Mobil memasuki sebuah gerbang tinggi yang dijaga oleh dua pria berseragam. Aku pikir setelah gerbang, akan tampak rumahnya, tapi ternyata tidak. Mobil kembali melaju melewati jalan yang di sebelah kanan dan kirinya ditanami oleh pohon-pohon tinggi. Kegelapan menyelimuti pohon-pohon itu. Tak ada lampu taman apalagi kursi taman. Beberapa menit kemudian, barulah tampak sebuah bangunan berlantai empat.
Mobil berhenti di samping kolam yang di tengah-tengahnya terpasang sebuah patung ikan yang mengeluarkan air dari mulutnya membentuk sebuah air terjun. Ada seorang pria yang menunggu di luar air mancur itu untuk membukakan pintuku. Awalnya aku sempat bingung, tapi saat aku melihat ‘Mama’ dan sopirnya keluar setelah dibukakan pintu juga, aku ikut keluar.
Aku dibuat menganga setelah melihat lebih jelas bangunan berlantai empat yang disebut rumah itu. Ada sepasang pilar putih di antara pintu masuk berdaun dua itu. Di tiap lantai terdapat jendela. Di puncak atap atau di antara dua pilar itu, terdapat sebuah simbol kaligrafi latin dengan huruf JBA. Aku bertanya-tanya maksud huruf itu—
“JBA itu singkatan dari Jared Burton Alexander. Kakek kami yang mendirikan rumah percetakan Burton dari yang awalnya hanya percetakan kecil, hingga memproduksi jutaan berbagai jenis buku dan majalah,” jelas Marvin yang lagi-lagi membaca pikiranku.
“Kenapa kau mengikutiku?” tanyaku pada Marvin.
Pertanyaanku menarik perhatian yang lain. “Kau bicara sama siapa? Cepat masuk!” perintah ‘Mama’.
Aku mengekornya di belakang, sambil melihat ke sekitar. Mobil sedan itu dimasukkan ke dalam garasi besar di samping rumah. Para pelayan lainnya menuju bangunan berlantai dua di sebelah garasi.
Wanita berambut pirang pendek seleher tanpa hiasan. Memiliki tubuh seperti pasir waktu di balik gaun merah selututnya yang ketat. Sepatu hak tinggi mengetuk lantai marmer ketika menanjaki tiga anak tangga menuju pintu masuk. Penglihatanku sedikit lebih jelas di bawah cahaya lampu depan rumah.
Ketika wanita itu mendorong pintu dua daun itu hingga terbuka lebar, aku dapat merasakan hembusan udara hangat dari arah dalam. Gemerlap cahaya berkilauan dari arah lampu gantung hias, pajangan-pajangan keramik sebagai penghias di dekat dinding, serta etalase kaca yang penuh oleh penghargaan, plakat, dan piagam. Meskipun rada buram, tapi aku dapat menilai bahwa wastu kediaman Alexander ini memanglah kediaman impian yang selalu aku dambakan.
“Tuan Muda! Akhirnya Tuan Muda pulang!” Seorang wanita paruh baya dengan seragam pelayan hitam dan putih berjalan cepat menghampiriku dan memelukku erat. Aku tidak tahu dia siapa—
“Dia Eva Holland. Atau Bibi Eva. Dia Pelayan pribadiku yang sudah aku anggap seperti mama kedua. Aku paling mempercayai dia dibanding yang lain,” jawab Marvin lagi.
Pelayan pribadi? Kau punya pelayan pribadi?! Aku melotot pada arwah pemuda yang muncul di balik wanita tua yang masih memelukku ini. Marvin hanya mengangguk dan tersenyum.
Eva melepas pelukannya dan memberikan senyum harunya. Aku hanya tersenyum canggung.
“Eva, urus anak anjing ini. Besok kita adakan konferensi pers kepulangan Marvin.”
“Anak anjing kau bilang? Aku manusia!” protesku, yang mendapat respons kaget dari Eva, juga ‘Mama’.
“Kau naikkan suaramu lagi di depan Mama?” Alis tebal wanita dengan riasan menor itu saling menaut. Dia menunjukkan tongkat besi itu di hadapanku sebagai ancaman.
Eva berdiri di hadapanku, dan berkata, “Maaf Nyonya. Sepertinya Tuan Muda lagi sangat lelah setelah tersesat di hutan. Tolong wajarkan sikap kurang ajarnya tadi,” mohonnya.
Aku ingin buka suara untuk membantah, namun sudah dipotong oleh Marvin.
“Jangan, Jovian! Mama bisa menyiksamu saat ini juga kalau kau memancing amarahnya! Tongkat listrik itu bisa buat kau kejang-kejang!”
Ucapannya benar. Jadi, aku memilih membungkam.
Wanita jahat itu mendengus. Lalu melangkah terus menuju suatu tempat yang aku tidak pedulikan.
“Tuan Muda, sebaiknya Tuan Muda jangan terlalu membuat kesal Nyonya Alexander. Bibi tidak kuasa melihat Tuan Muda dikurung di gudang malam ini,” ucap Eva.
“Kenapa Bibi tidak langsung melaporkan tindak kekerasan itu ke polisi dan menjadi saksi?” tanyaku.
“Pertanyaan bodoh,” jawab Marvin.
“Aku ‘kan baru di sini. Wajar kalau aku tidak tahu!” Aku menatap sinis pada arwah itu.
Eva kebingungan. Dia melihat ke sebelahnya, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. “Tuan Muda bicara dengan siapa?”
“Aku bukan—“
“Jangan coba-coba kasih tahu kalau kau Jovian!” potong Marvin lagi. “Bibi punya penyakit jantung. Kalau dia tahu kenyataan bahwa aku sudah tiada, bisa jadi dia kena serangan jantung!”
Aku mendecih. Dia terlihat semakin banyak mengendalikanku.
“Aku minta maaf kalau aku terkesan menyuruhmu terus, tapi percaya padaku, ini untuk kebaikanmu atau orang sekitar yang peduli denganmu.”
“Tuan Muda tidak apa-apa?” tanya Eva.
“Aku tidak apa-apa. Maaf. Hanya sedikit halusinasi,” jawabku. “Kamar mandi di mana ya, Bi? Aku mau mandi.”
“Tuan Muda tidak tahu kamar mandi di mana?”
“Jangan tanya macam-macam! Biar aku saja yang mengarahkanmu ke setiap ruangan rumah ini!” seru Marvin yang tampak panik. “Aku biasa pakai kamar mandi di kamar. Bilang itu ke Bibi!”
“Oh, aku tahu. Kamar mandiku di kamar. Lupa sedikit tadi hehe.” Aku tertawa canggung.
Eva tersenyum lega. “Syukurlah. Bibi kira kamu kena amnesia,” ucapnya. “Bibi ambilkan handuk dan pakaian hangat ya. Sekalian cokelat panas kesukaanmu.”
“Terima kasih.”
“Apa pun untuk Tuan Muda Marvin.” Setelah mengatakan itu, dia langsung berjalan lebih dulu keluar dari ruang tamu.
“Sekarang, tunjukkan arahnya,” perintahku pada arwah tembus pandang itu.
“Lewat sini.”
Aku mengikuti ke mana arwah itu melayang sambil melihat-lihat sekitar. Dinding rumah didominasi oleh warna putih gading, warna yang sama dengan dinding rumah bagian luar. Pertigaan setelah ruang tamu. Di sebelah kiri katanya mengarah ke dapur, kanan mengarah ke ruang keluarga, lurus mengarah ke tangga lantai dua sekaligus ruang keluarga kedua. Lampu-lampu hiasan gantung memiliki bentuk berbeda di tiap ruangannya. Aku berjalan lurus, mengikuti Marvin yang menaiki tangga lebar dan melingkar menuju lantai dua.
Aku hitung, ada 20 anak tangga untuk mencapai lantai dua. Di lantai dua ada koridor yang di kanan kirinya terdapat pintu yang tak tahu isinya apa. Juga ada ruangan luas lagi yang di tengahnya ada meja billiard. Aku pikir Marvin akan menuju kordior, ternyata dia naik terus hingga ke lantai empat.
“Sebentar. Sebentar Marvin.” Aku terengah, lalu terduduk di anak tangga teratas sambil memanjangkan kaki. “Aku ambil napas dulu. Rumah ini luas sekali...”
“Oh, ya. Maaf. Aku lupa kau sudah tua.”
“Orang muda sepertimu juga pasti lelah menaiki tangga sebanyak ini!” balasku.
“Tidak. Aku sudah terbiasa. Kalau aku punya akses lift, pasti aku antarkan kamu menggunakan lift.”
“Lift?”
“Sejenis elevator, tapi versi vertikalnya. Apa tahun 1985 sudah ada elevator?”
“Elvator? Aku pernah mendengarnya, tapi belum pernah melihat wujudnya. Apa di sini ada elevator?” Aku tercengang.
Marvin mengangguk. “Biar aku antar.” Dia melayang menuju sudut dari lantai empat. Aku langsung menyusulnya, sambil melihat sekitar. Sebuah ruangan besar tanpa koridor yang tiap dindingnya dipenuhi oleh patung-patung hias hewan dan tumbuhan, namun di beberapa dindingnya terdapat tiga pintu yang aku yakini salah satunya adalah milik Marvin.
Di sudut ruangan sebelah kanan tangga, aku melihat sebuah pintu besi berwarna kekuningan dan di atasnya terdapat cahaya merah membentuk angka satu. Marvin menunjuk ke arah sisi lift. Ada sebuah layar yang menunjukkan panah bawah.
“Aku perlu kartu akses yang harus ditempelkan di bawah tanda panah ini, lalu aku bisa menekan tombol panahnya. Dua kakakku, Mama, dan Papa, juga beberapa pelayan penting punya kartu akses itu, kecuali aku.”
“Kenapa?” heranku.
“Mereka membenciku.”
“Termasuk Bibi Eva?”
“Tidak. Dia punya kartu akses dan beberapa kali meminjamkannya padaku. Saat Mama melihat aku terlalu sering meminjam kartu aksesnya, dia melarang Bibi meminjamkannya lagi atau nanti Bibi akan dipecat,” jelasnya.
Aku semakin tidak paham. “Kenapa mereka jahat sekali padamu?”
“Aku tidak tahu Jovian.” Suaranya semakin meningkat.
“Kamu tidak ingin cari tahu?”
“Aku sering kali bertanya dan kadang beberapa kali melawan penindasan mereka, namun aku berakhir dikucilkan dan tanpa diberi jawaban.” Tatapannya semakin sendu. “Papaku sebenarnya sering di pihakku. Tapi dia malah menyuruhku bersabar saja. Aku tidak tahu... Apa karena dia ada di pihakku... dia jadi sakit-sakitan. Atau...”
Aku mendengarnya terisak. Dia tidak melanjutkan ucapannya. Sepertinya dia memang melewati masa-masa sulit. Tapi dibanding kasihan, aku lebih kepada bingung. “Hantu bisa menangis?”
“Bagaimana Pak tua sepertimu bisa masuk ke tubuhku yang seharusnya sudah jadi jasad?” timpalnya sambil menghapus air mata.
“Touche.” Aku mengangguk lambat. Kita sama-sama tidak bisa menemukan jawaban itu dan memang lebih baik jalani saja tanpa perlu bertanya-tanya.
Ting.
Aku mendengar dentingan dari arah lift. Angka yang awalnya menunjukkan angka 1, kemudian 2, lalu 3, dan terakhir 4. Pintu lift terbuka. Aku pikir Eva, ternyata bukan.
Sepasang wanita kembar dengan penampilan sama persis dan hanya berbeda warna. Mereka sama-sama berambut pirang bergelombang terjuntai hingga sedada, bermata biru laut, memiliki tahi lalat di dekat mata kiri, dan tinggi setara denganku. Berbeda hanyalah poni. Sebelah kiriku, wanita dengan pakaian piyama merah muda memiliki poni rata. Sebelah kananku, wanita dengan piyama ungu tidak memiliki poni dan menampilkan keningnya. Jarakku dengan mereka cukup dekat, sehingga aku masih bisa melihat detail meski masih buram. Mereka berdua sama-sama terbelalak dengan kehadiranku.
“Marvin? Kau masih hidup?” kaget wanita berpiyama merah.
“Ah, kenapa tidak mati saja,” keluh wanita sebelahnya.
“Mereka kakak kembarku. Penyuka pink, Vina. Penyuka ungu, Viona,” ucap Marvin sebelum aku berkata yang tidak-tidak. “Mereka berdua yang paling menginginkanku mati.”
Aku ingin sekali membalas, tapi aku menahan diri untuk mengobservasi lebih dulu. Mereka berjalan melewatiku, tapi sengaja menabrak pundakku di saat bersamaan dan hampir membuatku terjatuh.
“Besok kita jahili apa lagi ya buat adik tersayang kita?” kata Vina.
“Kita acak-acak kamarnya waktu dia lengah,” saran Viona.
“Ide bagus!”
Mereka tertawa terbahak sebelum akhirnya tawa itu hilang saat mereka masuk ke dalam pintu yang sama.
“Kamar mereka persis di sebelah kamarku,” kata Marvin. “Dan biasanya mereka memasang musik keras-keras sampai aku tidak bisa tidur semalaman. Aku pernah membentak mereka, cuman berakhir aku yang kena hukuman dari Mama.”
“Mereka kakak kembarmu? Beda berapa tahun?” tanyaku.
“Viona lahir 5 menit setelah Vina. Aku lahir 20 menit setelah Viona.”
Aku terbelalak. “Kalian triplet?”
“Mereka kembar identik. Aku kembar bukan identik. Gennya lebih mengikuti Mama, aku campuran antara Mama dan Papa,” jelasnya.
“Anakku triplet tidak identik. Tiga-tiganya berbeda, tapi tidak sampai ada yang mendiskriminasi satu sama lain,” gumamku.
Denting suara lift kembali terdengar. Kali ini yang muncul adalah Eva.
“Loh? Tuan Muda belum bersih-bersih?” Dia keluar lift dengan sekantung pakaian di tangan kiri dan nampan berisi cokelat panas di tangan kanan.
“Oh, belum, Bi. Tadi aku menyapa Kakak kembarku dulu,” kataku.
Eva tersenyum miris. “Mereka bicara yang tidak-tidak tentangmu, ya?” tebaknya.
Aku mengedikkan bahu. “Kurang lebih.”
“Sebaiknya Tuan Muda segera bersih-bersih dan istirahat saja sekarang.” Dia meletakkan kantung pakaian di lantai, lalu mengambil kertas di atas nampan yang sudah bertuliskan sesuatu dan berkata, “Besok jadwal Tuan Muda sangat padat. Konferensi Pers, sesi pemotretan untuk model jaket terbaru L’Éclatan, bertemu rektor kampus Tuan Muda untuk membicarakan percetakan sebagai perwakilan dari bisnis percetakan JBA, dan makan malam bersama keluarga Fisher untuk membicarakan kerja sama bisnis.”
Aku melongo. “Bi? Aku harus mengikuti semua itu besok hari?”
“Iya, Tuan Muda. Ini terbilang sedikit dari yang biasanya.”
Marvin tersenyum tanpa rasa bersalah, lalu berkata,
“Selamat datang di kehidupanku jilid 2, Jovian.”
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru
“Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad