Share

5. Teman Masa Kecil

Happy Reading

*****

Rustam memundurkan langkah, nyalinya menciut saat melihat benda tajam yang diacungkan sang mantan. Benda putih berkilau itu sudah mencapai leher, sedikit saja bergerak nyawa taruhannya. Sekian lama tak bertemu dengan Adilla, begitu banyak perubahan yang terjadi.

"Awas, aja kamu dekat-dekat keluargaku lagi. Aku nggak akan segan melukaimu. Ingat itu!" Mata yang memerah dengan penekanan di setiap kata yang diucap membuat Rustam ngeri. Dia bukan lagi perempuan lugu seperti yang lelaki itu kenal.

Rustam tersenyum licik, lalu berbisik pada Adilla, "Jika Ibu dan mereka tahu kerjaanmu, gimana?"

Adilla diam seribu bahasa, tetapi dia tetap mengacungkan pisau itu pada leher Rustam. "Kupastikan nyawamu melayang." Tangannya mulai menggerakkan ujung pisau pada leher sang mantan suami.

Rustam merinding, goresan ujung pisau itu sukses melukai kulit. Sedikit memang, tetapi sanggup menciutkan nyali. "Oke ... oke. Aku janji nggak akan ganggu kamu lagi, tapi turunkan pisaumu dulu."

Pelan, Adilla menurunkan benda tajam ditangannya. Ketiga bersaudara itu saling memeluk, baru kali ini mereka melihat kemarahan yang begitu besar dari si sulung. Anwar, adik yang paling tua dan tahu bagaimana perlakuan Rustam dulu, cukup lega melihat perlawanan si sulung. Sudut pandang pemuda itu tentang saudaranya bergeser, si sulung sudah mampu melindungi diri sendiri. Tidak seperti keadaan dulu, hanya menangis dan menangis menghadapi kezaliman Rustam.

Lelaki yang menorehkan begitu banyak luka pada Adilla itu akhirnya pergi dengan wajah menahan malu. Orang-orang di sekeliling  yang menjadi penonton pertengkaran mereka, membubarkan diri seiring kepergian sang perempuan dan keluarganya.

"Apa dia sering nemui, Mbak? Enaknya dilaporin ke polisi aja." Anwar berkata di tengah-tengah perjalanan pulang.

Adilla diam tak menjawab, emosi dalam hatinya masih tinggi. Peluh pun membanjiri tubuh. "Nggak perlu, Dik. Mbak iso ngadepi dia. Tenang wae, ya. Satu lagi, ojo cerita Ibu kejadian iki. Adik-adik yang lain juga nggak boleh ada yang cerita. Paham, 'kan?"

Mereka semua mengangguk patuh. Sepanjang perjalanan, semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Sesekali menjawab sapaan salam dari para tetangga yang kebetulan berpapasan.

Mendekati rumah, netra Adilla menangkap siluet seseorang yang sangat dikenal. Keadaannya begitu menyedihkan, baju kusut serta lusuh tak karuan. Muka yang terlihat begitu frustasi dan putus asa. Hati si sulung mulai terenyuh.

"Dik," panggil Adilla pada Anwar, "Apa itu Mas Danang?"

Anwar menengok ke arah Adilla, inderanya mengikuti telunjuk si sulung. "Enggeh kayaknya, Mbak."

"Dia jualan apa?"

"Biasanya jualan mainan anak-anak yang dibuat sendiri, tapi kalau itu kayaknya bukan." Anwar dan adik-adiknya mengikuti langkah Adilla mendekati sosok lelaki yang dimaksud.

"Cepatan dikit, Dik. Masnya dah mau pergi, tuh." Setengah berlari mereka mendekati lelaki yang dipanggil Danang itu.

"Nang, tunggu!" panggil Adilla sedikit keras.

Lelaki berpakaian kaos lusuh berwarna kuning yang hampir memudar itu, menengok pada sumber suara. Mata mereka bertemu, keduanya meneliti tampilan masing-masing. Danang yang dulu selalu tampil bersih dan rapi serta sangat rupawan kini sangat jauh berbeda.

"Kamu, Danang, 'kan?" tanya Adilla memastikan.

"Iya. Apa kabar, Rum?" Ternyata, Danang masih bisa mengenali sahabat masa kecilnya itu.

"Alhamdulillah, aku baik," jawab Adilla, "kamu jualan apa?"

"Jajanan anak-anak. Mau nyoba?" Danang menghentikan gerobak dagangannya.

"Kalian mau?" Adilla menatap ketiga adiknya. Terus terang dia sangat iba melihat keadaan sahabat terbaiknya seperti itu.

Nitami paling keras menjawab pertanyaan si sulung. Sementara dua adik Adilla, hanya mengangguk. "Pesen lima porsi, ya, Nang," kata Adilla.

"Bentar aku siapkan." Danang mulai meracik pesenana mereka.

Tak sampai setengah jam, pesanan mereka sudah selesai. Lima porsi kue pukis dengan pugas sesuai pesanan masing-masing siap disantap. Sambil memakan kue itu Adilla dan Danang berbincang.

Menanyakan pekerjaan dan keluarga masing-masing hingga curhat sang sahabat terkait permasalahan ekonomi. Adilla terenyuh, apa yang dialami Danang, perempuan itu pernah merasakan. Dihina dan dicaci karena kemiskinan. Dijauhi para sahabat dan tetangga, semua sudah hadir menghiasi hidupnya.

"Anak kamu berapa, Nang?" tanya Adilla.

"Udah dua, Rum. Makanya kerja apa aja aku lakoni asal halal, buat makan mereka sama biaya sekolah. Kamu sekarang kelihatan lebih makmur. Seneng lihatnya," ucap Danang.

"Alhamdulillah. Semua berkat doa Ibu dan adik-adik. Aku kerja juga untuk masa depan mereka. Mumpung aku masih di sini, kamu ajak main anak istrimu ke rumah, ya." Ada keinginan perempuan itu untuk memberi sesuatu pada keluarga sang sahabat.

"Insya Allah, Rum. Kalau ada kesempatan, aku pasti main ke rumahmu. Udah lama juga nggak ketemu Ibu."

Melihat jajanan adik-adiknya sudah habis tak bersisa, Adilla mengajak mereka segera pulang. Hari sudah semakin sore, takut Suamiyah khawatir menunggu kedatangan mereka. Perempuan berkulit kuning langsat itu merogoh dompet dan mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah.

Tanpa bertanya pada si pedagang berapa jumlah yang harus dibayar, Adill menyerahkan uang itu pada sahabatnya. Danang menatap tak percaya dengan uang yang diberikan.

"Rum, ini kebanyakan. Aku nggak punya kembalian. Kasih uang kecil. Aja, ya."

"Sisanya kasih aja ke anak-anakmu, Nang. Sampaikan salam sama mereka, itu hadiah dari tantenya yang belum pernah ketemu." Adilla tersenyum menatap Danang.

"Oalah. Repot-repot gini, Rum. Terima kasih banyak, lho," ucap Danang.

"Cuma itu yang bisa aku kasih, Nang. Semoga bisa membahagiakan," ucap Adilla.

Perempuan itu mengajak adik-adiknya pulang dan berpamitan pada sang sahabat. Sebuah ungkapan syukur Adilla ucapkan dalam hati. Masih ada orang yang jauh lebih menderita hidup dibandingkan dirinya.

"Jadi,  Mas Danang itu sahabate Mbak Rum, ya?" tanya si bungsu di tengah perjalanan pulang.

"Iya, Dik. Waktu Mbak Rum masih kecil kami sering main bareng. Sayang, setelah itu kita nggak pernah main bareng karena kesibukan masing-masing," terang Adilla.

"Alhamdulillah. Hari ini bisa ketemu lagi sama Mas Danang, Mbak. Jadi bisa nostalgia, deh." Anwar menambahkan.

"Iya, dong."

Dari arah depan mereka berjalan, ada dua orang perempuan seumuran Sumaiyah yang menatap lekat pada Adilla dan adik-adiknya. Kekita mereka berpapasan, salah satu perempuan paruh baya itu menyapa.

"Kapan datang, Rum? Udah kayak orang kaya aja kamu sekarang," ucap perempuan yang memakai daster warna hijau botol.

Adilla berhenti sejenak untuk menjawab sapaan mereka. "Tadi pagi, Bu."

"Oalah, baru tadi pulang. Oh, ya. Kalau kerja di kota, hati-hati dan lebih mawas diri ya, Rum. Jangan seperti anaknya Pak Marwoto yang katanya kerja di salah satu restoran. Eh, nggak tahunya simpanan bule. Nggak mungkin nikah 'kan kalau udah gitu. Pasti kumpul kebo," ucap yang lain.

Adilla menelan ludah kasar. Menatap dua orang itu dengan perasaan yang tak karuan. Berharap tak akan pernah ada yang tahu apa sebenarnya pekerjaan yang dijalani di kota seberang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status