,” ucapku.“Oiya, Kak Oki dapat kabar apa dari Herdi? Kayaknya tadi langsung kelihatan panik begi
POV Tiwi Adelita“Ini bohong kan, Tante Dewi gak mungkin setega itu!”Aku berulang kali meyakini hatiku sendiri. Tapi sialnya, segala fakta dan kesaksian yang ada memperlihatkan bahwa tante Dewi benar telah menipu kami.Terngiang kembali di benakku raut wajah ibu saat mengetahui pintu kamar kami terbuat dari papan triplek tipis, kitchen set di dapur terbuat dari bahan abal-abal, apalagi saat mendengar pengakuan tukang kalau mereka hanya dibayar empat ratus juta saja untuk renovasi ini, padahal ibu telah menggelontorkan dana delapan ratus lima puluh juta dan mempercayakannya pada Tante Dewi.Kekecewaan yang membuncah melihat hasil renovasi yang jauh dari ekspektasi, serta informasi mengenai total biaya renov yang hanya separuhnya dibayarkan ke tukang membuat aku dan ibu sangat emosional bahkan hampir tak sadarkan diri.Untunglah aku hanya terjatuh saja karena mendadak tungkai kaki terasa lemas, namun ibu merasakan dadanya tiba-tiba sesak dan langsung megap-megap menahan tangis, dramati
POV Oki FarianiSudah sebulan lebih aku tinggal di rumah tante, masih menunggu renovasi rumah ibu mertua rampung, sepertinya dua minggu lagi sudah selesai.Sempat terbersit tidak ingin balik ke rumah itu sih, namun dua garis merah di testpack membuatku harus mengurungkan niat. Tidak mungkin kugugat cerai Herdi saat sedang mengandung begini.Dua minggu terakhir aku menenangkan diri setelah mengetahui ada janin di rahimku, aku tak memeriksakan diri ke bidan, tidak juga memberitahukan tante, om, ataupun Desy. Namun kini berangsur-angsur hatiku sudah lebih menerima kondisi. Sudah tidak lagi menangis diam-diam setiap malam.Aku meyakini apa yang terjadi adalah yang terbaik dari Tuhan, tapi terkadang aku belum paham hikmah di baliknya. Aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri, harusnya kalau aku tak mau hamil kembali, tak usah memilih rujuk dengan Herdi. Ketika aku memutuskan balikan, semestinya aku sudah memperkirakan hal apa saja yang akan kualami, apalagi aku sempat berhenti KB suntik.
POV Oki Fariani“Kamu mau apa, Ki? Minta cerai sama aku lagi? Emangnya kalau kita pisah, kamu punya uang untuk kasih makan Bayu?” Pertanyaan Herdi itu lebih terdengar seperti cibiran, ejekan, hinaan dan sindiran.Herdi benar-benar merasa di atas angin saat ini, mungkin karena keberadaan uang puluhan juta di rekeningnya, atau uang Milyaran dari deposito almarhum bapaknya yang sudah cair, sehingga dia merasa kaya raya. Maaf ya, bagiku orang macam Herdi dan keluarganya adalah contoh nyata orang MISKIN. Mereka memang punya uang banyak, tapi uang milyaran itu pun bahkan tak mampu membayar utang yang hanya sepuluh juta. Aku hanya terdiam tak menanggapi cibiran Herdi, tapi hatiku nyeri, rasanya aku telah tertipu ratusan kali oleh pria jahat ini. Bodohnya, aku selalu terperangkap, terjebak lagi dan lagi. Kupikir ia benar-benar akan berubah, namun ternyata kesempatan kedua memang sebaiknya tidak diberikan untuk orang berakhlak sampah!“Aww!” Entah mengapa, tiba-tiba kurasakan nyeri di perut
POV Oki Fariani“Keledai saja tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali, sayangnya ... banyak manusia yang gak sepintar keledai!” Deg! Jantungku terhantam dengan pernyataan itu.Aku tahu ucapan Desy itu diperuntukkan bagiku, aku juga malu sebenarnya kalau masih harus meminta bantuan ke Desy, tante, ataupun om seperti sekarang ini, padahal jelas-jelas rujuk kembali dengan Herdi adalah keputusanku sendiri.Tapi mau bagaimana lagi, saat ini aku dan Bayu tidak ada tempat untuk tinggal, selama rumah di sana masih direnovasi, aku tak mau tinggal di apartemen bersama keluarga Herdi terutama selama ada tante Dewi. Jadi, aku harus menebeng kembali di rumah tante ini, yaa menebeng tempat tinggal, menebeng makan tiga kali sehari, menebeng segala-galanya.“Hush Des, jangan ngomong sembarangan, lagi di meja makan kok nyinyir!” ucap tante membelaku. Desy terlihat cemberut.“Jadi, rumah almarhum bapak direnovasi sampai kapan, Ki?”“Katanya sih dua bulan selesai Tan, makanya selama dua bulan ini