Selembar kain hitam dan sebotol air adalah benda yang diberikan Pak Steven kepadaku. Gegas, aku menuju truk. Kupandangi roda truk bagian kiri serta badan truk. Bekas darah dan cairan putih kental masih tampak di sela-sela roda. Tak terasa air mata menetes. Aku menyiramkan air di botol lalu menyeka noda-noda darah tersebut dengan kain hitam seraya terus meminta maaf pada sang korban.
Sungguh ajaib, kain hitam itu menyerap semua darah dan kotoran akibat kecelakaan dengan sempurna tanpa sisa. Perlahan dengan langkah lemah aku masuk kembali ke dalam bangunan, memberikan kain itu ke Pak Steven yang menerimanya dengan sumringah.
Beramai-ramai para penyembah iblis itu menuju bangunan di mana patung Sang Junjungan berada. Aku mengikuti berdampingan dengan Mas Gondo.
"Usap seluruh bagian patung dengan lap ini, Di. Bersama Retno, Bibikmu agar ritual berjalan lancar." Kembali Pak Steven memerintah. Aku menuju ke depan menerima kain hitam, lalu bersama Bu Retno menyeka patu
"Bagaimana keadaanmu, Sum?""Abang ... kemana saja, Bang?" Sumi menatap, binar kebahagiaan tidak tampak di matanya.'Ya, tadi Abang antar barang ke tempat yang jauh. Anak kita perempuan atau laki-laki, Sum? Mana dia?" Aku mencari sosok anakku yang baru dilahirkan, biasanya diletakkan di samping Ibunya, tetapi kenapa tidak ada.Bukannya menjawab Sumi malah menangis, membuat hati semakin bertanya-tanya. Tini yang tadinyi hanya memperhatikan di belakangku, kini memeluk Sumi, berusaha menenangkannya.Mas Gondo mengajakku keluar kamar, lalu berkata dengan suara pelan, "Di, anakmu di ruang perawatan. Kondisinya tidak bagus."Mendengar ucapan Mas Gondo, langit seakan runtuh. Tubuhku lemas, lalu berjalan cepat menuju ruang perawatan.Di ranjang paling ujung ruangan, tertidur bayi dengan pipi kemerahan. Tertulis namaku dan Sumi di sebuah kertas putih yang direkatkan di depannya. Aku memandang dari luar yang dibatasi kaca tebal, tidak boleh masu
Sesampainya di rumah, pecahlah tangisan Sumi, seraya berlari masuk rumah."Di, hibur istrimu. Kasihan dia, pasti sedih sekali." Mas Gondo pergi meninggalkanku.Munafik! Pandai dia berkata seperti itu. Aku hanya berani mengumpat saat Mas Gondo tidak terlihat lagi.Dengan langkah gontai, aku mengikuti langkah Sumi. Tangisan terdengar memenuhi ruangan di dalam rumah. Sebenarnya aku tidak tega melihat istriku seperti itu, penuh kesedihan. Namun, aku kecewa, kenapa dia harus melahirkan bayi cacat? Aku tidak percaya jika Junjungan yang membuat anakku seperti itu. Pasti Sumi salah makan atau tidak becus menjaga kandungannya."Assalamualaikum ...."Suara salam dan riuh terdengar dari pintu depan. Rombongan ibu-ibu pengajian dari majelis Ta'lim yang diikuti Sumi datang.Tanpa menjawab salam, aku menyuruh mereka menuju kamar Sumi. Aku menyuruh Tini yang berada di antara para tamu untuk menjamu, setelah kugelonto
POV SumiHatiku berbunga-bunga, mendengar kabar yang disampaikan Bang Adi. Sambil menikmati martabak telur yang dibawanya, dia memberitahukan bahwa telah mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan bonafid. Puji syukur kuucapkan atas rahmat Illahi yang telah memberikan kebahagiaan ini. Kami pun tertidur pulas dengan perut kenyang dan pikiran tenang, tak akan lagi mengalami kesulitan ekonomi ke depannya.Keesokan paginya, dengan penuh semangat Bang Adi berangkat kerja, sebagai pengemudi truk. Aku tahu suamiku itu sangat mengidamkan pekerjaan yang layak. Dulu dia pernah bilang, akan memperbaiki rumah peninggalan orang tuanya ini dan aku sangat mendukungnya.Aku memandangi punggung suamiku hingga menghilang di ujung jalan. Setelah membereskan peralatan makan, aku melanjutkan jahitan. Baju Mpok Lela harus selesai hari ini, agar upah cepat kuterima.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan di pintu, membuatku menghentikan kegiatan menjahit. Senyum khas dari sahab
"Truknya siapa, Bang? Bagus, ya? Dan itu bawa apa?" tanyaku beruntun. Bang Adi tertawa kecil, lalu menjawab, "Kendaraan operasionalku, Sum. Ayo, kita makan! Ini soto Mpok Diah, kesukaanmu.""Iya, Bang. Sebentar aku siapkan, atau kamu mandi dulu?""Mandinya nanti saja, Sum. Aku sudah lapar sekali," ucap Bang Adi. Aku mengangguk menyetujuinya, kami pun menikmati soto ayam tersebut, memang tidak salah aku menyukainya, memang lezat sekali."Sum, aku ke masjid dulu, ya. Mau Magrib dan Isya di sana!" seru Bang Adi, selepas mandi."Iya, Bang!" Aku buru-buru menjawab, karena desakan buang hajat sudah di tak tertahankan, aku bergegas ke kamar mandi sekalian membersihkan diri.Selesai menunaikan salat Magrib, aku melanjutkan membaca Al-Quran, sambil mengelus perut agar jabang bayi yang ada dalam kandungan menjadi anak soleh. Aku menitikkan air mata kebahagiaan, bersyukur Allah berkenan menitipkan rahmatNya kepadaku.***"Huh
Ucapan Bu Yayuk tidak kuhiraukan, anggukan hanya ingin membuatnya senang karena sedari dini oleh orang tuaku diajarkan lebih percaya kepada sang pemilik kehidupan dari pada benda-benda mati. Yah, sudahlah aku tidak mau berpikiran macam-macam. Terpenting adalah janin di kandunganku, berharap dia selalu sehat."Sum, kita tidur, ya. Sudah malam, kamu pasti lelah," ujar laki-laki kesayanganku, seraya mengusap perut dan mencium keningku. Aku tertidur di pelukan Bang Adi.Seperti biasa pagi hari Bang Adi berangkat kerja, wajahnya kuyu menandakan kelelahan. Sepertinya efek peristiwa yang dialaminya semalam masih membekas di ingatannya. Sebenarnya, aku pun demikian, jujur ketakutan terselip di pikiranku sehingga celetukan keluar dari mulutku, sesaat sebelum Bang Adi berangkat kerja. Kubilang, truk tidak usah dibawa pulang lagi.Aku termenung di kamar, hari ini jadwal cek kandungan ke bu bidan, Tini berjanji akan menemaniku. Walau badan terasa lelah dan masih mengantuk,
"Ooh, tapi uang gaji suamiku enggak sebesar itu. Eeem, ya udah, coba kamu ambil saja, ada berapa. Nanti aku coba bilang Bang Adi kali saja dia bisa membantu," ucapku, kemudian berlalu menuju kamar mengambil kartu ATM. Menyerahkannya kepada Tini. Aku sudah percaya kepadanya.Tini menerima, tetapi aku menangkap dari matanya ada sesuatu yang aneh. Aaah, mungkin hanya perasaanku saja.Tak lama kemudian, Tini kembali dari ATM. Menghempaskan bolongnya ke kursi, lalu berkata, "Aduh, Sum! Hanya ada seratus ribu rupiah di ATM. Aku enggak ambil."Aku bingung mendengar perkataan Sumi, karena tadi Bang Adi bilang hari ini sudah gajian. Apa mungkin belum ditransfer dari perusahaannya?"Sum, kamu enggak punya simpanan?"Mendengar pertanyaan Tini, aku teringat uang Bang Adi yang ada di dalam lemari. Mungkin jika aku mengambilnya tidak apa-apa. Lagi pula nanti bisa diganti uang gajian."Ada, Tin. Sebentar, ya." Aku melangka
"Tapi, Tin ....""Kenapa, Sum? Pokoknya kalau besok belum ada kabar dari suamimu, kita ke Serang, ke tempat orang pintar itu." Tini menegaskan kepadaku, dia terlihat khawatir."Masalah transportasi aku usahakan pinjam mobil saudaraku, biar kamu nyaman, Sum." Lanjut Tini kembali. Setelah mempertimbangkan masak-masak, aku mengiakan ajakan Tini.Malam kembali kulalui tanpa kehadiran Bang Adi di sisiku. Dalam doa setelah salat, aku meminta kepada Sang Khalik agar selalu melindungi suamiku di mana pun, dia berada.Perlahan seiring angin malam yang berembus melalui ventilasi udara, mataku mulai terpejam. Lagi-lagi mimpi buruk menghantui, tetapi kini kulihat dalam mimpiku, Bang Adi dimakan makhluk mengerikan. Alhasil semalaman aku tidak bisa tidur. Selepas salat Subuh, aku mempersiapkan keberangkatanku. Menuju salah satu daerah di provinsi Banten, tempat lumayan jauh dari tempat tinggalku. Semua kulakukan demi sosok yang sangat kucintai, Bang Adi.Bang Ad
"Ayo, Sum! Kita sekarang boleh pulang!" ajak Tini.Aku bingung, jauh-jauh ke sini hanya bertemu dengan perempuan enggak jelas yang cuma mengabarkan Bang Adi akan pulang secepatnya. Aah, aku meragukannya."Tenang saja Sum! Nyi Retno sangat sakti, dia bisa tahu keberadaan seseorang walau hanya lewat nama atau fotonya saja," sahut Tini, yang sekali lagi seakan mengerti isi pikiranku."Ya, sudah kalau begitu, Tin. Sekarang kita pulang, yuk! Perasaanku enggak enak lama-lama di sini.""Tunggu, ya, Sum. Kayaknya Nyi Retno mau bawain sesuatu buat kamu, katanya sih, ramuan agar suamimu lebih sayang." Tini mengkerlingkan mata, menggodaku. Aku tersenyum simpul. Menutupi kegundahan hati.Aku menunggu di luar bangunan, saat Tini masuk untuk mengambil ramuan tersebut. Di samping bangunan besar terdapat lorong panjang yang dihiasi simbol-simbol, sepertinya aku pernah melihat, tetapi entah di mana."Sum, Sumi!