Share

BAB 7 Selamat Datang di 'Neraka'

PoV OKI FARIANI

Aneh sekali, ada keganjilan kurasakan sejak masuk ke dalam ruangan rias pengantin ini. Saat aku lempar senyum ke arah Ibunya Mas Herdi, tidak ada balasan senyum yang kudapatkan, justru ibu tampak menekuk mukanya.

Bahkan ketika Mamah ingin bersalaman dengan ibu, ibu malah memalingkan wajah dan tidak mengulurkan tangannya sama sekali. Lho, ada apa ini? Bukankah hari ini akan berlangsung akad nikah antara aku dan Mas Herdi? Mengapa sikap ibu malah dingin sekali?

“Neng, ibunya Herdi kenapa?” Mamah yang jarang bicara padaku, sampai tak tahan menanyaiku.

“Oki nggak tahu Mah, kemarin ibu masih kirim chat baik-baik saja kok. Bahkan Tiwi semalam juga masih chat Oki, katanya nggak sabar menunggu hari ini. Coba Oki tanya ke Tiwi ya ...”

Mamah pun mengangguk, kemudian menuju toilet.

Banyak yang mengatakan hari pernikahan adalah hari paling membahagiakan, tapi ... tidak dengan hari pernikahanku ini. Dari ekspresi bapak, ibu, bahkan keluarga Mas Herdi yang datang dari Jawa pun mukanya bertekuk saat melihatku dan keluargaku. Ada apakah?

Lebih asem lagi wajah Tiwi, saat aku panggil namanya dengan senyum lebar merekah, Tiwi malah memperlihatkan wajah yang amat kecut. Tatapannya padaku seperti sedang melihat kecoa, tikus, cicak, atau binatang menjijikkan lainnya yang ingin ia singkirkan.

Melihat wajah Tiwi saja sudah cukup bagiku untuk merasa down dan meninggalkan gedung pernikahan ini.

Tiwi Adelita, perempuan dengan pipi penuh jerawat meradang itu membawa vibe amat buruk yang dapat menghancurkan mood siapa pun, karena dia jelas-jelas memperlihatkan wajah jutek yang tak ditahan-tahan.

Tapi aku berusaha bertahan ... karena ada keluargaku juga yang hadir di pesta malam ini, mereka pasti kecewa jika aku melarikan diri di hari pernikahan.

“Silakan Kak ...” Make Up Artist dan timnya membuatku berfokus pada apa yang harus kulakukan saat ini.

Tanganku langsung diambil untuk dihias oleh tim henna, sedangkan wajahku langsung dibersihkan dan dipakaikan pelembab serta serum, kemudian disemprotkan setting spray.

“Wah wajah Kakak mulus sekali, sehat banget ini kulitnya!”

“Terimakasih,” aku tersenyum, syukurlah mendapatkan MUA yang ramah dan membangkitkan mood. Sementara akan kulupakan dulu keanehan keluarga Mas Herdi, namun firasatku sungguh tidak enak atas apa yang baru saja terjadi. Apakah aku melakukan kesalahan?

*****

Jujur, aku tampil cantik sekali hari ini, lebih cantik daripada saat foto pre wedding yang lalu, MUA nya jauh lebih detail hari ini, gaun yang kupakai juga lebih bagus, aku terlihat seperti boneka porselen, barbie Korea. Namun sayang ... aku tak ada minat untuk menarik senyuman, bahkan senyum tipis pun rasanya enggan.

Ketika Mas Herdi menyebut namaku dalam ijab kabul, berjabat tangan dengan omku sebagai wali, tangisku pun pecah seketika. Berbeda dari tangisan pengantin pada umumnya, aku menangis bukan karena terharu atau bahagia, tapi tangisan penyesalan, sungguh ... aku menangis sesenggukan karena menyesal.

Mengapa aku bisa tersesat hingga sejauh ini? Mengapa aku menjadi istri dari seseorang yang sama sekali tidak aku cintai? Yang bahkan keluarganya pun memperlihatkan sikap dingin di hari pernikahan ini.

Tangisku semakin menjadi ketika usai sungkeman, saat sedang menepuk-nepukkan tisu ke wajah untuk menghapus air di sudut mata, kemudian tiba-tiba saja aku melihat wajah itu dari kejauhan, ia menatapku dengan mata sendu.

Feri?

Ya, Feri hadir, ia menggunakan setelan jas yang dulu aku belikan saat ulangtahunnya, dan dia menatapku  dengan pelupuk matanya yang juga berkaca-kaca. Berdiri jauh dari kerumunan.

Ferrrii??

Kami hanya saling bertatapan dengan ekspresi wajah tak dapat digambarkan, hanya kami yang dapat memahami, hanya kami yang mengerti kepedihan yang bercokol di hati. Bahuku sampai terguncang karena tiba-tiba aku tak bisa mengontrol tangisku lagi.

Mas Herdi melihat, Mas Herdi tahu ada Feri hadir di ruangan ini, tapi dia diam saja, membiarkan aku menangis begitu menggebu. 

Sebelum make up ku lungsur karena air mata yang tak henti-henti mengucur deras, Mbak Farah segera menarikku dan berbisik.

“Mba Oki, kita touch up untuk baju resepsi yuk!”

Tim MUA pun menarikku ke ruang rias. Mereka mencoba menghibur aku yang masih terus terisak sulit mengendalikan diri. 2 bal tisu pun takkan cukup untuk mengeringkan air mataku.

*****

Hingga resepsi usai, tak ada seulas senyum pun aku pajang di pelaminan, tak ada juga satu potong makanan pun yang aku nikmati. Dan, tak ada yang peduli, termasuk Mas Herdi! 

Mamah, Tante, dan Om, memang sedari semalam sudah sibuk menerima tamu dari Garut yang datang jauh hanya untuk menghadiri undangan pernikahan. Tapi ada apa dengan Mas Herdi? 

Mas Herdi cemburu karena tadi Feri datang kah, lalu mendiamkan aku seperti ini? Bahkan semangkok bakso, serta kambing guling dan zuppa soup dari gubukan pun ia makan sendirian sampai habis, tak menawariku barang sesuap.

Aku terus meneliti wajah keluarga Mas Herdi satu per satu, ibu ... bapak ... Tiwi ... tante dan om yang katanya datang langsung dari Jawa ... mengapa sorot mata mereka menyiratkan keganjilan? Kesalahan apa sebenarnya yang telah aku lakukan?

Wajah Mas Herdi sendiri juga memperlihatkan hal yang tak biasa, seperti ada yang ia sembunyikan.

Aku terlalu lelah untuk menduga-duga, perasaanku begitu takut, seperti tengah memasuki gerbang penjara, yang penuh dengan para pesakitan dan sipir kejam.

Saat asisten MUA melakukan tugas terakhirnya, mempreteli segala aksesoris dan membersihkan riasan berlapis-lapis yang beberapa jam ini menumpuk di wajahku, ekor mataku menangkap adegan ibu dan bapak menghitung-hitung uang amplop di sudut ruangan.

Mereka mengambil semua uang yang ada di kotak itu tanpa sedikitpun berbasa-basi pada keluargaku.

Menyobek amplop dengan bernafsu, seperti -maaf- sopir angkot kejar setoran.

Aku tidak punya clue, apa sebenarnya yang terjadi, dan mengapa mereka bersikap seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status