Tap tap tap!
Mata Rora membulat sempurna, jantungnya berdegup dengan kencang ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dengan cepat ia menyudahi kegiatannya memompa ASI. Merapikan bajunya yang terbuka. Langkah kaki itu semakin keras terdengar di telinganya. Ia semakin panik dan buru-buru merapikan baju, kemudian dengan cepat menyimpan alat pompa ASI ke dalam tas kecil yang selalu ia bawa. Cek lek! "Astaga!" pekik Rora memegang dadanya yang berdegup kencang. Seorang pemuda dengan tubuh tinggi bernama Joel, menatap heran ke arah Rora. Ia yang berniat mengambil bola basket di gudang, harus dikejutkan dengan keberadaan gadis itu. Namun, matanya tidak sengaja menangkap pemandangan aneh dari gadis tersebut. Wajahnya terlihat panik dan keberadaan botol susu di samping gadis itu membuat Joel curiga. Dengan gerakan cepat ia mengambil botol susu tersebut, sebelum Rora sempat mencegahnya. "Ini apa? Susu siapa?" Joel bertanya sambil mengamati botol susu tersebut. "Balikin!" seru Rora berdiri berusaha merebut botol susu di tangan Joel. Melihat raut wajah ketakutan yang ditampilkan Rora membuat Joel tambah curiga. "Elo ngapain di sini Rora, kenapa ada botol susu?" tanyanya. "I-itu punya gue bu-buat praktek biologi," jawab Rora tergagap. Mendengar jawaban tidak masuk akal dari Rora membuat kecurigaan Joel bertambah besar. Praktek biologi apa yang mengharuskan membawa susu di dalam botol? Apalagi Joel yang sekelas dengan Rora tidak pernah mendengar soal tugas praktek tersebut. Ya, walaupun ia jarang masuk kelas. "Bohong!" ucap Joel. "Be-beneran, kok. Balikin Joel ...!" Rora terus berusaha mengambil botol susu tersebut. Joel langsung mengangkat tangannya dengan tinggi. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum misterius menatap Rora. "Kalau gue bilang ini ke semua orang, kira-kira apa yang akan terjadi, ya?" ucapnya menggoda. "Please, gue mohon jangan lakuin itu Jo." Rora menyatukan kedua tangannya, memohon pada Joel. "Kalau elo mau jadi pesuruh gue, mungkin gue bisa tutup mulut." Joel tersenyum, sangat menyenangkan melihat wajah Rora yang sedang panik. Gadis itu terdiam, kedua tangannya mengepal kuat, ia menggigit bibirnya. Matanya bergetar menatap Joel dengan tatapan kesal dan ketakutan. "Oke, gue setuju. Asalkan lo gak bilang ke siapa pun soal ini," balas Rora. Joel terkejut mendengar balasan Rora. Ia tidak menyangka anak baru yang populer itu menyetujui tawarannya begitu saja. Joel jadi semakin tertarik dengan apa yang dilakukan gadis itu sebelumnya. Dan fakta tentang botol susu yang berada di tangannya. "Oke, pulang sekolah kita ketemu lagi di sini. Ini gue sita sebagai jaminan lo harus ke sini lagi nanti," ucap Joel, ia tersenyum tipis kemudian mengambil bola basket dan keluar dari gudang tersebut. Selepas kepergian Joel, Rora langsung terduduk lemas. Kakinya terasa sangat berat untuk berdiri. Jantungnya juga tidak berhenti berdegup dengan kencang. "Astaga ... kenapa harus ketahuan, sih?!" gerutuknya. Sangat enggan berurusan dengan seorang Joel Enver Agasta. Seorang badboy yang terkenal sadis dan bengis. Selama 2 minggu lebih bersekolah di sekolah barunya. Rora baru bertemu 3 kali dengan Joel walaupun mereka sekelas. Itu disebabkan karena Joel diskors akibat memukuli seorang siswa. Image Joel yang terkenal buruk itu membuat Rora tidak ingin berurusan dengannya. Apalagi sifat dingin dan arogan Joel membuat siapa saja tak ingin mencari masalah dengannya. Pernah sekali Rora melihat Joel dan teman-temannya tengah berseteru dengan siswa sekolah lain. Aura bengis yang dipancarkan Joel sangat menyeramkan, membuat semua orang yang melihat hanya mampu menundukkan kepala agar tak menarik perhatiannya. Walaupun begitu masih banyak siswi perempuan yang mengidolakannya. Mereka bilang sosok Joel sangat boyfriend material. Memang tidak dapat dipungkiri, dengan tinggi badan 185cm dan wajah bak dewa Yunani membuat Joel digemari banyak perempuan. Apalagi ia seorang kapten basket dan cucu pemilik yayasan sekolah. Sudah kaya ganteng pula. Siapa yang tidak mau memiliki pacar seperti Joel? Namun, tentu saja Rora tidak seperti kebanyakan siswi lainnya yang mengidolakan Joel. Ia merasa cowok seperti Joel akan sangat menyusahkan kehidupannya yang damai. Dan benar saja, ketika mereka bertemu kembali sepulang sekolah, Rora dihadapkan dengan sifat Joel yang di luar nalar. "Maksud lo apa Joel?!" pekik Rora. Joel terlihat santai, melipat kedua tangannya di dada, menatap Rora tanpa ekspresi. "Itu gampang, apa pun yang gue mau lo harus setuju," ucapnya santai. "Elo gila, ya!" Dada Rora naik turun menahan emosi. Apa maksudnya permintaan tidak masuk akal itu? Joel meminta Rora mengabulkan semua keinginannya. Apa pun itu tanpa terkecuali termasuk menyentuhnya seperti seorang kekasih. "Rora, jangan pura-pura gak ngerti! Itu gak lucu sama sekali!" balas Joel mulai merasa kesal. Rora mengepalkan kedua tangannya, menggigit bibirnya, keningnya mengerut, matanya menatap Joel dengan tajam. Ia bingung, sangat bingung. Ia tahu Joel tidak memiliki bukti jika pun rahasianya tersebar. Namun, mengingat popularitas dan pengaruh Joel di sekolah, Rora yakin siapa pun akan percaya apa yang Joel katakan. "Sini!" Joel melambaikan tangannya meminta Rora mendekat. Dengan perasaan yang sangat enggan, Rora perlahan melangkah mendekati Joel yang duduk di atas meja tenis. Senyuman tipis terpancar di wajah tampan Joel saat Rora mendekat padanya. Dengan gerakan cepat Joel menarik pinggang Rora dan langsung memeluknya, membuat gadis itu terkejut. "Jo!" pekiknya. Jantung Rora seketika berdegup kencang, badannya langsung merinding merasakan napas Joel yang berembus kencang di lehernya. "Haa ... wangi," ucap Joel tersenyum dengan tangan yang melingkar di pinggang Rora. Mata Rora seketika membulat sempurna ketika merasakan sensasi aneh di lehernya. Rasa dingin sekaligus panas menjalar di lehernya, badannya kaku dengan tangan yang bergetar. "Aww!" Rora memekik ketika merasakan perih saat Joel tiba-tiba menggigitnya. "Bagus," ucap Joel sambil mengusap hasil pekerjaannya di leher Rora. "Sekarang giliran ini," katanya sambil beralih mengusap lembut bibir Rora. Belum sempat bereaksi, wajah Joel sudah berada di depan wajah Rora membuat gadis itu mati kutu. Saat wajah mereka semakin dekat tiba-tiba ketukan pintu gudang membuat mereka berdua terperanjat. Tok tok tok! "Rora, kamu di dalam?" teriak seseorang dari luar."Aurora kamu di mana ...?" gumam Djaren terus mencoba menelpon Rora. Sampai jam sudah menunjukkan pukul sembilan, Rora belum juga pulang ke rumah sehingga membuat Djaren sangat khawatir. Berkali-kali pemuda itu menelpon nomor Rora, berkali-kali pula panggilannya tidak diterima. "Ck! Ke mana sih dia!" gerutuknya kesal. Djaren terus berjalan mondar-mandir di depan kamar Rora. Ia mencoba menghubungi teman sekolahnya dan menanyakan di mana alamat Joel. Siang tadi saat dirinya dan Rora sedang berbicara, tiba-tiba Rora pergi meninggalkannya. Kemudian dari gosip anak-anak di sekolah, Djaren tahu bahwa Rora pergi bersama Joel ke rumah sakit. Namun, saat dicek di rumah sakit mereka sudah tidak ada. "Ke mana si Joel bawa Rora?!" Lagi-lagi Djaren menggerutu. Sudut bibirnya terangkat ketika melihat balasan dari temannya. Ia langsung pergi ke alamat apartemen Joel. Sementara itu gadis yang sedang Djaren khawatirkan tengah duduk sambil menundukkan kepala. Kedua tangannya saling meremas dan b
"Dok, saya minta pulang sekarang juga!" tegas Joel menatap sang dokter yang sedang memeriksa kakinya. "Joel, kamu tau 'kan kalau saya tidak bisa menyetujuinya. Sabarlah besok atau lusa kamu boleh pulang," balas dokter itu tersenyum kesal kepada pasiennya yang bebal."Pokonya saya ingin pulang, dengan atau tidak seizin dokter saya akan pulang!" Joel langsung bangkit bersiap mencabut selang infus di tangannya. "Eh ... eh!" Orang-orang di sana langsung terkejut begitu Joel ingin mencabut infusan di tangannya. Rora yang melihatnya langsung memutar bola matanya merasa jengkel dengan sifat Joel. "Jo! Elo kenapa sih, kata dokter juga gak bisa pulang sekarang!" bentaknya kesal. "Ya, salah elo! Katanya elo gak suka nginep di rumah sakit! Kalau gitu nginep di rumah gue aja, gampang 'kan!" Mata Joel mendelik tajam pada gadis yang berdiri di sebelahnya. Dokter dan teman-teman Joel yang menyaksikan tingkah kekanakannya itu, hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala. Oza dan yang
"Jo, Jo! Anjir kaki lo luka, Jo!" Oza berusaha menghentikan langkah Joel. Namun, pemuda dengan head ban di kepalanya terus saja melangkah. Sampai ia berhenti ketika melihat Rora berjalan seorang diri. "Joel?" gumam gadis itu. Joel segera menghampiri Rora, mencengkram kuat tangannya. Sorot matanya yang dingin menatap dengan penuh kemarahan. "Aww! Jo, sakit!" keluh Rora mencoba melepaskan cengkraman tangan Joel. "Tadi ngapain sama di Djaren, hah?!" bentak Joel membuat Rora terperanjat. Gadis itu langsung melihat sekeliling, banyak anak-anak yang memperhatikan mereka membuatnya cukup risih. "Jo, banyak orang ... jangan marah-marah di sini," bisik Rora. "Jo, mending kita ke rumah sakit sekarang. Itu Pak Tama juga nyusulin ke sini anjir!" Oza menepuk pundak Joel, membujuknya. "Gak! Sebelum gue denger jawaban dari cewek sialan ini!" Hati Rora terasa ditusuk dengan belati ketika mendengar kata-kata Joel. Ia tidak mengerti mengapa cowok itu selalu berkata kasar padanya. "Apaan sih,
"Jo! Elo kenapa gak fokus gini?" seru Oza menepuk pundak Joel. "Jo, calm down! Kita bisa menang kalau fokus!" sahut Kafin. Joel hanya diam sambil mengelap keringat di dahinya. Matanya terus menatap tajam pada Djaren yang tengah tersenyum merayakan keberhasilannya memasukkan bola ke ring tim Joel. 'Gue harus menang! Gue harus tunjukkin ke si Djaren sialan itu kalau dia gak ada apa-apanya!' ucap Joel dalam hatinya, bertekad mengalahkan Djaren. Pertandingan kembali dimulai, tim Djaren sejak tadi terus mencetak poin. Sementara tim Joel hanya Oza dan Farrel yang mampu mencetak poin, yang lainnya apalagi Joel terus kehilangan bola. "Jo! Pass!" teriak Oza meminta bola. Joel tidak mendengarkan teriakan itu. Dia terus melangkah maju sambil mendribble bola. Ada tiga orang sekaligus yang menjaga Joel termasuk Djaren, menunggunya di bawah ring. "Sial! Nantang gue lo!" geram Joel. Ia terus berlari melewati satu orang dari tim lawan. Namun, saat ia berusaha melewati orang kedua, kaki Joel t
Rora berdiam seorang diri di kelas yang kosong. Ia masih tertegun melihat foto Joel yang dikirim oleh akun anonim itu. Bukan masalah karena Joel berfoto bersama gadis lain. Namun, posisi mereka ketika berfoto sangat ambigu dan membuat pikiran Rora melayang ke hal negatif. Joel terlihat tertidur di pelukan seorang gadis yang mengambil foto selfie. Mereka masih mengenakan pakaian lengkap, namun tetap saja Rora berpikiran negatif terhadap foto tersebut. Apa yang mereka lakukan hingga tidur di atas ranjang yang sama seperti itu? "Kalau udah punya pacar kenapa dia kayak gitu sama aku? Mana barusan manggil-manggil sayang lagi!" gerutuknya. Gadis itu sedikit kesal, pasalnya sudah beberapa hari ini sikap Joel sangat baik padanya. Sejak malam kesepakatan mereka, Joel tidak pernah mendekati Rora di depan siswi lain. Cowok itu juga selalu bersikap baik, bahkan seringkali memberikan Rora sesuatu yang membuatnya terkejut sekaligus senang. Namun, sekarang Rora harus dikejutkan dengan foto Jo
"Gimana dong, Rora gak bisa ikut latihan dance karena kakinya sakit?" keluh Berly. Anak-anak yang lain juga langsung mengeluh sambil menghela napas panjang. Mereka tidak tahu harus melakukan apa dengan kaki Rora yang terluka. Padahal kandidat pemenang lomba pentas seni sudah digadang-gadang adalah kelas mereka. Namun, karena keadaan Rora sekarang membuat yang lain menjadi pesimis. "Temen-temen aku minta maaf, ya. Mungkin besok atau lusa aku bisa ikut latihan," ucap Rora menyesal. "Gapapa, Ra, itu bukan salah kamu. Aku cuma heran, deh, kenapa di sepatu kamu ada paku payung? Bukannya sepatu itu jarang dipakai, ya?" tanya Berly. Gilsha dan Silvia langsung mencoba mengalihkan pembicaraan. "Guys, kita latihan sekarang aja, nanti kesorean lagi!" ajak Silvia. "Iya, ayo sekarang aja. Rora kamu gapapa 'kan sendirian di sini?" tanya Gilsha. "Iya, gapapa kok, kalian latihan aja sana," balas Rora sambil tersenyum. Akhirnya Rora pun ditinggalkan sendirian di UKS. Dia menghela napas