“Nah Elang. Apakah sekarang kamu sudah siap buyut wedar..?
Lalu buyut akan isi tenaga dasar ilmu turunan keluarga kita Elang ?” tanya Ki Sandaka tenang. “Siap Ki Buyut,” sahut Elang mantap. “Kalau begitu naiklah ke balai ini, dan duduklah bersila seperti buyut,” perintah Ki Sandaka. Elang pun naik ke atas balai bambu itu, dan duduk bersila seperti posisi Ki Sandaka. Sementara itu Ki Sandaka terlihat berdiri. Namun Elang spontan bergidik ngeri. Karena dia melihat kaki Ki Buyutnya itu mengambang di udara, tak menapak di atas balai. “Hehehee. Jangan takut cicitku. Ini karena buyut sudah berbeda alam denganmu, Elang,” Ki Sandaka terkekeh, melihat kengerian Elang. “Sekarang bersiaplah Elang. Pejamkan matamu dan bertahanlah, jika ada sesuatu yang dingin dan hangat mengalir di dalam tubuhmu,” ucap Ki Sandaka. “Baik Ki Buyut,” ucap Elang tanpa ragu lagi. Elang langsung memejamkan matanya, seperti yang di arahkan oleh Ki Buyut. Nafasnya pun mulai teratur tenang, dalam posisi bersila. Ki Sandaka berdiri di hadapan Elang, lalu meletakkan telapak tangannya di kepala Elang. Perlahan Elang merasakan hawa dingin mulai mengalir melalui ubun-ubunnya. Sekujur tubuhnya semakin lama semakin terasa dingin, hingga kepalanya terasa membeku. Saat Elang hampir merasa tak sanggup lagi menahan nafasnya yang terasa sesak. Akibat hawa dingin yang mengalir bagai es itu. Maka saat itu pula, Ki Sandaka mengangkat kembali telapak tangannya. Perlahan Elang merasakan hawa dingin itu berangsur menghilang. Lalu muncullah rasa bugar yang aneh pada tubuhnya. “Sekarang kamu hiruplah dalam-dalam udara dengan hidungmu Elang. Lalu setelah penuh, kamu turunkan udara itu ke arah perutmu. Tahan selama mungkin di sana, dan jangan ada nafas terbuang. Setelah sampai batas daya tahanmu, naikkan udara di perutmu ke dada. Tahan sebentar, lalu lepaskan perlahan dengan mulutmu,” ujar Ki Sandaka. Elang menuruti arahan Ki Buyut dengan seksama, dan berusaha tanpa kesalahan dalam melakukannya. Hingga akhirnya Elang pun terbiasa. “Bagus Elang cicitku. Berikutnya adalah hawa agak panas, yang akan buyut alirkan melalui punggungmu. Bersiap dan tahanlah Elang,” ucap Ki Sandaka, seraya mulai menempelkan kedua telapak tangannya, pada posisi sedikit di bawah punggung Elang. Elang merasakan hawa hangat berangsur menerobos ke dalam tubuhnya, melalui telapak tangan Ki Buyut yang menempel itu. Perlahan hawa hangat itu memanas, dan semakin panas. Hingga Elang merasakan tubuhnya bagai di panggang api. Bagian pusat di perutnya pun bagai terbangkitkan bereaksi. Dan tiba-tiba saja mengalir hawa dingin dari pusat energinya. Sehingga hawa panas itu tak terlalu panas lagi dirasakannya. “Bagus cicitku! Tanpa kuajarkan, ternyata kau telah mampu membangkitkan hawa netralisir dalam tubuhmu. Hebat Elang cicitku!" puji Ki Sandaka, merasa sangat senang dengan bakat cicitnya ini. “Cukup," ujar Ki Sandaka, sambil mengangkat kedua telapak tangannya dari tubuh belakang Elang. Elang pun otomatis menormalkan kembali aliran nafas, dan juga hawa energi di tubuhnya yang terasa membludak. Dengan lakukan olah pernafasan, yang di ajarkan Ki Buyut tadi. Perlahan suhu tubuh Elang pun kembali normal. Dan Elang merasakan kebugaran tubuh, yang tak pernah dirasakannya selama ini. Tubuhnya terasa begitu segar dan ringan. Pandangannya pun terasa lebih terang dan tajam. “Nah, cicitku Elang. Ketahuilah, hawa dingin yang buyut alirkan melalui ubun-ubunmu tadi adalah ‘hawa Ghaib’! Hawa ghaib itu mampu menembus alam ghaib tergelap, dan terdingin sekalipun. Dan hawa panas yang buyut alirkan melalui belakang tubuhmu tadi. Itu adalah hawa tenaga dalam dan hawa murni, yang akan menjadi andalanmu menghadapi musuh-musuhmu nantinya. Namun semuanya itu masih harus kamu latih, dengan mempelajari isi kitab yang buyut simpan di suatu tempat, Elang,” ucap Ki Sandaka dengan sabar. Menguraikan pengertian dasar-dasar ilmunya pada Elang. “Baik Ki Buyut, Elang akan mengingat semua uraian Ki Buyut,” ucap Elang. “Ahh, rupanya waktu berlalu begitu cepat Elang. Sudah waktunya buyut kembali dulu. Besok adalah hari ketiga dan hari terakhir bagi buyut, untuk bisa menemuimu Elang. Karena untuk selanjutnya, buyut hanya bisa menemuimu sesekali saja cicitku. Sampai berjumpa esok malam, Cicitku Elang,” ucap Ki Sandaka, lalu tubuhnya pun perlahan menghilang bagai asap tersapu angin. “Ki Buyut..! Tunggu..!” seru Elang seraya bangkit dari tempat tidurnya, dan mencoba menggapai sosok Ki Buyut yang telah menghilang itu. “Elang..! Bangun Elang..! Kamu mimpi apa Nak..?” tanya Bu Sati, yang ternyata telah berada di dalam kamar Elang. Bu Sati sedang hendak ke kamar mandi, saat ia mendengar seruan Elang memanggil Ki Buyut. “Ahh..! Ehh..! Lho.? Bu Sati..! Rupanya Elang bermimpi ya Bu..?” tanya Elang menggeragap bingung. “Iya Elang. Ibu sampai kaget mendengar kamu memanggil Ki Buyut tadi. Waktu ibu lewat mau ke kamar mandi,” ungkap bu Sati. “Maafkan Elang ya Bu Sati, telah membuat Ibu kaget,” ucap Elang, merasa malu dan bersalah pada bu Sati. “Tidak apa-apa Elang. Wong namanya juga mimpi ya nggak bisa di salahkan tho,” sahut bu Sati bijak. “Ibu ke kamar mandi dulu ya Elang,” ucap bu Sati. “Iya Bu Sati,” ucap Elang. Bu Sati pun beranjak keluar dari kamar Elang, dan menuju ke kamar mandi. Sementara Elang masih terpaku teringat pada mimpinya. Namun Elang terkejut sendiri, karena dia memang merasakan perubahan nyata pada tubuhnya. Ya, kini Elang merasakan tubuhnya memang benar-benar lebih mantap, geraknya juga terasa ringan. ‘Apakah mimpi tadi benar-benar nyata ?’ tanya bathin Elang. Elang merasa pandangannya juga nampak lebih jauh dan jelas dibanding biasanya. Sementara pendengarannya juga bertambah peka. Suara kokok ayam di kejauhan milik rumah di seberang jalanan. Biasanya kokok ayam itu samar-samar di dengarnya, namun menjadi cukup jelas sekali di telinganya pagi ini. Elang pun beranjak dari pembaringannya dan berjalan ke halaman panti, untuk menghirup udara segar. Bu Nunik tampak sedang menyirami tanaman di taman kecil, yang dekat dengan tempat bermain anak-anak di panti. Elang pun menghampiri bu Nunik, yang sedang menunggu embernya penuh di isi air kran di pojok taman. “Bu Nunik. Biar Elang saja yang menyiram taman ya. Ibu beristirahat saja,” ucap Elang. “Tak usah Elang, biar ibu saja. Nanti ibu bisa cepat renta, kalau tidak sering bergerak Elang,” sahut bu Nunik. “O iya Bu. Apakah benar nama istri Pak Baskoro adalah Bu Halimah, Bu ? tanya Elang pelan. “Wah Elang. Rasanya selama ini hanya ibu yang tahu. Karena dalam keseharian kita terbiasa memanggilnya Bu Baskoro. Lalu dari mana kamu tahu nama istri Pak Baskoro adalah Bu Halimah, Elang.?" tanya bu Nunik agak penasaran. “Dari mimpi Bu Nunik. Dalam mimpi itu Elang seolah diberitahu Bu. Kalau ada orang yang sengaja, membuat penyakitnya Bu Baskoro secara tidak wajar Bu,” sahut Elang hati-hati dan serius. “Apaa Elang..?! Kamu serius dengan kata-katamu ini..?” seru Bu Nunik, yang nampak kaget mendengar yang dikatakan Elang. “Demi Tuhan, Elang serius Bu. Mimpi itu seperti nyata. Bukankah nama Bu Halimah juga adalah benar Bu..? Nama itu Elang dapat dari mimpi aneh semalam Bu,” ucap Elang, meyakinkan bu Nunik. “Lalu, apakah dalam mimpi itu juga dikatakan, bagaimana cara menyembuhkan penyakit Bu Baskoro itu, Elang..?” tanya bu Nunik, semakin penasaran. “Iya Bu. Apakah tidak sebaiknya kita ke rumah Pak Baskoro sekarang Bu..? Sebelum semuanya terlambat, dan Bu Baskoro menjadi semakin parah penyakitnya..?” ucap Elang serius. Dia sangat ingin membantu orang baik, yang telah membantu pantinya selama ini. “Tapi kalau ternyata mimpimu salah, bagaimana Elang..?” tanya Bu Nunik, agak khawatir. “Bukankah kita di wajibkan berikhtiar dulu sebelum pasrah Bu. Jadi menurut Elang, lebih baik kita mencobanya, daripada menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Walau pun itu hanya petunjuk lewat mimpi,” ucap Elang tenang. “Bagaimana..."Curang bagaimana, Paman Juru Judi..?!" seru Elang kesal, tak terima dibilang curang oleh Suseno. Ingin rasanya dia berkelebat, dan mengemplang hancur kepala Suseno yang panjul itu. Namun ditahannya rasa emosinya itu. "Kau memakai ilmu setan, untuk menang dalam pertaruhan ini..!" seru marah Suseno. Dia pun mencari segala alasan dan cara. Untuk lepas dari kewajibannya membayar sisa taruhannya, yang bernilai 45 keping emas itu. Karenanya dia menuduh sembarangan pada Elang. Karena dia tadi melihat betapa tempurung di atas meja diselimuti kabut hitam, dan Aki Bendot yang diandalkannya sampai tersentak seraya memegangi kepalanya. Elang segera memasukkan semua keping emas di atas meja, ke dalam kantung uangnya. Lalu dia memberikannya pada Prasti, yang sejak tadi menatapnya dengan pandangan kagum. Sementara semua penonton terdiam. Tak ada satupun dari mereka yang berani bersuara, saat sang juru judi sedang marah begitu. "Paman Juru Judi..! Sejak tadi saya masih menghormati Paman sebag
"Hey anak muda..! Jika kau bisa menang kali ini, maka aku akan membayar 2 kali lipat dari pasangan taruhanmu..!" seru Suseno dengan nada angkuh, dan senyum mengejek ke arah Elang. "Benarkah demikian Juru Judi..?! Baiklah semua yang menyaksikan jadi saksi ya..!" seru Elang, pada semua yang menyaksikan. "Siapp..! Kami semua saksinya..!" seru para penonton serentak. Saat itu Elang sudah kalah 50 keping emas, dan wajah Prasti juga terlihat agak cemas. Namun Elang menatap ke arahnya seraya tersenyum, menenangkan gadis itu. "Sudah jangan banyak bicara..! Pasang saja taruhanmu anak muda..!" seru Suseno kesal. Karena Suseno tak bisa menarik lagi ucapannya, di depan begitu banyaknya orang yang menjadi saksi. Namun dia tak merasa khawatir. Karena sejauh ini Elang selalu salah, dalam menebak jumlah angka dadu. "Baik. Aku pasangkan semua sisa keping emas yang kumiliki," ucap Elang tenang. Seolah pasangan taruhannya bukanlah suatu yang berharga. "Baik..! Ada 65 keping emas tersisa. Kau yaki
"Cara biasa saja Aki Bendot..! Mainkan judi dadu dan tebak angka dadunya. Siapa yang tebakkannya paling mendekati atau tepat, maka dialah pemenangnya!" sahut Suseno jelas dan tegas. Wajahnya menyiratkan senyum mengejek pada Elang. 'Kau takkan bisa menang pemuda bodoh..!' bathinnya sinis memaki Elang. "Baik kuikuti permainan kalian," ucap Elang tenang. Diam-diam Elang pun mulai membuka mata bathinnya. Maka kini semua yang tadinya tersembunyi, menjadi nampak jelas dalam pandangannya yang menembus. Bahkan saat itu Elang bisa melihat sesuatu benda beraura ungu terang, yang berada di dalam ikat kepala Aki Bendot. Bentuknya bulat lonjong seperti batu cincin. Dan Elang diberi wisik ghaib, bahwa nama jimat yang dikenakan Aki Bendot itu adalah, mustika pohon salam. Sontak kini para pengunjung yang menonton pun berdesakkan, mengelilingi meja judi dadu. Meja di mana Elang dan Aki Bendot bertaruh. Itu adalah kejadian luar biasa menurut mereka. Karena memang selama ini, tak ada yang berani
Elang hendak menghampiri dua orang berbaju hitam itu, saat sebuah suara membuatnya terkejut. "Plakhh! Jangan kurang ajar kau!" seru Prasti marah. Secepat kilat dia menampar seorang pemuda, yang hendak mencolek bokong indahnya. "Akhssg..!" seru kesakitan si pemuda tonggos, yang tak menduga harus kehilangan dua buah gigi depannya. Ya, dua butir giginya mencelat tanggal, akibat tamparan Prasti. Tampak darah mengalir di bibirnya. "Hey, heii..! Ada apa ini..?!" seru keras Suseno, yang memang berwenang menertibkan arena perjudian di dalam Rumah Judi itu. Dia datang didampingi tiga orang prajurit kerajaan di belakangnya. "Dia hendak memegangku..!" sentak marah Prasti, seraya menunjuk pemuda tonggos itu. Sementara si Tonggos kini terdiam gentar, melihat sang 'juru judi' hadir di tengah mereka. Keributan yang terjadi di tengah arena judi itu, sontak mengundang perhatian banyak para pengunjung. Namun sebenarnya lebih banyak dari mereka, yang tak menghiraukan masalah yang terjadi. Ya,
"A-ampunn Tuan Pendekar..! Hoekss..!" ucap gagap pimpinan brewok itu dengan susah payah. Sementara muntahannya kini, hanyalah berupa cairan putih bening. Sungguh mengenaskan.!Terlintas suatu pemikiran dibenak Elang. Maka dihampirinya kawanan brewok yang masih muntah bersahutan itu. Tukh..! ... Tukhh..!! Seketika acara muntah berjamaah keempat brewok itu pun terhenti. Setelah dengan cepat, Elang menotok bagian samping perut dekat pinggang mereka semua. "Kalian bersihkan lantai rumah makan ini..! Bayar pesanan makanan kalian tadi..! Lalu tunggu kami selesai makan, di luar rumah makan ini!" seru Elang tegas. "Ba-baik Tuan Pendekar!!" sahut empat brewok itu serentak, dengan wajah pucat dan tubuh yang masih lemas. Mereka segera meminta alat-alat untuk membersihkan lantai pada sang pelayan, yang segera memberikannya dengan senang hati. Lalu mereka pun bekerja bhakti, membersihkan lantai bekas muntahan mereka sendiri. Beberapa pengunjung lain, yang sejak awal memang sudah kesal deng
Namun jangan ditanya, jika ada yang berani coba-coba kurangajar padanya. Prasti bahkan bisa berubah galak dan liar, melebihi singa betina bila dia sedang marah. Dan kesukaannya memang warna hijau. Karena itulah kebanyakkan pakaiannya di dominasi oleh warna hijau. Dari warna pakaian hijau pupus, hijau daun, sampai hijau tua dia memilikinya. "Duh..! Kumis halusnya itu lho. Hmmshh..!" seru gemas brewok yang satunya lagi, seraya makin terbelalak menatap wajah Prasti. 'Degh!' Hati Prasti pun mulai merasa panas. Dia melirik tajam ke arah si Brewok, yang menggodanya itu. Dan memang sudah menjadi kebiasaan lelaki penggoda sejak jaman batu. Semakin si perempuan yang digoda memberi respon, maka semakin latahlah lelaki itu berulah menggodanya. Demikian pula dengan si Brewok satu ini. Melihat wajah merengut sebal Prasti, maka makin bersemangatlah dia menggoda si Prasti. "Duh..! Lirikan matanya tajam sekali. Bagaimana rupanya, jika mata itu terbeliak merasakan nikmatnya permainanku di atas
"Aihh! Mas..!" sentak Tantri, seraya menggelinjang, saat bibir rakus Surapati mencerucup ujung dadanya. Sungguh sensasi rasa geli dan kenikmatan, seketika menyentak hingga ke ubun-ubunnya. "Hhh.. hhh..! Kita ke atas dipan saja sayang," Elang berkata terengah menahan gejolaknya, seraya memondong tubuh Tantri dari dalam telaga. Nampak tubuh ramping padat dan mulus milik Tantri sudah gemetaran, menahan hasrat dan rangsangan yang belum pernah dirasakannya itu. Bibir Surapati terus menelusuri tubuh gadis perawan itu. Selama dia berjalan ke arah dipan, yang tersedia di dalam ruang dalam telaga itu. Sesuatu di bawah tubuhnya terasa agak pegal. Akibat kerasnya sesuatu itu, yang tegak kokoh mengacung disana. Dan terjadilah sesuatu yang semestinya tak terjadi atas diri Tantri, yang masih polos dalam asmara itu. "Ahks..! Sakith.. Mass ...." erang Tantri tersentak, dengan sepasang mata terbelalak kaget. Dahinya terlihat berkerut, menahan rasa nyeri sesaat yang melandanya. Ya, Surapati tel
"Ahh..! Untuk apa Mas Elang melakukannya?!" tanya Tantri, yang melihat aksi Elang melumpuhkan kedua prajurit jaga tersebut. "Sejak kemarin aku penasaran, dengan isi di ruang dalam telaga Wangipandan itu Tantri. Kita juga berhak tahu isi di dalamnya. Karena kau juga adalah putri bangsawan di mataku Tantri," ujar Elang menjelaskan alasannya, disertai rayuan mautnya pada Tanri. Tak diragukan lagi memang pengalaman 'Surapati koplak' ini, dalam hal menaklukkan hati wanita. Tentu saja Tantri tak bisa menolak ajakkan pemuda yang dikasihinya ini, egonya juga timbul. Dia membenarkan ucapan Elang, karena Tantri juga merasa sebagai putri dari Penguasa Pulau Neraka Prabadewa. Seorang yang memiliki kerajaannya sendiri di pulau Neraka. Mereka berdua pun lalu masuk dengan bergandengan tangan, ke bagian dalam Telaga Wangipandan itu. Tempat yang hanya dikhususkan bagi kalangan istana saja. Saat hendak masuk, Surapati sempat menambah totokkannya, pada kedua prajurit yang tengah pingsan itu. Kini
"Psspph..! Huph..!" Surapati mendesiskan nafas panjangnya, layaknya orang yang baru saja berolah nafas. Sementara Tantri yang melintas tepat saat Surapati mendesiskan nafasnya, sontak menoleh ke samping kanan jalur. Dan seketika matanya berbinar gembira. Saat dia melihat pria yang berada dibenaknya, kini menjelma nyata di depan matanya. "Mas Elang..?!" seru Tantri, dengan tatapan mata penuh keterkejutan ke arah Elang. Surapati perlahan menolehkan pandangannya ke arah Tantri, lalu dia pun tersenyum tenang. 'Ahh senyum itu', bathin Tantri, dengan wajah memerah. Senyum yang memabukkan hati Tantri semalaman, kini kembali dilihatnya saat itu. Sungguh membuat hati Tantri berdebar tak karuan. "M-mas Elang, kenapa kau bisa berada di sini? Kemana teman wanitamu si Prasti murid Eyang Wilapasara itu?" tanya Tantri heran. Karena sejak bertemu di bukit Rajawali, dia memang sudah mengenal Prasti. Wanita yang diperkenalkan oleh Ki Randujati, sebagai perwakilan dari Eyang Wilapasara di pertem