Gemercik air mengalun lembut di telinga yang awalnya berdengung, semakin jelas terdengar. Desir angin menggesekkan ranting-ranting pohon dan menerpa tubuhku yang basah kuyup. Udara dingin menusuk memaksaku tersadar.
Aku membuka mata perlahan. Aku berbaring dalam posisi tengkurap dengan wajah mengarah ke aliran sungai. Terdiam sejenak mengumpulkan tenaga. Saat aku gerakkan sedikit tanganku, tubuhku terasa sakit semua.
Tapi aku tetap memaksa tubuhku bergerak dan melawan rasa sakit. Aku mendorong tanah untuk setengah berdiri, lalu langsung menjatuhkan tubuh ke posisi duduk.
“Aghh sialan.” Aku merutuk pada rasa sakit menusuk di daerah punggung dan bokong. “Pembunuh sialan. Akan aku cari mereka berdua.”
Ingatan itu sangat jelas tanpa perlu menunggu apa yang terjadi padaku. Aku bertekad mencari siapa dua orang yang mencelakaiku.
Untung saja aku masih hidup, begitu pikirku. “Di mana kacamataku?” Aku memicingkan mata ke sekitar tanah tempat aku berbaring. Pandanganku sangat buram, terutama di kegelapan malam seperti ini.
Aku meraba-raba tanah dan menemukan mainan kucing mainan untuk tiga anakku. Aku tertegun ternyata tinggal satu kucing dari tiga kucing yang seharusnya saling bergandengan tangan.
Aku tidak bisa memberikan hanya satu anakku. Ethan, Nathan, dan Ryan harus diberikan sepaket agar tidak ada perang dunia.
Meski begitu, aku akan tetap menyimpan mainan kucing itu agar aku bisa mencari toko mainan yang menjual mainan yang sama. Aku akan mengantungi kucing plastik ini ke kantung tuxedo.
Aku terdiam lagi saat tahu bukan tuxedo yang aku kenakan, melainkan jaket kelabu. Celana yang harusnya berupa satin hitam yang dijahit rapi, justru sebuah celana berwarna biru yang aku tidak tahu nama bahannya apa. Bahkan sepatuku juga berupa sepatu bertali, bukan sepatu kulit hitam yang mengkilap.
“Sial. Apa yang terjadi?”
Dunia tampak buram tanpa kacamataku. Tapi sebelum itu, aku masih cukup bisa menerawang hanya untuk bercermin.
Aku tidak melihat apapun di sekitar. Pohon-pohon tinggi yang berjajar di sepanjang jalan setapak. Juga lampu-lampu berjarak jarang yang menerangi jalan setapak itu.
Air bisa memantulkan bayangan. Aku menyeret langkahku ke dekat hulu sungai yang diterangi oleh lampu jalan.
Aku mengambil napas sejenak. Berusaha menenangkan diri lebih dulu. Menenangkan pikiran yang menerka yang tidak-tidak saat aku menemukan diriku mengenakan pakaian yang berbeda.
Setelah cukup tenang, aku langsung melongokkan kepala ke arah permukaan sungai yang mengalir tenang.
Deg.
Seperti ada yang menghantam dadaku ketika aku menemukan sosok berbeda yang dipantulkan oleh bayangan aliran sungai. Meski agak buram, aku tahu kalau rambutku kini berupa cokelat pirang, bukan hitam. Aku mendekatkan diri ke permukaan sungai, untuk mendapati iris mataku berwarna cokelat hazel, bukan hitam pula. Tidak ada kantung mata dan kerutan di bawah mataku. Aku juga tampak lebih.... Muda?
Belum sempat otakku mencerna dan hatiku menerima kenyataan ini, aku dikejutkan dengan sosok yang muncul dari arah pantulan bayanganku. Aku spontan menarik diri dari tepi sungai. Aku tersandung oleh batu, dan jatuh terduduk.
Mulutku terbuka lebar, tapi tidak ada suara yang keluar. Mataku terpaku pada sosok yang muncul terus dari permukaan air. Sosok tembus pandang yang memiliki rupa bayanganku di sungai.
Dia melayang ke arahku dengan tatapan kosong. Tubuhku bergetar, energiku menguap tak tersisa. Selama 45 tahun lebih aku hidup, aku selalu menganggap hantu itu hanya imajinasi orang yang ingin membuat sensasi. Apa aku menjadi salah satunya?!
“Bukan. Sepertinya kamu bukan salah satunya.”
Aku mendengar suara pemuda yang menggema dari arwah itu. Dia baru saja membaca pikiranku?
“Iya. Aku mendengar pikiranmu sangat jelas.”
Aku tertegun. “Ba-bagaimana bi-bisa?” Aku semakin dikejutkan saat mendengar suaraku hampir sama dengan suara arwah itu.
“Kamu masuk dalam tubuhku,” ucap arwah itu. “Dan aku pikir aku akan pergi selamanya, ternyata aku tidak bisa pergi begitu saja.”
Aku sedikit memiringkan kepala. “Apa maksudmu?” Aku berusaha mengatur napas, menenangkan diri sejenak sebelum mendengar jawaban yang mungkin membuat jantung malangku bekerja lebih keras.
“Kamu sudah cukup tenang?”
Lagi-lagi dia membaca pikiranku dan mungkin perasaanku juga. “Sudah cukup... Sepertinya.”
“Bagaimana kalau kita berkenalan dulu. Aku Marvin Alexander. Atau bisa dipanggil Marvin. Kamu?” Dia menjulurkan tangannya padaku.
Aku sempat bingung, tapi aku tetap berdiri dan mengangkat tangan untuk menjabatnya. Seperti dugaanku, tanganku menembus raganya.
“Ah, aku lupa aku hantu hehe.” Dia terkekeh sejenak. “Agak aneh aku bertanya nama pada diriku sendiri. Tapi aku tahu di hadapanku ini bukan diriku. Jadi, siapa namamu?”
“Jovian Timothy Ray.”
“Senang berkenalan denganmu, Jovian Timothy Ray.” Dia mengulum senyum pucatnya.
“Panggil Jovian.” Entah kenapa diri ini merasa akan bisa lebih dekat dengan arwah ini, sehingga aku memintanya memanggil nama depanku. Bukan nama belakangku.
“Karena kita sudah tahu masing-masing, apa kamu sudah cukup tenang?”
Aku mengangguk. “Ceritakan apa yang terjadi.”
“Yang aku tahu ya. Aku melompat dari jembatan ke sungai ini untuk mengakhiri hidup. Aku pikir aku sudah bisa bebas, tapi ternyata tubuhku yang kosong itu diisi olehmu dan aku tidak tahu kenapa aku melayang di sekitarmu.”
Aku mengedipkan mata beberapa kali. Percaya tak percaya dengan ucapannya. “Kamu menenggelamkan diri?”
“Iya.”
“Kenapa? Kamu masih terlihat muda, Nak! Masih panjang perjalananmu!” sahutku.
“Oh? Kamu sudah tua, Pak Jovian?”
Aku sempat terkesiap dengan pertanyaan baliknya yang terdengar sarkas itu. “Ti-tidak setua itu. Umurku 45 lebih beberapa bulan. Itu yang aku tahu sebelum dibunuh.”
“Umur segitu sudah tua bagiku.”
“Memang berapa umurmu?”
“20 tahun.”
“Ah, kamu masih anak-anak.”
Dia menatapku datar. “Ini dewasa awal, Pak Tua. Bukan anak-anak,” ujarnya. “Ngomong-ngomong, tadi kamu bilang kamu dibunuh? Siapa yang membunuhmu?”
“Aku tidak tahu. Mereka berdua memakai jas hujan dan tudungnya. Wajah mereka tertutup. Saat itu hujan deras juga.” Aku mengeluarkan mainan kucing plastik yang tinggal satu. “Seharusnya aku berikan ini pada anak-anakku, tapi ternyata seperti ini.”
Aku mengeratkan genggaman pada kucing plastik itu. Aku tahu ini semua di luar logikaku, tapi aku tetap berusaha berpikir rasional dan menerima kondisi ini. Minimal, aku harus tahu kondisi anak-anakku sekarang.
“Jovian, kamu tahu sekarang tahun berapa?”
“Tahun 1985, kan?”
Dia menggeleng dengan tatapan khawatir. “Bukan. Sekarang 2025, Jovian.”
Aku semakin sulit berpikir rasional. Berdekade-dekade telah terlewati. Apa mungkin anak-anakku sudah mati?
“Berapa umur anak-anakmu?”
“Tanggal 31 Oktober baru masuk 6 tahun.”
“6 tahun di 1985. Kalau tahun 2025, masuk 46 tahun hari ini jika mereka masih hidup.”
Ada kemungkinan mereka masih hidup. Pasti. Aku yakin itu. Ethan tertua yang pemalas tapi terpintar dari ketiganya, Nathan kedua yang ceroboh tapi penuh rencana kejutan, dan Ryan terakhir yang temperamen tapi terkuat dari ketiganya, Mereka bertiga pasti hidup. Minimal ada satu atau dua yang hidup. Atau Nathan menjadi satu-satunya yang hidup karena kehati-hatiannya dalam melangkah juga tidak apa.
Aku memperhatikan mainan kucing plastik di tanganku. Warna merahnya memudar, gores sana-sini, dan banyak noda yang sulit dihilangkan.
“Jika mereka sudah mati, mau bagaimana lagi, Jovian?”
“Tidak. Pasti ada yang hidup. Aku mati di umur 45. Itu pun karena dibunuh,” bantahku. “Jika mereka mati, aku ingin tahu di mana makam mereka.”
“Kamu mencari mereka menggunakan tubuhku dan identitasku? Apa kerabat mereka akan percaya kalau kamu adalah ayah mereka? Sepertinya tidak.”
Jawabannya cukup masuk akal.
“Kamu punya kehidupan baru, Jovian. Tapi sayangnya kehidupan barumu itu adalah kehidupanku.”
Aku heran dengan suaranya yang terdengar sedih. “Ada apa dengan kehidupan Marvin ini?”
“Terlahir di keluarga Alexander yang terkenal dengan percetakannya dan sering tayang di TV sebagai keluarga harmonis. Aku anak terakhir, tapi diterjang isu akan mendapat sebagian besar harta warisan Papa. Dan hidupku menjadi seperti ini.”
“Seperti ini bagaimana? Kau tidak kuat dirundung keluargamu yang gila harta?”
“Itu hanya sebagian kecilnya.” Dia mengedikkan bahu.
“Lemah,” cibirku. Tanpa menunggu respons, aku mengambil langkah menyusuri jalan setapak.
“Hey! Kau mau ke mana?” Marvin melayang mengikutiku.
“Pulang ke rumahmu. Tunjukkan ke mana aku harus jalan.”
“Gak boleh! Rumah itu seperti penjara! Aku tidak mau balik ke penjara penuh penyiksaan!” rengeknya.
“Aku kedinginan, kelaparan, kehausan. Aku butuh baju ganti. Kau pikir aku akan menyia-nyiakan kesempatan kedua aku hidup ini? Tidak akan!” Aku tetap melangkah dan menemukan jalan raya tak jauh di ujung jalan setapak.
“Iya, tapi jangan ke rumahku!”
Aku berhenti dan menghadap ke arahnya dengan kesal. “Lalu ke mana?”
Dia jadi gugup. Pandangan ke mana-mana. “Uhmm... Aku tidak tahu.”
“Bodoh.” Aku lanjut berjalan ke jalan raya.
“Jovian. Aku peringatkan—“
Ucapannya terhenti saat aku melihat ada mobil hitam tiba-tiba menyalakan lampunya. Mobil itu berada di sampingku. Satu tangan aku angkat di depan wajah, mengurangi intensitas cahaya mobil ke mata.
“Kita berhasil menemukan Marvin.”
Aku mendengar suara pria, tapi aku sulit melihat sosoknya karena lampu mobil.
Tiba-tiba ada yang mencengkeram kuat pergelangan tanganku dan menarikku kasar menuju mobil.
“Hey! Lepaskan aku!” Aku berusaha mempertahankan posisiku, namun tenaganya lebih kuat.
Dia membuka pintu mobil belakang, lalu mendorongku hingga terjerembap di kursi belakang mobil. Aku segera bangkit menuju pintu.
Klik!
Pintu sudah terkunci sebelum aku bisa membukanya. “Buka pintu ini!” Aku menendang-nendang pintu.
“Marvin!”
Aku merasa sengatan listrik di sekitar lutut saat disentuh oleh sebuah tongkat besi. Spontan aku berhenti dan menjauhi tongkat itu. Seorang wanita yang duduk di kursi penumpang depan adalah pelakunya. Dia menempelkan tongkat listrik itu ke lenganku.
“Berhenti! Berhenti!” Aku menepis tongkat itu. “Apa-apaan kau ini?!”
“Kau yang apa-apaan?! Menghilang tiga hari tanpa kabar! Mama gak mungkin kasih tau media kau hilang! Mau ditaruh di mana muka Mama kalau media mengira kau kabur dari rumah?! Citra keluarga harmonis kita pasti tercoreng!” bentaknya. Aku sulit melihat wajahnya di tengah malam tanpa cahaya di dalam mobil ini.
“Apanya keluarga harmonis?!”
“Sekali lagi kau tinggikan suaramu, Mama naikkan tegangan listrik ini dan Mama masukkan ke mulutmu. Mau?” Dia menunjukkan tongkat listrik itu lagi. Garis putih kebiruan di ujungnya terlihat lebih bersinar dan menghasilkan suara hentakan yang menakutkan.
Aku menggeleng dan menutup mulut.
“Bagus. Jadilah anjing baik seperti yang seharusnya.” Wanita itu mengetuk kepalaku dengan ujung tongkat, tanpa ada aliran listrik yang mengalir.
Aku beringsut ke sudut pintu tepat di belakang wanita yang menyebut dirinya sebagai ‘Mama’ itu. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi. Tidak ingin berinteraksi dengannya.
“Kita balik ke rumah.”
“Baik, Nyonya Alexander.”
Pria di kursi setir, langsung melajukan mobilnya.
Tidak lama mobil melaju, Marvin muncul di kursi sebelahku. Lalu berkata,
“Selamat datang di kehidupanku, Jovian.”
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru
“Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad