Home / Romansa / Sang Mantan Pelacur / 4. Kisah Cinta Masa Lalu

Share

4. Kisah Cinta Masa Lalu

Author: pramudining
last update Last Updated: 2022-04-05 07:50:50

Happy Reading

*****

"Kenapa teriak? Aku kangen, lho, cantik." Tangan kanannya berusaha menyentuh pipi Adilla, tetapi bisa ditepis oleh Anwar.

"Ndak usah sentuh-sentuh mbakku!" Emosi Anwar mulai naik. Dia ingat betul siapa lelaki di depannya ini. Seseorang yang telah menyakiti Adilla cukup dalam.

"Tenang, Dik! Ini tempat umum." Adilla berbisik dan mengusap lengan Anwar, lagian ada dua adiknya yang masih kecil. Tidak mungkin perempuan itu mempertontonkan pertengkaran dengan sang lelaki.

"Makin cantik aja kamu. Kulit dan wajahmu juga makin terawat." Lelaki itu meraba lengan Adilla.

"Lancang sekali njenengan." Anwar kembali menepis sentuhan lelaki bernama Rustam itu.

"He. Jaga mulutmu, bocah!" Rustam sudah hampir melayangkan tamparan pada Anwar, tetapi Adilla menghalanginya.

"Pergi ... pergi!" usir Adilla disertai teriakan. Banyak pengunjung yang akhirnya melihat ke arah mereka. Salah satu pegawai warung menghampiri Rustam.

Entah apa yang dikatakan pada lelaki itu hingga membuatnya meninggalkan warung bakso. Adilla terduduk lemas di antara adik-adiknya. Mau sampai kapan dia dihantui ketakutan tiap kali bertemu dengan Rustam. Bukan ketakutan akan dianiaya atau sebagainya, tetapi ketakutan jika si lelaki sampai membuka apa pekerjaan Adilla sebenarnya.

"Minum dulu, Mbak." Anwar memberikan jus jeruk yang dipesan Adilla tadi.

Rian dan Nitami, hanya menatap kedua saudaranya tanpa berniat menanyakan apa pun. Biarlah nanti, mereka yang akan menceritakan kejadian tadi dengan sendirinya. Sebagai dua orang yang belum dewasa, Nitami dan Rian belum memahami apa permasalahannya.

Mereka, hanya mengetahui bahwa lelaki yang tadi mendatangi saudara tertuanya adalah suami Adilla. Namun, mengapa sekarang tidak tinggal serumah lagi, mereka tak tahu alasannya. Nitami menangkupkan tangan mungilnya di atas pergelangan kanan Adilla.

"Mbak, jangan sedih, ya. Ini baksonya bisa dimaem, ndak?" tanya Nitami polos. Seketika Adilla dan Anwar saling menatap dan tersenyum.

"Yo dimaem lah, Dik. Maem aja duluan," suruh Adilla.

Selera makan Adilla anjlok setelah kejadian tadi. Ketika tiga saudaranya sibuk menghabiskan bakso yang mereka pesan, dia malah sibuk melamun.

Sekitar lima tahun silam, Adilla masihlah seorang istri dengan segala keluguan yang melekat padanya. Menikah di usia 16 tahun bukanlah hal mudah. Saat gadis seusianya masih sibuk menuntut ilmu, Adilla harus sibuk mengurus suami dan juga seluruh keluarga.

Posisinya sebagai istri Rustam tak ubah seperti pembantu. Semua pekerjaan rumah tangga dilakukan. Tak ada satu pun janji yang lelaki itu penuhi seperti ketika pertama kali melamar Adilla pada bapaknya. Jangankan meneruskan sekolah, perempuan itu malah dilarang untuk menemui keluarga setelah menikah.

Makian, cacian bahkan tamparan sering didapat dari lelaki bernama Rustam. Adilla menghela napas panjang. Terbayang semua kesakitannya kala itu. Usia yang masih sangat muda memberi banyak peluang baginya untuk dipermainkan.

Puncak kesakitan Adilla adalah ketika suatu malam, sang suami pulang dengan keadaan mabuk.

"Kenapa malam-malam di luar dengan pakaian seperti ini?" tanya Rustam sambil menarik baju tidur Adilla yang tanpa lengan.

Perempuan itu mencium bau asam bercampur busuk dari mulut suaminya. Mata merah juga tergambar jelas di sana. "Aku nunggu, Mas, pulang," jawabnya gagap dan takut.

"Alasan!" teriak Rustam, "mau jadi lo**e keluar malam-malam dengan pakaian seperti ini?"

"Bi-asanya ju-ga pa-ke i-ni, Mas." Adilla merutuki dirinya sendiri karena memilih pakaian itu. Semula, dia ingin menyambut kehadiran sang suami dengan dandanan yang sedikit menggoda. Adilla sudah jenuh seringkali dikata-katain mandul oleh mertua karena tak kunjung hamil.

"Masuk, Sayang!" perintahnya pada seorang perempuan yang pakaiannya lebih mirip dengan sebutan kata dari Rustam tadi.

"Mas, siapa dia?" teriak Adilla.

Wanita itu melirik Adilla dengan tatapan hina.

"Tak perlu hiraukan keberadaannya," kata Rustam.

"Inikah perempuan yang kamu ceritakan, Mas?" ucapnya manja dengan suara yang dibuat semerdu mungkin.

"Iya," jawab Rustam. Dia mengeratkan pelukan pada wanita itu. Sesekali mencium pipi dan rambut yang tergerai. Adilla mematung melihat tingkah suaminya.

Dia, lelaki yang telah Adilla pilih menjadi imamnya, mengapa tega memberikan contoh buruk. Di mana Rustam yang dulu pertama kali kenal begitu lembut dan baik? Suaminya dan wanita tak dikenal itu masuk dengan tenang ke kamar yang ditempati mereka selama ini. Keras, Rustam menutup pintu dan menguncinya.

Malam itu adalah malam permualaan dari segala siksa batin bagi Adilla. Sebagai seorang istri yang masih muda dan lugu, dia menunggu suaminya tepat di depan pintu. Selang beberapa menit, Adilla mendengar suara-suara yang sulit dibayangkan.

Usia belasan tahun, dia sudah merasakan pahitnya hidup. Tubuh Adilla meluruh, tangannya keras mengetuk-ngetuk pintu kamar. Namun, Rustam tak menggubris sama sekali. Suara-suara khas hingga desahan kenikmatan semakin menggema pada indera perempuan itu.

"Mbak'e gak suka sama baksonya, ya?" tanya Rian. Mengguncang pelan lengan saudara perempuannya yang sedang melamun.

"Mbak Dilla sakit?" tanya si bungsu.

Mata Adilla menerawang jauh. Embun itu tak dapat disembunyikan lagi, sakit ... teramat sakit apa yang lelaki itu goreskan pada hatinya. Anwar yang menyadari perubahan Adilla, segera merengkuh saudara tertuanya itu ke dalam pelukan.

"Mbak, jangan nangis di sini. Malu dilihat orang. Kita pulang aja, ya?" Anwar berbisik.

Adilla masih diam mematung, tak menjawab satu patah kata pun. Ketiga saudaranya menjadi bingung harus melakukan apa. Anwar masih mendekapnya dalam pelukan, Nitami mengelus lengan kanan Adilla dan Rian terus memanggil namanya. Mereka semua sedih dan khawatir.

"Mas, iki piye kok gini?" Nitami mulai terisak. "Adik enggak suka sama orang tadi. Adik benci dia, awas aja kalau ketemu tak mbalang watu (lempar batu) gede."

"Ojo nangis, Dik," seru Rian, Nitami makin mengeraskan tangisannya.

Suara tangisan Nitami mengusik indera Adilla, dia mulai tersadar. Cepat-cepat dia mengurai pelukan Anwar, lalu menyeka embun bening itu dari kedua mata. Adilla menatap ketiga adiknya.

"Maafkan, Mbak. Sudah buat kalian khawatir," akunya. Adilla merogoh tas selempang dan mengeluarkan uang berwarna merah. Diberikannya lembaran berharga itu pada Anwar untuk membayar makanan.

"Kita pulang aja, ya, Mbak. Adik enggak mau Mbak kayak gini lagi. Pokoknya Adik janji, kalau ketemu orang itu bakalan tak lempar batu sampai berdarah-darah." Nitami mengepalkan tangan.

"Nggak perlu gitu, Dik. Lupain aja orang gendeng (gila) kayak dia. Rugi kalau kita sampai masuk hotel prodeo gara-gara wong sing nggak jelas macam dia." Adilla mencium pipi Nitami.

Setelah membayar semua makanan, mereka berniat pulang. Namun, di depan pintu masuk warung bakso itu. Rustam berdiri tegak menunggu. Mereka berempat saling memandang. Rian dan Anwar maju terlebih dulu.

"Kenapa lagi, Mas?" tanya Anwar.

"Minggir!" seru Rustam, "aku mau ngomong sama lo**e satu itu."

"Jaga mulutmu!" Anwar langsung melayangkan bogeman pada Rustam. Darah mudanya terusik dengan kata sarkas dari bibir sang mantan kakak ipar.

"Beraninya kamu!" teriak Rustam.

"Berhenti!" Adilla tak kalah lantang berteriak. Di tangan kanannya sudah ada pisau lipat yang diacungkan pada lelaki itu. Menjadi pekerja malam harus memiliki benteng pertahanan untuk berjaga-jaga. Oleh karenanya, dia selalu siap dengan pisau lipat di dalam tas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Mantan Pelacur   31. Dua Hati Menyatu (2)

    Para tamu undangan mulai berdatangan. Sang mempelai lelaki juga siap di depan meja yang telah disediakan untuk pengucapan akad. Di depan Angga, ada suami Ustazah Almira yang akan menuntunnya mengucap taklik pernikahan dengan Adilla.Anwar sebagai wali dari pernikahan saudara tertuanya, mewakilkan pada Ustaz Ahmad untuk menjabat tangan Angga. Diperlukan waktu kurang satu menit saja untuk mengucap ikrar suci pernikahan. Setelahnya, Angga dan Adilla sah menjadi suami istri.Tangis haru dan bahagia dari kedua orang tua yang mendampingi sang mempelai perempuan menjadi saksi pergantian status Adilla. Saat tirai yang memisahkan tempat duduk mereka terbuka, Angga melihat dengan jelas kecantikan istrinya.Lelaki itu mendekati istrinya setelah mencium telapak tangan Sumaiyah dan juga Muawiyah sebagai rasa bakti kepada dua perempuan itu. Angga melirik sebentar sang istri sebelum mengarahkan tangan kanannya. Dia kemudian mencium kening Adilla dan membacakan doa yang diaminkan oleh seluruh keluarga

  • Sang Mantan Pelacur   30. Dua Hati Menyatu (1)

    Angga meminta Muawiyah memajukan tanggal pernikahannya. Tak sabar rasanya ingin bersanding dengan sang pujaan. Semakin hari, lelaki itu dibuat gemas dengan sikap Adilla yang malu-malu tiap kali mereka bertemu. Terkadang, lelaki itu diabaikan dan lebih asyik bermain dengan Safika atau berbincang bersama sang bunda.Seperti saat ini, ketika Angga bertamu ke rumah membahas pernikahan. Si calon malah sibuk dengan menyiapkan minuman. Setelah itu Adilla malah tak menemaninya berbincang. Perempuan itu masuk dengan membawa Safika bersamanya."Sabar, Ngga. Tinggal seminggu lagi. Masak udah nggak tahan?" goda Muawiyah.Angga menarik garis bibirnya. Semakin lama, peresaannya pada Adilla semakin besar. Dia sungguh merasa bahagia ketika dipertemukan kembali dalam keadaan yang lebih baik seperti keinginannya dulu. Mendengar tawa Safika dan calon istrinya, lelaki itu berpamitan untuk menghampiri mereka."Sayang, dipanggil Uthi," kata Angga pada putrinya."Kenapa, Pi?""Nggak tahu." Sambil mengangka

  • Sang Mantan Pelacur   29. Cinta Itu

    Happy Reading*****Waktu terus berlalu terhitung seminggu sudah terlewati, Muawiyah mulai sibuk mempersiapkan acara pertunangan. Bagaimanapun juga, pertunangan putranya harus dirayakan dengan meriah walau bukan yang pertama. Hari ini, dia ada janji ketemuan dengan sang calon menantu di butik untuk mengambil gamis yang akan dipakai pada acara tersebut."Bunda aja yang masuk, aku tunggu di sini," kata Angga. Mereka sudah ada diparkiran butik, tetapi lagi-lagi lelaki itu ragu untuk menemui calon yang dipilih bundanya walau dia sendiri yang memutuskan menerima."Ya, udah kalau gitu," tanya Muawiyah, "Sayang kamu ikut Uthi turun nggak?" Bertanya pada Safika."Enggak, Thi. Aku di sini aja sama Papi." Bocah kecil itu memainkan boneka setelah uthinya keluar.Beberapa puluh menit menunggu ternyata membuat Angga jenuh. "Sayang, gimana kalau kita ke Uthi?"Safika menggerak-gerakkan bola mata. "Ayo!" ucapnya kemudian.Mereka berdua turun dan masuk ke butik. Suara Safika memanggil-manggil uthinya

  • Sang Mantan Pelacur   28. Duhai Hati

    Happy Reading*****Lebih dari dua minggu Angga belum memberi jawaban pada sang Bunda. Sementara hubungan Muawiyah dengan calon yang dipilih makin dekat saja. Sejak perempuan itu pulang ke rumahnya seminggu lalu, Safika sering minta di antar main ke sana.Cucu perempuannya itu sudah mengenal seluruh keluarga calon istri Angga. Hari ini Muawiyah mengajak sang putra untuk bertemu dengan calonnya. Sejak pagi, papinya Safika sudah diwanti-wanti pulang lebih awal dari jadwal kerja biasanya.Patuh, lelaki dengan kemeja hitam dan celana biru dongker itu menuruti permintaan bundanya. Angga memang tidak berniat ke kantor hari ini, dia akan menemui Anwar sekali lagi. Memastikan bahwa Adilla tidak sedang di kota ini dan memastikan peresaannya.Tegap langkah kakinya memasuki toko yang semakin hari semakin banyak pengunjung datang. Kaca mata hitam dengan tangan kanan masuk ke kantong, penampilan Angga mampu membuat para pembeli perempuan di toko itu melirik. Bisik-bisik pun terjadi, tetapi lelaki

  • Sang Mantan Pelacur   27. Lamaran

    Happy Reading*****Sekali lagi Ustazah Almira menajamkan pendengaran. "Njenengan beneran mau jadiin Erum mantu, Bu?""Insya Allah, Ust. Cucu saya itu jarang sekali tertawa atau dekat dengan orang yang baru dikenal, tapi saya lihat tadi Erum dekat dengannya. Safika itu sudah ditinggal ibunya sejak dia lahir dan anak saya belum mau berumah tangga lagi. Katanya sih nunggu perempuan yang cocok." Muawiyah tertawa.Almira terdiam, memajamkan mata sebentar. Ragu menyelimuti hatinya, apakah akan menceritakan masa lalu Adilla atau tetap bungkam dan membiarkan Muawiyah menikahkan dengan sang putra."Erum memang perempuan telaten dan penyayang selain parasnya yang cantik, tapi saya mau menyampaikan sesuatu berkaitan dengan masa lalunya. Sebenarnya saya mau menyembunyikan ini karena dia sudah berubah dan bertaubat." Lagi-lagi Almira mengembuskan napas panjang."Maksudnya kenapa, Ust?" Muawiyah menyipitkan mata. Di halaman masjid terlihat kedekatan antara cucunya dengan Adilla."Bukan maksud saya

  • Sang Mantan Pelacur   26. Hijrah

    Happy Reading*****Terkadang seseorang itu harus dipukul mundur oleh keadaan untuk bisa kembali pada Sang Pencipta. Adilla menangis di rumah Hendra setelah pulang dari tempat pesta yang memperok-porandakan harga diri. Lelaki yang sudah menganggapnya sebagai anak itu dengan sabar mendengarkan keluh kesahnya."Lalu, apa rencana masa depanmu?" tanya Herman saat tangis Adilla mulai mereda."Bawa aku pergi jauh yang nggak ada seorang pun mengenal," ucap Adilla sesenggukan."Oke. Bilang keluargamu. Aku akan bawa kamu ke tempat di mana nggak akan ada orang jahat atau lelaki yang akan mengenalmu. Apa kamu sanggup?"Adilla mengangguk setuju. Tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung menghubungi keluarga dan menceritakan semua kejadian yang dialami. Meminta pengertian mereka agar memahami posisinya saat ini. Beruntung, Ibu dan adik-adiknya mengerti walau dia sendiri belum tahu ke mana Herman membawanya.Pagi buta, Herman mengajak Adilla ke tempat baru. Agak jauh dari rumah yang ditinggalinya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status